Sunday, June 3, 2018

BANK MATA DAN ORGAN TUBUH LAIN (TRANSPLANTASI)




BANK MATA DAN ORGAN TUBUH LAIN (TRANSPLANTASI)


Makalah

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Fiqh Kontemporer





Dosen Pengampu :

Dr. Tutik Hamidah M.Ag








Pemakalah :

Arif Setiawan (16771025)







PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
i
Mei 2018





KATA PENGANTAR
بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ


Segala  puji  bagi  Allah  yang  telamelimpahkan  rahmat,  taufiq,  dan hidayah Nya sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul Bank Mata dan Organ Tubuh Lain” ini penulis susun dengan sebaik mungkin sehingga diharapkan dapat memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Kontemporer.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak luput dari berbagai kelemahan dan keterbatasan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan bimbingan dan saran-saran yang membangun dari para pembaca sekalian agar makalah ini dapat  dibuat  lebih  baik  lagi.  Namun  walaupun  demikian,  mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan kita informasi atau menyegarkan ingatan kita mengenai hukum bank mata dan organ tubuh lain.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan di bidang ilmu Fiqh Kontemporer dan juga semoga dapat memberikan kita sebuah motivasi untuk mengkaji bank mata dan organ tubuh lain. Aamiin.


Penulis,









Arif Setiawan

NIM. 16771025






DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………….. Daftar Isi ……………………………………………………………


ii iii

BAB I……………………………………………………………..

1
A.
Pendahuluan………………………………………………………
1

1.   Latar Belakang………………………………………………..
1

2.   Rumusan Masalah…………………………………………….
3


BAB II.……………………………………………………………..

4
B.
Pembahasan……………………………………………………….
4

1.   Deskripsi Masalah………………………………………….
4

2.   Pendapat dan Hujjah Ulama………………………………
 8


BAB III.…………………………………………………………..

21
C.
Penutup………………………………………………………………
21

1.   Kesimpulan………………………………………………………
21

Daftar Pustaka…………………………………………………….
22
























BAB I
PENDAHULUAN

A Pendahuluan

1.   Latar Belakang
Tujuan syariat Islam (maqasid al-syariah) adalah untuk memelihara lima kemaslahatan bagi manusia, yaitu memelihara agama (hifz al-din), jiwa raga (hifz al-nafs), keturunan (hifz al-nasl), harta benda (hifz al-mal), dan akal (hifz al-‘aqal).[1]
Hal senada dikemukakan oleh Osman Abd el- Malek al-Saleh, bahwa Islam guarantees five essential things to all person. These include: (1) religion, (2) life), (3) mind, (4) posterity, and (5) property[2] (Islam menjamin lima hal pokok bagi setiap orang. Kelima hal itu, adalah (1) agama, (2) hidup, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) hak milik/harta).
Relevan dengan tujuan syariat Islam, khususnya pemeliharaan jiwa tersebut, manusia diwajibkan oleh Islam untuk menjaga kesehatannya dan berobat jika menderita penyakit, sesuai isyarat hadis Nabi saw:
[3]
Abu  Hurairah  berkata,  Rasulullah  saw  telah  bersabda:  Allah  tidak  hanya  menurunkan penyakit, namun juga menurunkan obatnya.’ (HR Bukhari)
Hadis ini memberikan harapan kepada semua orang sakit untuk mendapatkan pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakitnya, juga memberikan harapan kepada para dokter untuk mendapatkan obat terhadap semua macam penyakit, baik sekarang maupun di masa akan datang.[4]
Bahkan Nabi saw telah memberikan informasi mengenai upaya penyembuhan penyakit melalui tiga metode seperti yang diungkapkan dalam hadisnya:

 

                                                                                                                     [5]

Dari  Ibn  Abbas,  Nabi  saw  telah  bersabda:  Kesembuhan  (pengobatan  terhadap  penyakit) dengan tiga cara:  dengan operasi, atau minum madu, atau dicos dengan api.” (HR Bukhari).

Dalam hadis ini Nabi saw menyebutkan tiga macam bentuk pengobatan, yaitu yang digunakan lewat operasi (syurtah al-mihjam), lewat mulut dan pemanasan dengan api. Pengobatan lewat mulut bisa dengan meminum madu, atau obat-obatan medis yang digunakan dengan cara meminumnya, seperti pil dalam bentuk tablet atau kapsul. Sedangkan pengobatan dengan pemanasan di  antaranya  pengobatan  tradisional  yang  memanfaatkan  panas  api.  Adapun  pengobatan  lewat operasi pada umumnya dilakukan oleh dokter spesialis ahli bedah.
Kedua  hadis  di  atas  pada  prinsipnya  mewajibkan  manusia  untuk  berusahmengobati penyakit atau kelainan yang dialaminya. Namun dalam realitasnya penyakit yang diderita manusia tidak selamanya dapat disembuhkan dengan obat-obatan baik obat medis biasa maupun obat tradisional,  seperti  hilangnya  fungsi  ginjal,  jantung,  atau  mata  (buta).  Hal  itu  berbeda  dengan gangguan  fungsi  ginjal, jantung dan  mata,  yang pada  umumnya  dapat  dikembalikan  fungsinya melalui obat-obatan. Salah satu alternatif untuk mengembalikan fungsi ginjal, jantung, dan mata adalah dengan mengganti organ tubuh tersebut, melalui operasi khusus yang biasa disebut transplantasi organ tubuh. Transplantasi pada umumnya dilakukan terhadap ginjanl, jantung dan mata, sebab dari sisi anatomi tubuh manusia, ketiga organ tubuh tersebut memiliki fungsi yang sangat vital bagi kehidupan manusia.
Walaupun transplantasi organ tubuh dapat memberikan solusi terbaik dalam mengembalikan fungsi organ tubuh yang memiliki fungsi yang vital dalam kehidupan resipien, namun pelaksanaan transplantasi organ tubuh tersebut perlu dianalisis dari sudut hukum Islam. Demikian pula pemanfaatan janin untuk ditransplantasi kepada resipien. Karena transplantasi organ tubuh dan janin erat pula kaitannya dengan kepentingan (keselamatan hidup) donor yang masih hidup atau dalam kondisi koma. Begitu pula donor yang telah meninggal dunia sebab ada larangan merusak tubuh mayit. Dalam kaitan ini apakah transplantasi organ tubuh donor dari mayit tidak identik dengan merusak mayit.

penulis ingin mengkaji lebih mendalam dan menyikapi bagaimana hukum transplantasi organ tubuh.

2.   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:

1.   Bagaimana deskripsi tentang  Bank Mata dan Organ tubuh lain serta transplantasi organ tubuh?

2.   Bagaimana pendapat ulama dan hujjahnya tentang hukum transplantasi organ tubuh?



BAB II PEMBAHASAN
B.   Pembahasan

1.   Deskripsi Masalah

a.   Sejarah Bank Mata

Bank Mata adalah sebuah Lembaga yang menghimpun kornea mata yang disumbangkan guna kepentingan kemanusiaan bagi mereka yang memerlukan penggantian kornea mata akibat suatu penyakit atau kecelakaan Faktor kerusakan mata bawaan dari lahir, tertusuk pensil, pulpen, peniti, kemasukan pasir, bahkan akibat dari umpan pistol-pistolan yang mengenai mata akan mengakibatkan mata menjadi rusak.[6]
Terdorong oleh rasa perikemanusiaan atas kepedihan dan penderitaan para penderita Tuna netra, dua abad yang lalu (1789), kalangan medis telah berupaya untuk dapat memulihkan penglihatan seseorang yang menderita kebutaan seperti manusia normal lainnya. Percobaan demi percobaan dengan tabah dilakukan oleh kalangan medis, sehingga 56 tahun yang silam diperoleh hasil gemilang. Kalangan medis dapat memulihkan penglihatan seseorang yang sebelumnya menderita kebutaan, asalkan kebutaan yang dideritanya karena kerusakan atau kekeruhan kornea matanya.
Kemajuan ilmu pengetahuan kalangan medis ini berupa transplantasi (pemindahan) kornea mata dari seseorang yang telah meninggal, kepada seseorang cacat mata. Kepandaian ini di Indonesia baru dimengerti dan dikenal oleh kalangan medis dan para terpelajar yang berminat. Disamping berita transplantasi kornea ini merupakan kejutan dalam masyarakat, terbukti putra-putra Indonesia telah menunjukan kemampuannya menguasai pengetahuan ini untuk dharma bakti kepada masyarakat, khusus untuk para cacat tunanetra. Untuk pertama kali usaha pencangkokan kornea mata di Indonesia dipelopori  oleh Prof. Dr. Isak Salim dengan kornea sumbangan dari Bank Mata Internasional Srilanka. Pratek ini dilakukan pada pertengahan tahun 1967 dan peristiwa ini merupakan riwayat dimulainya kegiatan transplantasi kornea di Indonesia.
Suatu hal yang mendorong berdirinya PPMTI-Bank Mata Indonesia, adalah keluarnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI no 8 (birhub) 1967 tertanggal 24 Juli 1967 yang menyatakan antara lain: KEBUTAAN DI INDONESIA MERUPAKAN BENCANA NASIONAL. Selanjutnya Surat Keputusan tersebut menjelaskan angka kebutaan di Indonesia meliputi 1 % dari jumlah penduduk dan sebanyak 10 % dari para cacat tunanetra dapat dipulihkan penglihatannya dengan cara pencangkokan kornea mata. Umumnya mereka ini menderita kekeruhan dan kerusakan kornea. Penglihatan mereka akan dapat pulih seperti daya penglihatan orang normal, bila operasi yang dijalani berhasil. Hal ini menimbulkan tergugahnya hati para sosiawan, sehingga secara spontan pada tanggal 10 Maret 1968 secara resmi para sosiawan ini menghimpun diri dalam suatu badan : ”PERKUMPULAN PENYANTUN MATA TUNANETRA”., [7].

b.  Transplantasi Mata dan Organ tubuh lain
Secara etimologis transplantasi berasal dari bahasa Inggris, transplantation (kata benda) dari kata kerja (verb) to transplant, yang menurut Taylor berarti to take up and plant to another” (mengambil dan menempelkan pada tempat lain). Sedangkan menurut Hornby, dkk, to transplant, diartikan dengan to move from one place to another” (memindahkan dari satu tempat ke tempat lain). Kedua makna ini bersifat umum mencakup tumbuhan, hewan dan manusia.
Sebenarnya kata transplantasi pada awalnya digunakan pada tumbuhan dengan makna pencangkokan  namun  dalam perkembangannyterjadi  perbedaan    makna  antara  pencangkokan dengan transplantasi dari sisi prosesnya. Pencangkokan pada flora dilakukan dengan cara memotong kulit ranting, mengupayakan agar tumbuh akar pada ptongan kulit atas, kemudian memotong ranting tersebut untuk ditanam di tanah. Sedangkan proses transplantasi pada garis besarnya adalah pemotongan organ dan jaringan, kemudian diokulasikan pada bagian tubuh tertentu untuk hidup menyatu antara yang menempel dan yang ditempeli. Karena itu sebenarnya transplantasi adalah occulation atau penempelan.[8]
Secara terminologi transplantasi adalah ”pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.[9]
Transplantasi menurut istilah kedokteran berarti memindahkan jaringan dari suatu tempat ke tempat lain,” atau pemindahan bahan yang hidup (sel, jaringan atau organ) dari suatu tempat ke tempat lain dalam susunan yang berbeda.” Transplantasi juga dapat pula diartikan dengan suatu upaya medis untuk memindahkan jaringan, sel atau organ tubuh dari donor kepada resipien[10]  secara okulasi.
Transplantasi merupakan salah satu temuan teknologi kedokteran modern dengan metode kerja berupa ”pemindahan jaringan atau organ tubuh dari satu tempat ke tempat lain lainnya. Hal ini dapat dilakukan pada satu individu atau dua individu.[11] Dengan demikian transplantasi tidak hanya diterapkan untuk organ tubuh tetapi juga pada jaringan dan sel, baik manusia maupun hewan.
Berdasarkan jenis transplantasi yang digunakan dalam dunia kedokteran, transplantasi terdiri dari dua jenis:
1) Transplantasi jaringan, seperti pencangkokan cornea mata.
2) Transplantasi organ, seperti pencangkokan ginjal, jantung dan sebagainya.
Ditinjau dari segi hubungan genetik antara donor dan resipien, transplantasi dapat dibedakan menjadi 3:
1)  Autotransplantasiyaitu transplantasi  yang dilakukan  terhadap resipien  dan donor pada satu individu. Atau pencangkokan internal dalam tubuh seseorang. Misalnya, orang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan dari bagian badannya.
2) Homotransplantasi (allottransplantasi), yaitu transplantasi yang dilakukan terhadap resipien dan donor pada individu yang sama jenisnya. Donor dan resipien sama-sama manusia tetapi berlainan individu. Misalnya, penderita gagal ginjal, ditransplantasi dengan ginjal orang lain, baik donor dari orang hidup maupun dari orang mati.
3) Heterotransplantasi (Xenotransplantasi), yaitu transplantasi yang dilakukan terhadap resipien dan donor pada dua individu yang berbeda jenis. Misalnya mentransplantasi jaringan atau organ dari babi (khususnya jantung babi) ke manusia. Menurut Tim Klinik RS Dr. Sardjito Yogyakarta membuktikan, bahwa katup jantung babi paling sesuai sebagai katub jantung manusia.[12]
Di samping itu berdasarkan kondisi donornya, transplantasi dapat dibedakan dalam tiga tipe:
1)  Donor  dalam  kondisi  hidup  sehat.  Dalam tipe  diperlakukan  seleksi  yang  cermat  dan  harus diadakan general chek up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap dan menyeluruh) baik terhadap donor maupun resipien. Hal ini dilakukan untuk menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh adanya penolakan tubuh rispien dan juga untuk menghindari dan mencegah resiko bagi donor. Sebab menurut data statistik 1 dari 1.000 donor meninggal dan si donor juga was-was dan merasa tidak aman, karena menyadari dengan mendonorkan sebuah ginjal misalnya dia tidak akan memperoleh kembali ginjalnya seperti semula.

2) Donor dalam keadaan koma. Jika donor dalam keadaan koma, atau diduga kuat akan meninggal segera, maka dalam pengambilan organ tubuh donor membutuhkan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernapasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya. Hanya kriteria mati secara medis/klinis dan yuridis, perlu ditentukan dengan tegas dan tuntas, apakah kriteria mati itu ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernapasan, atau ditandai dengan berhentinya fungsi otak.
3) Donor dalam keadaan meninggal. Dalam tipe ini organ tubuh yang akan ditransplantasi diambil saat donor sudah meninggal berdasarkan ketentuan medis dan yuridis. Di samping itu harus diperhatikan daya tahan organ yang akan ditransplantasikan, apakah masih ada kemungkinan untuk bisa berfungsi bagi resipien atau apakah sel-sel dan jaringan sudah mati, sehingga tidak berguna lagi bagi resipien.[13]







2.   Pendapat dan Hujjah Ulama


Transplantasi organ tubuh merupakan salah masalah hukum Islam kontemporer yang belum dijelaskan secara tekstual dalam al-Qur’an dan hadis Nabi saw, di samping itu transplantasi dalam pelaksanaannya melibatkan berbagai disiplin keilmuan sehingga harus dianalisis secara multidisipliner, baik kedokteran, biologi, hukum, etika dan agama, agar bisa diperoleh kesimpulan berupa hukum ijtihadi (hukum fiqh Islam) yang proporsional dan mendasar.[14]
Dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait dengannya:
1) Donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk dipasangkan kepada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit, atau terjadi kelainan.
2) Resipien, yaitu orang yang menerima organ tubuh  dari donor yang karena satu dan lain hal, organ tubuhnya harus diganti.

3) Tim ahli, yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak donor kepada pihak resipien.[15]
Untuk mengetahui hukum transplantasi organ tubuh manusia itu harus dikaitkan dengan kondisi donor, apakah donornya dalam kondisi hidup sehat, koma atau sudah meninggal dunia.
a. Hukum Transplantasi Organ Tubuh dari Donor yang Masih Hidup
Pada  dasarnya  Islam  sangat  memuliakan  manusia  serta  memelihara  hak  hidup  setiap individu. Bahkan Allah sendiri telah memuliakan manusia dengan firman-Nya dalam QS al-Isra (17): 70
 










Dan Sesungguhnya Kami telah memuliakan manusia. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.[16]





Jika Allah Yang Maha Mulia saja berkenan memuliakan manusia, maka siapapun tidak berhak mengganggu kemuliaan dan harkat martabat orang lain, baik perasaan, harga diri dan keselamatan jiwanya. Setiap orang memiliki hak hidup yang tidak boleh dirampas oleh orang lain tanpa alasan yang sah menurut hukum. Di samping itu manusia hanya memiliki hak pakai terhadap jasad termasuk organ tubuhnya. Tubuh manusia adalah hak milik Allah, sehingga harus didayagunakan sesuai dan tidak bertentangan dengan kehendak Allah. Karena itu pemanfaatan organ tubuhnya pun tidak boleh membahayakan keselamatan jiwanya.
Karena itu melakukan transplantasi ogan tubuh yang sangat vital dari donor yang masih hidup sehat haram hukum dengan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Firman Allah dalam QS al-Baqarah (2): 195




  ...Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.[17]

Ayat ini mengandung dalalah ibarah, bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan- tindakan yang dapat membahayakan dirinya. Dalam kaitan ini orang hidup sehat yang mendonorkan organ tubuhnya (sebuah ginjal atau mata) untuk ditransplantasikan kepada resipien, dapat dipastikan secara medis akan membahayakan keselamatan jiwanya. Karena donor hanya memiliki sebuah ginjal atau paru-paru yang pada gilirannya fungsi ginjal dan paru-parunya menjadi berkurang, terganggu bahkan mungkin gagal total. Jika hal itu terjadi maka keselamatan jiwa donor akan terancam yang bisa berakibat kematian bagi dirinya
2. Kaidah fiqh


Menolak mafsadat (bahaya) didahulukan daripada meraih maslahat (manfaat).[18]


Maksudnya, seseorang donor dilarang membahayakan dirinya untuk menolong orang lain (resipien). Sebab penyakit atau cacat yang dialami resipien masih ada pilihan lain dengan menggunakan  organ  tubuh  dari  donor  laiyang  tidak  membahayakan  keselamatan  jiwanya, seperti donor yang sudah meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw: la darara wala dirara (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain).
3. Kaidah fiqh:
 


Kemudaratan (bahaya) tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan (bahaya) lagi.[19]

Jika donor mentransplantasikan salah satu organ tubuhnya kepada resipien maka pada satu sisi tindakan donor itu dapat menghindarkan resipien dari kematian, namun pada sisi lain justru keselamatan jiwa donor menjadi terancam.
Relevan dengan uraian di atas M. Nuaim Yasin mengemukakan bahwa pendonoran organ tubuh  manusimengharuskan  untuk  memindahkan  hak Allah  dan hak manusiyang berkaitan dengan organ tubuh yang ditransplantasi. Dalam hal ini tidak dibolehkan bagi seseorang melaksanakan haknya bila tindakannya itu berkaitan atau bertentangan dengan hak Allah, kecuali izin seseorang untuk memindahkan haknya itu tidak bertentangan dengan apa yang diizinkan oleh syariat dan hak Allah terhadap organ tubuh yang dipindahkan. Yang diizinkan oleh syariat ialah supaya perlakuan itu bisa menjadi jalan untuk menghidupkan hak Allah yang lebih besar pada organ tubuh yang dipindahkan.
Karena itu pendonoran organ tubuh manusia tidak dibolehkan kecuali jika menjadi sebab yang kuat untuk menolak bahaya yang lebih besar pada resipien, daripada bahaya yang terjadi pada donor akibat diambil organ tubuhnya. Dengan demikian mendonorkan organ tubuh orang hidup sehat, haram hukumnya jika menyebabkan kematian donor walaupun tindakannya itu memberikan kemaslahatan hidup bagi resipien. Sebab kemaslahatan yang diperoleh dari transplantasi organ tubuh donor tersebut, tidak lebih besar daripada bahaya yang ditimbulkannya.[20]
Tegasnya, bahwa maslahat bagi resipien yang diperoleh melalui transplantasi organ tubuh donor yang masih hidup sehat tidak sebanding dengan bahaya kematian yang dialami donor. Padahal suatu bahaya tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan bahaya yang lain, apalagi bahaya yang timbul justru lebih besar daripada manfaat yang diperoleh.
Selaras dengan uraian di atas muncul penolakan ulama kontemporer lain Mufti Muhammad Syafi’ dari Pakistan terhadap transplantasi organ tubuh manusia didasarkan atas 3 prinsip, yakni (1) kesucian hidup/tubuh manusia; (2) tubuh manusia adalah amanah, dan (3) praktek itu disamakan dengan memperlakukan tubuh manusia sebagai benda material. Demikian pula penolakan dari Dr. Abd al-Salam al-Syukri dari Mesir dengan alasan: (1) kesucian tubuh manusia, (2) larangan menggunakan benda terlarang sebagai obat, (3) menjaga kemuliaan hidup manusia, (4) menghindari keraguan.[21]  Kedua ulama tersebut memiliki kesamaan pendapat terhadap larangan transplantasi organ tubuh manusia khususnya yang masih hidup atau koma.

Karena itu pula penggunaan tulang manusia untuk pengobatan diperselisihkan oleh ulama klasik. Menurut ulama Hanafiah, penggunaan tulang manusia atau tulang babi untuk pengobatan adalah perbuatan keji sebab mengambil manfaat dari kedua benda itu merupakan perbutan terlarang. Hal  ini  sejalan  dengan  pendapat  mazhab  Syafi’iahHanabilah  dan  Imamiah  bahwa  seseorang dilarang memotong bagian mana pun dari tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain yang sedang menderita kelaparan berat. Karena tindakannya itu dapat membahayakan dirinya sendiri. Begitu pula dilarang memotong bagian tubuh makhluk hidup untuk menyelamatkan dirinya sendiri.[22] Penolakan ulama mazhab tersebut juga didasarkan kepada beberapa prinsip yang telah dikemukakan kedua ulama kontemporer di atas.
Adapun transplantasi organ tubuh seperti kornea mata, kulit dari donor yang masih hidup menurut sebagian ulama adalah boleh. Alasannya, adalah karena membolehkan memberikan pengampunan qisas dan diat, sesuai QS al-Baqarah: 178
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌۗ
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Di samping itu, kornea sebuah mata donor yang ditransplantasikan kepada resipien hanya mengakibatkan terganggunya penglihatan donor, namun tidak akan menyebabkan kematian bagi donor. Demikian pula mendonorkan sebagian kulitnya kepada resipien.  Karena itu menurut Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia yang bersidang pada 23 dan 24 Juni 1970 yang membahas pemindahan organ, secara khusus pemindahan jantung dan mata, menetapkan syarat transplantasi dari donor orang hidup, antara lain:
(i) Tidak menyebabkan penderma (yang masih hidup) menanggung kemudaratan pada dirinya seperti mati atau cacat (hilang pendengaran, penglihatan dan kemampuan untuk bergerak).
(ii) Pemindahan berlaku dengan izin penderma berkenaan.
(iii) Keizinan berkenaan berlaku dalam keadaan penderma memiliki kelayakan penuh untuk melakukannya. Atas sebab ini, keizinan tidak boleh diberi oleh kanak-kanak, orang gila atau orang yang dipengaruhi oleh tekanan, paksaan atau kekeliruan.
(iv) Tidak berlaku dengan cara yang mencabul kehormatan manusia seperti melibatkan urusan jual beli. Sebaliknya ia perlu dilakukan berasaskan keizinan dan pendermaan semata-mata.
(v) Para doktor yang melakukan urusan pemindahan berkenaan mempunyai asas keilmuan yang cukup   untuk   membuat   pertimbangan   bai buruk   terhadap   penderm dan   penerima berdasarkan prinsip maslahah (kebaikan) dan mafsadah (kerosakan) seperti yang terdapat dalam syariat Islam. [23]
b. Hukum Transplantasi Organ Tubuh dari Donor dalam Kondisi Koma
Seseorang yang berada dalam kondisi koma secara medis sangat membutuhkan perawatan dan pengobatan yang serius sebagai upaya penyembuhan dari penyakit yang dideritanya. Kondisi pasien tersebut dapat dikategorikan berada dalam kondisi kritis” sehingga jika salah satu organ tubuh yang sangat vital didonorkan melalui transplantasi, maka akan mempercepat kematian donor. Hal itu identik dengan euthanasia aktif, sebab secara medis telah diketahui bahwa penyakit donor akan semakin parah, bahkan akan mempercepat kematiannya jika ginjal, jantung atau matanya ditransplantasikan kepada orang lain (resipien).
Karena itu transplantasi organ tubuh dari donor yang berada dalam kondisi koma, haram hukumnya dengan beberapa alasan sebagai berikut:
1. Hadis Nabi saw riwayat Ibn Majah dari Ibn Abbas dan Ubadah bin Shamit[24] 

Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain’.
Hadis  ini  mengandung  kesan  keadilan  dalam perilaku  serta  secara  moral  menunjukkan mulianya akhlak karena tidak mau memudaratkan orang lain tetapi juga tidak mau dimudaratkan oleh orang lain. Bahkan sebaliknya kita harus memberi manfaat kepada orang lain tanpa membahayakan diri sendiri dan orang lain juga memberi manfaat kepada kita tanpa membahayakan dirinya sendiri.[25]
Hadis  ini  melarang tindakan  membahayakan  keselamatan  orang lain.  Dengan  demikian tindak mentransplantasi organ tubuh donor yang berada dalam kondisi koma juga dilarang. Larangan di sini menimbulkan hukum haram. Sebab donor seharusnya ditolong secara medis agar penyakitnya bisa disembuhkan dan bukan malah ditransplantasi organ tubuhnya. Donor yang sehat saja sudah mengalami  gangguan  bahkan  terancam jiwanya  setelah  organ  tubuhnya  ditransplantasi,  apalagi donor yang berada dalam kondisi kritis.
Tindakan transplantasi organ tubuh dari donor yang koma tetap dilarang walaupun bertujuan untuk menyelamatkan jiwa resipien. Dalam hukum Islam kondisi darurat tidak membolehkan melakukan tindakan yang dapat membahayakan jiwa orang lain. Kondisi darurat yang membolehkan melakukan hal-hal yang dilarang syariat hanya berkaitan dengan dispensasi terhadap hak-hak Allah semata dan bukan berkaitan dengan hak manusia (haq adami). Donor yang berada dalam kondisi koma memiliki hak penuh atas organ tubuhnya dan keselamatan jiwanya. Karena itu tidak boleh dirampas dengan alasan untuk kepentingan keselamatan jiwa orang lain (resipien).
2. Islam mewajibkan manusia untuk berobat menyembuhkan penyakit yang dideritanya, meskipun dokter telah berkesimpulan, bahwa penyakit pasien tidak dapat disembuhkan lagi, dan jiwanya tidak  dapat  ditolong  lagi.  Karena  Allah  tidak  hanya  menurunkan  penyakit  tetapi  juga menurunkan obatnya” (HR Ibn Majah). Hal ini relevan dengan kaidah fiqh: al-dararu yauzalu (kemudaratan harus dihilangkan).[26]  Dalam kaitan ini dokter pun tidak berhak mengakhiri hidup pasiennya dengan menggunakan organ tubuh pasien untuk ditransplantasikan kepada orang lain.
Sebaliknya, penyakit pasien yang sudah kritis tetap diupayakan untuk diobati, sebab masih ada keajaiban Tuhan yang bisa menyembuhkan penyakit pasien.
c. Hukum Transplantasi Organ Tubuh dari Donor yang Sudah Meninggal
Transplantasi jaringan sudah ada sejak 4.000 tahun silam. Menuru manuscrip yang ditemukan di Mesir, eksperimen transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan di Mesir sekitar 2.000 tahun SM.
Ketika Islam muncul pada abad ke 7 M, ilmu bedah telah dikenal di berbagai negara dunia, khususnya negara-negara maju saat itu, seperti Romawi dan Persia. Di masa Nabi saw negara Islam telah memperhatikan kesehatan rakyat, bahkan senantiasa berusaha menjamin kesehatan dan pengobatan bagi seluruh rakyatnya secara gratis.
Meskipun transplantasi organ tubuh belum dikenal dunia saat itu, namun operasi plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu sudah dikenal di masa Nabi saw,[27] sebagaimana diriwayatkan imam Abu Daud dari Abdul Rahman bin Tarfah bahwa kakeknya Arfajah bin Asad pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab, lalu ia memasang hidung (palsu) dari logam perak namun hidungnya itu mulai membusuk. Maka Nabi saw menyuruhnya memasang hidung (palsu) dari logam emas.[28]
Dengan demikian Islam telah memberikan perhatian besar terhadap upaya penyembuhan dan pengobatan. Dalam kaitan ini transplantasi organ tubuh (mata, ginjal  atau jantung) donor yang sudah meninggal secara medis dan yuridis, dibolehkan oleh Islam dengan syarat:
1)  Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) berada dalam keadaan darurat, yang mengancam jiwanya, dan sudamenempuh  pengobatan secara medis  dan nonmedis, namun  gagal. Jadi, transplantasi  merupakan  satu-satunya  pilihan  untuk  menyelamatkan  jiwa  resipien.[29]   Hal  ini sesuai pula dengan kaidah fiqh: al-dararu tubihul mahzurat (kondisi darurat membolehkan hal- hal yang dilarang dalam syariat).
2) Transplantasi tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih parah bagi resipien dibandingkan dengan kondisinya sebelum transplantasi. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh: al- dararu la yuzalu bi al-darari (kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan lagi).[30]
3) Harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya untuk mendonorkan organ tubuhnya bila ia meninggal atau ada izin ahli warisnya.
4) Pengambilan organ tubuh donor (si mayit) dilakukan dokter ahli bedah sehingga tidak merusak jasad (melecehkan kehormatan mayit) dan atas motivasi untuk menolong resipien, bukan untuk tujuan komersialisasi organ tubuh donor.[31]
Hal ini sesuai dengan fatwa MUI tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam keadaan tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang yang sudah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan dalam hukum Islam, dengan syarat ada izin dari donor (melalui wasiat ketika masih hidup) dan izin dari keluarga atau ahli waris.
Fatwa MUI itu dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim kepala UPF bedah jantung RS.Jantung ”Harapan Kita mengenai teknis pengambilan katup jantung serta hal-hal yang berkaitan dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987.[32]28  Begitu pula dalam simposium Nasional II mengenai masalah ”Transplantasi Organ” yang diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada tanggal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani  sebuah  persetujuan  tentang  bolehnya  transplantasi  organ.  Hal  ittelah  disetujui antara lain wakil dari PBNU, MUI, PP Muhammadiyah dan lain-lain.[33]
Adapun  dalil-dalil  syari yang dapat  dijadikan  alasan  membolehkan  transplantasi  organ tubuh (selaput bening/kornea mata, ginjal atau jantung) donor yang sudah meninggal antara lain:[34]
a. Firman Allah dalam QS al-Baqarah: 156
الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ  (١٥٦)
di atas yang secara analogis dapat dipahami, bahwa Islam tidak membenarkan pula orang membiarkan dirinya dalam kondisi bahaya maut karena tidak berfungsinya organ tubuhnya yang sangat vital baginya, tanpa usaha-usaha penyembuhan secara medis dan nonmedis, termasuk transplantasi organ tubuh, yang secara medis memberi harapan kepada yang bersangkutan untuk bisa bertahan hidup dengan baik.
b. QS al-Maidah: 32

...وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًاۚ

Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia. Begitu pula donor yang dengan ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhnya (mata, ginjal, atau jantung) setelah ia meninggal, maka Islam membolehkannya bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilainya, karena menolong jiwa sesama manusia, atau membantu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
Selara dengan   pertimbangan   di   atas   sebagian   ulam kontemporer   berpendapat   bahwa transplantasi  organ  tubuh  harus  dipahami  sebagai  satu  bentuk  layanan  altruistik  (saling menolong) bagi sesama muslim untuk kesejahteraan publik (al-maslahah).
c. Hadis Nabi saw yang mewajibkan umat Islam berobat:
 


Berobatlah kalian wahai hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali Dia juga meletakkan obat penyembuhannya, kecuali penyakit tua. (HR Abu Daud)

Hadis ini menunjukkan, bahwa umat Islam wajib berobat jika menderita sakit, apapun jenis penyakitnya. Sebab setiap penyakit berkat kasih sayang Allah, pasti ada obat penyembuhannya, termasuk melalui transplantasi organ tubuh kecuali sakit tua. Tegasnya, kebutaan akibat umur yang telah uzur tidak dapat disembuhkan dengan transplantasi mata. Sedangkan transplantasi mata, ginjal atau jantung yang dilakukan secara medis ada harapan dapat memberikan kesembuhan kepada resipien
d. Kaidah fiqh:                             (bahaya itu harus dihilangkan )
Seorang yang menderita sakit jantung atau ginjal yang sudah mencapai stadium yang gawat, maka dia menghadapi bahaya maut sewaktu-waktu. Maka menurut kaidah fiqh di atas bahaya maut itu harus ditanggulangi dengan usaha pengobatan. Jika usaha pengobatan secara medis biasa gagal, maka untuk menyelamatkan jiwanya transplantasi jantung atau ginjal diperbolehkan karena keadaan darurat. Ini berarti jika penyembuhan penyakit bisa dilakukan tanpa transplantasi organ tubuh, maka transplantasi organ tubuh tidak dibolehkan.
e. Menurut hukum wasiat, keluarga orang meninggal wajib melaksanakan wasiat orang yang meninggal mengenai harta dan apa yang bisa bermanfaat, baik untuk kepentingan si mayit itu sendiri (melunasi utang-utangnya), kepentingan ahli waris dan non ahli waris, maupun untuk kepentingan agama dan umum (kepentingan sosial, pendidikan dan sebagainya).
Berhubung si donor organ tubuh telah membuat wasiat untuk menyumbangkan organ tubuhnya untuk kepentingan kemanusiaan, maka keluarga (ahli waris) wajib membantu pelaksanaan wasiat si mayit itu.[36]
Sebaliknya, jika seseorang pada waktu hidupnya tidak mendaftarkan dirinya sebagai donor organ tubuh dan ia tidak pula memberi wasiat kepada keluarga/ahli warisnya untuk mendonorkan organ tubuhnya setelah ia meninggal nanti, maka keluarga/ahli warisnya tidak berhak mengizinkan pengambilan  organ  tubuh  si  mayit  untuk  transplantasi  atau  untuk  penelitian  ilmiah  dan sebagainya.

f. Kaidah ushul fiqh: hurmatul hayyi azhamu mi hurmatil mayyiti (kehormatan orang hidup lebih besar keharusan pemeliharaannya daripada yang mati).[37]
Karena itulah kondisi darurat mayoritas ulama membolehkan memakan organ tubuh mayat manusia  dengan  syarat  yang  cukup  ketat.[38]  Hal  itu  dapat  dianalogikan  terhadap  kebolehan pembedahan organ tubuh (kornea mata, jantung, ginjal) mayit untuk ditransplantasikan kepada resipien. Karena memiliki tujuan yang sama yakni untuk mendapat kemaslahatan bagi manusia.
Sebab itu walaupun sepintas melepaskan salah satu organ tubuh mayit untuk ditransplantasikan kepada resipien (orang lain) secara hukum dianggap mutilasi, namun hukum Islam juga memasukkan kepentingan manusia sebagai bahan pertimbangan[39] sesuai dengan kaidah ushul di atas, serta kaidah fiqh al-daruratu tubihu al-mahzurat (kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang).
g. Menggunakan organ tubuh mayit untuk transplantasi bagi resipien tidak sama dengan merusak mayit yang disebutkan dalam hadis yang melarang merusak mayit. Hadis riwayat Abu Daud dan Ibn Majah mengatakan, bahwa dosa mematahkan tulang sesosok mayat sama besarnya dengan dosa mematahkan tulang seseorang yang masih hidup. Tetapi menurut al-Nawawi, bahwa jika seseorang menelan sebutir permata yang berharga milik orang lain sebelum ia meninggal, dan dituntut balik oleh pemiliknya, maka perut jenazah harus dibedah untuk mengambil pertama tersebut.[40]

Merusak mayit yang dimaksudkan hadis adalah tindakan-tindakan yang dari sisi caranya adalah merusak mayit karena dilakukan menurut prosedur bedah medis dan motivasinya pun memang bertujuan untuk melecehkan dan menghina mayit. Hal itu berbeda dengan transplantasi organ tubuh dilakukan oleh tim dokter ahli bedah sehingga tetap memperhatikan kehormatan mayit serta motivasinya adalah untuk kemaslahatan bagi kemanusiaan khususnya resipien dan pahala kebaikan bagi si mayit dari kerelaaannya mendonorkan organ tubuhnya itu.


























































BAB III
 PENUTUP
C.   Penutup

1.   Kesimpulan

a.   Bank Mata adalah sebuah Lembaga yang menghimpun kornea mata yang disumbangkan guna kepentingan kemanusiaan bagi mereka yang memerlukan penggantian kornea mata akibat suatu penyakit atau kecelakaan Faktor kerusakan mata bawaan dari lahir, tertusuk pensil, pulpen, peniti, kemasukan pasir, bahkan akibat dari umpan pistol-pistolan yang mengenai mata akan mengakibatkan mata menjadi rusak.
              Secara terminologi transplantasi adalah ”pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
         
b.      Untuk mengetahui hukum transplantasi organ tubuh manusia itu harus dikaitkan dengan kondisi donor, apakah donornya dalam kondisi hidup sehat, koma atau sudah meninggal dunia. (1) Haram hukumya apabila yang donor masih hidup, (2) Haram hukumnya apabila dalam kondisi koma, (3) dibolehkan oleh islam apabila donor sudah meninggal secara medis dan yuridis dengan persyaratan tertentu.




DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud, CD. Digital Sunan Abu Daud, kitab al-Tibb hadis nomor 3427, 4232.

Abd. Muhaimin, Abdul Wahab. Kajian Islam Aktual. Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Press,
2001.

Bassiouni, M. Cherif. The Islamic Criminal Justice System. New York: Oceana Publications
Inc, 1982.

al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, CD. Digital Sahih al-Bukhari, kitab al-Tibb hadis nomor
5246, 5249.
Departemen Agama RI. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: CV Indah Press, 2002. Djazuli,  A.  Kaidah-Kaidah  Fikih,  Kaidah-Kaidah  Hukum  Islam  dalam  Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis. Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006.

Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. Organ Transplantation, Euthanasia, Cloning and Animal Experimentation: An Islamic View. Diterjemahkan oleh Mujiburohman. Fikih Kesehatan. Cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007.

Ibn Majah, CD. Digital Sunan Ibn Majah, kitab al-Tibb

Ih, M. Sa’ad. Transplantasi dan Hukuman Qisas Delik Pelukaan, Studi tentang Reformasi dan Perubahan Eksekuasi.” Dalam Chuzaimah T.Yanggo dan A. Hafiz Anshary AZ. Problematikan Hukum Islam Kontemporer, Buku Keempat. Cet. II; Jakarta: PT Pustaka Firdaus dan LSIK, 1997.

MUI. Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Sekretariat MUI,
1994.

Al-Nawawi. Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid V. Mesir: Matba’ah al-Iman, 1966.

Qardawi, Yusuf. Hady al-Islam Fatawi Muasirah. Diterjemahkan oleh Abdul Haayie al- Kattani, dkk. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press,
2002.

Al-Ruki, Muhammad. Qawaid al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Qalam, 1998. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz III. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Al-Syafii. al-Umm, Juz II. Beirut: Dar al-Fik,t [t.th.].

Al-Syatibi,   Abu   Ishaq.   al-Muwafaqat   fi   Usul   al-Syariah,   Juz   II Kairo:   Mustafa
Muhammad, [t.th.].

Umar, M. Hasbi. Nalar Fiqih Kontemporer. Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Press, 2007. Utomo, Setiawan Budi. Fikih Kontemporer. Cet. I; Jakarta: Pustaka Saksi, 2000.
Yasid, Abu (ed.). Fiqh Realitas. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Yasin, M. Nu’aim. Fikih Kedokteran. Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001. Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyyah. Cet. X; Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997.





Mei 2018 pkl: 13:06



[1] Lihat Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Juz II (Kairo: Mustafa Muhammad, [t.th.]), h. 10.
[2] Osman Abd el-Malek al-Saleh, The Right of the Individual to Personal Security in Islam, dalam
M. Cherif Bassiouni, The Islamic Criminal Justice System (New York: Oceana Publications Inc, 1982), h. 55.
[3] al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, CD. Digital Sahih al-Bukhari, kitab al-Tibb hadis nomor 5246.
[4] Yusuf Qardawi, Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah, diterjemahkan oleh Abdul Haayie al-Kattani, dkk., Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3 (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 81-82.
[5] al-Bukhari, CD. Digital Sahih al-Bukhari, kitab al-Tibb hadis nomor 5249.
[6] https://www.scribd.com/document/352417052/BANK-MATA
[7] http://bankmataindonesia.org/tentang-kami
[8] Lihat M. Saad Ih, Transplantasi dan Hukuman Qisas Delik Pelukaan, Studi tentang Reformasi dan Perubahan Eksekuasi, dalam Chuzaimah T.Yanggo dan A. Hafiz Anshary AZ, Problematikan Hukum Islam Kontemporer, Buku Keempat (Cet. II; Jakarta: PT Pustaka Firdaus dan LSIK, 1997), h. 69.
[9] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah (Cet. X; Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1997), h. 86.
[10] Lihat M. Saad Ih, dalam Chuzaimah T.Yanggo dan A. Hafiz Anshary AZ, op.cit., h. 70.
[11] M. Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), h. 180.
[12] Lihat ibid. h. 71. Lihat pula Abu Yasid (ed.), Fiqh Realitas (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 220.
[13] Lihat Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 86-87. Lihat pula Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Kajian Islam Aktual (Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Press, 2001), h. 197-198
[14] Lihat Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 87.
[15] Abdul Wahab Abd. Muhaimin, op.cit., h. 197.
[16] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV Indah Press, 2002), h. 394.
[17] Ibid., h. 37.
[18] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah- Masalah yang Praktis (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 11.
[19] Ibid., h. 73.
[20] Lihat M. Nu’aim Yasin, Fikih Kedokteran (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 160-161.
[21] Lihat  Abul  Fadl  Mohsin  Ebrahim,  Organ  Transplantation, Euthanasia,  Cloninand  Animal Experimentation: An Islamic View, diterjemahkan oleh Mujiburohman, Fikih Kesehatan (Cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 83-87.
[22] Lihat ibid., h. 79-81.
[23] Lihat Kementerian Kesihatan Malaysia bekerjasama dengan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia,
Pemindahan Organ Perspektif Islam, (Cet. I; Malaysia: Unit Pengkhidmatan Transplan, 2011), h. 21.
[24] Ibn Majah, CD. Digital Sunan Ibn Majah, kitab al-Ahkam hadis nomor 2332.
[25] Lihat A. Djazuli, op.cit., h. 68.
[26] Ibid., h. 67.
[27] Lihat Setiawan Budi Utomo, Fikih Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Pustaka Saksi, 2000), h. 210-211.
[28] Abu Daud, CD. Digital Sunan Abu Daud hadis nomor 4232.
[29] Lihat M. Nu’aim Yasin, op.cit., h. 163.
[30] Lihat Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 89-90. Kondisi darurat yang membolehkan seseorang melakukan hal-hal yang dilarang adalah kondisi yang memenuhi syarat: (1) kondisi darurat itu mengancam jiwa dan atau anggota badan; (2) kondisi darurat hanya dilakukan sekadarnya, tidak melampaui batas; (3) tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang. Lihat A. Djazuli, op.cit., h. 72.
[31] Lihat Abdul Wahab Abd. Muhaimin, op.cit., h. 201. Lihat pula M. Nuaim Yasin, op.cit., h. 164-165.
[32] Lihat MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: Sekretariat MUI, 1994), h. h. 176-177.
[33] Lihat Setiawan Budi Utomo, op.cit., h. 213.
[34] Lihat Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 89-91.
[35] Abu Daud, CD. Digital Sunan Abu Daud, Kitab al-Tibb hadis nomor 3427.
[36] Lihat Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 111-123.
[37] Setiawan Budi Utomo, op.cit., h. 213.
[38] Lihat al-Syafii, al-Umm, Juz II (Beirut: Dar al-Fik,t [t.th.]), h. 276. Lihat pula Muhammad al-Ruki, Qawa’id al-Fiqh al-Islami  (Damaskus: Dar al-Qalam, 1998), h. 207.
[39] Lihat Abu Fadl Mohsin Ebrahim, op.cit., h. 88.
[40] Lihat al-Nawawi, Majmu Syarh al-Muhazzab, Jilid V (Mesir: Matbaah al-Iman, 1966), h. 267. Lihat pula M. Hasbi Umar, op.cit., h. 186.

No comments:

Post a Comment