HUKUM MENGGANTI ATAU MENJUAL BENDA
WAKAF
REVISI MAKALAH
Disusun:
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kajian Fiqh Kontemporer
Dosen Pengampu:
Dr. Tutik Hamidah, M. Ag

Oleh:
Arina Maftukhati (16771027)
MPAI-A
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis
ucapakan atas ke hadirat Sang Maha Pencipta alam semesta Allah SWT, karena atas
rahmat serta ridho-Nya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah membawa kita semua dari jaman jahiliyah ke jaman keislaman seperti ini,
dan kepada Ibu Dr. Tutik Hamidah M. Ag
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan tugas ini sehingga penulis
bisa belajar tentang materi ini.
Makalah ini membahas tentang “Hukum Mengganti atau Menjual Benda Wakaf”. Penulisan
makalah ini telah diusahakan dengan semaksimal mungkin, namun karena
keterbatasan kemampuan yang penulis miliki tentu makalah ini masih terdapat
banyak kekurangan. Penulis mengharap kritik serta saran dari para pambaca
maupun pihak lain demi kesempurnaan pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat dan menambah pengetahuan kita, serta usaha kita semua mendapat
ridho-Nya. Penulis mengucapkan banyak terimakasih atas perhatian dan kerjasama
dari semua pihak yang telah mendukung guna mencapai penulisan makalah yang
baik.
Malang, 24 Mei 2018
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ajaran Islam memuat 2 dimensi
jangkauan, yaitu kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam bidang
sosial ekonomi, Islam mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka
peningkatan kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan
wakaf dalam bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan
mendermakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan masa yang
akan datang. Beberapa rumusan definisi yang dikemukakan oleh ulama lain juga
mengacu kepada maksud dan tujuan yang sama dengan rumusan di atas. Sudut dan
persepsi penekanan rumusan-rumusan tersebut adalah menyangkut filosofis
pensyari’atan wakaf yang bertujuan untuk memberikan alternatif kehidupan sosial
lebih baik kepada mauquf ‘alaih (penerima wakaf).
Wakaf adalah salah satu instrumen
dalam Islam yang sangat potensial untuk dijadikan strategi pengentasan kemiskinan dan kesenjangan nasional. Jika wakaf dikelola
dengan baik, maka wakaf akan berperan besar dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan keadilan sosial sebuah Negara.[1]
Azyumardi Azra menyebutkan bahwa wakaf terbukti telah memainkan peranan yang
signifikan dalam pertumbuhan masyarakat Islam dunia. Hal tersebut terbukti
dengan semakin berkembang sektor pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, dan
kebudayaan. Sebagai contoh, pada masa kekuasaan Daulah Abbasiyah dan Kekaisaran
Turki Usmani, telah berkembang wakaf untuk membiayai pendidikan seperti untuk
membangun madrasah dan menyediakan beasiswa. Pada abad ke-10 M, di Iran
Selatan telah dibangun jembatan, penginapan murah, dan rumah sakit. Sementara itu
penghujung abad ke-10 M (tahun 991-993 M), di kota Baghdad didirikan perpustakaan
ternama yang didedikasikan untuk kepentingan penelitian, perkuliahan, dan
pengajaran. Menurut Goergo Maksidi, pada abad ke-11 M, wakaf telah menghidupi pendidikan
dan memiliki orientasi keagamaan dalam masyarakat Islam di kota Baghdad.[2]
Wakaf pertama
kali terjadi ketika Rasulullah SAW sampai di Madinah, beliau mendapat sebidang
tanah dari kaum Anshar yang kemudian didirikanlah di sana sebuah mesjid pertama
dalam sejarah umat Islam yang bernama mesjid Quba. Selanjutnya aktivitas wakaf
marak dilakukan hingga sekarang dalam rangka mengembangkan ajaran Islam dan
menciptakan kemaslahatan umum.
Perubahan dan pengalihan harta wakaf, yaitu memanfaatkan benda
wakaf berarti menggunakan benda wakaf tersebut, sedangkan benda asalnya (pokok)
tetap tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan dan tidak boleh diwariskan.
Namun, kalau suatu ketika benda wakaf itu sudah tidak ada manfaatnya, atau
kurang memberi manfaat banyak atau demi kepentingan umum kecuali harus
melakukan perubahan pada benda wakaf tersebut, seperti menjual, merubah bentuk
atau sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain,
bolehkah perubahan itu dilakukan terhadap pada wakaf tersebut? Menukar atau
menjual harta wakaf dalam istilah fiqih dikenal ibdal dan istibdal. Yang
dimaksudkan dengan Ibdal adalah
menjual barang wakaf untuk membeli
barang lain sebagai gantinya. Sedangkan Istibdal
adalah menjadikan barang lain sebagai barang pengganti barang wakaf asli yang
telah dijual.[3]
Dalam kitab fikih klasik disebutkan bahwa sebuah harta yang telah
diwakafkan maka tidak boleh dijual, minta dijualkan, diwariskan dan dihibahkan.
Dengan kata lain harta wakaf tidak boleh dialihfungsikan sehingga menyalahi
ikrar wakaf. Hal ini dilandaskan kepada keterangan dari Rasulullah SAW ketika melarang Umar bin Khattab yang mewakafkan tanah bagiannya
di Khaibar. Namun, jika pendapat ini
diaplikasikan di zaman sekarang, harta wakaf terkadang tidak efektif dalam
mencapai tujuannya karena disebabkan oleh beberapa alasan yang tidak bisa
dinafikan. Di antaranya letak harta wakaf yang
tidak strategis atau ikrar harta wakaf yang bertentangan dengan tata ruang kota
dan sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari
wakaf?
2. Apa saja dasar-dasar
hukum wakaf?
3. Apa saja macam-macam
dari wakaf?
4. Bagaimana pendapat
ulama tentang hukum mengganti atau menjual benda wakaf?
5.
Pendapat Ulama mana yang dipilih
dan hujjah yang digunakan?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui
pengertian dari wakaf.
2. Untuk mengetahui
dasar-dasar hukum wakaf.
3. Untuk mengetahui
macam-macam dari wakaf.
4. Untuk mengetahui pendapat
ulama tentang hukum mengganti atau menjual benda wakaf.
5.
Untuk mengetahui pendapat ulama yang dipilih
dan hujjah yang digunakan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf bentuk masdar dari ï»ï»—ï»’ - ﻳﻘﻒ - ï»ï»—ﻔﺎ kata al-waqf
semakna dengan al-habs bentuk masdar dari ØØ¨Ø³ – ÙŠØØ¨Ø³ - ØØ¨Ø³Ø§ artinya
menahan.[4]
Dalam pengertian istilah ulama berbeda redaksi dalam memberi rumusan. Wakaf
adalah menahan harta dan memberikan manfaatnya di jalan Allah. Dalam Mausu’ah
Fiqh Umar ibn al-Khattab disebutkan, wakaf adalah menahan asal harta dan
menjalankan hasil (buah) nya. Imam taqiyuddin Abi Bakr lebih menekankan
tujuannya, yaitu menahan atau menghentikan harta yang dapat diambil manfaatnya
guna kepentingan kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Al-Kazimy
al-Qazwiny mendefinisikan, hakikat wakaf adalah menahan suatu benda (‘ain) dan
menjalankan manfaatnya. Hal ini merupakan ibadah yang sangat dianjurkan oleh
Al-Quran dan Al-Hadits.[5]
Dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 215 Pasal 1 (1) PP. No. 28/ 1997 menyatakan: “Wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama.”[6]
Dalam UU No. 41 tahun
2004 tentang wakaf, Pasal 1 mendefinisikan pengertian wakaf sebagai berikut: “Wakaf
adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.”[7]
Berdasarkan urain di
atas, dapat dikatakan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum yang suci dan mulia,
sebagai shadaqah jariyah yang pahalanya terus-menerus mengalir walaupun
yang memberi wakaf telah meninggal dunia.
Dari beberapa definisi di atas, mengindikasikan sifat abadi wakaf
atau dengan ungkapan lain, istilah wakaf diterapkan untuk harta benda yang
tidak musnah dan manfaatnya dapat diambil tanpa mengonsumsi harta benda itu
sendiri. Oleh karenanya wakaf identik dengan tanah, kuburan, masjid, langgar,
meskipun adapula wakaf buku-buku, mesin pertanian, binatang ternak, saham dan
aset, serta uang tunai (wakaf tunai). Dengan demikian secara garis besar wakaf
dapat dibagi dalam dua kategori pertama,
direct wakaf di mana aset yang ditahan atau diwakafkan dapat menghasilkan
manfaat/jasa yang kemudian dapat digunakan oleh orang banyak seperti rumah
ibadah, sekolah dan lain-lain. Kedua, adalah
wakaf investasi (aset yang diwakafkan digunakan untuk investasi). Wakaf aset
ini dikembangkan untuk mengahasilkan produk atau jasa yang dapat dijual untuk
menghasilkan pendapatan, di mana pendapatan tersebut kemudian digunakan untuk
membangun fasilitas-fasilitas umum seperti masjid, pusat kegiatan umat Islam,
dan lain-lain.[8]
B. Dasar
Hukum Wakaf
1. Al-Quran
Dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang menganjurkan untuk
menunaikan wakaf, beberapa di antaranya adalah QS. Ali ‘Imran ayat 92:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan
(yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian
harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya
Allah mengetahui”.[9]
(QS: Ali Imran : 92)

“Hai orang-orang yang
beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhamnu dan perbuatlah
kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj: 77)[10]
Ayat lain yang menjadi rujukan mengenai wakaf
adalah surat Al-Baqarah ayat 261 dan 267:

Perumpamaan (nafkkah
yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah
adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tipa-tiap
bulir seratus biji. Alalh melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia
kehendaki, dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

“Hai orang-orang yang
beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu, dan
janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya,
padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
2. Hadits
Selain Al-Quran yang dijadikan sebagai rujukan dalam mengamalkan wakaf,
terdapat pula hadits yang dijadikan dasar mengamalkan wakaf:
Sunnah
Rasulullah SAW.

Dari Abu
Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda : “Apabila anak Adam
(manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga
perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak
sholeh yang mendoakan
orang tuanya”. (HR. Muslim).[11]
Hadits Nabi
yang secara tegas menyinggung dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi
kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar:

“Dari Ibnu Umar
ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra memperoleh sebidang tanah di Khaibar,
kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata: Ya
Rasulallah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah
mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?
Rasulullah menjawab: Bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu
sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak
dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkannya
kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil
dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf
itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik (sepantasnya) atau makan
dengan tidak bermaksud menumpuk harta.” (HR. Muslim).[12]
Al-Quran dan Hadits menganjurkan
agar manusia berbuat baik melalui sebagian dari hartanya, maka wakaf adalah
salah satu realisasi anjuran Al-Quran dan Hadits tersebut. Sesungguhnya melaksanakan wakaf bagi seorang muslim merupakan
realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu
melepaskan benda tersebut guna kepentingan orang banyak. Secara eksplisit, hukum wakaf itu menurut Az-Zuhaili[13]
sedikit ditetapkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah
tetapi sebagian besar ditetapkan oleh ijtihad, upaya para mujtahidin menginterpretasikan Al-Quran dan as-Sunnah, para fuqoha dengan mendasarkan pada istihsan,[14]
istishlah,[15]
dan ‘urf.[16]
3. Dalam hukum Indonesia sumber-sumber
pengaturan wakaf antara lain meliputi PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik, Permendagri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Pendaftaran Tanah
mengenai Perwakafan Tanah Milik, Permenag No. 1 Tahun 1978 tentang Peraturan
Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, dan berbagai
surat keputusan Menag dan Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama, serta
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI). Yang lebih penting di atas semua itu
adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perwakafan. Dalam pasal 70
ditegaskan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan
peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.[17]
C.
Macam-Macam Wakaf
1.
Wakaf Ahli atau Dzurri
Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang
atau lebih, baik keluarga si
wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf Dzurri ‘alal aulad yakni wakaf yang diperuntukkan bagi
kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkungan keluarga atau lingkungan
kerabat dekat.[19]
Apabila ada seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada
cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka yang
ditunjuk dalam pernyataan wakaf. Wakaf untuk keluarga ini secara hukum Islam
dibenarkan berdasarkan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum
kerabatnya. Di ujung hadits tersebut dinyatakan sebagai berikut:

Artinya: Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal tersebut. Saya berpendapat
sebaiknya kamu memberikannya kepada keluarga terdekat. Maka Abu Thalhah
membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak pamannya.
Dalam satu segi, wakaf ahli (dzurri)
ini baik sekali, karena si wakif akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan
dari amal ibadah wakafnya, juga kebaikan dari silaturrahmi terhadap keluarga
yang diberikan harta wakaf. Akan tetapi, pada sisi lain wakaf ahli ini sering
menimbulkan masalah, seperti: bagaimana kalau anak cucu yang ditunjuk sudah
tidak ada lagi (punah)? Siapa yang berhak mengambil manfaat benda (harta wakaf)
itu? Atau sebaliknya, bagaimana jika anak cucu si wakif yang menjadi tujuan
wakaf itu berkembang sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara
meratakan pembagian hasil harta wakaf?
Untuk mengantisipasi punahnya anak cucu (keluarga penerima harta
wakaf) agar harta wakaf kelak tetap bisa dimanfaatkan dengan baik dan berstatus
hukum yang jelas, maka sebaiknya dalam ikrar wakaf ahli ini disebutkan bahwa
wakaf ini untuk anak, cucu, kemudian kepada fakir miskin. Sehingga bila suatu
ketika ahli kerabat (penerima wakaf) tidak ada lagi (punah), maka wakaf itu
bisa langsung diberikan kepada fakir miskin. Namun, untuk kasus anak cucu yang
menerima wakaf ternyata berkembang sedemikian banyak kemungkinan akan menemukan
kesulitan dalam pembagiannya secara adil dan merata. Pada
perkembangan selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan
manfaat bagi kesejahteraan umum, karena sering menimbulkan kekaburan dalam
pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh keluarga yang diserahi harta wakaf. Di
beberapa Negara tertentu, seperti: Mesir, Turki, Maroko dan Aljazair, wakaf
untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan, karena pertimbangan dari berbagai segi,
tanah-tanah wakaf dalam bentuk ini dinilai tidak produktif.4
2.
Wakaf Khairi (Kebajikan)
Wakaf Khoiri atau wakaf umum adalah wakaf yang tujuan
peruntukannya sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum (orang banyak).[20] Wakaf yang
secara tegas untuk kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan
umum). Seperti wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid,
sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya. Wakaf ini
ditujukan kepada umum dengan tidak terbatas penggunaannya yang mencakup semua
aspek untuk kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya.
Kepentingan umum tersebut bisa untuk jaminan sosial, pendidikan, kesehatan,
pertahanan, keamanan dan lain-lain.
Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh lebih banyak
manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak terbatasnya
pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah yang
sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum.
Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif (orang yang mewakafkan harta) dapat
mengambil manfaat dari harta yang diwakafkan itu. Secara substansinya, wakaf inilah yang merupakan salah satu segi
dari cara membelanjakan (memanfaatkan) harta di jalan Allah. Dan tentunya kalau
dilihat dari manfaat kegunaannya merupakan salah satu sarana pembangunan, baik
di bidang keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian, kebudayaan,
kesehatan, keamanan dan sebagainya. Dengan demikian, benda wakaf tersebut
benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum), tidak hanya
untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.
Wakaf jenis ini jauh
lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak
terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat. Dan jenis wakaf inilah
yang paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara umum. Dengan demikian,
benda-benda wakaf tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan
umum, tidak hanya untuk kerabat saja.
D.
Pendapat Ulama tentang Hukum Mengganti atau
Menjual Benda Wakaf
Sistem wakaf merupakan
konsep yang tidak secara jelas dan tegas disebutkan dalam Al-Quran dan Hadits.
Berbeda dengan zakat yang secara jelas disebutkan di dalam Al-quran.[21]
Dalam Hukum
Islam pada dasarnya perubahan status wakaf tidak diperbolehkan, kecuali wakaf
tersebut tidak dapat kembali dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf, maka
perubahan itu dapat dilakukan terhadap wakaf yang bersangkutan. Para ulama/ahli
Hukum Islam memang beragam pendapatnya, tentang boleh tidaknya melakukan
perubahan status pada benda wakaf, seperti menjual, merubah bentuk/sifat,
memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain.
1.
Perubahan Status Wakaf Menurut Ulama Hanafiyah
Dalam perspektif
madzab Hanafi, ibdal (peraturan) dan istibdal (penggantian) boleh
dilakukan. Kebijakan ini berpijak dan menitikberatkan pada maslahat yang
menyertai praktik tersebut. Menurut mereka, ibdal boleh dilakukan oleh
siapapun, baik wakif sendiri, orang lain, maupun hakim, tanpa menilik jenis
barang yang diwakafkan, apakah berupa tanah yang dihuni, tidak dihuni,
bergerak, maupun tidak bergerak.[22]
Ulama Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dengan 3 hal:
a)
Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika
mewakafkan. Contoh, ketika wakif ingin berwakaf ia berkata: “Tanahku ini kau
wakafkan dengan syarat bahwa di kemudian hari aku bisa menggantinya dengan
barang wakaf yang lain, atau berhak untuk menjualnya dan membeli barang lain
sebagai gantinya.”
b)
Apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankannya, dengan kata
lain benda wakaf sudah tidak mendatangkan manfaat sama sekali, maka boleh
dijual dan hasilnya dibelikan tanah lagi yang lebih maslahat, dan penjualan
tanah wakaf tersebut harus mendapat izin dari hakim terdahulu.
c)
Jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih
bermanfaat.[23]
2.
Perubahan Status Wakaf menurut Ulama Malikiyah
Pada prinsipnya para ulama Malikiyah melarang keras penggantian barang
wakaf, namun mereka tetap memperbolehkan pada kasus tertentu dengan membedakan
barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak.
a)
Mengganti Barang Wakaf yang Bergerak
Kebanyakan fuqaha mazhab Maliki
memperbolehkan penggantian barang wakaf yang bergerak dengan pertimbangan
kemaslahatan. Imam Khurasyi berkata “jika barang wakaf merupakan benda
bergerak dan tidak bisa dimanfaatkan lagi seperti pakaian yang rusak atau kuda
yang sakit maka barang tersebut boleh dijual dan dibelikan barang sejenis yang
bisa diambil manfaatnya”. Untuk mengganti barang wakaf yang bergerak, ulama
Malikiyah mensyaratkan bahwa barang tersebut harus tidak bisa dimanfaatkan
lagi. Mengikuti syarat ini, kita boleh menjual buku-buku wakaf yang berisi
bermacam disiplin ilmu jika terlihat using, rusak, dan tidak dapat dipergunakan
lagi. Namun sebaliknya, kita tidak boleh menjual buku-buku itu selama masih
bisa digunakan.
b)
Mengganti Barang Wakaf yang Tidak Bergerak
Para ulama Malikiyah dengan tegas melarang
penggantian barang wakaf yang tidak bergerak, dengan mengecualikan kondisi
darurat yang sangat jarang terjadi atau demi kepentingan umum. Jika keadaan
memaksa, mereka membolehkan penjualan barang wakaf, meskipun dengan cara
paksaan. Dasar yang mereka gunakan sebagai pijakan adalah bahwa penjualan akan
berpeluang pada kemaslahatan dan kepentingan umum. Di antara penjelasan dari
pendapat ulama Malikiyah tersebut antara lain:
1) Masjid, ulama
Malikiyah bersepakat bahwa penjualan masjid yang diwakafkan mutlak dilarang.
Dan salah satu ulama’ Malikiyah Ibnu Syasi menyatakan bahwa Muhammad bin Abduh
memfatwakan: saya tidak menemukan perselisihan pendapat dari semua ulama
tentang pelarangan penjualan masjid.
2) Benda tidak bergerak
selain masjid, semua pengikut madzab Maliki mengeluarkan ijma’ tentang larangan
penjualan barang wakaf, benda wakaf yang tidak bergerak selain masjid selama
masih bisa dipergunakan atau masih bisa memberi manfaat, tidak boleh dijual.
Hal ini dengan mengecualikan kondisi darurat. Seperti perluasan masjid,
kuburan, jalan umum. Jika keadaan memaksa mereka membolehkan menjual barang
wakaf meski dengan cara paksaan. Dasar yang mereka gunakan sebagai pijakan
adalah bahwa penjualan akan berpulang pada kemaslahatan dan kepentingan umum.[24]
3.
Perubahan Status Wakaf menurut Ulama Syafi’iyah
Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama Syafi’iyah
dikenal lebih berhati-hati dibanding ulama madzab lainnya, hingga terkesan
seolah-olah mereka mutlak melarang istibdal (penggantian) dalam kondisi
apapun. Mereka mensinyalir penggantian tersebut dapat berindikasi
penyalahgunaan barang wakaf. Namun, dengan sangat hati-hati, mereka tetap
membahas masalah penggantian beberapa barang wakaf, secara garis besar dapat
diklasifikasikan dalam 2 kelompok:
a.
Kelompok yang melarang penjualan barang wakaf atau menggantinya. Mereka
melarang penjualan barang wakaf apabila tidak ada jalan lain untuk
memanfaatkannya, selain dengan cara mengkonsumsi sampai habis. Sebagai
implikasi pendapat tersebut, jika barang wakaf berupa pohon yang kemudia mengering
tidak berbuah dan hanya bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar, maka penerima wakaf
mempunyai wewenang untuk menjadikannya sebagai kayu bakar, tanpa memiliki
kewenangan menjualnya. Sebab, dalam pandangan mereka meskipun barang wkaaf
hanya bisa dimanfaatkan dengan cara mempergunakannya sampai habis, barang
tersebut tetap memiliki satu unsur yang menjadikannya sebagai barang wakaf,
sehingga tidak boleh dijual.
b.
Kelompok yang memperbolehkan penjualan barang wakaf dengan alasan tidak
mungkin dimanfaatkan seperti yang dikehendaki waqif. Pendapat ulama
Syafi’iyah tentang kebolehan penjualan barang wakaf ini berlaku jika barang
wakaf tersebut berupa benda bergerak. Mengenai hukum barang wakaf yang tidak
bergerak, ulama Syafi’iyah tidak menyinggung sama sekali dalam kitab-kitab
mereka. Hal ini mengindikasi seolah-olah mereka meyakini bahwa barang wakaf
yang tidak bergerak tidak mungkin kehilangan manfaatnya, sehingga tidak boleh
dijual atau diganti.
4.
Perubahan Status Wakaf menurut Ulama Hanabilah
Dalam masalah boleh tidaknya penggantian barang wakaf tidak membedakan antara barang bergerak
dan tidak bergerak. Bahkan, mereka mengambil dalil hukum penggantian benda tidak bergerak dari dalil yang mereka gunakan untuk menentukan hukum
penggantian benda bergerak. Sebagai contoh mereka menganalogikan bolehnya mengganti barang
wakaf selain Kuda, baik dari jenis benda bergerak maupun tak bergerak dengan
mendasarkan pada ijma’ yang
memperbolehkan penjualan kuda wakaf yang sudah tua dan tidak bisa digunakan untuk berperang
kendatipun masih bisa digunakan untuk keperluan yang lainnya. Seperti mengangkut
barang dan sejenisnya. Kalau penjualan Kuda Wakaf diperbolehkan. Kenapa menjual
barang yang lain tidak diperbolehkan? Imam Hanbali berpendapat bahwa boleh
menjual benda wakaf atau menukarnya, menggantinya, memindahkannya, dan
menggunakan hasil penjualannya tersebut untuk kemudian digunakan lagi bagi
kepentingan wakaf.[25]
Dalam pandangan mereka pada intinya menjual atau mengganti barang wakaf demi
suatu maslahat adalah sama dengan menjaga barang wakaf tersebut. Meski bentuk
penjagaannya tidak tertuju pada jenis atau bentuk barang wakaf yang asli.
Jika barang
wakaf rusak dan tidak menghasilkan apa pun. Maka barang tersebut boleh dijual
dan uangnya digunakan untuk membelikan barang lain sebagai penggantinya. Kita dapat
menyaksikan bahwa upaya ulama Hanabilah untuk melepaskan diri dari kekakuan
kehati-hatian yang berlebih. Mereka mempermudah izin penjualan barang wakaf
yang sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi dengan membeli barang lain sebagai
gantinya. Sikap mereka ini terlihat lebih luwes dari pada ulama Syafi’iyah atau
Malikiyah.[26]
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan
fatwa status hukum tanah Masjid, bahwa:
Pertama : Status tanah yang dimanfaatkan
untuk masjid adalah wakaf, walaupun secara formal belum memperoleh sertifikat
wakaf. Untuk itu, tanah masjid yang belum berstatus wakaf wajib diusahakan
untuk disertifikasi sebagai tanah wakaf.
Kedua: Tanah masjid yang sebagaimana
dimaksud dalam point pertama tidak boleh dihibahkan, tidak boleh dijual, tidak
boleh dialihkan atau diubah peruntukannya.
Ketiga: Benda wakaf dan status tanah wakaf
masjid tidak boleh diubah kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Syarat
tersebut yaitu penukaran benda wakaf diperbolehkan sepanjang untuk
merealisasikan kemaslahatan dan mempertahankan keberlangsungan manfaat wakaf.
Penukaran benda wakaf ini harus dilakukan
dengan pengganti yang memiliki nilai sepadan atau lebih baik. “Dimungkinkan,
itu pertimbangan terakhir bisa dilakukan penggantian tetapi dengan syarat
manfaatnya tetap jalan dan nilainya sepadan atau lebih baik. Baik itu nilai
ekonomis, kemanfaatan sosial, dan nilai historisnya,” kata Sekretaris Komisi
Fatwa MUI, Asrorun Ni’am.
Hal lain yang diatur dalam fatwa ini yaitu,
benda wakaf diperbolehkan untuk dijual dengan ketentuan adanya hajat dalam
rangka untuk menjaga maksud wakif. Hasil penjualan benda wakaf ini harus
digunakan untuk membeli harta benda lain sebagai wakaf pengganti.
Selanjutnya,benda wakaf dijual atau ditukar itu diperbolehkan sepanjang
kemaslahatan yang dirasakan lebih dominan.[27]
E.
Pendapat yang Dipilih dan Hujjah yang Digunakan
Kemanfaatan wakaf
merupakan tujuan utama dari tindakan seseorang mewakafkan harta. Jadi, harta
wakaf tetap sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan (kemaslahatan) umat. Dengan
demikian, semangat harta wakaf tetap dalam rangka mendapatkan manfaat yang
setinggi-tingginya bagi umat. Manfaat yang tinggi itu kadang kala dapat
dirasakan karena berlangsung lama, seperti digunakan untuk pembangunan masjid,
jalan, jembatan. Namun, adakalanya manfaat yang tinggi dihasilkan karena
sifatnya membantu pendidikan (beasiswa) atau pengobatan.[28]
Perubahan
status wakaf dalam Hukum Islam pada dasarnya tidak diperbolehkan, kecuali aset
wakaf tersebut tidak lagi dapat dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf, maka
terhadap aset wakaf yang bersangkutan dapat dilakukan perubahan tersebut. Bahwa mayoritas ulama seperti Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah
membolehkan penggantian atau perubahan pemanfaatan harta wakaf dengan beberapa
persyaratan, apabila harta wakaf tidak dapat dipertahankan sesuai dengan tujuan
semula dan atau adanya manfaat yang lebih besar dari wakaf semula, akan tetapi
golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa
wakaf mesti dipertahankan artinya meskipun telah hancur sebagiannya, sedangkan
sebagian lainnya masih dapat dimanfaatkan.
Terhadap peralihan atau perubahan status tanah wakaf adalah tidak
dapat dilakukan perubahan, baik perubahan status, peruntukkan ataupun
penggunaan selain dari pada apa yang sudah ditentukan di dalam ikrar wakaf.
Akan tetapi tidak ada satupun di atas dunia yang abadi. Menurut kodratnya
segala sesuatu akan berubah, dan bahkan karena kemajuannya yang terjadi di
dalam kehidupan manusia telah banyak dilakukan perubahan. Oleh karena itu dalam
keadaan tertentu, seperti keadaan tanah wakaf yang sudah tidak seusai lagi
dengan tujuan wakafnya sebagaimana yang telah diikrarkan oleh wakif, atau
kepentingan umum yang menghendakinya, maka perubahan tanah wakaf dapat
dilakukan.[29]
Sebagaimana diatur dalam Pasal l5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial. Artinya pemanfaatan tanah harus didasarkan pada tujuan untuk
kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, di samping untuk kepentingan pribadi
saling mengimbangi, sehingga dapat mencapai tujuan pokok kemakmuran, keadilan
dan kebahagian bagi seluruh rakyat.[30] Sama halnya
juga dengan tanah wakaf unsur tanah wakaf dan kepentingan umumnya lebih
diutamakan. Oleh karena itu dimungkinkan untuk mengadakan perubahan peruntukkan
atau penggunaan lain tanah wakaf yang sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana
yang dimaksudkan oleh wakif, ketika ikrar dilaksanakan, karena kepentingan umum
menghendaki atau tanah wakaf tersebut yang sudah tidak produktif lagi.
Wasit Aulawi menyatakan bahwa:“tentang perubahan status penggantian
benda dan tujuan wakaf, sangat ketat pengaturannya dalam mazhab Syafi’i. namun
dalam keadaan darurat dan prinsip maslahat dikalangan para ahli hukum Islam
mazhab lain, perubahan itu dapat dilakukan. Ini disandarkan pada pandangan agar
manfaat wakaf itu tetap berlangsung sebagai shadaqah
jariyah, tidak mubazir karena rusak, tidak berfungsi lagi dan sebagainya.
Semua perubahan itu dimungkinkan berdasarkan pertimbangan agar tanah atau harta wakaf itu
tetap mendatangkan manfaat.[31]
Meskipun dilihat dari kekuatan hukumnya wakaf merupakan ajaran yang
bersifat sunnah (anjuran), namun hal ini dapat memberikan arti yang sangat
besar bagi kemajuan dalam kehidupan masyarakat terutama umat Islam, baik dalam
bidang keagamaan maupun dalam bidang kemasyarakatan lainnya. Inilah yang
merupakan kelebihan perbuatan wakaf dengan perbuatan sedekah lainnya. Hal ini
dapat diketahui dari beberapa banyak bangunan Sekolah/Madrasah, perguruan
Tinggi, rumah sakit, panti asuhan, masjid dan sebagainya didirikan di atas
tanah wakaf. Selain itu juga untuk membayar gaji para guru/ stafnya serta
beasiswa para siswa/mahasiswa ada juga yang membayar gaji pada guru/stafnya
serta beasiswa para siswa/mahasiswanya ada juga yang bersumber dari wakaf.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Wakaf adalah menahan
harta atau suatu benda yang kekal zatnya dan memungkinkan untuk diambil
manfaatnya guna diberikan di jalan kebaikan untuk selamanya serta dimaksudkan
untuk mendapatkan keridhaan Allah dengan tujuan memperoleh pahala dan
mendekatkan diri kepada Allah.
2. Anjuran untuk
menunaikan wakaf terdapat di dalam beberapa hadits dan ayat-ayat Al-Quran, di
antaranya: QS. Ali ‘Imran ayat 92 dan QS. Al-Baqarah ayat 261 dan 267
serta beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
3. Wakaf itu berbentuk dua macam, yaitu wakaf ahli atau dzurri dan wakaf khairi (kebajikan).
4. Mayoritas ulama
seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah membolehkan penggantian atau
perubahan pemanfaatan harta wakaf dengan beberapa persyaratan, apabila harta
wakaf tidak dapat dipertahankan sesuai dengan tujuan semula dan atau adanya
manfaat yang lebih besar dari wakaf semula, akan tetapi
golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa
wakaf mesti dipertahankan artinya meskipun telah hancur sebagiannya, sedangkan
sebagian lainnya masih dapat dimanfaatkan. Perubahan status, penggantian benda dan tujuan wakaf, sangat ketat
pengaturannya dalam madzab syafi’i. Namun demikian, berdasarkan keadaan darurat
dan prinsip maslahah, di kalangan para ulama fiqih perubahan itu dapat
dilakukan. Ini disandarkan pada pandangan agar manfaat wakaf itu tetap terus
berlangsung sebagai shadaqah jariyah, tidak mubadzir karena rusak, tidak
berfungsi lagi dan sebagainya.
5. Dari kekuatan
hukumnya wakaf merupakan ajaran yang bersifat sunnah (anjuran), namun hal ini
dapat memberikan arti yang sangat besar bagi kemajuan dalam kehidupan
masyarakat terutama umat Islam, baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang
kemasyarakatan lainnya. Meskipun
hukum menjual atau menukar barang wakaf di kalangan ulama berbeda-beda
pendapat, namun inti dari semua dapat dikatakan bahwa penjualan atau penukaran
benda wakaf cenderung dilakukan apabila benda wakaf sudah dalam keadaan rusak,
atau tidak lagi memberi manfaat sesuai dengan tujuan pewakafnya. Selain itu,
adanya aspek persengketaan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian, baik
dari sisi materiil, maupun immaterial, menyebabkan penjualan atau penukaran
harta wakaf dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Abid Abdullah
Al-Kabisi, Muhammad, 2004, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan
Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta Penyelesaian atas
Sengketa Wakaf, Penerjemah
Ahrul Sani Faturrahman, dkk KMPC, Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaN
Press.
Ayudin, 2016, Hukum Jual Beli Harta Wakaf dalam Perspektif 4 Madzab
(Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hambali), Jurnal Maqosid,
Vol. 8, No. 2, Juli.
Daud Ali, Muhammad,1988, Sistem Ekonomi Islam, Jakarta: UI PRESS.
DEKS Bank Indonesia-DES-FEB UNAIR, 2016, Wakaf: Pengaturan dan Tata
Kelola yang Efektif, (Jakarta: Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah-Bank
Indonesia).
El Falahy, Lutfi, 2016, Alih Fungsi
Tanah Wakaf Ditinjau dari Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf, Al Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 1, No.
2.
Gautama,
Sudargo, 1990, Tafsir Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: Citra Aditya.
Hamami, Taufik, 2003, Perwakafan Tanah dalam Politik Hukum
Agraria Nasional, Jakarta: Tata Nusa.
Hayyie
Al-Kittani, Abdul, dkk, 2011, Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, Jakarta: Gema Insani.
Hazami, Bashlul, 2016, Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan
Kesejahteraan Umat di Indonesia, Jurnal Analisis, Vol. XVI, No. 1, Juni.
Huda, Nurul, Desti Anggraini, Nova Rini, Hudori, Yosi Mardoni, 2014, Akuntabilitas
sebagai Sebuah Solusi Pengelolaan Wakaf, Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
Vol. 5, No. 3, Desember.
Kartika Sari, Elsi,
2006, Pengantar Hukum Zakar dan Wakaf, Jakarta: PT. Grasindo.
Mahfudh, Sahal, 2004, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan
Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), Surabaya: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr
NU Jatim.
Muslim, Muslihun, 2015, Pergeseran Pemahaman terhadap Waqaf di Era Global
dan Implikasi Hukumnya, Jurnal Hukum Islam, Vol. 14, No. 2, Desember.
Rofiq, Ahmad, 2013, Hukum Perdata
Islam di Indonesia, Jakarta:
Rajawali Press.
Saidi, Muhammad, Pagar, M. Jamil, 2018, Alih Fungsi Harta Wakaf dalam
Perspektif Fiqh Syafi’iyyah dan UU No. 41 Tahun 2004, Jurnal At-Tazakki,
Vol. 2, No. 1, Januari-Juni.
Sirojudin Munir, Akhmad, 2015, Optimalisasi Pemberdayaan Wakaf secara
Produktif, Jurnal Ummul Qura, Vol. VI, No. 2, September.
Suchamdi, 2012, Eksistensi (Qabul) Penerimaan dalam Akad Wakaf, Jurnal
Justitia Islamica, Vol. 9, No. 2, Desember.
Sudirman Sesse, Muh., 2010, Wakaf dalam Perspektif Fikhih dan Hukum
Nasional, Jurnal Hukum Diktum, Vol. 8, No. 2, Juli.
Suryani, 2016, Wakaf Produktif (Cash Waqf) dalam Perspektif Hukum
Islam dan Maqasid Al-Shari’ah, Jurnal Walisongo, Vol. 24, No. 1, Mei.
Tho’in Muhammad dan Iin Emy Prastiwi, 2015, Wakaf Tunai Perspektif
Syariah, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 01, No. 01, Maret.
Usman, Rachmadi, 2009, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Usman,
Suparman, 1999, Hukum
Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Darul Ulum
Press.
Wadjdy, Farid, Mursyid, 2007, Wakaf dan Kesejahteraan Umat
(Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wahab Khalaf, Abdul,
1997, Ilmu Ushulul Fiqh, Gema Risalah Press, Bandung.
[1] Nurul Huda, Desti Anggraini, Nova Rini,
Hudori, Yosi Mardoni, Akuntabilitas sebagai Sebuah Solusi Pengelolaan Wakaf,
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 5, No. 3, Desember 2014, hlm. 485
[2]Suryani, Wakaf
Produktif (Cash Waqf) dalam Perspektif Hukum Islam dan Maqasid Al-Shari’ah,
Jurnal Walisongo, Vol. 24, No. 1, Mei 2016, hlm. 22
[5] Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan
Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004), (Surabaya: Lajnah
Ta’lif Wan Nasyr NU Jatim, 2004), Cet. 1, hlm. 716
[6] Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Cet.
1, hlm. 65-66
[8] Farid Wadjdy, Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan),
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cet. 1, hlm. 30-31
[9] Ayat ini menitik beratkan pada kata birr
yang berarti kebaikan yang memiliki keterkaitan dengan kata infaq. Sehingga
ayat ini sering dijadikan dalil utawa wakaf yang bersumber dari Al-Quran yaitu
1) kebaikan, 2) tindakan infak dan 3) harta yang dimiliki adalah paling
dicintai. Lihat Bashlul Hazami, Peran dan Aplikasi Wakaf dalam Mewujudkan
Kesejahteraan Umat di Indonesia, Jurnal Analisis, Vol. XVI, No. 1, Juni,
2016, hlm. 180
[10] Pada saat turunnya ayat di atas, sahabat
Nabi, Abu Thalhah, langsung mewakafkan kebun Bairaha, kebun yang paling
dicintainya melebihi hartanya yang lain. Lihat di buku DEKS Bank
Indonesia-DES-FEB UNAIR, Wakaf: Pengaturan dan Tata Kelola yang Efektif, (Jakarta:
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah-Bank Indonesia, 2016), hlm. 98
[11] Ubaedy, Hikmah Bersedekah (Berkah dalam
Kelapangan Hidup dengan Berbagai Kebaikan), (Jakarta: Bee Media Indonesia,
2009), hlm. 119
[12] Bashlul Hazami, Peran dan Aplikasi Wakaf
dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat di Indonesia, Jurnal Analisis, Vol.
XVI, No. 1, Juni, 2016, hlm. 181-182, Lihat juga di Al-Hafizh Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Terjemahan Lengkap Bulughul Maram, (Jakarta: Akbar Media
Eka Sarana, 2007), Cet. I, hlm. 417- 418
[13] Abdul Hayyie Al-Kittani, dkk, dalam: Fiqih
Islam Wa Adillatuhu Jilid 10, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 274.
[14] Istihsan adalah ketika
seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan
hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan
hukum kedua dari hukum yang pertama. Menurut Madzhab Hanafi istihsan itu
semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa
nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi`i, istihsan itu timbul karena rasa kurang
enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Dalam
perkembangan pemikiran hukum Islam,
Istihsan ini ditempatkan sebagai sumber hukum
sekunder, di kalangan penganut aliran pemikiran hukum
(madzhab) Hanafiyah. Kemudian berkembang pula secara terbatas
dalam aliran Malikiyah dan Hambaliyah,
sekalipun dengan istilah-istilah yang berbeda. Yang dicatat
sebagai seorang tokoh yang menolak menempatkan Istihsan
itu sebagai suatu sumber hukum sekunder, adalah Imam Syafi'i, karena beliau
berpendapat, kaidah-kaidah interpretasi atas
ketentuan-ketentuan syari'ah (Al-Quran dan Sunnah)
ditambah dengan analogi qias, sudah cukup, untuk
menampung segala perkembangan yang terjadi, yang
perlu ditata dalam hukum Islam.
[15] Istishlah merupakan suatu
konsep dalam pemikiran hukum Islam yang menjadikan mashlahah
(kepentingan atau kebutuhan manusia) yang sifatnya tidak terikat (mursalah)
menjadi suatu sumber hukum sekunder.
[16] Urf adalah segala sesuatu
yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi
baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan
tertentu, sekaligus disebut adat. Lihat, Prof. Dr.
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, Gema Risalah Press,
Bandung, 1997, hlm. 149. Menurut ahli Syara`,‘urf bermakna adat. Dengan kata
lain‘urf dan adat itu tidak ada perbedaan.‘Urf tentang perbuatan manusia
misalnya, seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan
tidak mengucapkan ijab qabul. Untuk ‘urf yang bersifat ucapan atau perkataan,
misalnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang lafaz
tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan bukan anak wanita.
[17] Akhmad Sirojudin Munir, Optimalisasi
Pemberdayaan Wakaf secara Produktif, Jurnal Ummul Qura, Vol. VI, No. 2,
September 2015, hlm. 99-100
[18] Suparman Usman, Hukum Perwakafan di
Indonesia, (Jakarta: Darul Ulum
Press, 1999), Cet. ke-2, hlm. 35
[19] Muh. Sudirman Sesse, Wakaf dalam
Perspektif Fikhih dan Hukum Nasional, Jurnal Hukum Diktum, Vol. 8, No. 2,
Juli 2010, hlm. 149
[21] Muhammad Tho’in dan Iin Emy Prastiwi, Wakaf
Tunai Perspektif Syariah, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol. 01, No. 01,
Maret 2015, hlm. 73
[22] Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum
Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan
Wkaf serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Penerjemah Ahrul Sani
Faturrahman, dkk KMPC, (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaN Press,
2004), hlm. 349
[23] Muhammad Saidi, Pagar, M. Jamil, Alih
Fungsi Harta Wakaf dalam Perspektif Fiqh Syafi’iyyah dan UU No. 41 Tahun 2004,
Jurnal At-Tazakki, Vol. 2, No. 1, Januari-Juni 2018, hlm. 107
[24] Ayudin, Hukum Jual Beli Harta Wakaf
dalam Perspektif 4 Madzab (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam
Hambali), Jurnal Maqosid, Vol. 8, No. 2, Juli 2016, hlm. 69-71
[25] Suchamdi, Eksistensi (Qabul) Penerimaan
dalam Akad Wakaf, Jurnal Justitia Islamica, Vol. 9, No. 2, Desember, 2012,
hlm. 35
[26] Ayudin, Hukum Jual Beli Harta Wakaf
dalam Perspektif Empat Imam Madzab (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan
Imam Hambali), Jurnal Maqosid Volume 8, No. 2, Juli, 2016, hlm. 71-72
[27] Lutfi El Falahy, Alih Fungsi Tanah Wakaf Ditinjau dari Hukum
Islam dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Al Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 1, No.
2, 2016, hlm. 129-130
[28] Muslihun Muslim, Pergeseran Pemahaman terhadap
Waqaf di Era Global dan Implikasi Hukumnya, Jurnal Hukum Islam, Vol. 14,
No. 2, Desember 2015, hlm. 234
[29] Taufik Hamami, Perwakafan Tanah dalam Politik
Hukum Agraria Nasional, (Jakarta: Tata Nusa, 2003), hlm. 30
No comments:
Post a Comment