LANDASAN
FUNDASIONAL
DALAM
PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
Revisi
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Pengembangan
Kurikulum PAI”
Dosen
Pengampu :
Dr.
Marno Nurullah, M.Pd
Pemakalah
:
Astrifidha
Rahma Amalia (16771014)
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Juni 2017
LANDASAN
FUNDASIONAL
DALAM
PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
A.
Dasar Pemikiran
Kurikulum Pendidikan Islam bersumber dari tujuan pendidikan Islam
seperti yang dirumuskan oleh Arifin yaitu merealisasikan manusia Muslim yang
beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya
kepada sang Khalik dengan sikap dan kepribadian yang bulat[1]. Rumusan
tujuan pendidikan Islam ini sangatlah relevan dengan rumusan tujuan pendidikan
Nasional yang mengutamakan pembentukan kepribadian yang utuh bisa juga
dikatakan sebagai complete personality[2]
dan bukanlah split personality (pribadi yang pincang).
Complete personality sangat
diinginkan oleh institusi-institusi penyelenggara pendidikan sebagai hasil
akhir dari pengembangan kurikulum khususnya dalam pengembangan kurikulum PAI.
Pengembangan kurikulum yang baik itu sendiri[3],
membutuhkan landasan yang kuat dan kokoh agar tujuan pendidikan terfokus dan
selaras dengan prosedur pengembangan kurikulum atau bisa dikatakan tidak
ngawur. Dengan landasan yang kuat tersebut diharapkan kurikulum pendidikan
akan mencapai keberhasilan yang maksimal untuk mengantarkan rakyat Indonesia
menuju pendidikan yang lebih baik lagi terutama dalam pendidikan Islam
tentunya.
Upaya pengembangan kurikulum selalu dilakukan sesuai dengan
kebutuhan peserta didik. Walaupun pengembangan kurikulum sebenarnya akan selalu
membawa konsekuensi pada pelaksanaan praktik di dalam kelas namun kurikulum adalah
suatu proses yang saling berineteraksi[4].
Oleh karenanya, perlu diperhatikan lagi kajian mengenai landasan yang digunakan
agar pengimplementasian kurikulum di kelas tetap terfokus pada tujuan.
Lembaga pendidikan Islam seperti Perguruan Tinggi Agama Islam mulai
mengonsepkan kembali kurikulum melalui perpaduan landasan filosofis, historis
dan konseptual serta faktor-faktor terkait yang sangat berpengaruh pada
eksistensi PTAI tersebut[5]. Tidak
menutup kemungkinan bahwa unsur-unsur pelaksana kurikulum harus melakukan peningkatan
terhadap pengembangan kurikulum tersebut yang akan dimulai dengan perbaikan dari
titik dasar atau landasannya. Jika kurikulum diibaratkan sebuah bangunan maka
tiang-tiang penyangga yang menjadi pondasi bangunannya itulah yang disebut
dengan landasan.
Dengan merujuk pada latar belakang di atas, makalah ini akan
membahas lebih lanjut tentang landasan fundasional pengembangan kurikulum
meliputi: visi dan misi Pendidikan Agama Islam, landasan sosio-historis,
landasan filosofis religius, dan landasan yuridis.
B.
Landasan Fundasional Pengembangan Kurikulum PAI
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, landasan dari kata dasar landas
yang berarti alas, landasan untuk kapal terbang berarti tempat mendarat, dan
landasan menurut hukum berarti dasar, seperti Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan
fundasional (pondasi) atau fundamental berarti bersifat dasar/ pokok[6]. Landasan
fundamental menurut Muhaimin dalam bukunya[7]
disebut dengan landasan konseptual. Landasan konseptual inilah yang identik
dengan persepsi, gagasan, pandangan, atau juga kepercayaan yang dijadikan dasar
atau tumpuan dalam berpikir dan bertindak. Selain landasan fundasional, ada
juga landasan yang empirik yang diangkat dari problem negara dan bangsa,
problem pelaksana PAI, problem umat, dst.
Kajian tentang landasan konseptual pengembangan kurikulum harus
didasarkan atas asumsi yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar,
seperti: (1) SDM seperti apa yang diidealkan?, (2) apa dan bagaimana peran
strategis lembaga pendidikan Islam tentunya dalam menyiapkan SDM yang
diidealkan itu ke depan?, dan (3) kontribusi lembaga pendidikan Islam dalam
pengembangan ilmu pengetahuan[8].
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka langkah awal yang harus diambil ialah
bagaimana menetapkan visi misi dan seterusnya bagi lembaga pendidikan Islam
untuk dijadikan dasar arah pengembangan kurikulum.
1.
Visi dan Misi Lembaga Pendidikan Islam
Visi[9]
merupakan gambaran tentang masa depan (future) yang realistik dan ingin
mewujudkan dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan misi adalah pernyataan
mengenai hal-hal yang harus dicapai organisasi bagi pihak yang berkepentingan
di masa datang[10]
atau biasa diartikan perwujudan dari visi sebuah lembaga melalui suatu
tahapan-tahapan aksi.
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag 2015-2019 menyatakan bahwa visi
dari Pendidikan Islam adalah Terwujudnya Pendidikan Islam yang unggul, moderat
dan menjadi rujukan dunia dalam Integrasi Ilmu Agama, Pengetahuan, dan
Teknologi. Diikuti dengan misinya, antara lain: meningkatkan akses Pendidikan
Islam yang merata, meningkatkan mutu Pendidikan Islam, meningkatkan relevansi
dan daya saing Pendidikan Islam, serta
meningkatkan tata kelola Pendidikan Islam yang baik[11].
Berkaitan dengan penjelasan diatas, Muhaimin memberikan contoh
bahwasannya PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) harus memiliki visi dan misi
sebagai dasar dalam langkah untuk mengembangkan kurikulum di PTAI tersebut.
Visi PTAI, misalnya: “Menjadikan PTAI yang membangun manusia yang
memiliki kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlaq, keluasan ilmu,
dan kematangan profesional”, disambung dengan misinya.
Misi PTAI, misalnya:
1)
Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
yang Islami
2)
Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni yang Islami.
3)
Memberikan ketauladanan dalam kehidupan atas dasar nilai-nilai
Islam dan budaya Indonesia[12].
2.
Landasan Sosio-Historis
Prof. Muhaimin menyatakan bahwa dilihat dari dimensi sejarah,
aspirasi umat Islam pada umumnya dalam pengembangan perguruan tinggi Islam,
pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: (1) untuk melaksanakan
pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih
tinggi secara lebih sistematis dan terarah, (2) untuk melaksanakan pengembangan
dan peningkatan dakwah Islam, (3) untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi
ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi negara maupun
sektor swasta, serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan, dan sebagainya[13].(Azra
1999)[14]
Menurut Muhaimin, bahwa pengembangan pendidikan Islam di Indonesia,
terutama pada periode sebelum Indonesia merdeka (1900-menjelang 1945), agaknya
lebih ditujukan pada upaya menghadapi pendidikan kolonial. Pada periode
tersebut diduga muncul berbagai problem dan isu-isu pendidikan Islam yang
menonjol, yang merupakan diskursus[15]
dalam pengembangan pendidikan Islam, terutama di kalangan para pemikir,
pengembang, dan pengelola pendidikan Islam di Indonesia[16]. Arah
pengembangan pendidikan Islam ditujukan untuk mengantisipasi perkembangan
pendidikan Islam kontemporer dalam menghadapi era perkembangan iptek dan
globalisasi.
Pada perkembangan selanjutnya terdapat kecenderungan-kecenderungan
baru untuk merespon berbagai tantangan dan tuntutan yang berkembang di
masyarakat. Beberapa kecenderungan tersebut antara lain menyangkut hal-hal
sebagai berikut: Pertama, tuntutan akan studi keislaman yang mengarah
pada pendekatan non-madzhabi[17],
sehingga menghasilkan pemudaran sektarianisme[18].
Kedua, menyangkut pergeseran dari studi keislaman yang bersifat normatif ke
arah yang lebih historis, sosiologis dan empiris.Dalam arti, kajian Islam tidak
hanya menelaah Islam sebagai ajaran dan nilai-nilai ideal atau dimensi
normatifnya.
Ketiga, menyangkut orientasi keilmuan yang lebih luas, bahwasannya
pemahaman tentang ilmu-ilmu agama islam tidak terlepas dari suasana historis
yang mengitari founding fathers-nya, yaitu mereka yang masih berhadapan
dengan problem dikotomi ilmu pengetahuan, sehingga demarkasi[19]
ilmu hanya dilihat dari sumbernya, apakah ia bersumber dari wahyu (naqli)
atau rasional manusia (aqli) dan/ atau kauniyah yang pada gilirannya
masing-masing berkembang sendiri-sendiri tanpa ada kaitan secara sinergis[20].
Perkembangan IPTEK yang sangat pesat
sepertinya menimbulkan kesenjangan antara iman dan intelek atau antara ilmu
pengetahuan yang bersumber dari wahyu dan yang bersumber dari upaya manusia. Hal
ini pada gilirannya menimbulkan pecahnya kepribadian manusia melalui berbagai
sikap yang berlawanan dan bahkan konflik-konflik yang tajam. Padahal kekokohan
iman pada seseorang tidaklah hanya tumbuh dan dibangun dari studi naqliyah/
tanzilityah belaka, tetapi dapat tumbuh dari studi ilmu-ilmu sosial,
studi natural sciences, dan humaniora. Fenomena semacam itu juga menjadi
perbincangan dalam Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang
diselenggarakan di Islamabad pada tahun 1980. Konferensi ini antara lain
memeberikan rekomendasi agar ilmu pengetahuan rasional diajarkan dari sudut
pandang Islami[21].
Pemahaman akan tujuan pendidikan
Islam yang pertama yaitu untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan
ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis
dan terarah dapat berimplikasi pada 2 tujuan berikutnya, seperti pada tujuan
kedua, yakni untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam.
Makna dakwah Islam bukan lagi hanya diartikan untuk mengkomunikasikan ilmu naqliyah[22]
saja, akan tetapi dakwah Islam juga berhubungan dengan bagaimana ilmu naqliyah
memberi spirit dan landasan, serta ancangan bagi pengembangan ilmu aqliyah
yang mencakup: (1) Arts (ilmu-ilmu imajinatif), seperti kesenian dan arsitektur
Islam, bahasa-bahasa, kesusastraan; (2) ilmu-ilmu intelektual meliputi:
ilmu-ilmu sosial, filsafat, pendidikan, ekonomi, ilmu politik, sejarah, peradaban
Islam, geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, antropologi; (3) ilmu-ilmu
kealaman (natural sciences) meliputi: filsafat ilmu pengetahuan, matematika,
statistika, fisika, kimia, biologi, astronomi, dsb; (4) ilmu-ilmu terapan
meliputi: teknik dan teknologi, kedokteran, pertanian dan kehutanan; (5)
ilmu-ilmu praktis, meliputi: perdagangan, ilmu-ilmu administratif, ilmu-ilmu
perpustakaan, ilmu-ilmu kerumahtangaan, ilmu komunikasi dsb. (Biligrami Hamid
Hasan & Ashraf, Syed Ali, 1985)[23].[24]
Adapun tujuan pendidikan Islam yang
ketiga adalah untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama. Pemahaman
tentang ulama bukan lagi terbatas pada mereka yang hanya menguasai ilmu naqliyah
tetapi juga mereka yang menguasai ilmu aqliyah, serta menjadikan ilmu naqliyah
sebagai landasan, spirit, serta ancangan bagi ilmu aqliyah serta
mewarnai pengembangan ilmu aqliyah tersebut.
Berdasarkan sudut pandang seperti yang dijelaskan diatas, maka
studi keislaman mengalami pemekaran makna, yaitu Pertama, studi Islam sebagai
sumber ajaran merupakan wahyu Ilahi yang terhimpun dalam Al Qur’an dan Al
Hadis. Maksudnya, studi Islam bertumpu pada studi kewahyuan yang diwujudkan
dalam bentuk mata kuliah sumber ajaran (Al Qur’an) dan Al Hadis beserta
seperangkat ilmu yang terkait langsung dengannya, seperti ‘ulumul Qur’an,
‘ulumul Hadis dan lain-lainnya. Kedua, studi Islam sebagai bagian dari
pemikiran dalam arti luas. Dalam sejarah pemikiran Islam setidak-tidaknya ada
lima bidang pemikiran Islam yang menonjol, yaitu ilmu kalam, syari’ah,
filsafat, tashawwuf, dan ilmu dunyawiyah yang mencakup bidang-bidang yang cukup
luas mulai dari IPA dan matematika hingga arsitektur, astronomi, dan
sebagainya. Ketiga, studi Islam sebagaimana yang dialami, diamalkan, dan
diterapkan dalam kehidupan. Dengan bersumber pada Al Qur’an dan al-Sunnah, yang
kemudian dijabarkan dalam berbagai pemikiran, ajaran Islam kemudian diamalkan
dan diterapkan oleh umat Islam hingga membentuk peradaban Islam yang telah
berabad-abad menyinari dunia[25].
3.
Landasan Filosofis Religius
Filosofis berangkat dari akar kata filsafat yang merupakan bagian
fundamental dalam pengembangan kurikulum[26]. Asas
filosofis berkenaan dengan sistem nilai (value system) yang berlaku di
masyarakat. Sistem nilai erat kaitannya dengan arah dan tujuan yang akan
dicapai. Kurikulum pada hakikatnya berfungsi sebagai alat pendidikan yang
mempersiapkan anggota masyarakat agar mampu mempertahankan sistem dan nilai
masyarakatnya sendiri[27].
Landasan filosofis religius dicontohkan dengan Perguruan Tinggi
Agama Islam yang menjadikan Ulul Albab[28]
sebagai jargon yang hendak dimanifestasikan dalam bentuk program pendidikan
misalnya, maka seluruh fakultas, jurusan, dan program studi yang dikembangkan
harus berada di bawah payung Ulul Albab[29]. Landasan
filosofis religius sendiri adalah pandangan hidup yang mendasari kegiatan
Pendidikan Agama Islam berdasar pada Al Qur’an dan al-Sunnah.
Dari hasil kajian Prof. Muhaimin terhadap istilah Ulul Albab
yang terkandung dalam 16 ayat Al Qur’an, beliau meringkasnya ke dalam lima ciri
utama sosok Ulul Albab tersebut, yaitu: (1) selalu sadar akan kehadiran
Tuhan pada dirinya dalam segala situasi dan kondisi, sambil berusaha mengenali
Allah melalui dzikir serta mengenali alam semesta dengan akal melalui fikr,
sehingga sampai pada bukti yang sangat nyata akan keagungan Allah SWT dalam
segala cipataannya (2) tidak takut pada siapapun kecuali kepada Allah, serta
mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian dipilih yang baik walaupun
harus sendirian dalam mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu
dipertahankan oleh sekian banyak orang; (3) mementingkan kualitas hidup, baik
dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan, sabar dan tahan uji walaupun ditimpa
musibah dan diganggu oleh syetan (jin dan manusia), serta tidak mau membuat
onar, keresahan, kerusuhan, dan berbuat makar di masyarakat; (4)
bersungguh-sungguh dalam mencari dan menggali ilmu pengetahuan, dan kritis
dalam menerima pendapat, teori atau gagasan dari manapun datangnya, serta
pandai menimbang-nimbang untuk ditemukan yang terbaik; (5) bersedia
menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya, dan
tidak berpangku tangan di laboraturium belaka, serta hanya terbenam dalam
buku-buku di perpustakaan, tetapi justru tampil di hadapan masyarakat,
terpanggil hatinya untuk memecahkan problem yang ada di tengah-tengah
masyarakat. (Muhaimin, 2003)[30].
Bertolak dari ke lima ciri utama tersebut, ciri yang pertama dan yang kedua menggarisbawahi sosok Ulul Albab yang memiliki kekokohan
aqidah dan kedalaman spiritual, ciri yang ketiga menggarisbawahi sosok Ulul
Albab yang memiliki komitmen terhadap akhlak mulia. Ciri keempat
menggarisbawahi bahwa sosok Ulul Albab yang memilki keluasan ilmu dan
ciri kelima menggarisbawahi sosok Ulul Albab yang
memiliki kematangan profesional. Dari situlah kemudian dapat diformulasikan
nilai-nilai yang harus dimiliki oleh sosok Ulul Albab ke dalam empat kalimat
yaitu kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan
profesional[31].
Falsafah
pendidikan sangatlah penting dalam pembentukan kurikulum sebab mengandung
keyakinan yang berupa serangkaian cita-cita dan nila-nilai yang sangat baik
menurut pandangan masyarakat. Di samping itu, suatu falsafah pendidikan memberi
petunjuk cara berbuat atau bertingkah laku yang baik dalam masyarakat yaitu
semacam guiding principles bagi setiap orang daalam proses operasional.
Pada umumnya terdapat empat falsafah yaitu rekonstruksisme[32], perenialisme[33], esensialisme[34], dan progresivisme[35].
4.
Landasan Yuridis
Landasan
yuridis adalah landasan hukum atau landasan undang-undang yang dijadikan tempat
berpijak atau dasar pengembangan kurikulum[36]. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 36),
bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (ayat 1). Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi[37] sesuai dengan satuan
pendidikan, potensi daerah dan peserta didik (ayat 2). Di dalam Pasal 38
dikemukaan bahwa kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi
yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap
program studi (ayat 3).
Dari
penggalan-penggalan isi UU Sisdiknas No. 20/ 2003 dalam Bab X Kurikulum pasal
38 ayat 3 memang telah disebutkan bahwasannya kurikulum pendidikan tinggi
dikembangkan oleh perguruan tinggi itu sendiri yang tetap mengacu pada standar
nasional. Jadi bisa saja model pengembangan kurikulum akar rumput yakni
kurikulum dari inisiatif dan ide-ide dari para penggagas kurikulum diterapkan
untuk mengembangkan kurikulum di tingkat perguruan tinggi ini.
Pada UU No.
55/ 2007 pasal 10 ayat 2 juga disebutkan bahwasannya pendidikan ilmu yang
bersumber dari ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang memadukan
ilmu agama dan ilmu umum bertujuan untuk memepersiapkan peseta didik
melanjutkan pada jenjang berikutnya[38].
Bertolak dari
UU yang tersebut diatas, maka merujuk pada landasan filosofis religius pada
PTAI yang dicontohkan dengan konsep Ulul Albab dan kandungan maknanya
sebagai asumsi dasar dalam pengembangan kurikulum PTAI merupakan perwujudan
dari prinsip diversifikasi[39] serta perpaduan ilmu
agama dan umum untuk persiapan jenjang berikutnya, sehingga benar adanya,
sepanjang tetap memerhatikan standar nasional pendidikan.
Dari keempat
landasan fundasional berupa visi dan misi, landasan sosio-historis, landasan
filosofis religius, dan landasan yuridis merupakan akar penguat bagi
pengembangan kurikulum yang satu sama lainnya saling berkorelasi untuk
dijadikan sebagai tumpuan pengembangan kurikulum dalam pendidikan Islam dengan
harapan mewujudkan kurikulum yang lebih baik lagi melalui perbaikan landasan
fundasional yang telah dijelaskan sebelumnya.
C.
Analisis Landasan Fundasional Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam
Dari empat landasan fundasional yang telah penulis paparkan satu
persatu mengenai detailnya perlu diadakan analisis yang lebih untuk memberikan
rekomendasi-rekomendasi agar kurikulum di PAI berkembang untuk kedepannya.
Dilihat dari sisi landasan visi misi, bahwasannya visi misi
perguruan tinggi agama Islam yang sudah terbentuk sedemikian rupa seharusnya
mendorong para pelaksana kurikulum untuk menekankan pada visi misi yang telah
dibuat. Jadi, segala aspek kurikulum memang bertujuan awal pada visi dan misi
perguruan tinggi itu. Perwujudan dari visi yang berupa misi tidak hanya berlaku
pada ranah teoritis saja, namun alangkah baiknya jika berlanjut pada ranah
praksis.
Dilihat dari sisi landasan sosio-historis, berangkat dari tujuan
pengembangan perguruan tinggi Islam diharapkan para civitas akademik mampu
menghadapi era teknologi dan globalisasi yang memunculkan berbagai kalangan
atau golongan. Untuk itu perguruan tinggi Islam yang berhasil adalah apabila
mahasiswanya bisa membaur dalam lingkungan masyarakat untuk menjadi penengah
atau problem solver bukan malah menambah masalah baru.
Dilihat dari sisi landasan filosofis religius, sebagai contoh
diatas telah dikemukakan tentang konsep Ulul Albab yang mana konsep ini
mengedepankan segi keilmuan berdasarkan pada ajaran Al Qur’an, al-Sunnah, dan
sumber-sumber lain yang relevan. Jika konsep itu sudah bisa didalami oleh para
pelaksana kurikulum maka pendidikan ideal insha Allah bakal terwujud
dengan menjadikan Al Qur’an dan al-Sunnah sebagai landasannya.
Dilihat dari sisi landasan yuridis, landasan yang memang berkaitan
dengan undang-undang yang ditetapkan pemerintah. Pengembangan kurikulum PAI
harus tetap berpegang teguh pada tujuan pendidikan nasional menurut
undang-undang tersebut agar tetap terfokus pada pembentukan pribadi yang
unggul, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab[40]
yang hal ini memang sudah tercantum pada UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Bab II
pasal 3 dan juga UU No.19 Tahun 2005.
D.
Penutup
Dari pemaparan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam dibutuhkan
adanya suatu landasan atau tumpuan tidak lain sebagai pondasi dalam membentuk
sebuah kurikulum. Pengembangan kurikulum didasarkan pada dua landasan yaitu
landasan fundasional dan landasan empirik.
2.
Landasan fundasional pengembangan kurikulum PAI meliputi visi-misi pendidikan Agama Islam, landasan sosio-historis, landasan
filosofis religius, dan landasan
yuridis.
3.
Landasan visi-misi PAI mengacu pada turunan tujuan pendidikan Agama
Islam yang dijadikan sebagai acuan pelaksanaan pengembangan kurikulum yang
memang harus terfokus pada tujuan pendidikan Islam pada awalnya. Landasan
sosio-historis berangkat dari aspek sejarah sosial masyarakat dalam dunia
pendidikan. Landasan ini digunakan sebagai penopang dalam menghadapi kemajuan
iptek dan globalisasi. Landasan filosofis religius yakni pandangan hidup yang
mendasari kegiatan Pendidikan Agama Islam berlandaskan Al Qur’an dan al-Sunnah
sebagai contoh: Konsep Ulul Albab. Sedangkan landasan yuridis tentu saja
berhubungan dengan hukum/ undang-undang yang berlaku di negara yang terdapat
pada UU 20/ 2003 dan UU 55/ 2007.
4.
Keempat landasan fundasional yang mencakup visi-misi pendidikan Agama Islam, landasan sosio-historis, landasan
filosofis religius, dan landasan
yuridis mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain dalam menopang
pengembangan kurikulum yang mana disini pemakalah lebih menekankan pada
kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Daftar
Pustaka
Furchan,
Arief, dkk. 2005. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan
Tinggi Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Idi,
Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruz
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Standar Nasional Pendidikan,
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. 2005. Bandung: PT. Fokus Media
Hamalik,
Oemar. 2007. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Majid,
Abdul dkk. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya
Muhaimin.
2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit Nuansa
Muhaimin.
2009. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali
Press
Nasution.
2011. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara
Print,
Murray. 1987. Curriculum Development and Design. Sydney: Berne
Convention
Tarbiyah Ulul Albab Melacak Tradisi Membentuk Pribadi. 2012. Malang: UIN Maliki Press
UU
No. 55 Tahun 2007 Pasal 10
Calam,
Ahmad dkk. 2016 .Visi dan Misi Lembaga Sekolah Jurnal SAINTIKOM Vol. 15 No.1
Januari 2016 .
http://pendis.kemenag.go.id/index
akses tgl 27
Februari 2017
http://safardanial21.blogspot.co.id./2015/05/landasan-yuridis-pengembangan-kurikulum.html akses tgl 28 Februari 2017
[1] Arifin
(1993: 237) menyatakan bahwa rumusan tujuan Pendidikan Islam adalah
merealisasikan manusia Muslim yang beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan
yang mampu mengabdikan dirinya kepada sang Khalik dengan sikap dan kepribadian
yang bulat menyerahkan diri kepada-Nya dalam segala aspek kehidupan dalam
rangka mencari keridhaanNya. Lihat Dr. Abdullah Idi. M.Ed dalam Pengembangan
Kurikulum Teori dan Praktik. h. 59
[2]
Pada tahun 1998, UNESCO mencanangkan empat pilar pendidikan yaitu: (1) learning
to know, (2) learning to do, (3) learning to life together, dan (4) learning to
be. Dengan demikian keluaran proses pendidikan merupakan suatu pribadi yang
utuh dengan keunggulan secara berimbang dalam aspek spiritual, sosial, intelektual,
emosional, dan fisikal serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Lihat.
Abdul Majid, S.Ag, Dian Andayani S,Pd. Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi. h. 1-2
[3]
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Murray Print bahwasannya “Thus curriculum
development is defined as the process of planning, implementing and evaluating
learning opportunities intended to produce desired changes in learners.”
Lihat Murray Print dalam Curriculum Development and Design. h. 15
[4] Pengembangan
kurikulum dapat diartikan sebagai interaksi atau suatu penelaahan terhadap
komponen-konponen kurikulum. Komponen-komponen kurikulum itu mencakup 4 hal
berupa tujuan, bahan, strategi, dan evaluasi yang terintegrasi
menjadi suatu sistem. Lihat Arif. Furchan, Ph.D, Prof. Dr. Muhaimin. Drs. Agus
Maimun, M.A. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi
Agama Islam. h. 4
[5]
Lihat Arif. Furchan, Ph.D, Prof. Dr. Muhaimin. Drs. Agus Maimun, M.A.
Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam. h.
78
[6]
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
[7]
Lihat Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam. h. 233
[8] Ibid.
[9]
Visi dalam sebuah lembaga pendidikan adalah pernyataan yang diucapkan atau
ditulis hari ini, yang merupakan proses manajemen saat ini dan menjangkau masa
datang. Lihat Jurnal SAINTIKOM Vol. 15 No.1 Januari 2016 .Ahmad Calam dan
Amnah Qurniati
[10] Lihat
Jurnal SAINTIKOM Vol. 15 No.1 Januari 2016 .Ahmad Calam dan Amnah Qurniati
[11]
Misi pendidikan Islam memiliki makna pemerataan akses Pendidikan Islam agar
memberikan kesempatan bagi semua peserta didik dari semua golongan untuk
mengenyam Pendidikan Islam yang lebih baik, peningkatkan mutu Pendidikan Islam
ditandai dengan terpenuhinya standar nasional pendidikan yang menghasilkan
peserta didik yang unggul, Peningkatan relevansi dan daya saing Pendidikan
Islam diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul. Dan untuk
peningkatan tata kelola Pendidikan Islam yang baik diarahkan pada pengelolaan
Pendidikan Islam. Lihat http://pendis.kemenag.go.id/index akses tgl 27
Februari 2017
[12]
Lihat Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam. h. 233-234
[13] Ibid.
h.234, Lihat Azra dalam Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru.1999
[14]
Azra (1999) memetakan pola kajian kependidikan Islam di Indonesia sebagaimana terdapat
dalam literatur-literatur yang tersedia selama ini, ke dalam 3 (tiga)
katergori, yaitu: (1) kajian sosio-historis pendidikan Islam; (2) kajian
pemikiran dan teori pendidikan Islam; dan (3) kajian metodologis pendidikan
Islam. Dilihat dari ketiga pola tersebut, maka kajian ini lebih difokuskan pada
yang pertama, yakni kajian sosio-historis pendidikan Islam. Lihat Dr. H.
Muhaimin, M.A. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. h.14.
[15]
Suatu bentuk komunikasi baik secara lisan maupun tulisan.
[16]
Lihat Dr. H. Muhaimin, M.A. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. h.14.
[17]
Adanya perkuliahan perbandingan madzhab, masail fiqh, pemikiran dalam Islam,
dan perkembangan pemikiran modern di Dunia Islam, merupakan upaya pengembangan
wawasan terhadap khazanah pemikiran ulama-ulama terdahulu dan kontemporer untuk
dikaji secara kritis. Lihat Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 234-235
[18]
Semangat membela suatu sekte atau madzhab, kepercayaan, atau pandangan agama
yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut
agama tersebut dan terkungkung pada satu aliran saja.
[19]
Menurut KBBI, tanda batas; batas pemisah yang biasanya ditetapkan oleh pihak
yang sedang berperang (bersengketa)dan tidak
boleh dilanggar selama gencatan senjata berlangsung untuk memisahkan dua
pasukan yang saling berlawanan di medan pertempuran
[20]
Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 235
[21] Ibid.
h. 236
[22]
Cakupan ilmu naqliyah: ‘Ulumul Qur’an ‘Ulumul Hadis, sirah Nabawiyah,
tauhid, ushul fiqh, fiqh, bahasa Arab Al Qur’an, serta bidang-bidang studi
tambahan yang meliputi: metafisika Islam, perbandingan agama, dan kebudayaan
Islam. Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h.
236
[23]
Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h.
236-237
[24] Ilmu
pengetahuan Islam tidak pernah membedakan antara ilmu dan agama, bahkan
keduanya dipandang inter-komplementer (saling melengkapi). Lihat Tarbiyah
Ulul Albab Melacak Tradisi Membentuk Pribadi. (Malang: UIN Maliki Press),
2012. h. 71-72
[25]
Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 237-238
[26] Filsafat
menunjukkan suatu sistem, yang dapat menentukan arah hidup dan serta
menggambarkan nilai-nilai apa yang paling dihargai dalam hidup seseorang.
Segala keputusan yang diambil mengenai pendidikan atau kurikulum, bila
ditelusuri lebih mendalam, mempunyai dasar filosofis. Lihat Prof. Dr. S.
Nasution, M.A Asas-Asas Kurikulum. h. 27
[27]
Lihat Dr. H. Ali Mudlofir, M.Ag. Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Agama Islam. h.24-25
[28]
Istilah Ulul Albab dapat ditemukan dalam teks Al Qur’an sebanyak 16 kali di
bebrapa tempat dan topik yang berbeda, yaitu dalam Q.S Al Baqarah: 179, 197, 296; Q.S Ali Imran:
190; Q.S Al Maidah:100; Q.S Yusuf: 111; Q.S Al-Ra’d: 19, Q.S Ibrahim: 52; Q.S
Shad: 29; Q.S al-Zumar: 9, 18, 21; Q.S Al Mu’min: 54 dan Q.S al-Thalaq: 10.Lihat
Tarbiyah Ulul Albab Melacak Tradisi Membentuk Pribadi. (Malang: UIN Maliki
Press, 2012) h. 45. Lihat juga Muhammad Fuad Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufahras
li Alfadz al-Qur’an (Indonesia: Matabah Dahlan), 1945. h.604
[29]
Merujuk pada ayat Q.S Ali Imron: 190-191 yang dijadikan jargon UIN Maliki
Malang untuk mendefinisikan makna Ulul Albab.
[30]
Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h.
238-239
[31] Ibid
[32]
Berdasarkan filsafat John Dewey, rekonstruksisme mengikuti sebuah alur yang
meyakini dan mengemukakan bahwa keberadaan sekolah adalah untuk adanya
perbaikan dalam masyarakat. Secara gamblang, Theodore Brameld menguaraikan
nilai-nilai rekonstruksisme sebagai berikut: makanan cukup, pakaian cukup,
perlindungan, dan kebebasan, kebutuhan seksual dan pelayanan, jiwa dan mental
yang sehat dan masih banyak lagi yang lainnya. Premis utama dari filsafat ini
adalah untuk menjadikan sekolah sebagai agen utama dalam perubahan sosial.
Lihat Prof Dr. H. Oemar Hamalik. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum.
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hlm 62
[33]
Perenialisme sekuler mendukung kurikulum sebuah akademi dengan tata bahasa,
kepandaian berbicara, logika, bahasa lama dan baru, matematika, dan peradaban
dunia. Menurut Robert M. Hutchins, perenialisme diajukan dari
kebutuhan-kebutuhan sekarang siswa, spesifikasi pendidikan, dan latihan
kejuruan. Lihat Ibid, hlm 63
[34]
Mneurut esensialis, pendidikan bertujuan untuk menyebarkan budaya. Bahan pokok
kurikulum adalah sebuah rencana esensialis tentang organisasi kurikulum dan
teknik-teknik pemberian pelajaran, dengan tes sebagai metodenya. Dalam falsafah
ini terdapat prinsip behavioristik, yaitu esensialitas menemukan
dasar-dasar tingkah laku yang selaras dengan keyakinan filosofis. . Lihat Ibid,
hlm 63-64
[35]
Sikap progresivis yang menyatakan bahwa anak harus memahami pengalaman
pendidikan “disini” dan “sekarang”, mempunyai filosofi “pendidikan adalah
hidup” dan “belajar dengan melakukan”. Para progresivis mendorong sekolah agar
menyediakan pelajaran bagi setiap individu yang berbeda, baik dalam mental,
fisik, emosi, spiritual, dan perbedaan sosial. Lihat Ibid, hlm 64
[36]
Lihat http: //safardanial21.blogspot.co.id./2015/05/landasan-yuridis-pengembangan-kurikulum.html
akses tgl 28 Februari 2017
[37]
Penganekaragaman
[38] UU
No. 55 Tahun 2007 Pasal 10
[39]
Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 240
[40]
Lihat Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Standar Nasional Pendidikan,
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 (Bandung: PT. Fokus Media) h. 98
No comments:
Post a Comment