PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER
Oleh:
Ni’matul Ulfa (16771003)
Magister
Pendidikan Agama Islam
Program
Pascasarjana
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
A. Dasar Pemikiran
Pendidikan
Indonesia, saat ini, dihadapkan banyak masalah. Di satu sisi, sering kali
pelajar-pelajar Indonesia memperoleh prestasi berupa raihan medali emas, perak
maupun perunggu, baik dalam kompetisi di tingkat nasional maupun internasional.
Akan tetapi, di sisi lain, seringkali masih dijumpai banyak pelajar yang senang
melakukan tindakan kekerasan dan asusila sesama peserta didik maupun yang lain.
Ironinya lagi, beberapa tahun yang lalu sempat juga terkuak kasus sontek
massal. Guru yang seharusnya memberikan contoh baik kepada peserta didik,
ternyata justeru menyuruh peserta didiknya yang paling pintar di kelas untuk
memberikan sontekan kepada teman-temannya. Kasus ini seperti menjadi tamparan
keras bagi wajah pendidikan di Indonesia. Pendidikan, sebagai salah satu elemen
penting dalam mendidik generasi bangsa, harus benar-benar dikelola dengan baik
agar mampu membenahi akhlak bangsa. Hal ini dikarenakan hakikat pendidikan itu
sebenarnya bukan hanya mengajar (transfer of knowledge) saja, tetapi lebih dari
itu, yaitu mendidik agar berakhlak. Hal ini sebenarnya yang menjadi orientasi
pendidikan dalam Islam yang belum tergambar pada masa jahiliyah.
Hal
senada juga diungkapkan oleh Baidhawi dalam Said Ismail Ali bahwa pendidikan
itu bertujuan untuk memperbaiki akhlak atau lebih dikenal dengan istilah
ta’dib. 3 Fakta di lapangan sering menunjukkan bahwa pendidikan agama dianggap
sebagai salah satu media efektif dalam menginternalisasikan karakter luhur
terhadap peserta didik. Akan tetapi kenyataannya, harapan tersebut belum mampu direalisasikan
oleh pendidikan agama Islam atau PAI,mengingat belum dapat berperan secara
optimal. Meskipun anggapan itu tidak sepenuhnya benar, tetapi paling tidak
idealnya pendidikan agama memang dimaksudkan untuk meningkatkan potensi
spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki
akhlaqul karimah.
Melalui
PAI, peserta didik diharapkan memiliki karakter-karakter tersebut. Pemahaman
yang mendalam tentang ajaran dan nilai-nilai agama Islam diharapakan mampu
menjiwai perilaku dan tindakan peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh
karena itu, pengembangan PAI yang berorientasi kepada pendidikan karakter
diharapkan mampu membenahi kualitas pembelajaran PAI, sehingga mampu memberikan
kontribusi dalam pembenahan akhlak generasi penerusbangsa. Makalah ini akan
menjelaskan berbagai pengembangan PAI yang berorientasi pada pendidikan
karakter dengan beberapa kajian, yaitu landasan filosofis, teori-teori
pendidikan karakter, model pengembangan karakter bangsa dan PAI, implikasi dan
aplikasi model pendidikan karakter.
B. Pengertian
Pengembangan Kurikulum PAI
Pengembangan
kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum baru melalui
langkah-langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang dilakukan
selama periode tertentu, pengembangan kurikulum berarti perubahan dan peralihan
total dari satu kurikulum ke kurikulum lain, dan perubahan ini berlangsung
dalam waktu panjang.[1]
Sedangkan
Pengertian pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan kurikulum secara umum, perbedaannya hanya terletak pada sumber
pelajarannya saja. Sebagaimana yang diutarakan oleh Abdul Majid dalam
bukunya “Pembelajaran Agama Islam berbasis Kompetensi, mengatakan
bahwa kurikulum pendidikan agama Islam adalah rumusan tentang tujuan, materi,
metode, dan evaluasi pendidikan yang bersumber pada ajaran agama Islam.[2]
C. Hakikat
Pendidikan Karakter
1.
Sejarah
Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W. Foerster (1869-1966).
Pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses
pembentukan pribadi. Tujuan pendidikan karakter yang dicetuskan Foerster adalah
untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subjek
dengan prilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter
merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang individu. Karakter menjadi
identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari
kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur. Kemudian, sejak tahun
1990-an, terminologi pendidikan karakter mulai ramai dibicarakan. Thomas
Lickona dianggap sebagai pengusungnya melalui karyanya yang sangat
memukau, The Return of Character Education sebuah buku yang
menyadarkan dunia Barat secara khusus dimana tempat Lickona hidup, dan seluruh
dunia pendidikan secara umum, bahwa pendikan karakter adalah sebuah keharusan
untuk memperbaiki karakter generasi muda. Para tokoh besar di Indonesia juga
memberikan sumbangannya terhadap pendidikan karakter seperti Ki Hajar Dewantara
dengan semangat “Ingarsa sung tuladha, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani” juga beberapa tokoh lainnya
seperti RA. Kartini, Soekarno, Hatta, dan sebagainya yang bertujuan membentuk
kepribadian dan identitas bangsa sesuai dengan konteks dan situasi yang mereka
alami.
2. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter menurut Kerangka Acuan Pendidikan
Karakter Tahun Anggaran 2010 yang diterbitkan oleh Direktorat Ketenagaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yaitu
merupakan pendidikan yang erat kaitannya dengan habit atau
kebiasaan yang terus menerus di praktekkan atau dilakukan.
Pendidikan karakter menurut Ratna Megawangi yaitu
sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada
lingkungannya.
Sedangkan menurut Dharma Kesuma, dkk bahwa pendidikan
karakter adalah pembelajaran yang mengarah pada penguatan dan pengembangan
prilaku anak secara utuh yang didasarkan pada suatu nilai tertentu yang dirujuk
oleh sekolah. Menurut Agus Wibowo, pendidikan karakter adalah pendidikan yang
menanamkan dan mengembangkan karakter-karakter luhur kepada anak didik,
sehingga mereka memiliki karakter luhur itu, menerapkan, dan
mempraktikkan dalam kehidupannya, entah dalam keluarga, sebagai
masyarakat, dan warga negara.
Menurut Darmiyati Zuhdi, pendidikan karakter yaitu
pendidikan yang mengajarkan cara berpikir, bersikap, bertindak yang menjadi
ciri khas seseorang yang menjadi kebiasaan yang ditampilkan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Menurut Mukhlas Samani dan Hariyanto, pendidikan
karakter adalah hal positif apa saja yang dilakukan guru dan berpengaruh
terhadap karakter siswa yang diajarnya. Menurut penulis yang diilhami dari
proses pembelajaran input memory tentang makna pendidikan akhirnya didapat
sebuah pengertian tentang pendidikan karakter yaitu kegiatan atau usaha,
sistematis dan berkesinambungan untuk mengembangkan potensi manusia, memberikan
kecakapan, sikap yang sesuai dengan tujuan pendidikan karakter sedangkan
potensi sendiri dapat diartikan sebagai kemampuan atau fitrah yang dibawa
manusia seperti kekuatan spiritual keagamaan, kepribadian, kecerdasan, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, agamanya, masyarakat, bangsa dan negara
yang mempunyai kemungkinan untuk menjadi kemampuan nyata.
3. Tujuan Pendidikan Karakter
Socrates
berpendapat bahwa tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat
seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam,
Rasulullah Muhammad saw, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik
manusia adalah mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character).
Kemudian Lickona dan tokoh lainnya seperti
menyuarakan kembali gaung yang disuarakan Socrates dan Muhammad saw, bahwa
moral, akhlak, atau karakter adalah tujuan yang tidak bisa
dihindarkan dari dunia pendidikan, begitu juga dengan Marthin Lither
King yang mengatakan kecerdasan plus karakter, itulah tujuan yang benar
dalam pendidikan.
Pakar
pendidikan Indonesia, Fuad Hasan, juga ingin menyampaikan hal yang sama dengan
tokoh pendidikan tersebut. Menurutnya, pendidikan bermuara pada pengalihan
nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial. Sementara Mardiatmaja menyebut
pendidikan karakter sebagai ruh pendidikan dalam memanusiakan manusia. Pendidikan
karakter juga merupakan kewajiban keluarga, masyarakat, dan pemerintah untuk
mempersiapkan generasi yang tangguh.
Pemaparan pandangan tokoh-tokoh
diatas menunjukkan bahwa pendidikan sebagai nilai universal
kehidupan memiliki tujuan pokok yang disepakai di setiap zaman, pada setiap
kawasan, dan dalam semua pemikiran. Dengan bahasa sederhana, tujuan yang disepakati itu adalah merubah manusia
menjadi lebih baik dalam pengetahuan sikap dan keterampilan.
4.
Komponen
Pendidikan Karakter
Dalam pendidikan karakter Lickona menekankan tiga komponen
karakter yang baik yaitu moral knowing(pengetahuan tentang
moral), moral feeling (perasaan tentang moral), dan moral
action (perbuatan bermoral).
a. Moral
Knowing (pengetahuan tentang moral)
William
Killpatrick menyebutkan salah satu penyebab ketidak mampuan seseorang berlaku
baik meskipun ia telah memiliki pengetahuan tentang kebaikan itu (moral
knowing) adalah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan (moral
doing). Berangkat dari pemikiran itu maka kesuksesan pendidikan karakter
sangat tergantung pada ada tidaknya knowing, loving, dan doing atau acting dalam
penyelenggaraan pendidikan karakter.
b. Moral
Feeling (perasaan tentang moral)
Seorang yang mempunyai kemampuan kognitif yang baik, tidak saja menguasai
bidangnya, tetapi memiliki dimensi rohani yang kuat. Keputusan-keputusannya
menunjukkan warna kemahiran seorang professional yang didasarkan pada sikap
moral atau akhlak yang luhur.
Moral loving atau moral
feeling merupakan penguatan aspek emosi siswa untuk menjadi manusia
berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk-bentuk sikap yang
harus dirasakan oleh siswa, yaitu kesadaran akan jati diri.
c. Moral
Action (perbuatan bermoral)
Fitrah manusia sejak kelahirannya yaitu kebutuhan dirinya kepada orang
lain. Kita tak akan berkembang dan survive tanpa ada
kehadiran orang lain. Seseorang tidak mungkin berkembang dan mempunyai kualitas
unggul kecuali dengan kebersamaan. Kehadirannya di tengah-tengah pergaulan
harus senantiasa memberikan manfaat. Di sini sifat tabligh yang
dicontohkan Rasulullah yaitu menyampaikan kebenaran melalui keteladanan.
Untuk memberikan keteladanan tentu harus mempunyai ketrampilan dan kompetensi
atau kemampuan. Hendaknya proses pembelajaran membentuk kompetensi agar siswa
mempunyai kemampuan untuk memberi manfaat kepada orang lain. Setelah mampu
memberi keteladanan yang baik dan memiliki kompetensi yang bagus maka moral
acting akan mudah muncul.
5.
Tahapan Pendidikan Karakter
Secara teoritik nilai moral atau karakter berkembang secara
psikologis dari dalam individu mengikuti perkembangan usia dan konteks sosial.
Dalam kaitannya dengan usia, Piaget merumuskan perkembangan kesadaran dan pelaksanaan
aturan dengan membagi menjadi beberapa tahapan dalam dua domain yakni kesadaran
mengenai aturan dan pelaksanaan aturan.
a.
Tahapan pada domain kesadaran aturan
yaitu :
- Usia 0-2 tahun : aturan dilaksanakan sebagai hal yang tidak memaksa
- Usia 2-8 tahun : aturan disikapi bersifat sakral dan diterima tanpa
pemikiran
- Usia8-12 tahun : aturan diterima sebagai hasil kesepakatan
b. Tahapan pada
domain pelaksanaan aturan yaitu :
- Usia 0-2
tahun : aturan dilakukan hanya bersifat motorik
- Usia
2-6 tahun : aturan dilakukan dengan orientasi diri sendiri
- Usia
6-10 tahun : aturan dilakukan sesuai dengan kesepakatan
- Usia
10-12 tahun : aturan dilakukan karena sudah dihimpun
Bertolak dari
teorinya tersebut, pendidikan di sekolah seyogyanya menitikberatkan pada
pengembangan kemampuan mengambil keputusan dan memecahkan masalah serta membina
moral dengan cara menuntut peserta didik untuk mengembangkan aturan berdasarkan
keadilan atau kepatutan. Dengan kata lain, pendidikan nilai berdasarkan
teori piaget adalah pendidikan nilai moral atau nilai etis yang dikembangkan
berdasarkan psikologi perkembangan moral kognitif.
D.
Penerapan Pendidikan Karakter dalam
Kurikulum di Sekolah
Konteks
pendidikan karakter dalam makalah ini adalah konteks mikro, berpusat pada
satuan pendidikan secara holistik. Satuan pendidikan merupakan sektor utama
yang secara optimal memanfaatkan dan memberdayakan semua lingkungan belajar
yang ada untuk menginisiasi, memperbaiki, menguatkan, dan menyempurnakan secara
terus-menerus proses pendidikan karakter di satuan pendidikan. Pendidikanlah
yang akan melakukan upaya sungguh-sungguh dan senantiasa menjadi garda depan
dalam upaya pembentukan karakter manusia Indonesia yang sesungguhnya.
Pengembangan karakter dibagi dalam empat pilar, yakni kegiatan belajar-mengajar
di kelas, kegiatan keseharian dalam bentuk pengembangan budaya satuan
pendidikan; kegiatan ko-kurikuler atau ekstra kurikuler, serta kegiatan keseharian
di rumah dan masyarakat. Menurut konsep rancangan pemerintah
yang terdapat dalam Policy Brief terbitan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan Nasional juga
dalam materi rancangan oleh pusat kurikulum kementerian pendidikan nasional, program pendidikan karakter pada konteks mikro dapat digambarkan sebagai
berikut:
Penjelasan
Gambar:
a. Kegiatan Belajar Mengajar di Kelas
Pengembangan nilai/karakter dilaksanakan dengan menggunakan
pendekatan terintegrasi dalam semua mata pelajaran (embeded approach). Khusus,
untuk mata pelajaran pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan, karena
memang misinya adalah mengembangkan nilai dan sikap maka pengembangan
nilai/karakter harus menjadi fokus utama yang dapat menggunakan berbagai
strategi/metode pendidikan nilai (value/character education). Untuk kedua mata
pelajaran tersebut nilai/karakter dikembangkan sebagai dampak pembelajaran
(instructional effects) dan juga dampak pengiring (nurturant effects).
Sementara itu untuk mata pelajaran lainnya, yang secara formal memiliki misi
utama selain pengembangan nilai/karakter, wajib dikembangkan kegiatan yang
memiliki dampak pengiring (nurturant effects) berkembangnya nilai/karakter
dalam diri peserta didik.
Pada
tahap pelaksanaan pembelajaran, guru harus memperhatikan materi yang akan
diajarkan dengan karakter yang ingin dibentuk. Dari segi materi PAI dapat
tercakup nilai pendididikan karakter. Hal ini bisa dilihat dalam tabel berikut
ini:
Guru,
di sisi lain, juga harus mampu memilah dan memilih metode yang tepat sesuai
dengan karakter yang ingin dibangun, karena karakter tersebut lebih banyak
mengarah kepada softskill. Yang perlu
diperhatikan juga adalah harus dengan mengacu pada karakteristik peserta didik.[3] Untuk
membangun kejujuran peserta didik, sebagaistudikasus, maka dapat digunakan
metode tugas. Tugas peserta didik harus diteliti agar dapat dinilai
kejujurannya, apakah tugasnya ada unsur plagiasi atau tidak. Untuk membangun
kerjasama, dapat digunakan metode tugas kelompok dan lain sebagainya. Dalam
tahap ini, guru juga harus membangun karakter peserta didik melalui kegiatan
pembukaan, proses dan pentup pembelajaran. Sebagaistudikasusadalah membuka dan
menutup pelajaran dengan doa. Guru juga harus memberikan keteladanan yang baik
selama proses pembelajaran, misalnya datang tepat waktu yang dapat membangun
karakter disiplin peserta didik. Sedangkan dalam tahap evaluasi, teknik dan
instrumen yang dipilih tidak hanya mengukur pencapaian kognitif saja, tetapi
juga harus mencakup aspek afektif dan psikomotorik. Misalnya metode obsevasi
dengan berdasarkan indikator karakter yang ingin dicapai.
b. Dalam
Lingkungan Sekolah
Sebenarnya
semua yang ada di lingkungan masyarakatMmerupakan model pembelajaran bagi pesertadidik.
Manusia itu memiliki kecenderungan meniru yang merupakan tingkah laku yang
dipelajari.[4]
Menurut Suwandi dalam Zubaedi, pendekatan modeling, keteladanan (uswah) lebih
tepat digunakan dalam pendidikan karakter, karena karakter itu bukan pengetahuan,
sehingga harus diteladankan, bukan diajarkan. Perilaku moral diperoleh dengan
cara yang sama dari respon-respon lainnya, yaitu melalui modeling dan
penguatan. Lewat pembelajaran modeling akan terjadi internalisasi berbagai
perilaku moral, prososialdan aturan-aturan lainnya untuk tindakan baik.
Demikian juga menurut social learning theory, bahwa perilaku manusia diperoleh
melalui cara pengamatan model, dari mengamati orang lain, membentuk ide dan
perilaku-perilaku baru dan akhirnya digunakan sebagai arahan untuk beraksi.
Model-model
yang berasal dari lingkungan selalu memberikan rangsangan kepada peserta didik
untuk memberikan tindak balas, jika rangsangan tersebut terkait dengan keadaan
peserta didik. Dalam hal ini ada tiga model, yaitu live model, symbolic model
dan verbal description model. Live model adalah model yang berasal dari
kehidupan nyata. Symbolic model adalah model yang berasal dari perumpamaan.
Verbal description model adalah model yang diuraikan dalam bentukdeskripsi
verbal. Model-model itu mencakup behavioral model untuk performa yang kasat
mata dan cognitive model untuk proses kognitif yang tidak kasat mata.[5]
Strategi
keteladanan ini dapat dibedakan menjadi keteladanan internal dan keteladan
eksternal. Keteladanan internal dapat dilakukan melalui pemberian contoh yang
dilakukan oleh pendidik sendiri dalam proses pembelajaran. Semua unsur
pendidikan yang ada, terutama di sekolah, harus dikondisikan dengan baik untuk
membentuk karakter peserta didik. Jika ingin membentuk kedisiplinan peserta
didik, sebagaistudikasus, tidak perlu dengan susahpayahmenjelaskan makna
disiplin. Dengan guru atau pendidik yang datang tepat waktu secara tidak
langsungitu sudah mengajarkan kedisiplinan kepada peserta didik, karena peserta
didik pasti akan sungkan datang terlambat. Lingkungan sekolah yang bersih dan
rapi dengan fasilitas kebersihan yang memadai secara tidak langsung juga sudah
mendidik peserta didik untuk hidup bersih dan rapi, karena mereka pasti akan
sungkan untuk membuang sampah sembarangan. Hal ini dapat dilihat di mal-mal
yang bersih dan rapi, secara otomatis atau reflek ketika akan mau membuang
sampah, pasti orang akan mencari tempat sampah.
Keteladanan
eksternal dapat dilakukan dengan pemberian contoh yang baik dari tokoh yang
dapat diteladani, baik lokal maupun internasional. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara menyajikan cerita tentang tokoh-tokoh berpengaruh baik yang mampu
dijadikan teladan, misalnya cerita para nabi. Misalnya Nabi Muhammad Saw,
karena sosoknabiterakhirini merupakan pendidik pertama dalam Islam. Cara Nabi
Saw menyelesaiakan konflik di masyarakat, sikap terhadap anak kecil, cara
mengajarkan al Qur’an, cara menyebarkan Islam dan sebagainya, patut diketahui
oleh peserta didik karena muatan karakternya yang ada dalam sikap Nabi Saw.[6]
Penyajian cerita yang menarik tentang kisah
para tokoh ini diharapkan menjadikan peserta didik mengidolakan dan meniru
tindakan positif telah dilakukan. Pendidik memang tidak memasukkan hal-hal yang
terkait dengan keteladanan ini ke dalam rencana pembelajaran, karena termasuk
dalam hidden curriculum.[7]
Contoh keteladanan sikap yang dipraktikkan secara konsisten itujusteru
mampu menempatkan seseorang untuk layak menjadi pemimpin bagi orang lain.
Keteladanan iniadalah kata yang mampu menggugah dan mendorong setiap orang
untuk menapaki jalan yang pernah dibuat oleh seorang pemimpin. Mengajak orang
untuk melakukan suatu perbuatan tidak cukup melalui seruan kata-kata, melainkan
sikap nyata yang dimulai dari diri sendiri serta keteladanan sikap yang dipraktikkan
secara mengagumkan.
Dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural
sekolah memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga sekolah lainnya
terbiasa membangun kegiatan keseharian di sekolah yang mencerminkan perwujudan
nilai/karakter.
c.
Dalam Kegiatan Ekstra Kurikuler
Yakni kegiatan belajar di luar kelas yang terkait langsung
pada suatu materi dari suatu mata pelajaran, atau kegiatan ekstra
kurikuler, yakni kegiatan sekolah yang bersifat umum dan tidak terkait langsung
pada suatu mata pelajaran, Misalnya untuk membentuk karakter
kemandirian dapat diterapkan melalui kegiatan Pramuka,
Palang Merah Remaja, Pecinta Alam dll. Untuk membentuk karakter gemar
membaca al-Qur’an dapat diterapkan melalui program tahfidz al-Qur’an. Untuk
membentuk karakter religius dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan
keagamaan, misalnya shalat Dhuha dan sholat Dzuhur berjamaah dan lain
sebagainya.
d. Dalam
Lingkungan Keluarga dan Masyarakat
Pendidikan
karakter tidak cukup hanya diajarkan melalui mata pelajaran di kelas, tetapi
sekolah dapat menerapkannya melalui pembiasaan, karena halitu merupakan salah
satu faktor pembentuk karakter. Pembiasaan diarahkan pada upaya pembudayaan
pada aktivitas tertentu sehingga menjadi aktivitas yang terpola dan tersistem.
Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai aktivitas spontan maupun terencana.
Untuk yang spontan, misalnya dibiasakan mengucapkan salam ketika bertemu teman,
guru atau lainnya. Saatpeserta didik sudah terbiasa mengucapkan salam, maka
secara spontan ketika bertemu orang lain, baik di lingkungan sekolah maupun
yang lainnya, pasti juga akan mengucapkan salam. Ketika jam istirahat sekolah,
disana social skill lebih banyak
dibangun. Saat itu pesertadidik akan bergaul dengan temannya, cara bersikap
dengan temannya yang memiliki karakter berbeda-beda.
Hal
ini mungkin juga bukan termasuk dalam kurikulum terencana. Sedangkan yang
terencana, misalnya, setiap sebelum pembelajaran dimulai peserta didik dibiasakan
shalat Dhuha berjama’ah dan membaca al-Qur’an. Ketika sudah terbiasa seperti
itu, di lingkungan yang lainpun peserta didik juga akan menerapkan hal yang
sama dengan kebiasaannya di sekolah.
Hal
serupa juga tergambar dalam sistem pembelajaran yang ada di masa kejayaan
pendidikan Islam. Menurut Goerge Makdisi, pendidik selalu mengawali dan menutup
pembelajaran dengan doa. Selain itu, parapendidik juga dibiasakan shalat lima
waktu dengan berjamaah, kecuali bagi yang sudah menikah. Hal ini dikarenakan mereka
memang tinggal di asrama, sehingga para pendidik akan lebih mudah mengontrol
dan mengawasi perilaku pesertadidik sehari-hari.16 Untuk mendukung kegiatan
sehari-hari yang sudah dijadikan pembiasaan di sekolah, maka perlu adanya
integrasi pendidikan formal, nonformal dan in-formal.
Menurut
Pasal 13 ayat 1 UU Nomor20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyebutkan bahwa jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non-formal
dan in-formal. Untuk membentuk dan mengontrol karakter peserta didik, sistem
integrasi antara lembaga-lembaga pendidikan tersebut itu sangat penting
diterapkan. [8]
Hal
ini dikarenakan pendidikan formal hanya berlangsung sekitar 5-8 jam (sekitar
30%), selebihnya (sekitar 70%) keluarga dan lingkunganmasyarakatyang berperan.
Dengan demikian, jika dilihat dari aspek kuantitas waktu, maka pendidikan di
sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% saja terhadap pendidikan anak.
Jika pendidikan formal diintegrasikan dengan
in-formal atau non-formal tentu hasilnya akan lebih maksimal. Hal ini dapat
dilakukan dengan sistem asrama ataupun pondok pesantren, sehingga peserta didik
masih dapat diawasi selama 24 jampenuh. Kegiatan di luar pendidikan formal juga
dapat membantu terbentuknya karakter peserta didik, yaitu membangun kecerdasan emosional,
sosial dan spiritual, mengingat asrama atau pondok pesantren sebenarnya
merupakan miniatur dari masyarakat. Dari sistem ini peserta didik akan belajar
banyak tentang menghargai orang lain, menghargai waktu, disiplin dan
sebagainya.
Kegiatan yang ada di lembaga in-formal harus
mendukung kegiatan yang ada di lembaga pendidikan formal. Misalnya, shalat
berjamaah, kerja bakti, tadarrus al-Qur’an dan lain-lain. Dengan kegiatan
seperti itu, maka tidak menutup kemungkinan bahwa nilai-nilai yang dibentuk
tersebut akan terinternalisasi dalam segala aspek kehidupan peserta didik.
Keluarga juga memiliki peranan penting dalam membentuk sikap hidup dan social
skill yang harus menjadi budaya dalam keluarganya, sehingga setahap demi
setahap akan mewarnai sikap hidup dan kecakapan sosial pesertadidik.[9]
Diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali
serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap prilaku berkarakter mulia yang
dikembangkan di sekolah menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan
masyarakat masing-masing. Konteks mikro pengembangan nilai/karakter merupakan
latar utama yang harus difasilitasi bersama oleh Pemerintah Daerah dan
Kementrian Pendidikan Nasional. Dengan demikian terjadi proses sinkronisasi
antara pengembangan nilai/karakter secara psiko-pedagogis di kelas dan di
lingkungan sekolah, secara sosio-pedagogis di lingkungan sekolah dan
masyarakat, dan pengembangan nilai/karakter secara social-kultural nasional.
Untuk itu sekolah perlu difasilitasi untuk dapat mengembangkan budaya sekolah
(school culture). Pengembangan budaya sekolah ini perlu menjadi bagian integral
dari pengembangan sekolah sebagai entitas otonom seperti dikonsepsikan dalam
managemen berbasis sekolah (MBS). Dengan demikian setiap satuan pendidikan secara
bertahap dan sistemik ditumbuh-kembangkan menjadi sekolah-sekolah yang dinamis
dan maju (self-renewal schools) (Purkey dan Novak: 1990).
E.
Penutup
1.
Kesimpulan
Pendidikan
karakter tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus terintegrasi dan diinternalisasi.
Cara tersebut dapat dilakukan dengan kegiatan pembiasaan, integrasi pendidikan
formal, in-formal dan non-formal, integrasi dan internalisasi dalam seluruh
mata pelajaran, integrasi dalam proses pembelajaran, keteladanan dari seluruh
unsur pendidikan dan kegiatan ekstrakurikuler. Optimalisasi implementasi dari
pendidikan karakter harus memperoleh dukungan dari semua pihak, terutama guru
dan orang tua yang memiliki peran sangat penting. Pihak pihak ini merupakan
kurikulum hidup, sehinggaketeladanan dan semangat untuk mendidik peserta didik
harus ada dalam diri para guru dan orang tua. Oleh karena itu, pendidik itu
harus berkarakter sebelum membentuk karakter peserta didik, agar peserta didik
mampu menyerap dan mengamalkan atas karakter yang ditanamkan oleh pendidik.
Daftar Pustaka
Ahmed, Munir Ud-Din. 1968. Muslim Education and The Scholars’ Social
Status.Verlag: Der Islam’ Zurich.
Ali, Said Ismail. 2007. Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah. Kairo: Darus Salam
Balitbang Kurikulum Kemendiknas.
2010. Pengembangan Pendidikan Kultur dan
Karakter Bangsa. Jakarta: Balitbang Kurikulum Kemendiknas
Boyle, Helen N. Qur’anic School.
2004. Agents of Preservation and Change. London: Roudledge Falmer.
Budiningsih,C. Asri. 2004. Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta.
Hendyat Soetopo dan Wast Soenanto. 1993. Pembinaan
dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta:
Bumi Aksara.
Hidayatullah, Furqon. 2010. Pendidikan Karakter, Membangun Peradaban
Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka.
Izutsu, Toshihiko. 2002. Ethico Religious Concepts in the Qur’an.
Montreal: McGill-Queen’s University Press.
al-Jalad, Majid Zaki. 2004. Tadris al-Tarbiyah al-Islamiyah.Aman: Dar al-Massira.
al-Khaladi, Abdurrahman. 1979. Ushul al-Tarbiyah wa Asalibiha fi al-Baiti
wa al-Madrasati wa al-Mujtama’. Damaskus: Dar al-Fikr.
Langgulung, Hasan. 2000. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: al-Husna Dzikra.
Majid, Abdul dan Dian Andayani.
2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Remaja Rosda Karya,
Bandung.
Makdisi, George.1981. The Rise of Colleges. Edinburg: Edinburg University Press
al-Murabit, Abdul Qadir. 1982. Root Islamic Education. Belanda: Diwan al-Amir Publications
Samani, Muchlas. 2007. Menggagas Pendidikan Bermakna. Surabaya: SIC.
Zubaedi. 2012. Desain
Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
[1]
Hendyat Soetopo dan Wast
Soenanto, Pembinaan dan
Pengembangan Kurikulum, Jakarta:
Bumi Aksara, 1993, hlm.45
[2]
Abdul Majid
dan Dian Andayani, Pendidikan
Agama Islam Berbasis Kompetensi, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2004, hlm.74
[3] C. Asri Budiningsih, Pembelajaran Moral, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2004), hlm. 72
[4] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:
Al-Husna Dzikra, 2000), 406.
[6]
Munir Ud-Din Ahmed, Muslim Education and The Scholars’ Social
Status (Verlag: Der Islam’ Zurich, 1968), 29-30.
[8] Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 3)
[9] Muchlas Samani, Menggagas Pendidikan Bermakna (Surabaya:
SIC, 2007), hlm. 83.
No comments:
Post a Comment