Wednesday, November 15, 2017

LANDASAN FUNDASIONAL DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

LANDASAN FUNDASIONAL
DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI

Revisi Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Pengembangan Kurikulum PAI”


Dosen Pengampu :
Dr. Marno Nurullah, M.Pd



Pemakalah :
Astrifidha Rahma Amalia (16771014)


MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Juni 2017


LANDASAN FUNDASIONAL
DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
A.      Dasar Pemikiran
Kurikulum Pendidikan Islam bersumber dari tujuan pendidikan Islam seperti yang dirumuskan oleh Arifin yaitu merealisasikan manusia Muslim yang beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada sang Khalik dengan sikap dan kepribadian yang bulat[1]. Rumusan tujuan pendidikan Islam ini sangatlah relevan dengan rumusan tujuan pendidikan Nasional yang mengutamakan pembentukan kepribadian yang utuh bisa juga dikatakan sebagai complete personality[2] dan bukanlah split personality (pribadi yang pincang).
Complete personality sangat diinginkan oleh institusi-institusi penyelenggara pendidikan sebagai hasil akhir dari pengembangan kurikulum khususnya dalam pengembangan kurikulum PAI. Pengembangan kurikulum yang baik itu sendiri[3], membutuhkan landasan yang kuat dan kokoh agar tujuan pendidikan terfokus dan selaras dengan prosedur pengembangan kurikulum atau bisa dikatakan tidak ngawur. Dengan landasan yang kuat tersebut diharapkan kurikulum pendidikan akan mencapai keberhasilan yang maksimal untuk mengantarkan rakyat Indonesia menuju pendidikan yang lebih baik lagi terutama dalam pendidikan Islam tentunya.
Upaya pengembangan kurikulum selalu dilakukan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Walaupun pengembangan kurikulum sebenarnya akan selalu membawa konsekuensi pada pelaksanaan praktik di dalam kelas namun kurikulum adalah suatu proses yang saling berineteraksi[4]. Oleh karenanya, perlu diperhatikan lagi kajian mengenai landasan yang digunakan agar pengimplementasian kurikulum di kelas tetap terfokus pada tujuan.
Lembaga pendidikan Islam seperti Perguruan Tinggi Agama Islam mulai mengonsepkan kembali kurikulum melalui perpaduan landasan filosofis, historis dan konseptual serta faktor-faktor terkait yang sangat berpengaruh pada eksistensi PTAI tersebut[5]. Tidak menutup kemungkinan bahwa unsur-unsur pelaksana kurikulum harus melakukan peningkatan terhadap pengembangan kurikulum tersebut yang akan dimulai dengan perbaikan dari titik dasar atau landasannya. Jika kurikulum diibaratkan sebuah bangunan maka tiang-tiang penyangga yang menjadi pondasi bangunannya itulah yang disebut dengan landasan.
Dengan merujuk pada latar belakang di atas, makalah ini akan membahas lebih lanjut tentang landasan fundasional pengembangan kurikulum meliputi: visi dan misi Pendidikan Agama Islam, landasan sosio-historis, landasan filosofis religius, dan landasan yuridis.

B.       Landasan Fundasional Pengembangan Kurikulum PAI
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, landasan dari kata dasar landas yang berarti alas, landasan untuk kapal terbang berarti tempat mendarat, dan landasan menurut hukum berarti dasar, seperti Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan fundasional (pondasi) atau fundamental berarti bersifat dasar/ pokok[6]. Landasan fundamental menurut Muhaimin dalam bukunya[7] disebut dengan landasan konseptual. Landasan konseptual inilah yang identik dengan persepsi, gagasan, pandangan, atau juga kepercayaan yang dijadikan dasar atau tumpuan dalam berpikir dan bertindak. Selain landasan fundasional, ada juga landasan yang empirik yang diangkat dari problem negara dan bangsa, problem pelaksana PAI, problem umat, dst.
Kajian tentang landasan konseptual pengembangan kurikulum harus didasarkan atas asumsi yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti: (1) SDM seperti apa yang diidealkan?, (2) apa dan bagaimana peran strategis lembaga pendidikan Islam tentunya dalam menyiapkan SDM yang diidealkan itu ke depan?, dan (3) kontribusi lembaga pendidikan Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan[8]. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut maka langkah awal yang harus diambil ialah bagaimana menetapkan visi misi dan seterusnya bagi lembaga pendidikan Islam untuk dijadikan dasar arah pengembangan kurikulum.

1.        Visi dan Misi Lembaga Pendidikan Islam
Visi[9] merupakan gambaran tentang masa depan (future) yang realistik dan ingin mewujudkan dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan misi adalah pernyataan mengenai hal-hal yang harus dicapai organisasi bagi pihak yang berkepentingan di masa datang[10] atau biasa diartikan perwujudan dari visi sebuah lembaga melalui suatu tahapan-tahapan aksi.
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag 2015-2019 menyatakan bahwa visi dari Pendidikan Islam adalah Terwujudnya Pendidikan Islam yang unggul, moderat dan menjadi rujukan dunia dalam Integrasi Ilmu Agama, Pengetahuan, dan Teknologi. Diikuti dengan misinya, antara lain: meningkatkan akses Pendidikan Islam yang merata, meningkatkan mutu Pendidikan Islam, meningkatkan relevansi dan daya saing  Pendidikan Islam, serta meningkatkan tata kelola Pendidikan Islam yang baik[11].    
Berkaitan dengan penjelasan diatas, Muhaimin memberikan contoh bahwasannya PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam) harus memiliki visi dan misi sebagai dasar dalam langkah untuk mengembangkan kurikulum di PTAI tersebut.
Visi PTAI, misalnya: “Menjadikan PTAI yang membangun manusia yang memiliki kekokohan akidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlaq, keluasan ilmu, dan kematangan profesional”, disambung dengan misinya.
Misi PTAI, misalnya:
1)      Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang Islami
2)      Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang Islami.
3)      Memberikan ketauladanan dalam kehidupan atas dasar nilai-nilai Islam dan budaya Indonesia[12].



2.        Landasan Sosio-Historis
Prof. Muhaimin menyatakan bahwa dilihat dari dimensi sejarah, aspirasi umat Islam pada umumnya dalam pengembangan perguruan tinggi Islam, pada mulanya didorong oleh beberapa tujuan, yaitu: (1) untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah, (2) untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam, (3) untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionaris keagamaan, baik pada kalangan birokrasi negara maupun sektor swasta, serta lembaga-lembaga sosial, dakwah, pendidikan, dan sebagainya[13].(Azra 1999)[14]
Menurut Muhaimin, bahwa pengembangan pendidikan Islam di Indonesia, terutama pada periode sebelum Indonesia merdeka (1900-menjelang 1945), agaknya lebih ditujukan pada upaya menghadapi pendidikan kolonial. Pada periode tersebut diduga muncul berbagai problem dan isu-isu pendidikan Islam yang menonjol, yang merupakan diskursus[15] dalam pengembangan pendidikan Islam, terutama di kalangan para pemikir, pengembang, dan pengelola pendidikan Islam di Indonesia[16]. Arah pengembangan pendidikan Islam ditujukan untuk mengantisipasi perkembangan pendidikan Islam kontemporer dalam menghadapi era perkembangan iptek dan globalisasi.
Pada perkembangan selanjutnya terdapat kecenderungan-kecenderungan baru untuk merespon berbagai tantangan dan tuntutan yang berkembang di masyarakat. Beberapa kecenderungan tersebut antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut: Pertama, tuntutan akan studi keislaman yang mengarah pada pendekatan non-madzhabi[17], sehingga menghasilkan pemudaran sektarianisme[18]. Kedua, menyangkut pergeseran dari studi keislaman yang bersifat normatif ke arah yang lebih historis, sosiologis dan empiris.Dalam arti, kajian Islam tidak hanya menelaah Islam sebagai ajaran dan nilai-nilai ideal atau dimensi normatifnya.
Ketiga, menyangkut orientasi keilmuan yang lebih luas, bahwasannya pemahaman tentang ilmu-ilmu agama islam tidak terlepas dari suasana historis yang mengitari founding fathers-nya, yaitu mereka yang masih berhadapan dengan problem dikotomi ilmu pengetahuan, sehingga demarkasi[19] ilmu hanya dilihat dari sumbernya, apakah ia bersumber dari wahyu (naqli) atau rasional manusia (aqli) dan/ atau kauniyah yang pada gilirannya masing-masing berkembang sendiri-sendiri tanpa ada kaitan secara sinergis[20].
Perkembangan IPTEK yang sangat pesat sepertinya menimbulkan kesenjangan antara iman dan intelek atau antara ilmu pengetahuan yang bersumber dari wahyu dan yang bersumber dari upaya manusia. Hal ini pada gilirannya menimbulkan pecahnya kepribadian manusia melalui berbagai sikap yang berlawanan dan bahkan konflik-konflik yang tajam. Padahal kekokohan iman pada seseorang tidaklah hanya tumbuh dan dibangun dari studi naqliyah/ tanzilityah belaka, tetapi dapat tumbuh dari studi ilmu-ilmu sosial, studi natural sciences, dan humaniora. Fenomena semacam itu juga menjadi perbincangan dalam Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad pada tahun 1980. Konferensi ini antara lain memeberikan rekomendasi agar ilmu pengetahuan rasional diajarkan dari sudut pandang Islami[21].
Pemahaman akan tujuan pendidikan Islam yang pertama yaitu untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu agama Islam pada tingkat yang lebih tinggi secara lebih sistematis dan terarah dapat berimplikasi pada 2 tujuan berikutnya, seperti pada tujuan kedua, yakni untuk melaksanakan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam. Makna dakwah Islam bukan lagi hanya diartikan untuk mengkomunikasikan ilmu naqliyah[22] saja, akan tetapi dakwah Islam juga berhubungan dengan bagaimana ilmu naqliyah memberi spirit dan landasan, serta ancangan bagi pengembangan ilmu aqliyah yang mencakup: (1) Arts (ilmu-ilmu imajinatif), seperti kesenian dan arsitektur Islam, bahasa-bahasa, kesusastraan; (2) ilmu-ilmu intelektual meliputi: ilmu-ilmu sosial, filsafat, pendidikan, ekonomi, ilmu politik, sejarah, peradaban Islam, geografi, sosiologi, linguistik, psikologi, antropologi; (3) ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) meliputi: filsafat ilmu pengetahuan, matematika, statistika, fisika, kimia, biologi, astronomi, dsb; (4) ilmu-ilmu terapan meliputi: teknik dan teknologi, kedokteran, pertanian dan kehutanan; (5) ilmu-ilmu praktis, meliputi: perdagangan, ilmu-ilmu administratif, ilmu-ilmu perpustakaan, ilmu-ilmu kerumahtangaan, ilmu komunikasi dsb. (Biligrami Hamid Hasan & Ashraf, Syed Ali, 1985)[23].[24]
Adapun tujuan pendidikan Islam yang ketiga adalah untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama. Pemahaman tentang ulama bukan lagi terbatas pada mereka yang hanya menguasai ilmu naqliyah tetapi juga mereka yang menguasai ilmu aqliyah, serta menjadikan ilmu naqliyah sebagai landasan, spirit, serta ancangan bagi ilmu aqliyah serta mewarnai pengembangan ilmu aqliyah tersebut.
Berdasarkan sudut pandang seperti yang dijelaskan diatas, maka studi keislaman mengalami pemekaran makna, yaitu Pertama, studi Islam sebagai sumber ajaran merupakan wahyu Ilahi yang terhimpun dalam Al Qur’an dan Al Hadis. Maksudnya, studi Islam bertumpu pada studi kewahyuan yang diwujudkan dalam bentuk mata kuliah sumber ajaran (Al Qur’an) dan Al Hadis beserta seperangkat ilmu yang terkait langsung dengannya, seperti ‘ulumul Qur’an, ‘ulumul Hadis dan lain-lainnya. Kedua, studi Islam sebagai bagian dari pemikiran dalam arti luas. Dalam sejarah pemikiran Islam setidak-tidaknya ada lima bidang pemikiran Islam yang menonjol, yaitu ilmu kalam, syari’ah, filsafat, tashawwuf, dan ilmu dunyawiyah yang mencakup bidang-bidang yang cukup luas mulai dari IPA dan matematika hingga arsitektur, astronomi, dan sebagainya. Ketiga, studi Islam sebagaimana yang dialami, diamalkan, dan diterapkan dalam kehidupan. Dengan bersumber pada Al Qur’an dan al-Sunnah, yang kemudian dijabarkan dalam berbagai pemikiran, ajaran Islam kemudian diamalkan dan diterapkan oleh umat Islam hingga membentuk peradaban Islam yang telah berabad-abad menyinari dunia[25].

3.        Landasan Filosofis Religius
Filosofis berangkat dari akar kata filsafat yang merupakan bagian fundamental dalam pengembangan kurikulum[26]. Asas filosofis berkenaan dengan sistem nilai (value system) yang berlaku di masyarakat. Sistem nilai erat kaitannya dengan arah dan tujuan yang akan dicapai. Kurikulum pada hakikatnya berfungsi sebagai alat pendidikan yang mempersiapkan anggota masyarakat agar mampu mempertahankan sistem dan nilai masyarakatnya sendiri[27].
Landasan filosofis religius dicontohkan dengan Perguruan Tinggi Agama Islam yang menjadikan Ulul Albab[28] sebagai jargon yang hendak dimanifestasikan dalam bentuk program pendidikan misalnya, maka seluruh fakultas, jurusan, dan program studi yang dikembangkan harus berada di bawah payung Ulul Albab[29]. Landasan filosofis religius sendiri adalah pandangan hidup yang mendasari kegiatan Pendidikan Agama Islam berdasar pada Al Qur’an dan al-Sunnah.
Dari hasil kajian Prof. Muhaimin terhadap istilah Ulul Albab yang terkandung dalam 16 ayat Al Qur’an, beliau meringkasnya ke dalam lima ciri utama sosok Ulul Albab tersebut, yaitu: (1) selalu sadar akan kehadiran Tuhan pada dirinya dalam segala situasi dan kondisi, sambil berusaha mengenali Allah melalui dzikir serta mengenali alam semesta dengan akal melalui fikr, sehingga sampai pada bukti yang sangat nyata akan keagungan Allah SWT dalam segala cipataannya (2) tidak takut pada siapapun kecuali kepada Allah, serta mampu memisahkan yang jelek dari yang baik, kemudian dipilih yang baik walaupun harus sendirian dalam mempertahankan kebaikan itu dan walaupun kejelekan itu dipertahankan oleh sekian banyak orang; (3) mementingkan kualitas hidup, baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan, sabar dan tahan uji walaupun ditimpa musibah dan diganggu oleh syetan (jin dan manusia), serta tidak mau membuat onar, keresahan, kerusuhan, dan berbuat makar di masyarakat; (4) bersungguh-sungguh dalam mencari dan menggali ilmu pengetahuan, dan kritis dalam menerima pendapat, teori atau gagasan dari manapun datangnya, serta pandai menimbang-nimbang untuk ditemukan yang terbaik; (5) bersedia menyampaikan ilmunya kepada orang lain untuk memperbaiki masyarakatnya, dan tidak berpangku tangan di laboraturium belaka, serta hanya terbenam dalam buku-buku di perpustakaan, tetapi justru tampil di hadapan masyarakat, terpanggil hatinya untuk memecahkan problem yang ada di tengah-tengah masyarakat. (Muhaimin, 2003)[30].
Bertolak dari ke lima ciri utama tersebut, ciri yang pertama dan yang kedua menggarisbawahi sosok Ulul Albab yang memiliki kekokohan aqidah dan kedalaman spiritual, ciri yang ketiga menggarisbawahi sosok Ulul Albab yang memiliki komitmen terhadap akhlak mulia. Ciri keempat menggarisbawahi bahwa sosok Ulul Albab yang memilki keluasan ilmu dan ciri kelima menggarisbawahi sosok Ulul Albab yang memiliki kematangan profesional. Dari situlah kemudian dapat diformulasikan nilai-nilai yang harus dimiliki oleh sosok Ulul Albab ke dalam empat kalimat yaitu kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu, dan kematangan profesional[31].
Falsafah pendidikan sangatlah penting dalam pembentukan kurikulum sebab mengandung keyakinan yang berupa serangkaian cita-cita dan nila-nilai yang sangat baik menurut pandangan masyarakat. Di samping itu, suatu falsafah pendidikan memberi petunjuk cara berbuat atau bertingkah laku yang baik dalam masyarakat yaitu semacam guiding principles bagi setiap orang daalam proses operasional. Pada umumnya terdapat empat falsafah yaitu rekonstruksisme[32], perenialisme[33], esensialisme[34], dan progresivisme[35].
4.        Landasan Yuridis
Landasan yuridis adalah landasan hukum atau landasan undang-undang yang dijadikan tempat berpijak atau dasar pengembangan kurikulum[36]. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Pasal 36), bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (ayat 1). Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi[37] sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik (ayat 2). Di dalam Pasal 38 dikemukaan bahwa kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi (ayat 3).
Dari penggalan-penggalan isi UU Sisdiknas No. 20/ 2003 dalam Bab X Kurikulum pasal 38 ayat 3 memang telah disebutkan bahwasannya kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi itu sendiri yang tetap mengacu pada standar nasional. Jadi bisa saja model pengembangan kurikulum akar rumput yakni kurikulum dari inisiatif dan ide-ide dari para penggagas kurikulum diterapkan untuk mengembangkan kurikulum di tingkat perguruan tinggi ini.
Pada UU No. 55/ 2007 pasal 10 ayat 2 juga disebutkan bahwasannya pendidikan ilmu yang bersumber dari ajaran agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum bertujuan untuk memepersiapkan peseta didik melanjutkan pada jenjang berikutnya[38].
Bertolak dari UU yang tersebut diatas, maka merujuk pada landasan filosofis religius pada PTAI yang dicontohkan dengan konsep Ulul Albab dan kandungan maknanya sebagai asumsi dasar dalam pengembangan kurikulum PTAI merupakan perwujudan dari prinsip diversifikasi[39] serta perpaduan ilmu agama dan umum untuk persiapan jenjang berikutnya, sehingga benar adanya, sepanjang tetap memerhatikan standar nasional pendidikan.
Dari keempat landasan fundasional berupa visi dan misi, landasan sosio-historis, landasan filosofis religius, dan landasan yuridis merupakan akar penguat bagi pengembangan kurikulum yang satu sama lainnya saling berkorelasi untuk dijadikan sebagai tumpuan pengembangan kurikulum dalam pendidikan Islam dengan harapan mewujudkan kurikulum yang lebih baik lagi melalui perbaikan landasan fundasional yang telah dijelaskan sebelumnya.

C.      Analisis Landasan Fundasional Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Dari empat landasan fundasional yang telah penulis paparkan satu persatu mengenai detailnya perlu diadakan analisis yang lebih untuk memberikan rekomendasi-rekomendasi agar kurikulum di PAI berkembang untuk kedepannya.
Dilihat dari sisi landasan visi misi, bahwasannya visi misi perguruan tinggi agama Islam yang sudah terbentuk sedemikian rupa seharusnya mendorong para pelaksana kurikulum untuk menekankan pada visi misi yang telah dibuat. Jadi, segala aspek kurikulum memang bertujuan awal pada visi dan misi perguruan tinggi itu. Perwujudan dari visi yang berupa misi tidak hanya berlaku pada ranah teoritis saja, namun alangkah baiknya jika berlanjut pada ranah praksis.
Dilihat dari sisi landasan sosio-historis, berangkat dari tujuan pengembangan perguruan tinggi Islam diharapkan para civitas akademik mampu menghadapi era teknologi dan globalisasi yang memunculkan berbagai kalangan atau golongan. Untuk itu perguruan tinggi Islam yang berhasil adalah apabila mahasiswanya bisa membaur dalam lingkungan masyarakat untuk menjadi penengah atau problem solver bukan malah menambah masalah baru.
Dilihat dari sisi landasan filosofis religius, sebagai contoh diatas telah dikemukakan tentang konsep Ulul Albab yang mana konsep ini mengedepankan segi keilmuan berdasarkan pada ajaran Al Qur’an, al-Sunnah, dan sumber-sumber lain yang relevan. Jika konsep itu sudah bisa didalami oleh para pelaksana kurikulum maka pendidikan ideal insha Allah bakal terwujud dengan menjadikan Al Qur’an dan al-Sunnah sebagai landasannya.
Dilihat dari sisi landasan yuridis, landasan yang memang berkaitan dengan undang-undang yang ditetapkan pemerintah. Pengembangan kurikulum PAI harus tetap berpegang teguh pada tujuan pendidikan nasional menurut undang-undang tersebut agar tetap terfokus pada pembentukan pribadi yang unggul, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab[40] yang hal ini memang sudah tercantum pada UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 dan juga UU No.19 Tahun 2005.


D.      Penutup
Dari pemaparan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Dalam pengembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam dibutuhkan adanya suatu landasan atau tumpuan tidak lain sebagai pondasi dalam membentuk sebuah kurikulum. Pengembangan kurikulum didasarkan pada dua landasan yaitu landasan fundasional dan landasan empirik.
2.      Landasan fundasional pengembangan kurikulum PAI meliputi visi-misi pendidikan Agama Islam, landasan sosio-historis, landasan filosofis religius, dan landasan yuridis.
3.      Landasan visi-misi PAI mengacu pada turunan tujuan pendidikan Agama Islam yang dijadikan sebagai acuan pelaksanaan pengembangan kurikulum yang memang harus terfokus pada tujuan pendidikan Islam pada awalnya. Landasan sosio-historis berangkat dari aspek sejarah sosial masyarakat dalam dunia pendidikan. Landasan ini digunakan sebagai penopang dalam menghadapi kemajuan iptek dan globalisasi. Landasan filosofis religius yakni pandangan hidup yang mendasari kegiatan Pendidikan Agama Islam berlandaskan Al Qur’an dan al-Sunnah sebagai contoh: Konsep Ulul Albab. Sedangkan landasan yuridis tentu saja berhubungan dengan hukum/ undang-undang yang berlaku di negara yang terdapat pada UU 20/ 2003 dan UU 55/ 2007.
4.      Keempat landasan fundasional yang mencakup visi-misi pendidikan Agama Islam, landasan sosio-historis, landasan filosofis religius, dan landasan yuridis mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain dalam menopang pengembangan kurikulum yang mana disini pemakalah lebih menekankan pada kurikulum PAI di Perguruan Tinggi Agama Islam.
                                                                                                



Daftar Pustaka
Furchan, Arief, dkk. 2005. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Idi, Abdullah. 2007. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruz
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005. 2005. Bandung: PT. Fokus Media
Hamalik, Oemar. 2007. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Majid, Abdul dkk. 2004. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Muhaimin. 2003. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit Nuansa
Muhaimin. 2009. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press
Nasution. 2011. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara
Print, Murray. 1987. Curriculum Development and Design. Sydney: Berne Convention
Tarbiyah Ulul Albab Melacak Tradisi Membentuk Pribadi. 2012. Malang: UIN Maliki Press
UU No. 55 Tahun 2007 Pasal 10
Calam, Ahmad dkk. 2016 .Visi dan Misi Lembaga Sekolah Jurnal SAINTIKOM Vol. 15 No.1 Januari 2016 .
http://pendis.kemenag.go.id/index akses tgl 27 Februari 2017
http://safardanial21.blogspot.co.id./2015/05/landasan-yuridis-pengembangan-kurikulum.html akses tgl 28 Februari 2017


[1] Arifin (1993: 237) menyatakan bahwa rumusan tujuan Pendidikan Islam adalah merealisasikan manusia Muslim yang beriman, bertakwa, dan berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada sang Khalik dengan sikap dan kepribadian yang bulat menyerahkan diri kepada-Nya dalam segala aspek kehidupan dalam rangka mencari keridhaanNya. Lihat Dr. Abdullah Idi. M.Ed dalam Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. h. 59
[2] Pada tahun 1998, UNESCO mencanangkan empat pilar pendidikan yaitu: (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to life together, dan (4) learning to be. Dengan demikian keluaran proses pendidikan merupakan suatu pribadi yang utuh dengan keunggulan secara berimbang dalam aspek spiritual, sosial, intelektual, emosional, dan fisikal serta memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Lihat. Abdul Majid, S.Ag, Dian Andayani S,Pd. Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi. h. 1-2
[3] Sebagaimana yang dikemukakan oleh Murray Print bahwasannya “Thus curriculum development is defined as the process of planning, implementing and evaluating learning opportunities intended to produce desired changes in learners.” Lihat Murray Print dalam Curriculum Development and Design. h. 15
[4] Pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai interaksi atau suatu penelaahan terhadap komponen-konponen kurikulum. Komponen-komponen kurikulum itu mencakup 4 hal berupa tujuan, bahan, strategi, dan evaluasi yang terintegrasi menjadi suatu sistem. Lihat Arif. Furchan, Ph.D, Prof. Dr. Muhaimin. Drs. Agus Maimun, M.A. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam. h. 4
[5] Lihat Arif. Furchan, Ph.D, Prof. Dr. Muhaimin. Drs. Agus Maimun, M.A. Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Perguruan Tinggi Agama Islam. h. 78
[6] KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
[7] Lihat Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 233
[8] Ibid.
[9] Visi dalam sebuah lembaga pendidikan adalah pernyataan yang diucapkan atau ditulis hari ini, yang merupakan proses manajemen saat ini dan menjangkau masa datang. Lihat Jurnal SAINTIKOM Vol. 15 No.1 Januari 2016 .Ahmad Calam dan Amnah Qurniati
[10] Lihat Jurnal SAINTIKOM Vol. 15 No.1 Januari 2016 .Ahmad Calam dan Amnah Qurniati
[11] Misi pendidikan Islam memiliki makna pemerataan akses Pendidikan Islam agar memberikan kesempatan bagi semua peserta didik dari semua golongan untuk mengenyam Pendidikan Islam yang lebih baik, peningkatkan mutu Pendidikan Islam ditandai dengan terpenuhinya standar nasional pendidikan yang menghasilkan peserta didik yang unggul, Peningkatan relevansi dan daya saing Pendidikan Islam diarahkan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul. Dan untuk peningkatan tata kelola Pendidikan Islam yang baik diarahkan pada pengelolaan Pendidikan Islam. Lihat http://pendis.kemenag.go.id/index akses tgl 27 Februari 2017
[12] Lihat Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 233-234
[13] Ibid. h.234, Lihat Azra dalam Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.1999
[14] Azra (1999) memetakan pola kajian kependidikan Islam di Indonesia sebagaimana terdapat dalam literatur-literatur yang tersedia selama ini, ke dalam 3 (tiga) katergori, yaitu: (1) kajian sosio-historis pendidikan Islam; (2) kajian pemikiran dan teori pendidikan Islam; dan (3) kajian metodologis pendidikan Islam. Dilihat dari ketiga pola tersebut, maka kajian ini lebih difokuskan pada yang pertama, yakni kajian sosio-historis pendidikan Islam. Lihat Dr. H. Muhaimin, M.A. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. h.14.
[15] Suatu bentuk komunikasi baik secara lisan maupun tulisan.
[16] Lihat Dr. H. Muhaimin, M.A. Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam. h.14.
[17] Adanya perkuliahan perbandingan madzhab, masail fiqh, pemikiran dalam Islam, dan perkembangan pemikiran modern di Dunia Islam, merupakan upaya pengembangan wawasan terhadap khazanah pemikiran ulama-ulama terdahulu dan kontemporer untuk dikaji secara kritis. Lihat Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 234-235
[18] Semangat membela suatu sekte atau madzhab, kepercayaan, atau pandangan agama yang berbeda dari pandangan agama yang lebih lazim diterima oleh para penganut agama tersebut dan terkungkung pada satu aliran saja.
[19] Menurut KBBI, tanda batas; batas pemisah yang biasanya ditetapkan oleh pihak yang sedang berperang (bersengketa)dan tidak  boleh dilanggar selama gencatan senjata berlangsung untuk memisahkan dua pasukan yang saling berlawanan di medan pertempuran
[20] Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 235
[21] Ibid. h. 236
[22] Cakupan ilmu naqliyah: ‘Ulumul Qur’an ‘Ulumul Hadis, sirah Nabawiyah, tauhid, ushul fiqh, fiqh, bahasa Arab Al Qur’an, serta bidang-bidang studi tambahan yang meliputi: metafisika Islam, perbandingan agama, dan kebudayaan Islam. Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 236
[23] Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 236-237
[24] Ilmu pengetahuan Islam tidak pernah membedakan antara ilmu dan agama, bahkan keduanya dipandang inter-komplementer (saling melengkapi). Lihat Tarbiyah Ulul Albab Melacak Tradisi Membentuk Pribadi. (Malang: UIN Maliki Press), 2012. h. 71-72
[25] Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 237-238
[26] Filsafat menunjukkan suatu sistem, yang dapat menentukan arah hidup dan serta menggambarkan nilai-nilai apa yang paling dihargai dalam hidup seseorang. Segala keputusan yang diambil mengenai pendidikan atau kurikulum, bila ditelusuri lebih mendalam, mempunyai dasar filosofis. Lihat Prof. Dr. S. Nasution, M.A Asas-Asas Kurikulum. h. 27
[27] Lihat Dr. H. Ali Mudlofir, M.Ag. Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Agama Islam. h.24-25
[28] Istilah Ulul Albab dapat ditemukan dalam teks Al Qur’an sebanyak 16 kali di bebrapa tempat dan topik yang berbeda, yaitu dalam  Q.S Al Baqarah: 179, 197, 296; Q.S Ali Imran: 190; Q.S Al Maidah:100; Q.S Yusuf: 111; Q.S Al-Ra’d: 19, Q.S Ibrahim: 52; Q.S Shad: 29; Q.S al-Zumar: 9, 18, 21; Q.S Al Mu’min: 54 dan Q.S al-Thalaq: 10.Lihat Tarbiyah Ulul Albab Melacak Tradisi Membentuk Pribadi. (Malang: UIN Maliki Press, 2012) h. 45. Lihat juga Muhammad Fuad Abd al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an (Indonesia: Matabah Dahlan), 1945. h.604
[29] Merujuk pada ayat Q.S Ali Imron: 190-191 yang dijadikan jargon UIN Maliki Malang untuk mendefinisikan makna Ulul Albab.
[30] Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 238-239
[31] Ibid
[32] Berdasarkan filsafat John Dewey, rekonstruksisme mengikuti sebuah alur yang meyakini dan mengemukakan bahwa keberadaan sekolah adalah untuk adanya perbaikan dalam masyarakat. Secara gamblang, Theodore Brameld menguaraikan nilai-nilai rekonstruksisme sebagai berikut: makanan cukup, pakaian cukup, perlindungan, dan kebebasan, kebutuhan seksual dan pelayanan, jiwa dan mental yang sehat dan masih banyak lagi yang lainnya. Premis utama dari filsafat ini adalah untuk menjadikan sekolah sebagai agen utama dalam perubahan sosial. Lihat Prof Dr. H. Oemar Hamalik. Dasar-Dasar Pengembangan Kurikulum. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), hlm 62
[33] Perenialisme sekuler mendukung kurikulum sebuah akademi dengan tata bahasa, kepandaian berbicara, logika, bahasa lama dan baru, matematika, dan peradaban dunia. Menurut Robert M. Hutchins, perenialisme diajukan dari kebutuhan-kebutuhan sekarang siswa, spesifikasi pendidikan, dan latihan kejuruan. Lihat Ibid, hlm 63
[34] Mneurut esensialis, pendidikan bertujuan untuk menyebarkan budaya. Bahan pokok kurikulum adalah sebuah rencana esensialis tentang organisasi kurikulum dan teknik-teknik pemberian pelajaran, dengan tes sebagai metodenya. Dalam falsafah ini terdapat prinsip behavioristik, yaitu esensialitas menemukan dasar-dasar tingkah laku yang selaras dengan keyakinan filosofis. . Lihat Ibid, hlm 63-64
[35] Sikap progresivis yang menyatakan bahwa anak harus memahami pengalaman pendidikan “disini” dan “sekarang”, mempunyai filosofi “pendidikan adalah hidup” dan “belajar dengan melakukan”. Para progresivis mendorong sekolah agar menyediakan pelajaran bagi setiap individu yang berbeda, baik dalam mental, fisik, emosi, spiritual, dan perbedaan sosial. Lihat Ibid, hlm 64
[36] Lihat http: //safardanial21.blogspot.co.id./2015/05/landasan-yuridis-pengembangan-kurikulum.html akses tgl 28 Februari 2017
[37] Penganekaragaman
[38] UU No. 55 Tahun 2007 Pasal 10
[39] Lihat Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. h. 240
[40] Lihat Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Standar Nasional Pendidikan, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 (Bandung: PT. Fokus Media) h. 98

No comments:

Post a Comment