PERAN
KEPALA SEKOLAH DAN GURU PAI DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Pengembangan Kurikulum PAI”
Dosen
Pengampu :
Dr. Marno Nurullah, M.Pd
Pemakalah
:
MUHAMMAD FURQAN
(16771006)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
PERAN KEPALA SEKOLAH DAN GURU PAI DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
Oleh:
MUHAMMAD
FURQAN (16771006)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A.
Dasar Pemikiran
Salah satu komponen penting dari sistem pendidikan
adalah kurikulum.[1] Kurikulum[2] merupakan
salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, sekaligus merupakan
pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran pada semua jenis dan jenjang
pendidikan. Kurikulum harus sesuai dengan falsafah dan dasar negara, yaitu
Pancasila dan UUD 1945 yang menggambarkan pandangan hidup suatu bangsa.
Tujuan dan pola kehidupan suatu negara banyak ditentukan oleh sistem kurikulum
yang digunakannya, mulai dari kurikulum taman kanak-kanak sampai dengan
kurikulum perguruan tinggi. Jika terjadi perubahan sistem ketatanegaraan, maka
dapat berakibat pada perubahan sistem pemerintahan dan sistem pendidikan,
bahkan terhadap sistem kurikulum yang berlaku.[3]
Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam[4] di era globalisasi ini dapat dilakukan dengan
dua cara: Pertama, memperhatikan
aspek pembinaan keagamaan (aqidah, ibadah, dan akhlak), penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, wawasan kebangsaan, kemanusiaan dan globalisasi yang
disesuaikan dengan tingkat kejiwaan dan kecerdasan anak. Kedua, memperhatikan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik, serta
faktor-faktor lainnya yang memengaruhi paradigma baru seluruh komponen
pendidikan, yaitu visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik, peserta
didik, sarana prasarana, pengelolaan dan sebagainya.[5]
Sekolah adalah lembaga yang bersifat kompleks dan unik.
Bersifat kompleks karena sekolah sebagai organisasi di dalamnya terdapat
berbagai dimensi yang satu sama lain saling berkaitan dan saling menentukan.
Sedangkan sifat unik, menunjukkan bahwa sekolah sebagai organisasi memiliki
ciri-ciri tertentu yang tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lain.
Ciri-ciri yang menempatkan sekolah memiliki karakter tersendiri, dimana terjadi
proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan kehidupan umat
manusia.
Karena sifatnya yang kompleks dan unik, sekolah sebagai
organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Keberhasilan sekolah
adalah keberhasilan kepala sekolah. Kepala sekolah yang berhasil apabila mereka
memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta
mampu melaksanakan peranan kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi
tanggung jawab untuk memimpin sekolah.
Pengembangan kurikulum melibatkan banyak pihak, terutama
guru yang bertugas di kelas.[6] Dengan demikian, guru selalu dituntut untuk meningkatkan
kemampuannya sesuai dengan perkembangan kurikulum, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan masyarakat. Oleh karena itu,
penguasaan guru terhadap kurikulum merupakan suatu hal yang mutlak dan menjadi
kewajibannya.[7]
Guru merupakan salah satu faktor penting dalam
implementasi kurikulum. Bagaimana idealnya suatu kurikulum tanpa ditunjang oleh
kemampuan guru untuk mengimplementasikannya, maka kurikulum itu tidak akan bermakna sebagai suatu
alat pendidikan; dan sebaliknya pembelajaran tanpa kurikulum sebagai pedoman
tidak akan efektif. Dengan demikian peran guru dalam mengimplementasikan kurikulum memegang posisi kunci. Dalam proses pengembangan kurikulum peran guru lebih banyak dalam tatanan kelas.[8] Kelas konsep,
prinsip, nilai, pengetahuan, metode, alat, dan kemampuan guru diuji dalam
bentuk perbuatan, yang akan mewujudkan bentuk kurikulum yang nyata dan hidup.[9]
Berdasarkan pemaparan di atas, maka
dinilai sangat perlu dalam makalah ini untuk membahas lebih lanjut mengenai
peran kepala sekolah dan guru pendidikan agama Islam dalam pengembangan
kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI).
B.
Pengertian
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
(PAI)
Pada dasarnya pengembangan kurikulum adalah mengarahkan
kurikulum sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan karena adanya berbagai
pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau dari dalam sendiri
(internal), dengan harapan agar peserta didik dapat menghadapi dan memahami
masa depannya dengan baik sebagai anak dan generasi penerus bangsa.
Definisi lain menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum
adalah proses perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana kurikulum yang
luas dan spesifik. Proses ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian
berbagai komponen situasi belajar mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian kurikulum dan spesifikasi tujuan
yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber, dan alat pengukur pengembangan kurikulum yang
mengacu pada kreasi sumber unit, rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum lainnya untuk memudahkan proses belajar mengajar.[10]
Pengembangan kurikulum harus mengacu pada sebuah
kerangka umum, yang berisikan hal-hal yang diperlukan dalam pembuatan
keputusan, di antaranya asumsi, tujuan pengembangan kurikulum,[11] penilaian kebutuhan, konten kurikulum,[12] sumber materi
kurikulum, implementasi kurikulum dan Evaluasi kurikulum.
Dalam tataran praktis, diperlukan adanya pelaksana atau
Sumber Daya Manusia (SDM). Sumber Daya Manusia (SDM) pengembangan kurikulum
adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik yang dimiliki oleh
setiap pengembang kurikulum dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Sumber daya
manusia tersebut terdiri atas berbagai pakar ilmu pendidikan, administrator pendidikan, guru, ilmuwan, orang tua, siswa, dan tokoh masyarakat.[13]
Unsur ketenagaan tersebut dapat dibagi menjadi dua
kategori, yaitu tenaga professional dan tenaga dari masyarakat. Tenaga
professional meliputi tenaga kependidikan guru, tenaga kependidikan non-guru
dan organisasi professional. Adapun tenaga dari masyarakat meliputi tokoh
masyarakat, orang tua, komite sekolah atau dewan sekolah, pihak industri dan
bisnis, lembaga sosial masyarakat, instansi pemerintah atau departemen dan
non-departemen, serta unsur-unsur masyarakat yang berkepentingan terhadap
pendidikan.
Pendidikan Agama Islam adalah bagian integral daripada
pendidikan Nasional sebagai suatu keseluruhan. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 ayat 1 menjelaskan bahwa
kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat antara lain pendidikan agama. Dalam penjelasaannya dinyatakan
bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.[14]
Pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI)
dapat diartikan sebagai:
a. Kegiatan menghasilkan kurikulum PAI, atau
b.
Proses
yang mengkaitkan satu komponen dengan yang lainnya untuk menghasilkan
kurikulum PAI yang lebih baik; dan/ atau
Dapat dikemukakan disini bahwa pengembangan kurikulum
PAI harus dan perlu diupayakan secara terus menerus guna merespon dan
mengantisipasi pengembangan dan tuntutan yang ada tanpa harus menunggu
pergantian Menteri Pendidikan Nasional atau Menteri Agama. Apabila saat
ini masyarakat sudah memasuki era globalisasi (informasi teknologi), baik di
bidang ilmu pengetahuan maupun sosial, politik, budaya dan etika. Hal ini akan
berimplikasi pada banyaknya masalah pendidikan yang harus segera diatasi, tanpa
harus menunggu- nunggu keputusan dari atas.
Di sinilah, Kepala Sekolah dan Guru PAI merupakan salah satu faktor
penting dalam pengembangan kurikulum. Bagaimanapun idealnya suatu kurikulum tanpa
ditunjang oleh kemampuan Kepala Sekolah dan Guru PAI untuk mengembangkannya,
maka kurikulum itu tidak akan bermakna sebagai suatu alat pendidikan, dan
sebaliknya pembelajaran tanpa kurikulum sebagai pedoman tidak akan efektif.
Dengan demikian peran Kepala Sekolah
dan Guru PAI dalam hal ini adalah sebagai posisi kunci. Oleh karena itu, proses
mendesain dan merancang suatu kurikulum mesti memerhatikan sistem nilai (value system) yang berlaku beserta
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat itu. Kurikulum berfungsi
mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh peserta didik sesuai dengan
bakat dan minatnya yang sejalan dengan nilai-nilai relegiusitas Islam.
C. Peran Kepala Sekolah dalam Pengembangan
Kurikulum PAI
Kepala sekolah/madrasah dalam satuan pendidikan merupakan
pemimpin. Ia mempunyai dua jabatan dan peran penting dalam melaksanakan proses
pendidikan. Pertama, kepala sekolah adalah pengelola pendidikan di sekolah, dan
kedua, kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan di sekolahnya.[16]
Selanjutnya, Soewadji Lazaruth menjelaskan kepala
sekolah adalah pemimpin pendidikan yang mempunyai peranan sangat besar dalam mengembangkan
mutu pendidikan di sekolah. Berkembangnya semangat kerja, kerja sama yang
harmonis, minat terhadap perkembangan pendidikan, suasana kerja yang
menyenangkan dan perkembangan mutu profesional di antara para guru banyak
ditentukan oleh kualitas kepemimpinan kepala
sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan kepala sekolah harus mampu menolong
stafnya untuk memahami tujuan bersama yang akan dicapai. Kepala sekolah harus
memberi kesempatan kepada staf untuk saling bertukar pendapat dan gagasan
sebelum menentukan tujuan.[17]
Dengan demikian, kesimpulannya bahwa kepala sekolah adalah seorang guru yang
mendapat tugas tambahan di mana kepala sekolah merupakan orang yang paling
bertanggung jawab terhadap aplikasi prinsip-prinsip administrasi pendidikan
yang inovatif di sekolah. Sebagai orang yang mendapat tugas tambahan berarti
tugas pokok kepala sekolah tersebut adalah guru yaitu sebagai tenaga pengajar
dan pendidik. Sehingga dapat dipahami bahwa kepala sekolah menduduki dua fungsi
yaitu sebagai tenaga kependidikan dan sebagai pendidik.
Sejumlah pakar sepakat bahwa kepala sekolah harus mampu
melaksanakan pekerjaannya sebagai edukator, manajer, administrator dan
supervisor, yang disingkat EMAS. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan
kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman, kepala sekolah juga harus mampu
berperan sebagai leader, inovator dan
motivator di sekolahnya. Dengan demikian, dalam paradigma baru manajemen
pendidikan, kepala sekolah minimal harus mampu berfungsi sebagai edukator,
manajer, administrator, supervisor, leader,
inovator dan motivator, disingkat EMASLIM.
Perspektif ke depan mengisyaratkan bahwa kepala sekolah
juga harus mampu berperan sebagai figur dan mediator bagi perkembangan
masyarakat dan lingkungan. Jika mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala
Sekolah/Madrasah, maka kepala sekolah juga harus berjiwa wirausaha. Dengan
demikian, pekerjaan kepala sekolah semakin hari semakin meningkat dan akan selalu
meningkat sesuai dengan perkembangan pendidikan yang diharapkan. Dalam hal ini
pekerjaan kepala sekolah tidak hanya dalam kerangka EMASLIM, tetapi akan
berkembang menjadi EMASLIM-F karena kepala sekolah juga sebagai pejabat formal.
Semua itu harus dipahami oleh kepala sekolah dan yang lebih penting adalah
bagaimana kepala sekolah mampu mengamalkan dan menjadikan fungsi-fungsi
tersebut dalam bentuk aksi nyata di sekolah.
Pelaksanaan tugas dan fungsi kepala sekolah tidak dapat
dipisahkan satu sama lain karena saling terkait dan saling mempengaruhi serta
menyatu dalam pribadi seorang kepala sekolah profesional. Kepala sekolah yang demikian
akan mampu mendorong visi dan misi menjadi aksi dalam paradigma baru
manajemen pendidikan.[18] Kepala sekolah merupakan tokoh kunci dalam
manajemen sekolah. Padanyalah kebijakan dan keputusan mengenai berbagai hal.
Secara umum, peran dan
fungsi kepala sekolah adalah sebagai berikut. Pertama, peran sebagai sebagai manajer. Sebagai manajer, kepala sekolah bertanggung jawab atas manajemen
sekolah. Kepala sekolah harus dapat mengkoordinasikan kegiatan, merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, memimpin, dan mengendalikan segenap usaha
pencapaian tujuan pendidikan. Lalu,
bagaimana implementasinya dalam pengembangan kurikulum sekolah?
Dalam aspek perencanaan,
kepala sekolah merupakan pelaku yang selalu terlibat dan bahkan sering menjadi
tumpuan dalam kegiatan perencanaan dan pengembangan kurikulum, mulai dari
konsep hingga hal-hal yang lebih teknis. Bisa jadi ia tidak terlibat secara
fisik pada keseluruhan kegiatan perencanaan, namun kepala sekolah terus
melakukan pemantauan dari waktu ke waktu.
Dalam aspek
pengorganisasian, kepala sekolah mengorganisasikan unsur-unsur, baik unsur
manusia maupun unsur nonmanusia. Unsur-unsur itu diorganisasikan untuk
membangun sinergi antar unsur.
Dari sinergi tersebut tercipta daya baru dengan kualitas yang lebih bernilai
bagi pengembangan kurikulum sekolah.
Dalam aspek pelaksanaan,
kepala sekolah juga sebagai pelaksana lapangan. Ia adalah orang yang mengkoordinasikan pengembangan kurikulum, dan sekaligus menerjadikan atau menerapkan
kuirikulum. Kepala sekolah mengemban tugas memimpin. Dalam hal ini kepala sekolah mengarahkan dan memberi komando. Hal yang mendasar di sini adalah kepala sekolah
harus berperan sebagai penanggung jawab atas pengembangan kurikulum sekolah.
Kedua, peran sebagai inovator. Sebagai tokoh penting di sekolah, kepala sekolah
harus mampu melahirkan ide-ide baru yang kreatif. Pengembangan kurikulum sering
kali bermula dari gagasan kepala sekolah. Mengingat kedudukannya sebagai pihak
yang mengemban tanggung jawab atas sekolah yang dipimpinnya, maka pada diri
kepala sekolah cenderung muncul dorongan-dorongan untuk terus memajukan
sekolah. Karena kewenangan yang dimilikinya, ide-ide barunya menjadi lebih
terbuka untuk diimplementasikan di sekolah. Begitu pula dalam konteks
pengembangan kurikulum sekolah ini. Kepala sekolah harus mampu manghadirkan
inspirasi dan ide pembaharuan, sehingga program
sekolah (kurikulum) yang dijalankan senantiasa aktual/mutakhir.
Ketiga, peran sebagai fasilitator. Dalam pengembangan kurikulum, pelaksana teknis
pengembangan biasanya tidak langsung oleh kepala sekolah, melainkan oleh tim
khusus yang ditunjuk. Namun demikian, kepala sekolah terus melakukan komunikasi
dengan tim itu dan memfasilitasinya untuk mengatasi berbagai persoalan yang
muncul. Kepala sekolah harus membantu mengatasi persoalan, melayani konsultasi tim,
dan sebagainya.
Kepala sekolah mempunyai kedudukan strategis dalam pengembangan kurikulum. Sebagai pemimpin professional, ia
menerjemahkan perubahan masyarakat dan kebudayaan, termasuk generasi muda, ke
dalam kurikulum. Dialah tokoh utama yang mendorong guru agar senantiasa
melakukan upaya-upaya pengembangan, baik bagi diri guru maupun tugas
keguruannya. Karena itu, kepala sekolah perlu mempunyai latar belakang yang
mendalam tentang teori dan praktik kurikulum. Perubahan kurikulum hanya akan berjalan dengan dukungan dan dorongan kepala
sekolah. Ia dapat membangkitkan
atau mematikan perubahan kurikulum di sekolahnya.
Masih banyak pihak lain,
selain kepala sekolah, yang dapat membantu pengembangan kurikulum. Namun
demikian, kepala sekolah dan guru merupakan pemeran utama, yang perlu menerima,
mempertimbangkan, dan memutuskan
apa yang akan dimasukkan dalam kurikulum sekolah. Kepala sekolah dan stafnya mesti bekerja dalam
kerangka patokan yang ditetapkan oleh
Depdiknas.[19]
Dalam hal ini jika dikaitkan dengan pengembangan
kurikulum, maka dapat diartikan bahwa pengembangan kurikulum, terutama
pengembangan kurikulum PAI yang dilakukan oleh setiap lembaga pendidikan, maka
dengan kekuatan yang terpusat, Kepala Sekolah memiliki wewenang untuk ikut
memberikan suatu kontribusi baik berupa pemikiran, kebijakan, dan lainnya
terkait dengan upaya pengembangan kurikulum PAI tersebut. Setiap dewan
pelaksana dan pengembang kurikulum dalam sekolah tersebut perlu menyelaraskan
segenap rancangan kurikulum tersebut dengan kebijakan yang terpusat kepada
Kepala Sekolah. Sehingga di sini, terdapat adanya saling kerjasama antara dewan
pengembang kurikulum dengan Kepala Sekolah yang sama-sama memiliki peranan
besar atas adanya pengembangan kurikulum yang terdapat dalam sekolah tersebut.
Di samping itu, Kepala Sekolah dan Dewan pengembang
kurikulum PAI harus memperhatikan segala aspek kurikulum tersebut terutama
dalam hal-hal yang berdampak langsung terhadap para siswa dan juga pendidik
yang nantinya secara praktis akan menerapkan kurikulum tersebut. Satu hal lagi yang menjadi peranan penting Kepala Sekolah dalam
lembaga pendidikan yakni mengadakan pembinaan kurikulum di Sekolah yang
bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan sekolah agar dapat mencapai tujuan
pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dan Negara.[20]
D.
Peran Guru
PAI dalam Pengembangan Kurikulum PAI
Istilah guru berbeda-beda dalam bahasa asing, antara
lain: sensei (Jepang), teacher (Inggris), der Lehrer (Jerman), ustadz,
mudarris, mu’allim, dan mu-
addib (Arab). Istilah-istilah tersebut secara umum dialamatkan pada
orang yang mengajar dan mendidik.[21] Dengan
demikian, orang-orang yang profesinya mengajar
disebut guru, baik
guru di sekolah
maupun di luar
sekolah. Dalam Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru
dijelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,
dan menengah.[22]
Kurikulum sebagai alat pedoman bagi guru dalam
melaksanakan program pembelajaran dalam rangka untuk mencapai tujuan pendidikan
di mana guru itu mengajar. Guru sebagai pekerja profesional dituntut untuk
mampu merancang, melaksanakan dan mengevaluasi hasil usahanya sendiri dengan
sebaik-baiknya.[23] Guru adalah orang yang tahu persis situasi dan
kondisi diterapkannya kurikulum yang berlaku. Selain itu, guru bertanggung
jawab atas terciptanya hasil belajar yang diinginkan.[24] Dengan
demikian, guru selalu dituntut untuk meningkatkan kemampuannya sesuai
dengan perkembangan kurikulum,
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, penguasaan kurikulum
bagi guru merupakan suatu hal yang mutlak dan menjadi kewajibannya.[25]
Pada pembahasan ini, penulis mengacu kepada uraian
Murray Print (1993), sebagai mana
dikutip oleh Wina Sanjaya, dalam konteks hubungan guru dan kurikulum,
pengembangan kurikulum menjadi tugas penting yang harus dilaksanakan oleh semua
pengembang kurikulum, termasuk guru, di setiap tingkat pendidikan. Setidaknya
ada empat peran yang harus dijalankan
oleh guru dalam mengembangkan
kurikulum, yaitu: (1) sebagai implementer
(pelaksana) kurikulum; (2) sebagai developer (pengembang)
kurikulum; (3) sebagai adapter (penyelaras)
kurikulum; dan (4) sebagai researcher (peneliti)
kurikulum.
Tidak hanya itu, dalam tulisan ini
juga dijelaskan peranan guru dalam pengembangan kurikulum ditilik dari segi
pengelolaannya, sebagaimana dipaparkan oleh Nana Syaodih Sukmadinata. Dilihat
dari segi pengelolaannya, pengembangan kurikulum dapat dibedakan antara yang
bersifat sentralisasi dan desentralisasi. Dan pada pembahasan ini, penulis
paparkan pula peranan peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat
sentral-desentral sebagai upaya pengkompromian atas keduanya.
1.
Peran Guru
dalam Pengembangan Kurikulum PAI Menurut Murray Printr
a.
Peran guru sebagai implementer
atau pelaksana kurikulum
Sebagai implementer
atau pelaksana kurikulum, guru berperan untuk menjalankan kurikulum yang
sudah ada. Dalam melaksanakan perannya guru hanya menerima berbagai kebijakan
perumus kurikulum yang dirancang secara terpusat dalam bentuk Garis-garis Besar
Program Pengajaran. Dalam GBPP yang berbentuk matriks telah ditentukan mulai
dari tujuan yang harus dicapai, materi yang harus disampaikan, metode dan media
yang harus digunakan, dan sumber belajar serta bentuk evaluasi sampai kepada
penentuan waktu kapan materi pelajaran harus disampaikan semuanya telah
ditentukan oleh pemerintah pusat sebagai pemegang kebijakan.
Kurikulum ini harus diaplikasikan oleh guru dalam setiap
proses pembelajaran di sekolah, khususnya di kelas. Dengan demikian, ruang
peran guru sebagai implementer kurikulum
tidak sampai kepada penentuan isi dan target kurikulum, tetapi hanya terbatas
pada penentuan kegiatan‐kegiatan pembelajaran, mulai dari perencanaannya sampai kepada
pelaksanaannya. Dalam peran ini, kedudukan
guru adalah sebagai
tenaga teknis yang hanya
bertanggung jawab dalam mengimplementasikan
berbagai ketentuan yang ada.[26]
Adapun peran dan tanggung jawab guru dalam pelaksanaan
kurikulum PAI adalah seperti berikut:
1) Melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan rencana pembelajaran.
2) Menerapkan model pembelajaran yang sesuai
dengan materi pelajaran dan lingkungan sekolah.
3) Memanfaatkan media pembelajaran yang sesuai
dengan materi dan kondisi sekolah.
4) Menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan.
5) Mengembangkan interaksi pembelajaran (strategi,
metode dan teknik yang tepat).
6) Mengelola kelas dengan baik dan sesuai dengan
alokasi waktu yang tersedia.
7) Merefleksikan pelaksanaan proses pembelajaran
yang dilakukan.
8) Berkonsultasi dengan kepala Madrasah/Pengawas
untuk mengatasi kendala.
9)
Membantu
kesulitan siswa dalam proses belajar.
Proses implementasi kurikulum untuk
semua bidang studi atau mata pelajaran, khususnya PAI selalu menggambarkan
keterkaiatan proses dengan tujuan dan konten, kejelasan teori belajar,
keterkaitan dengan sosial, budaya, teknologi, ketersediaan fasilitas alat,
alokasi waktu, fleksibilitas, peran guru dan peserta didik, peran evalusi dan
perlunya feedback.[27]
b.
Peran guru
sebagai developer atau pengembang kurikulum
Sebagai developer,
guru sebagai pengembang kurikulum mempunyai kewenangan dalam
mendesain sebuah kurikulum. Guru bukan saja dapat menentukan tujuan dan isi
pelajaran yang akan diberikan kepada siswa, tetapi juga dapat menentukan metode
dan strategi apa yang akan dikembangkan serta bagaimana mengukur keberhasilannya.
Sebagai pengembang kurikulum sepenuhnya guru dapat menyusun kurikulum sesuai
dengan karakteristik, visi dan misi sekolah, serta sesuai dengan pengalaman
belajar yang dibutuhkan siswa. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan
masing-masing sekolah.
Dalam kaitannya posisi guru sebagai developer atau pengembang kurikulum.
Guru dituntut aktif, kreatif, dan komitmen tinggi dalam penyusunan dokumen
kurikulum PAI, seperti:
1) Mengikuti in
house training tentang konsep dasar dan pengembangan kurikulum.
2) Berperan aktif dalam tim perekayasa dan
pengembang kurikulum sesuai dengan kelompok bidang studi.
3) Berperan aktif dalam penyusunan standar isi dan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
4) Berperan aktif dalam menyusun Standar
Kompetensi (SK) dan Kopetensi Dasar (KD) serta
pemetaannya.
5) Mengembangkan silabus pembelajaran.
6)
Menyusun
RPP dan perangkat operasional yang mendukung RPP, seperti Lembar Kerja Siswa
dan bahan ajar (seperti modul pembelajaran).
c.
Peran guru
sebagai adapter atau penyelaras kurikulum
Sebagai adapter, guru memiliki kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum dengan
karakteristik sekolah dan kebutuhan lokal (kebutuhan siswa dan daerah). Dalam fase ini, tugas pertama
seorang guru adalah memahami dengan baik karakteristik sekolahnya, tugas kedua
adalah mengakomodir kebutuhan‐kebutuhan masyarakat dan daerahnya, dan tugas ketiga adalah membuat
desain kurikulum sekolah sesuai kebutuhan madrasah dan masyarakat lokal.
Berikut ini adalah langkah-langkah memahami karakteristik dan kebutuhan masyarakat di sekitar
madrasah atau sekolah, yaitu:
1) Mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan
masyarakat terhadap madrasah atau sekolah. Kegiatan ini dilakukan untuk
menelaah dan mendata berbagai keadaan dan kebutuhan sekitar madrasah yang
bersangkutan. Data tersebut dapat diperoleh dari berbagai pihak yang terkait di
daerah sekitar madrasah yang bersangkutan seperti masyarakat sekitar madrasah,
Pemda/Bappeda, Instansi vertikal terkait, Perguruan Tinggi, dunia usaha/industri,
dan potensi daerah yang bersangkutan yang meliputi aspek sosial, ekonomi,
budaya, dan kekayaan alam.
2) Menentukan fungsi dan susunan atau komponen
muatan yang sesuai dengan kebutuhan madrasah dan masyarakat sekitar.
3) Berdasarkan fungsi muatan dan kebutuhan lembaga
tersebut dapat ditentukan kajian kebutuhan lokal. Kegiatan ini pada dasarnya
untuk mendata dan mengkaji berbagai kemungkinan muatan lokal yang dapat
diangkat sebagai bahan kajian sesuai dengan dengan keadaan dan kebutuhan
madrasah.
4) Menentukan Mata Pelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan madrasah dan masyarakat. Berdasarkan bahan kajian
kebutuhan lembaga tersebut dapat ditentukan mata pelajaran dan
kegiatan pembelajarannya. Kegiatan pembelajaran ini pada dasarnya
dirancang agar bahan kajian kebutuhan
lokal dapat memberikan bekal pengetahuan, keterampilan dan perilaku
kepada peserta didik agar mereka memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap
perilaku yang sesuai dengan harapan lembaga dan masyarakat sekitar sesuai
dengan nilai-nilai atauaturan yang berlaku di lingkungan madrasah danmendukung
kelangsungan pembangunan daerah serta pembangunan nasional.
5)
Mengembangkan
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta
silabus.[28]
Korelasinya dengan pendidik atau guru sebagai adapter atau penyelaras kurikulum PAI, seorang guru dituntut untuk
memahami situasi, kondisi dan momentum karakteristik yang ada di sekolahnya,
sehingga dapat melaksanakan tugas guru sebagai adapter dalam penerapan kurikulum PAI di institusinya sendiri.
d.
Peran guru sebagai researcher
atau peneliti kurikulum
Sebagai researcher, sebagai fase terakhir adalah peran guru sebagai peneliti
kurikulum. Peran ini dilaksanakan sebagai bagian dari tugas profesional guru
yang memiliki tanggung jawab dalam meningkatkan kinerjanya sebagai guru.
Dalam peran sebagai peneliti, guru memiliki tanggung jawab untuk menguji
berbagai komponen kurikulum, misalnya menguji bahan-bahan kurikulum, menguji efektivitas
program, menguji strategi
dan model pembelajaran, dan termasuk
mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai target kurikulum. Salah satu
metode yang disarankan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK),
yaitu metode penelitian yang berangkat dari masalah yang dihadapi guru dalam
implementasi kurikulum. Dengan penelitian ini, guru dapat memecahkan masalah
yang dihadapinya. Dengan demikian, dengan PTK bukan
saja dapat menambah
wawasan keilmuwan guru, tetapi guru juga dapat meningkatkan
kualitas kinerjanya.[29]
Pada era globalisasi seperti ini,
madrasah dengan melibatkan guru, harus melakukan reformasi dan inovasi dalam
proses belajar mengajar dan kurikulum secara terus menerus. Untuk dapat
melakukan reformasi dan inovasi pendidikan, diperlukan dukungan empirik yang
dihasilkan melalui kegiatan penelitian. Jika tidak,
guru akan terisolasi dari pengetahuan dan informasi mutakhir. Tanpa ada
dukungan penelitian, proses pendidikan akan mandek dan reformasi serta inovasi
mustahil dapat dilakukan. Hasil penelitian dapat membantu guru untuk mengambil
keputusan yang tepat dan akurat untuk kepentingan proses belajar mengajar dan
pembenahan kurikulum. Jika keputusan tersebut dibantu dengan hasil
penelitian, proses belajar mengajar dan kurikulum dapat dicapai dengan optimal dan
efektif. Pembelajaran yang efektif merupakan hal yang kompleks dan rumit untuk dapat
dikonsepsikan dan dibentuk paradigmanya secara tunggal dan universal.[30]
Peserta didik adalah insan manusia yang unik. Mereka tidak dapat
diperlakukan seperti benda mati
yang dapat dikendalikan
semaunya oleh semua pihak. Mereka
memiliki minat, bakat, keinginan, motivasi, dan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda.
Perbedaan ini membuat sulitnya merumuskan proses belajar dan mengajar serta
penyusunan kurikulum yang ideal. Tanpa dukungan hasil penelitian, guru dapat
terjebak pada praktik pembelajaran dan perumusan kurikulum yang menyesatkan dan
menjerumuskan peserta didik dan mematikan kreativitas mereka. Tanpa dukungan
penelitian, guru bisa jadi menggunakan cara pembelajaran dan mengajarkan hal
yang sama dari tahun ke tahun. Sementara itu,
zaman di mana peserta didik dibesarkan telah berubah amat
cepat sehingga pada gilirannya akan berpengaruh pada sikap dan reaksi terhadap
berbagaituntutan zaman. Di sinilah peran vital guru PAI untuk selalu terus haus sebagai
peneliti kurikulum (PAI) yang mampu memahami kondisi zaman.
2.
Peran Guru
dalam Pengembangan Kurikulum PAI Dilihat dari Segi Pengelolaan Kurikulum
Di lihat dari segi pengelolaannya, menurut
Nana Syaodih Sukmadinata, pengembangan kurikulum dapat dibedakan, yaitu yang besifat
sentralisasi dan desentralisasi. Untuk mengkompromikan antara keduanya di sini penulis
paparkan pula peranan peranan guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat
sentral- desentral.
a.
Peran guru
dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi
Dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi
merupakan kurikulum yang disusun oleh tim khusus di tingkat pusat yang terdiri
atas para ahli. Dalam kurikulum ini, guru tidak mempunyai peranan dalam
perancangan, dan evaluasi kurikulum yang bersifat makro, mereka lebih berperan
dalam kurikulum mikro. Penyusunan
kurikulum mikro dijabarkan
dari kurikulum makro.[31]
Dengan demikian jelaslah bahwa yang menjadi tugas guru
dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi adalah untuk menyusun
dan merumuskan tujuan yang tepat, memilih dan menyusun bahan pelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, dan tahap perkembangan anak, memiliki
metode dan media pembelajaran yang bervariasi, serta menyusun program dan alat evaluasi yang tepat. Suatu kurikulum
yang tersusun secara sistematis dan rinci akan memudahkan guru dalam
mengimplementasikannya. Walaupun kurikulum sudah tersusun
rapi, tetapi guru masih mempunyai tugas untuk mengadakan penyempurnaan dan
penyesuaian-penyesuaian.[32]
Pengembangan kurikulum yang bersifat sentralisasi ini
memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan-kelebihannya, yaitu mendukung terciptanya
persatuan dan kesatuan bangsa, tercapainya
standar minimal penguasaan atau perkembangan anak, dan model pengembangan
kurikulum seperti ini mudah untuk dikelola, dimonitor dan dievaluasi, serta
lebih hemat biaya, waktu, dan fasilitas. Sedangkan kelemahannya, pertama, menyeragamkan kondisi yang
berbeda-beda keadaan dan tahap perkembangan intelek, alam dan sosial budayanya
sangat sulit sekali. Penyeragaman bisa menghambat kreatifitas, dapat
memperlambat kemajuan sekolah yang sudah mapan dan menyeret sekolah yang masih
terbelakang. Kedua, dalam penilaian
hasil kurang objektif. Dalam kurikulum yang seragam, penilaian sering dilakukan
secara seragam pula. Yang dimaksud dengan seragam dalam penilaian yaitu
kesamaan di dalam segi yang dinilai, prosedur, dan alat penilaian serta standar
penilaian. Ketiga, memberikan
gambaran hasil yang beragam dan menunjukkan adanya perbedaan yang sangat
ekstrim. Bagi sekolah-sekolah yang kebetulan baik dapat menimbulkan sikap
sombong, sedangkan bagi sekolah yang hasilnya jelek akan mengakibatkan rasa
rendah diri serta adanya cemohan dari berbagai
pihak, dalam situasi
seperti ini bukan
tidak mungkin akan
terjadi
pembocoran soal, ketidakjujuran dalam penilaian, dan
sebagainya.[33]
b.
Peran guru dalam pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi
Kurikulum desentralisasi disusun oleh sekolah atau
kelompok sekolah tertentu dalam suatu wilayah atau daerah. Kurikulum ini
diperuntukkan bagi suatu sekolah atau lingkungan wilayah tertentu. Pengembangan
kurikulum semacam ini didasarkan
atas karakteristik, kebutuhan, perkembangan daerah serta kemampuan sekolah atau
sekolah-sekolah tersebut.[34] Bentuk
pengembangan kurikulum seperti ini juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan-kelebihannya
meliputi:
1) Kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat.
2) Kurikulum sesuai dengan tingkat dan kemampuan sekolah baik kemampuan profesional,
finansial maupun manajerial.
3) Disusun oleh guru-guru sendiri yang memang
mengerti kondisi dan perkembangan anak didik sehingga mudah dalam implementasinya
4)
Memotivasi
guru untuk mengembangkan diri, mencari dan menciptakan kurikulum yang
sebaik-baiknya, dengan demikian akan terjadi semacam kompetisi dalam
pengembangan kurikulum.
Kelemahan-kelemahannya meliputi:
1) Tidak adanya keseragaman, untuk situasi yang
membutuhkan keseragaman demi persatuan dan kesatuan nasional, bentuk ini kurang tepat.
2) Tidak adanya standar penilaian yang sama, jadi
sulit untuk dibandingkan dengan sekolah atau wilayah lain.
3) Adanya kesulitan bila terjadi perpindahan siswa
ke sekolah atau ke wilayah lain.
4) Sulit untuk mengadakan pengelolaan dan
penilaian secara nasional.
5)
Tidak
semua sekolah atau daerah memiliki kesiapan untuk menyusun dan mengembangkan
kurikulum sendiri.[35]
c.
Peran guru
dalam pengembangan kurikulum yang bersifat sentral- desentral
Pengembangan kurikulum ini bertujuan untuk mengatasi
kedua bentuk kurikulum tersebut, bentuk campuran antara keduanya bisa
digunakan, yaitu bentuk sentral-desentral. Beberapa waktu yang lampau di
perguruan tinggi di Indonesia memakai model pengembangan kurikulum yang
bersifat desentralisasi. Tiap universitas, institut, atau akademi memiliki
otonomi untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri, satu berbeda dengan
yang lainnya. Dewasa ini kadar
desentralisasinya mulai berkurang, dengan adanya usaha-usaha ke arah penyeragaman.
Untuk beberapa perguruan tinggi sejenis dikembangkan kerangka kurikulum dan
kelompok-kelompok mata kuliah program inti yang seragam.
Dalam kurikulum yang dikelola secara desentralisasi dan
juga yang sentral-desentral, peranan guru dalam pengembangan kurikulum ini jauh
lebih besar dibandingkan dengan yang dikelola secara sentralisasi. Guru-guru
juga turut berpartisipasi, bukan hanya menjabarkan kurikulum induk ke dalam program tahunan,
program semester, catur wulan maupun ke dalam satuan pelajaran, tetapi juga di dalam menyusun
kurikulum secara keseluruhan untuk sekolahnya. Guru- guru juga ikut andil dalam
merumuskan setiap komponen dan unsur dari kurikulum itu sendiri sehingga mereka
mempunyai perasaan turut memiliki kurikulun dan terdorong untuk mengembangkan
kemampuan dan pengetahuannya dalam pengembangan kurikulum.[36]
Karena itulah guru-guru sejak awal penyusunan kurikulum
telah diikutsertakan, mereka akan memahami dan betul-betul menguasai
kurikulumnya, dengan demikian pelaksanaan kurikulum di dalam kelas akan lebih
tepat dan lancar. Guru bukan hanya berperan sebagai pengguna, tetapi sebagai
perencana, pemikir, penyusun, pengembang, pelaksana, dan evaluator kurikulum.[37]
Dari dua pendapat di atas, menurut penulis, secara
substansi tidak ada perbedaan, seperti halnya peran guru sebagai pelaksana
kurikulum (implementer) seperti yang dikemukakan oleh Murray Printr itu sama
dengan peran guru dalam Syaodih Sukmadinata, di mana peran guru dalam
pengembangan kurikulum hanya sebagai pelakasana dari kurikulum yang telah
disusun oleh tim khusus di tingkat pusat. Guru tidak mempunyai ruang untuk
menentukan isi kurikulum maupun target dari kurikulum itu sendiri. Begitu juga
dengan peran guru sebagai penyelaras (adapter) itu juga sama dengan peran guru
dalam pengembangan kurikulum yang bersifat desentralisasi, di mana dalam
pengembangan ini guru diberikan wewenang untuk menyusun dan menyesuaikan
kurikulum yang sudah ada sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan
perkembangan daerah serta kemampuan sekolah tersebut.
Dalam konteks pengembangan kurikulum pendidikan agama
Islam, merupakan tuntutan peran yang harus diperankan oleh guru adalah untuk
menumbuhkan nilai-nilai Ilahiyah yang selaras dengan nilai-nilai Islam terhadap
mental peserta didik, nilai Ilahiyah tersebut berkaitan dengan konsep tentang
ke- Tuhan-an dan segala sesuatu bersumber dari Tuhan. Nilai Ilahiyah berkaitan
dengan nilai Imaniyah, Ubudiyah dan Muamalah, dalam hal ini guru harus berusaha
sekuat tenaga untuk mengembangkan diri peserta didik terhadap nilai- nilai
tersebut.
Peran guru dalam menumbuhkan
nilai-nilai Ilahiyah akan lebih meningkat apabila disertai dengan berbagai
perubahan, penghayatan, dan penerapan strategi dengan perkembangan jiwa peserta
didik yang disesuaikan dengan jiwa peserta didik. Dengan demikian, guru PAI
haruslah melakukan berbagai upaya dalam pengembangan kurikulum PAI dengan
berbagai cara yang bersifat adoptif, adaptif, kreatif, dan inovatif.
E. Penutup
Sebagai penutup dari makalah yang sangat sederhana ini,
penulis akan mencoba untuk sarikan beberapa poin penting, yaitu sebagai berikut:
1. Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses
perencanaan kurikulum agar menghasilkan rencana kurikulum yang luas dan spesifik. Proses
ini berhubungan dengan seleksi dan pengorganisasian berbagai komponen situasi
belajar-mengajar, antara lain penetapan jadwal pengorganisasian kurikulum dan
spesifikasi tujuan yang disarankan, mata pelajaran, kegiatan, sumber dan alat
pengukur pengembangan kurikulum yang mengacu pada kreasi sumber-sumber unit,
rencana unit, dan garis pelajaran kurikulum ganda lainnya, untuk memudahkan
proses belajar-mengajar
2. Adapun peran kepala sekolah dalam pengembangan
kurikulum PAI, dapat diklasifikasikan berdasarkan Permendikbud Nomor 13 Tahun
2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah bahwa kepala sekolah harus mampu
melaksanakan pekerjaannya sebagai sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator.
3. Adapun peran vital guru atau pendidik dalam
pengembangan kurikulum PAI, dapat diklasifikasikan menjadi dua segmentasi.
Pertama mengacu pada tipologi Murray Print dan kedua mengacu pada tipologi Nana
Syaodih Sukmadinata. Menurut Murray,
setidaknya ada empat peran yang harus dijalankan oleh guru dalam mengembangkan
kurikulum, yaitu sebagai implementer (pelaksana), developer (pengembang), adapter
(penyelaras) dan sebagai researcher (peneliti)
kurikulum. Sedangkan ditilik dari segi pengelolaannya, sebagaimana dipaparkan
oleh Nana S. Sukmadinata dapat dibedakan antara yang bersifat sentralisasi dan
desentralisasi, ditambahkan pula yang bersifat
sentral-desentral.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Kapita
Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan Islam,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Akhyar, Pengembangan Kurikulum PAI Madrasah Aliyah Berwawasan Multikultural,
dalam Jurnal Toleransi, Vol. 5 No. 1 Januari-Juni 2013.
Ali Mudlofir, Aplikasi
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Bahan Ajar Dalam
Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011.
Anas Salahudin, Filsafat
Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2011.
Ara Hidayat, Pengelolaan
Pendidikan: Konsep, Prinsip, dan Aplikasi dalam mengelola Sekolah/Madrasah,
Bandung: Kaukaba, 2012.
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2013. Lise
Chamisijatin, dkk., Bahan Ajar Cetak:
Pengembangan Kurikulum SD, dalam Unit 5,
Jakarta: Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, 2008.
M. Frances Klien, Politik
Pengambilan Keputusan tentang Kurikulum, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Mohammad Kosim, Pendidikan
Guru Agama Pergumulan dan Problema Kebijakan 1948-2011, Yogyakarta: Pustaka
Nusantara, 2012.
Najib Sulhan, Karakter
Guru Masa Depan Sukses & Bermartabat, Surabaya: JePe Press Media Utama,
2011.
Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2013.
Oemar Hamalik, Dasar-Dasar
Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008.
Permendikbud Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standar
Kepala Sekolah/Madrasah.
Saiful
Arif, Pengembangan Kurikulum, Pamekasan: STAIN
Pamekasan Press, 2009.
Sholeh Hidayat, Pengembangan
Kurikulum Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013.
Siswanto, Pendidikan
Islam dalam Dialektika Perubahan, Yogyakarta: SUKA- Press, 2012.
Soewadji Lazaruth, Kepala
Sekolah dan Tanggung Jawabnya, Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Suyanto dan Djihad Hisyam, Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III, Jakarta: Adicita
Karya Nusa, 2000.
Syaiful Sagala, Kemampuan
Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, Bandung: Alfabeta, 2009.
Syamsul Bahri,
Pengembangan Kurikulum Dasar dan Tujuannya, dalam Jurnal Ilmiah Islam
Futura, Volume XI, No. 1, Agustus 2011, hlm. 31.
Tim MEDP, Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam, 2008.
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN)
Nomor 20 Tahun 2003.
Wina Sanjaya,
Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013.
Yatim Riyanto, Pengembangan
Kurikulum dan Seputar Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP), Surabaya: Unesa University
Press, 2006.
Zainal Arifin, Konsep
dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014.
https://miftah19.wordpress.com
[2] Istilah kurikulum berasal dari bahasa
Latin, yaitu curriculum, yang artinya a running course
atau race course, especially a
chariot race course. Dalam
bahasa Prancis, courier, artinya
berlari (to run). Kemudian istilah
tersebut digunakan untuk sejumlah courses
atau mata kuliah yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar atau
ijazah. Lihat Anas Salahudin, Filsafat
Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 167.
[4] Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI)
adalah salah satu kurikulum dalam system pendidikan nasional di Indonesia yang wajib diberikan
pada semua jenjang pendidikan, mulai sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Di
dalam Undang-undang Nomor 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 37 Ayat 1, dinyatakan bahwa pendidikan agama bertujuan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa serta berakhlak mulia. Lihat Akhyar, Pengembangan
Kurikulum PAI Madrasah Aliyah Berwawasan Multikultural, dalam Jurnal
Toleransi, Vol. 5 No. 1 Januari-Juni 2013, hlm. 45.
[8] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013),
hlm. 28.
[11] Tujuan pengembangan kurikulum
juga harus memperhatikan tujuan institusional (tujuan lembaga/satuan
pendidikan), tujuan kurikuler (tujuan
bidang studi), dan tujuan instruksional (tujuan pembelajaran). Semuanya perlu dipertimbangkan dalam mengembangkan
kurikulum. Di sisi lain dapat ditegaskan bahwa tujuan pengembangan kurikulum
tidak dapat lepas dari tujuan pendidikan itu sendiri, sebab kurikulum merupakan
ujung tombak ideal dari visi, misi dan tujuan pendidikan sebuah bangsa. Lihat
Syamsul Bahri, Pengembangan Kurikulum
Dasar dan Tujuannya, dalam Jurnal Ilmiah Islam Futura, Volume XI, No. 1,
Agustus 2011, hlm. 31.
[12] Isi kurikulum bukan hanya terdiri atas
sekumpulan pengetahuan atau kumpulan informasi, tetapi harus
merupakan kesatuan pengetahuan terpilih dan dibutuhkan bagi pengetahuan, baik bagi pengetahuan itu sendiri, siswa maupun
lingkungannya. Lihat Nana Syaodih
Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum Teori
dan Praktik, hlm. 127.
[15] Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional sebagaimana dapat
dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan
bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Lihat Yatim Riyanto, Pengembangan Kurikulum dan Seputar Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Surabaya: Unesa University Press, 2006),
hlm. 5.
[18] Miftah, Peranan Kepala Sekolah Sebagai Supervisor (BAB II), dikutip melalui laman website https://miftah19.wordpress.com, diakses
pada tanggal 20 Maret 2017.
[20] Agatha Ayulinda, Fungsi dan Peran Kepala Sekolah Sebagai Supervisor Pendidikan,dikutip melalui laman website http://agathaayulinda.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 20 Maret 2017.
[27] Syaiful Sagala, Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, (Bandung:
Alfabeta, 2009), hlm. 156.
[30] Suyanto dan Djihad Hisyam, Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium
III, (Jakarta: Adicita Karya Nusa, 2000), hlm. 17.
[33] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan
Kurikulum, hlm. 198-199. Lihat juga M. Frances Klien, Politik Pengambilan Keputusan tentang Kurikulum, (Malang:
UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 305-306.
[36] Saiful Arif, Pengembangan
Kurikulum, hlm. 147.
No comments:
Post a Comment