BANK MATA DAN
ORGAN TUBUH LAIN (TRANSPLANTASI)
Makalah
Diajukan untuk
memenuhi
tugas mata kuliah
“Fiqh Kontemporer”
Dosen Pengampu :
Dr.
Tutik Hamidah M.Ag
Pemakalah
:
Arif Setiawan (16771025)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
i
|
KATA PENGANTAR
بِسۡمِ
ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Segala
puji
bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq,
dan hidayah Nya sehingga pada kesempatan ini
penulis dapat
menyelesaikan makalah ini. Makalah yang berjudul “Bank
Mata dan Organ Tubuh Lain” ini penulis susun dengan sebaik
mungkin sehingga diharapkan dapat memenuhi tugas mata kuliah
Fiqh Kontemporer.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis tidak luput dari berbagai kelemahan dan keterbatasan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan bimbingan
dan saran-saran yang membangun dari para pembaca sekalian agar makalah ini dapat dibuat lebih baik lagi. Namun
walaupun
demikian,
mudah-mudahan
makalah
ini dapat memberikan kita informasi atau menyegarkan
ingatan kita mengenai hukum
bank mata dan organ tubuh lain.
Akhir kata, semoga makalah
ini dapat menambah khazanah
keilmuan di bidang ilmu Fiqh Kontemporer dan juga
semoga dapat memberikan
kita sebuah motivasi untuk mengkaji bank mata dan organ tubuh lain. Aamiin.
Penulis,
Arif Setiawan
NIM. 16771025
|
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………..
Daftar Isi ……………………………………………………………
|
ii iii
|
BAB I………………………………………………………………..
|
1
|
|
A.
|
Pendahuluan…………………………………………………………
|
1
|
|
1. Latar Belakang…………………………………………………..
|
1
|
|
2. Rumusan Masalah……………………………………………….
|
3
|
|
BAB II.………………………………………………………………..
|
4
|
B.
|
Pembahasan………………………………………………………….
|
4
|
|
1. Deskripsi Masalah……………………………………………….
|
4
|
|
2. Pendapat
dan Hujjah Ulama……………………………………
|
8
|
|
BAB III.……………………………………………………………..
|
21
|
C.
|
Penutup………………………………………………………………
|
21
|
|
1. Kesimpulan………………………………………………………
|
21
|
|
Daftar Pustaka……………………………………………………….
|
22
|
|
|
|
|
|
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Tujuan syariat Islam (maqasid al-syari’ah) adalah untuk memelihara lima kemaslahatan bagi manusia, yaitu memelihara
agama (hifz al-din),
jiwa raga (hifz al-nafs),
keturunan (hifz al-nasl), harta benda (hifz al-mal), dan akal (hifz al-‘aqal).[1]
Hal senada dikemukakan oleh Osman Abd el-
Malek al-Saleh, bahwa “Islam guarantees
five essential things to all person.
These include: (1) religion, (2) life), (3) mind, (4)
posterity, and (5) property”[2]
(‘Islam menjamin lima hal pokok
bagi setiap orang. Kelima hal itu,
adalah
(1)
agama, (2) hidup, (3)
akal,
(4) keturunan, dan (5) hak
milik/harta’).
Relevan dengan tujuan syariat Islam, khususnya pemeliharaan jiwa tersebut,
manusia diwajibkan oleh Islam
untuk menjaga kesehatannya dan berobat jika menderita penyakit, sesuai
isyarat hadis Nabi saw:
‘Abu Hurairah
berkata,
Rasulullah saw
telah bersabda:
“Allah tidak hanya
menurunkan penyakit, namun juga menurunkan
obatnya.’ (HR Bukhari)
Hadis ini memberikan harapan kepada semua orang sakit untuk mendapatkan pengobatan yang
dapat menyembuhkan penyakitnya, juga memberikan harapan kepada para dokter untuk
mendapatkan obat terhadap semua macam penyakit, baik sekarang maupun di masa akan datang.[4]
Bahkan Nabi saw telah memberikan informasi mengenai upaya penyembuhan penyakit melalui tiga metode seperti yang diungkapkan
dalam hadisnya:
‘Dari
Ibn Abbas,
Nabi saw
telah
bersabda:
“Kesembuhan
(pengobatan terhadap penyakit) dengan tiga cara:
dengan
operasi, atau minum madu, atau
dicos dengan api.” (HR Bukhari).
Dalam hadis ini Nabi saw menyebutkan tiga macam bentuk pengobatan, yaitu yang
digunakan lewat operasi (syurtah al-mihjam), lewat
mulut dan pemanasan dengan api. Pengobatan
lewat mulut bisa dengan meminum madu, atau obat-obatan medis yang
digunakan dengan cara meminumnya,
seperti pil dalam bentuk tablet atau
kapsul. Sedangkan pengobatan dengan pemanasan di antaranya
pengobatan tradisional yang
memanfaatkan
panas
api.
Adapun
pengobatan
lewat
operasi pada umumnya dilakukan oleh
dokter spesialis ahli bedah.
Kedua hadis di atas
pada
prinsipnya mewajibkan manusia
untuk berusaha mengobati
penyakit atau kelainan yang dialaminya. Namun dalam
realitasnya penyakit yang diderita manusia
tidak
selamanya dapat disembuhkan dengan obat-obatan baik obat medis biasa maupun
obat tradisional, seperti hilangnya fungsi ginjal, jantung, atau
mata
(buta). Hal
itu
berbeda
dengan gangguan fungsi
ginjal, jantung dan mata, yang pada umumnya dapat dikembalikan fungsinya melalui obat-obatan. Salah
satu
alternatif untuk
mengembalikan fungsi ginjal, jantung, dan mata
adalah dengan mengganti organ tubuh tersebut,
melalui operasi khusus yang biasa disebut
transplantasi organ tubuh. Transplantasi pada umumnya dilakukan terhadap ginjanl, jantung dan
mata, sebab
dari sisi anatomi tubuh manusia, ketiga organ tubuh tersebut memiliki fungsi yang sangat vital bagi kehidupan manusia.
Walaupun transplantasi organ tubuh dapat memberikan solusi terbaik
dalam mengembalikan
fungsi organ tubuh yang memiliki fungsi yang vital dalam kehidupan resipien, namun pelaksanaan transplantasi organ tubuh
tersebut perlu dianalisis
dari
sudut hukum Islam. Demikian pula
pemanfaatan janin untuk ditransplantasi kepada resipien. Karena transplantasi organ tubuh dan janin erat pula kaitannya dengan kepentingan (keselamatan hidup) donor yang masih hidup atau dalam
kondisi koma. Begitu pula donor
yang telah meninggal dunia sebab ada larangan merusak tubuh mayit. Dalam
kaitan ini apakah transplantasi organ tubuh donor dari mayit tidak identik dengan merusak mayit.
penulis ingin mengkaji lebih
mendalam dan menyikapi bagaimana hukum transplantasi organ tubuh.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang belakang di atas, maka rumusan masalah pada
makalah
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana deskripsi
tentang
Bank Mata dan Organ tubuh lain serta transplantasi organ tubuh?
2. Bagaimana pendapat
ulama dan hujjahnya tentang hukum transplantasi organ tubuh?
BAB
II PEMBAHASAN
B. Pembahasan
1. Deskripsi Masalah
a. Sejarah Bank Mata
Bank Mata adalah sebuah Lembaga yang menghimpun kornea
mata yang disumbangkan guna kepentingan kemanusiaan bagi
mereka yang memerlukan penggantian kornea mata akibat suatu penyakit atau
kecelakaan Faktor kerusakan mata bawaan
dari lahir, tertusuk pensil, pulpen, peniti, kemasukan pasir, bahkan akibat dari umpan
pistol-pistolan yang mengenai mata akan mengakibatkan mata menjadi
rusak.[6]
Terdorong
oleh rasa perikemanusiaan atas kepedihan dan penderitaan para penderita Tuna
netra, dua abad yang lalu (1789), kalangan medis telah berupaya untuk dapat
memulihkan penglihatan seseorang yang menderita kebutaan seperti manusia normal
lainnya. Percobaan demi percobaan dengan tabah dilakukan oleh kalangan medis,
sehingga 56 tahun yang silam diperoleh hasil gemilang. Kalangan medis dapat
memulihkan penglihatan seseorang yang sebelumnya menderita kebutaan, asalkan
kebutaan yang dideritanya karena kerusakan atau kekeruhan kornea matanya.
Kemajuan
ilmu pengetahuan kalangan medis ini berupa transplantasi (pemindahan) kornea
mata dari seseorang yang telah meninggal, kepada seseorang cacat mata.
Kepandaian ini di Indonesia baru dimengerti dan dikenal oleh kalangan medis dan
para terpelajar yang berminat. Disamping berita transplantasi kornea ini
merupakan kejutan dalam masyarakat, terbukti putra-putra Indonesia telah
menunjukan kemampuannya menguasai pengetahuan ini untuk dharma bakti kepada
masyarakat, khusus untuk para cacat tunanetra. Untuk pertama kali usaha pencangkokan kornea
mata di Indonesia dipelopori oleh Prof. Dr. Isak Salim dengan kornea
sumbangan dari Bank Mata Internasional Srilanka. Pratek ini dilakukan pada
pertengahan tahun 1967 dan peristiwa ini merupakan riwayat dimulainya kegiatan
transplantasi kornea di Indonesia.
Suatu
hal yang mendorong berdirinya PPMTI-Bank Mata Indonesia, adalah keluarnya Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI no 8 (birhub) 1967 tertanggal 24 Juli 1967 yang
menyatakan antara lain: KEBUTAAN DI INDONESIA MERUPAKAN BENCANA NASIONAL. Selanjutnya Surat Keputusan
tersebut menjelaskan angka kebutaan di Indonesia meliputi 1 % dari jumlah
penduduk dan sebanyak 10 % dari para cacat tunanetra dapat dipulihkan
penglihatannya dengan cara pencangkokan kornea mata. Umumnya mereka ini
menderita kekeruhan dan kerusakan kornea. Penglihatan mereka akan dapat pulih
seperti daya penglihatan orang normal, bila operasi yang dijalani berhasil. Hal
ini menimbulkan tergugahnya hati para sosiawan, sehingga secara spontan pada
tanggal 10 Maret 1968 secara resmi para sosiawan ini menghimpun diri dalam
suatu badan : ”PERKUMPULAN PENYANTUN MATA TUNANETRA”., [7].
b. Transplantasi Mata dan Organ tubuh lain
Secara etimologis transplantasi berasal dari bahasa Inggris, transplantation
(kata benda) dari kata kerja (verb) to transplant, yang menurut Taylor berarti ”to take up and plant to another”
(mengambil dan menempelkan pada tempat lain). Sedangkan menurut Hornby,
dkk,
to
transplant, diartikan dengan ”to move
from
one place to another” (memindahkan dari satu tempat ke tempat
lain). Kedua makna ini bersifat umum mencakup tumbuhan,
hewan dan manusia.
Sebenarnya kata transplantasi pada awalnya digunakan pada
tumbuhan dengan makna pencangkokan
namun dalam perkembangannya terjadi
perbedaan makna
antara pencangkokan
dengan transplantasi dari sisi prosesnya. Pencangkokan pada flora dilakukan dengan cara memotong kulit ranting, mengupayakan agar tumbuh
akar
pada ptongan kulit atas, kemudian memotong ranting
tersebut untuk ditanam di tanah. Sedangkan proses transplantasi pada garis besarnya adalah
pemotongan organ dan jaringan, kemudian diokulasikan pada bagian tubuh tertentu untuk hidup
menyatu antara yang menempel dan yang
ditempeli. Karena itu sebenarnya transplantasi adalah
occulation
atau penempelan.[8]
Secara terminologi transplantasi adalah ”pemindahan
organ tubuh yang mempunyai daya
hidup yang sehat untuk
menggantikan organ tubuh yang
tidak sehat dan tidak
berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk
bertahan hidupnya tidak ada lagi.”[9]
Transplantasi menurut istilah kedokteran berarti ”memindahkan jaringan dari suatu tempat
ke
tempat lain,” atau ”pemindahan bahan yang
hidup (sel, jaringan atau organ) dari suatu
tempat ke
tempat lain dalam susunan yang berbeda.” Transplantasi juga dapat pula diartikan dengan suatu upaya medis untuk memindahkan jaringan, sel atau organ tubuh dari donor kepada resipien[10] secara
okulasi.
Transplantasi merupakan salah satu
temuan teknologi kedokteran modern dengan metode
kerja berupa ”pemindahan
jaringan atau
organ
tubuh dari satu tempat ke tempat lain
lainnya. Hal ini
dapat dilakukan pada satu
individu atau dua individu.”[11]
Dengan demikian transplantasi tidak
hanya diterapkan
untuk organ tubuh tetapi juga
pada jaringan dan sel, baik manusia maupun
hewan.
Berdasarkan jenis transplantasi yang digunakan dalam dunia
kedokteran,
transplantasi terdiri dari dua jenis:
1) Transplantasi jaringan,
seperti pencangkokan
cornea
mata.
2) Transplantasi organ, seperti pencangkokan
ginjal, jantung dan sebagainya.
Ditinjau dari segi hubungan genetik antara donor dan resipien, transplantasi dapat dibedakan menjadi 3:
1) Autotransplantasi, yaitu transplantasi yang dilakukan
terhadap resipien dan donor pada satu individu. Atau pencangkokan internal dalam tubuh seseorang. Misalnya, orang yang pipinya dioperasi,
untuk memulihkan
bentuk, diambilkan dari bagian
badannya.
2) Homotransplantasi (allottransplantasi), yaitu
transplantasi yang dilakukan terhadap resipien dan donor
pada individu yang sama jenisnya. Donor dan resipien sama-sama manusia tetapi berlainan individu. Misalnya, penderita gagal ginjal, ditransplantasi dengan ginjal orang lain, baik donor dari orang hidup
maupun dari orang mati.
3) Heterotransplantasi (Xenotransplantasi), yaitu transplantasi yang dilakukan terhadap resipien dan donor
pada dua individu yang berbeda
jenis. Misalnya mentransplantasi jaringan atau
organ dari babi (khususnya jantung babi) ke manusia. Menurut Tim Klinik RS Dr. Sardjito Yogyakarta
membuktikan, bahwa
katup jantung babi paling sesuai sebagai katub jantung manusia.[12]
Di samping itu
berdasarkan
kondisi donornya, transplantasi dapat dibedakan
dalam tiga
tipe:
1) Donor
dalam kondisi
hidup sehat. Dalam tipe diperlakukan
seleksi
yang cermat dan harus diadakan general chek up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap dan menyeluruh) baik
terhadap donor maupun resipien.
Hal
ini dilakukan untuk menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh adanya penolakan tubuh rispien dan juga untuk menghindari dan mencegah
resiko bagi donor. Sebab menurut data statistik 1 dari 1.000 donor meninggal dan si donor juga was-was dan merasa tidak
aman, karena menyadari dengan mendonorkan sebuah ginjal misalnya
dia
tidak akan memperoleh kembali ginjalnya
seperti semula.
2) Donor dalam keadaan koma. Jika donor dalam keadaan koma, atau diduga kuat akan meninggal segera, maka dalam
pengambilan organ tubuh donor membutuhkan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernapasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya. Hanya kriteria
mati secara medis/klinis dan yuridis, perlu ditentukan dengan tegas dan tuntas, apakah kriteria mati itu ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernapasan, atau ditandai dengan
berhentinya fungsi otak.
3) Donor dalam keadaan meninggal. Dalam
tipe
ini organ tubuh yang akan ditransplantasi diambil
saat donor sudah meninggal berdasarkan ketentuan medis dan yuridis. Di samping itu harus diperhatikan daya tahan organ yang akan ditransplantasikan, apakah masih ada kemungkinan
untuk bisa berfungsi bagi resipien atau apakah sel-sel dan jaringan sudah mati, sehingga tidak berguna lagi bagi resipien.[13]
2. Pendapat
dan Hujjah Ulama
Transplantasi organ tubuh merupakan salah masalah
hukum Islam kontemporer yang belum
dijelaskan secara tekstual dalam al-Qur’an dan hadis Nabi saw, di samping itu transplantasi dalam
pelaksanaannya
melibatkan
berbagai disiplin
keilmuan sehingga harus dianalisis secara
multidisipliner, baik
kedokteran, biologi, hukum, etika dan agama, agar bisa diperoleh kesimpulan
berupa
hukum ijtihadi (hukum fiqh
Islam) yang proporsional dan
mendasar.[14]
Dalam pelaksanaan
transplantasi organ tubuh
ada tiga
pihak yang terkait dengannya:
1) Donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk
dipasangkan kepada
orang lain yang organ tubuhnya
menderita sakit,
atau terjadi kelainan.
2) Resipien, yaitu orang yang menerima
organ
tubuh
dari donor yang karena
satu dan lain
hal, organ tubuhnya
harus diganti.
3) Tim
ahli, yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak donor kepada pihak
resipien.[15]
Untuk mengetahui hukum transplantasi organ tubuh manusia itu harus dikaitkan dengan
kondisi donor, apakah donornya
dalam kondisi hidup
sehat,
koma
atau
sudah meninggal dunia.
a. Hukum Transplantasi Organ Tubuh
dari
Donor yang Masih Hidup
Pada dasarnya
Islam sangat
memuliakan manusia serta memelihara hak hidup setiap
individu. Bahkan Allah sendiri telah memuliakan manusia dengan firman-Nya dalam QS al-Isra (17):
70
‘Dan Sesungguhnya Kami telah memuliakan manusia. Kami angkut mereka di daratan dan di lautan,
Kami beri mereka rezki dari yang
baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna
atas kebanyakan
makhluk
yang
telah Kami ciptakan.’[16]
Jika Allah Yang Maha
Mulia saja berkenan memuliakan manusia, maka siapapun tidak berhak
mengganggu kemuliaan dan harkat martabat orang lain, baik
perasaan, harga diri dan
keselamatan
jiwanya. Setiap orang
memiliki hak
hidup yang
tidak boleh dirampas oleh orang
lain tanpa alasan yang
sah menurut hukum. Di samping
itu
manusia hanya memiliki hak pakai terhadap
jasad termasuk organ tubuhnya. Tubuh manusia adalah hak milik Allah, sehingga harus didayagunakan sesuai dan
tidak
bertentangan dengan kehendak Allah. Karena itu pemanfaatan organ
tubuhnya pun tidak boleh membahayakan
keselamatan jiwanya.
Karena
itu melakukan transplantasi ogan tubuh yang sangat vital dari donor yang masih hidup sehat haram hukum dengan beberapa
alasan sebagai berikut:
’...Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan
berbuat baiklah. Sungguh
Allah
menyukai orang-orang
yang
berbuat baik.’[17]
Ayat ini mengandung dalalah ibarah, bahwa setiap
orang dilarang melakukan tindakan- tindakan yang dapat membahayakan dirinya. Dalam
kaitan ini orang hidup sehat yang mendonorkan organ tubuhnya (sebuah ginjal atau mata) untuk
ditransplantasikan kepada resipien, dapat dipastikan secara medis akan membahayakan keselamatan jiwanya. Karena donor
hanya memiliki sebuah ginjal
atau paru-paru yang pada gilirannya fungsi ginjal dan paru-parunya menjadi berkurang, terganggu bahkan mungkin gagal total. Jika hal itu terjadi maka keselamatan jiwa donor akan terancam yang bisa berakibat kematian bagi dirinya
‘Menolak mafsadat (bahaya)
didahulukan daripada
meraih maslahat (manfaat).’[18]
Maksudnya, seseorang donor dilarang membahayakan dirinya untuk
menolong
orang lain (resipien). Sebab penyakit atau cacat yang
dialami resipien masih ada pilihan lain dengan menggunakan organ tubuh
dari donor lain yang
tidak membahayakan
keselamatan jiwanya,
seperti donor yang sudah meninggal dunia. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi saw: la darara wala dirara (tidak boleh membahayakan
diri
sendiri dan
tidak boleh pula membahayakan
orang lain).
3. Kaidah
fiqh:
Jika donor mentransplantasikan salah satu organ tubuhnya kepada resipien maka pada satu sisi tindakan donor itu dapat menghindarkan resipien dari kematian, namun pada sisi lain
justru keselamatan jiwa donor menjadi terancam.
Relevan dengan uraian di atas M. Nu’aim
Yasin mengemukakan bahwa pendonoran organ tubuh manusia mengharuskan untuk memindahkan hak Allah dan hak manusia yang berkaitan
dengan organ tubuh yang ditransplantasi. Dalam
hal ini tidak dibolehkan bagi seseorang
melaksanakan haknya bila tindakannya itu berkaitan atau bertentangan dengan hak Allah, kecuali
izin seseorang untuk
memindahkan haknya itu
tidak
bertentangan dengan apa yang diizinkan oleh syariat dan hak Allah terhadap organ tubuh
yang dipindahkan. Yang
diizinkan oleh syariat ialah supaya perlakuan
itu bisa menjadi jalan untuk menghidupkan hak Allah yang lebih besar pada organ tubuh
yang
dipindahkan.
Karena itu pendonoran organ tubuh manusia
tidak
dibolehkan kecuali jika menjadi sebab yang kuat untuk
menolak
bahaya yang lebih
besar pada resipien, daripada bahaya
yang terjadi pada donor
akibat diambil organ tubuhnya. Dengan demikian mendonorkan organ tubuh orang hidup
sehat, haram hukumnya jika menyebabkan kematian donor walaupun tindakannya itu memberikan
kemaslahatan
hidup bagi resipien. Sebab kemaslahatan yang
diperoleh
dari transplantasi organ
tubuh
donor tersebut, tidak lebih besar daripada bahaya yang
ditimbulkannya.[20]
Tegasnya, bahwa maslahat bagi resipien yang
diperoleh melalui transplantasi organ tubuh
donor yang masih hidup sehat tidak sebanding
dengan bahaya kematian yang
dialami donor.
Padahal suatu bahaya tidak
boleh
dihilangkan dengan menimbulkan bahaya yang
lain, apalagi bahaya yang timbul justru
lebih
besar daripada
manfaat yang diperoleh.
Selaras dengan uraian
di atas muncul penolakan ulama kontemporer lain Mufti Muhammad
Syafi’
dari Pakistan
terhadap
transplantasi organ
tubuh manusia didasarkan atas 3 prinsip, yakni (1) kesucian hidup/tubuh manusia; (2)
tubuh manusia adalah amanah, dan
(3) praktek itu disamakan dengan memperlakukan tubuh manusia sebagai benda material. Demikian pula penolakan dari Dr. Abd al-Salam
al-Syukri dari Mesir dengan alasan: (1) kesucian tubuh manusia, (2) larangan
menggunakan benda terlarang
sebagai obat, (3) menjaga kemuliaan hidup manusia, (4) menghindari keraguan.[21] Kedua ulama tersebut memiliki kesamaan pendapat terhadap larangan transplantasi
organ
tubuh
manusia khususnya
yang masih hidup atau koma.
Karena itu pula penggunaan tulang manusia untuk pengobatan diperselisihkan oleh ulama
klasik. Menurut ulama Hanafiah, penggunaan tulang
manusia atau
tulang
babi untuk pengobatan adalah perbuatan keji sebab mengambil manfaat dari kedua benda itu merupakan
perbutan terlarang. Hal
ini sejalan dengan pendapat mazhab
Syafi’iah, Hanabilah dan Imamiah
bahwa seseorang
dilarang memotong
bagian mana pun dari tubuhnya untuk
diberikan kepada orang
lain yang sedang
menderita kelaparan berat. Karena
tindakannya itu dapat membahayakan dirinya sendiri. Begitu pula
dilarang memotong bagian tubuh makhluk hidup untuk menyelamatkan dirinya sendiri.[22]
Penolakan ulama mazhab tersebut juga didasarkan kepada beberapa prinsip yang telah dikemukakan kedua
ulama
kontemporer di atas.
Adapun transplantasi organ tubuh
seperti kornea mata, kulit dari donor yang masih hidup
menurut sebagian
ulama adalah boleh.
Alasannya, adalah karena
membolehkan
memberikan pengampunan qisas dan
diat,
sesuai QS
al-Baqarah: 178
فَمَنْ
عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ
بِإِحْسَانٍۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌۗ
‘Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang
mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah
suatu
keringanan
dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa
yang melampaui
batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih.’
Di samping
itu,
kornea sebuah mata donor yang ditransplantasikan kepada resipien hanya mengakibatkan terganggunya penglihatan donor, namun tidak
akan
menyebabkan kematian bagi
donor. Demikian pula mendonorkan
sebagian kulitnya kepada
resipien. Karena
itu menurut Majlis
Fatwa Kebangsaan Malaysia yang bersidang pada 23 dan 24 Juni 1970 yang membahas pemindahan organ, secara khusus pemindahan
jantung dan mata, menetapkan syarat transplantasi dari donor orang hidup, antara
lain:
(i) Tidak menyebabkan penderma (yang masih hidup) menanggung kemudaratan pada dirinya
seperti mati atau cacat (hilang pendengaran,
penglihatan
dan kemampuan untuk bergerak).
(ii) Pemindahan
berlaku
dengan
izin penderma
berkenaan.
(iii) Keizinan berkenaan berlaku dalam keadaan
penderma memiliki kelayakan penuh
untuk melakukannya. Atas sebab ini, keizinan tidak boleh diberi oleh kanak-kanak, orang gila atau orang yang dipengaruhi oleh tekanan, paksaan atau
kekeliruan.
(iv) Tidak berlaku dengan cara yang mencabul kehormatan manusia seperti melibatkan urusan
jual beli. Sebaliknya
ia perlu
dilakukan
berasaskan keizinan dan pendermaan semata-mata.
(v) Para doktor yang melakukan urusan pemindahan berkenaan mempunyai asas keilmuan yang
cukup
untuk membuat pertimbangan baik buruk terhadap
penderma dan
penerima berdasarkan prinsip maslahah (kebaikan) dan mafsadah (kerosakan) seperti yang terdapat dalam syariat Islam.
[23]
b. Hukum Transplantasi Organ Tubuh
dari Donor dalam Kondisi Koma
Seseorang
yang berada dalam kondisi koma secara medis sangat membutuhkan perawatan dan pengobatan yang
serius sebagai upaya penyembuhan dari penyakit yang dideritanya.
Kondisi
pasien tersebut dapat dikategorikan berada dalam kondisi ”kritis” sehingga jika salah satu organ tubuh yang
sangat vital didonorkan melalui transplantasi, maka akan mempercepat kematian donor.
Hal
itu identik dengan euthanasia aktif, sebab
secara
medis telah
diketahui bahwa penyakit donor akan semakin parah, bahkan akan mempercepat kematiannya
jika ginjal,
jantung
atau
matanya ditransplantasikan kepada orang lain
(resipien).
Karena
itu transplantasi organ tubuh dari donor yang berada dalam kondisi koma, haram
hukumnya
dengan beberapa alasan sebagai berikut:
’Tidak boleh membahayakan
diri sendiri dan tidak boleh
pula membahayakan
orang lain’.
Hadis ini mengandung
kesan keadilan dalam perilaku
serta
secara moral menunjukkan mulianya akhlak karena tidak mau memudaratkan orang lain tetapi juga tidak mau dimudaratkan oleh orang
lain. Bahkan sebaliknya kita harus memberi manfaat kepada orang
lain tanpa membahayakan diri sendiri dan orang
lain
juga memberi manfaat kepada kita tanpa membahayakan
dirinya
sendiri.[25]
Hadis ini melarang tindakan membahayakan keselamatan orang lain. Dengan demikian tindak mentransplantasi organ
tubuh donor yang berada
dalam kondisi koma juga dilarang. Larangan
di sini menimbulkan hukum haram. Sebab donor seharusnya ditolong
secara medis agar penyakitnya
bisa disembuhkan dan bukan malah ditransplantasi organ tubuhnya. Donor yang
sehat saja sudah mengalami
gangguan
bahkan terancam
jiwanya setelah
organ tubuhnya ditransplantasi, apalagi
donor yang berada
dalam kondisi kritis.
Tindakan transplantasi organ tubuh
dari donor yang
koma tetap dilarang walaupun bertujuan
untuk menyelamatkan jiwa resipien. Dalam hukum Islam kondisi darurat tidak membolehkan
melakukan tindakan yang
dapat membahayakan jiwa orang
lain. Kondisi darurat yang membolehkan melakukan hal-hal yang dilarang syariat hanya berkaitan dengan dispensasi terhadap hak-hak Allah semata dan bukan berkaitan dengan hak manusia (haq adami). Donor yang berada dalam kondisi
koma memiliki hak penuh atas organ
tubuhnya dan
keselamatan
jiwanya. Karena itu
tidak boleh dirampas dengan
alasan untuk kepentingan keselamatan jiwa orang lain (resipien).
2. Islam mewajibkan manusia untuk
berobat menyembuhkan penyakit yang dideritanya, meskipun dokter telah berkesimpulan, bahwa penyakit pasien
tidak
dapat disembuhkan lagi, dan
jiwanya tidak
dapat ditolong lagi.
Karena
”Allah tidak
hanya menurunkan penyakit tetapi juga menurunkan
obatnya” (HR Ibn Majah). Hal ini relevan
dengan kaidah fiqh: al-dararu yauzalu
(kemudaratan harus dihilangkan).[26] Dalam kaitan ini dokter pun tidak berhak mengakhiri hidup pasiennya dengan
menggunakan organ tubuh pasien untuk ditransplantasikan kepada orang lain.
Sebaliknya, penyakit pasien yang sudah kritis tetap diupayakan untuk diobati, sebab masih ada keajaiban Tuhan
yang
bisa menyembuhkan penyakit pasien.
c. Hukum Transplantasi Organ Tubuh
dari
Donor yang Sudah Meninggal
Transplantasi
jaringan sudah ada sejak 4.000
tahun silam. Menurut manuscrip yang ditemukan di Mesir, eksperimen transplantasi jaringan yang pertama kali dilakukan di Mesir sekitar 2.000 tahun SM.
Ketika Islam muncul pada abad ke 7 M, ilmu bedah telah dikenal di berbagai negara
dunia,
khususnya negara-negara maju saat itu, seperti Romawi dan Persia. Di masa Nabi saw negara Islam
telah memperhatikan kesehatan rakyat, bahkan senantiasa berusaha menjamin kesehatan dan
pengobatan bagi seluruh
rakyatnya secara gratis.
Meskipun transplantasi organ tubuh belum dikenal dunia saat itu, namun operasi plastik yang menggunakan organ buatan atau palsu sudah
dikenal
di masa Nabi saw,[27]
sebagaimana diriwayatkan imam Abu Daud dari Abdul Rahman bin Tarfah bahwa kakeknya Arfajah bin As’ad
pernah terpotong hidungnya pada perang Kulab, lalu ia memasang hidung (palsu) dari logam perak
namun hidungnya itu mulai membusuk. Maka Nabi saw menyuruhnya memasang hidung (palsu)
dari
logam emas.[28]
Dengan demikian Islam telah memberikan perhatian besar terhadap upaya penyembuhan dan
pengobatan. Dalam kaitan ini transplantasi organ tubuh (mata, ginjal atau
jantung) donor yang
sudah meninggal secara medis dan yuridis, dibolehkan oleh
Islam dengan
syarat:
1) Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) berada dalam
keadaan darurat, yang mengancam jiwanya, dan sudah menempuh
pengobatan secara medis
dan nonmedis, namun gagal. Jadi, transplantasi
merupakan satu-satunya
pilihan
untuk menyelamatkan jiwa
resipien.[29] Hal ini sesuai pula dengan kaidah fiqh: al-dararu tubihul mahzurat (kondisi darurat membolehkan hal-
hal yang dilarang dalam syariat).
2) Transplantasi tidak
akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih parah bagi resipien dibandingkan dengan kondisinya sebelum transplantasi. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh: al-
dararu la yuzalu
bi
al-darari (kemudaratan tidak boleh dihilangkan
dengan kemudaratan lagi).[30]
3) Harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya untuk mendonorkan organ tubuhnya bila ia
meninggal atau ada izin
ahli warisnya.
4) Pengambilan organ tubuh donor (si mayit) dilakukan dokter ahli bedah sehingga tidak merusak jasad (melecehkan kehormatan mayit) dan atas motivasi untuk menolong resipien, bukan untuk
tujuan
komersialisasi organ tubuh donor.[31]
Hal ini sesuai dengan fatwa MUI
tanggal 29 Juni 1987,
bahwa dalam
keadaan tidak ada pilihan
lain yang lebih baik, maka pengambilan katup
jantung orang
yang sudah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan dalam
hukum Islam, dengan syarat ada izin dari donor (melalui wasiat ketika masih hidup) dan
izin dari keluarga
atau
ahli waris.
Fatwa MUI itu dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim kepala UPF bedah
jantung
RS.Jantung ”Harapan
Kita” mengenai teknis pengambilan katup jantung
serta hal-hal yang berkaitan dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987.[32]28 Begitu
pula
dalam simposium
Nasional II mengenai masalah ”Transplantasi Organ” yang diselenggarakan oleh Yayasan Ginjal Nasional pada
tanggal 8 September 1995 di arena PRJ Kemayoran, telah ditandatangani
sebuah persetujuan tentang
bolehnya transplantasi organ.
Hal itu
telah disetujui
antara lain wakil dari PBNU, MUI, PP Muhammadiyah
dan lain-lain.[33]
Adapun dalil-dalil
syar’i yang dapat
dijadikan
alasan membolehkan transplantasi
organ tubuh
(selaput bening/kornea
mata,
ginjal atau jantung) donor yang sudah meninggal antara lain:[34]
a. Firman Allah dalam QS al-Baqarah: 156
الَّذِينَ
إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ
رَاجِعُونَ (١٥٦)
di atas yang secara analogis dapat dipahami, bahwa
Islam tidak membenarkan pula orang membiarkan dirinya dalam kondisi bahaya maut karena
tidak
berfungsinya organ tubuhnya yang sangat vital baginya, tanpa usaha-usaha penyembuhan secara medis dan nonmedis, termasuk transplantasi organ tubuh, yang secara medis memberi
harapan
kepada yang bersangkutan
untuk bisa bertahan
hidup dengan baik.
b. QS al-Maidah: 32
...وَمَنْ
أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًاۚ
’Dan barangsiapa yang
memelihara kehidupan
seorang
manusia, Maka seolah-olah dia Telah
memelihara kehidupan manusia semuanya.’
Ayat
ini menunjukkan bahwa Islam
sangat menghargai tindakan kemanusiaan yang dapat
menyelamatkan jiwa manusia. Begitu pula donor yang
dengan ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhnya (mata, ginjal, atau jantung) setelah ia meninggal, maka Islam membolehkannya bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan kemanusiaan yang tinggi nilainya, karena
menolong jiwa sesama manusia, atau membantu berfungsinya kembali organ
tubuh sesamanya
yang
tidak berfungsi.
Selaras dengan pertimbangan di atas
sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa
transplantasi organ tubuh harus dipahami
sebagai
satu bentuk layanan altruistik
(saling menolong) bagi sesama
muslim untuk kesejahteraan publik (al-maslahah).
c. Hadis Nabi saw yang mewajibkan
umat
Islam berobat:
‘Berobatlah kalian wahai hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali Dia juga meletakkan obat penyembuhannya, kecuali penyakit tua.‘ (HR Abu Daud)
d. Kaidah fiqh: (bahaya itu harus dihilangkan )
Seorang yang menderita sakit jantung atau
ginjal yang sudah
mencapai stadium yang gawat, maka dia menghadapi bahaya maut sewaktu-waktu.
Maka
menurut kaidah
fiqh
di atas bahaya maut itu harus ditanggulangi dengan usaha pengobatan. Jika usaha pengobatan secara
medis biasa gagal, maka untuk
menyelamatkan jiwanya transplantasi jantung atau ginjal
diperbolehkan karena keadaan darurat. Ini berarti jika penyembuhan penyakit bisa dilakukan
tanpa transplantasi organ
tubuh,
maka
transplantasi organ tubuh tidak dibolehkan.
e. Menurut hukum wasiat, keluarga orang
meninggal wajib melaksanakan wasiat orang yang
meninggal mengenai harta dan apa yang bisa bermanfaat, baik untuk kepentingan si mayit itu sendiri (melunasi utang-utangnya), kepentingan ahli waris
dan non ahli waris, maupun untuk kepentingan
agama
dan umum (kepentingan
sosial,
pendidikan dan sebagainya).
Berhubung si donor organ tubuh telah membuat wasiat untuk menyumbangkan organ tubuhnya untuk
kepentingan kemanusiaan, maka keluarga (ahli waris) wajib membantu pelaksanaan wasiat si mayit itu.[36]
Sebaliknya, jika
seseorang pada waktu hidupnya
tidak
mendaftarkan dirinya sebagai donor organ tubuh dan ia tidak pula memberi wasiat kepada keluarga/ahli warisnya untuk mendonorkan organ tubuhnya setelah ia meninggal nanti, maka keluarga/ahli warisnya tidak
berhak mengizinkan
pengambilan organ tubuh si mayit
untuk transplantasi
atau untuk penelitian
ilmiah
dan sebagainya.
f. Kaidah ushul fiqh: hurmatul hayyi a’zhamu mi hurmatil mayyiti (kehormatan orang
hidup lebih besar keharusan
pemeliharaannya daripada
yang mati).[37]
Karena itulah kondisi darurat
mayoritas ulama membolehkan memakan organ tubuh mayat manusia dengan
syarat
yang cukup
ketat.[38] Hal
itu dapat
dianalogikan terhadap
kebolehan pembedahan organ tubuh (kornea mata,
jantung, ginjal) mayit untuk ditransplantasikan kepada
resipien. Karena
memiliki tujuan
yang
sama yakni untuk
mendapat kemaslahatan bagi manusia.
Sebab itu walaupun sepintas melepaskan salah satu organ tubuh mayit untuk
ditransplantasikan
kepada resipien (orang lain) secara hukum dianggap mutilasi, namun hukum Islam
juga
memasukkan kepentingan manusia sebagai bahan pertimbangan[39]
sesuai dengan kaidah ushul di
atas, serta kaidah fiqh al-daruratu tubihu al-mahzurat (kondisi darurat membolehkan hal-hal
yang
dilarang).
g. Menggunakan organ tubuh mayit untuk
transplantasi bagi resipien tidak
sama dengan merusak mayit yang disebutkan dalam hadis yang melarang merusak mayit. Hadis riwayat Abu Daud dan
Ibn
Majah mengatakan, bahwa dosa mematahkan tulang sesosok mayat sama besarnya dengan dosa
mematahkan tulang
seseorang yang masih hidup. Tetapi menurut al-Nawawi, bahwa
jika
seseorang menelan sebutir permata yang berharga milik orang lain sebelum
ia meninggal, dan dituntut balik oleh
pemiliknya, maka perut jenazah harus dibedah
untuk mengambil pertama tersebut.[40]
Merusak mayit yang dimaksudkan hadis adalah tindakan-tindakan yang dari sisi caranya adalah merusak mayit karena
dilakukan menurut prosedur bedah medis dan motivasinya
pun memang bertujuan untuk melecehkan dan menghina mayit. Hal itu berbeda dengan transplantasi organ tubuh dilakukan oleh tim dokter ahli bedah sehingga tetap memperhatikan kehormatan mayit serta motivasinya adalah untuk kemaslahatan bagi kemanusiaan khususnya resipien dan pahala kebaikan
bagi
si mayit dari kerelaaannya
mendonorkan organ tubuhnya
itu.
BAB
III
PENUTUP
C. Penutup
1. Kesimpulan
a. Bank Mata adalah sebuah Lembaga
yang menghimpun kornea mata yang disumbangkan guna kepentingan kemanusiaan bagi
mereka yang memerlukan penggantian kornea mata akibat suatu penyakit atau
kecelakaan Faktor kerusakan mata bawaan dari lahir, tertusuk pensil, pulpen,
peniti, kemasukan pasir, bahkan akibat dari umpan pistol-pistolan yang mengenai
mata akan mengakibatkan mata menjadi rusak.
Secara terminologi transplantasi adalah ”pemindahan
organ tubuh yang mempunyai daya
hidup yang sehat untuk
menggantikan organ tubuh yang
tidak sehat dan tidak
berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk
bertahan hidupnya tidak ada lagi.
b. Untuk mengetahui hukum transplantasi organ tubuh
manusia itu harus dikaitkan dengan
kondisi donor, apakah donornya
dalam kondisi hidup
sehat,
koma
atau
sudah meninggal dunia.
(1) Haram hukumya apabila yang donor masih hidup, (2) Haram hukumnya apabila
dalam kondisi koma, (3) dibolehkan oleh islam apabila donor sudah meninggal
secara medis dan yuridis dengan persyaratan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Daud, CD. Digital Sunan
Abu Daud, kitab al-Tibb hadis
nomor 3427, 4232.
Abd. Muhaimin, Abdul Wahab. Kajian Islam Aktual. Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Press,
2001.
Bassiouni, M. Cherif. The Islamic Criminal
Justice System. New York: Oceana Publications
Inc, 1982.
al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, CD.
Digital Sahih al-Bukhari, kitab al-Tibb hadis nomor
5246, 5249.
Departemen
Agama RI. Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Jakarta: CV Indah
Press,
2002. Djazuli, A. Kaidah-Kaidah Fikih,
Kaidah-Kaidah
Hukum Islam
dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah
yang Praktis. Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2006.
Ebrahim, Abul Fadl Mohsin. Organ
Transplantation, Euthanasia, Cloning and Animal Experimentation: An Islamic View. Diterjemahkan oleh Mujiburohman. Fikih Kesehatan.
Cet. I;
Jakarta: PT
Serambi Ilmu
Semesta, 2007.
Ibn
Majah, CD. Digital Sunan
Ibn Majah, kitab al-Tibb
Ih, M. Sa’ad. “Transplantasi dan Hukuman Qisas Delik Pelukaan, Studi tentang
Reformasi dan Perubahan Eksekuasi.” Dalam Chuzaimah T.Yanggo dan A. Hafiz Anshary AZ. Problematikan
Hukum Islam Kontemporer, Buku
Keempat. Cet. II; Jakarta: PT
Pustaka Firdaus dan LSIK, 1997.
MUI. Himpunan Keputusan
dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Sekretariat MUI,
1994.
Al-Nawawi. Majmu’
Syarh al-Muhazzab,
Jilid V. Mesir: Matba’ah al-Iman,
1966.
Qardawi, Yusuf. Hady
al-Islam Fatawi Mu’asirah. Diterjemahkan oleh Abdul Haayie
al-
Kattani, dkk. Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3. Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press,
2002.
Al-Ruki,
Muhammad. Qawa’id
al-Fiqh
al-Islami. Damaskus: Dar al-Qalam, 1998. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah,
Juz III. Beirut:
Dar al-Fikr,
1981.
Al-Syafi’i. al-Umm,
Juz II. Beirut:
Dar
al-Fik,t [t.th.].
Al-Syatibi,
Abu
Ishaq.
al-Muwafaqat fi
Usul al-Syari’ah,
Juz II. Kairo:
Mustafa
Muhammad, [t.th.].
Umar,
M. Hasbi. Nalar Fiqih Kontemporer. Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Press,
2007. Utomo, Setiawan Budi. Fikih Kontemporer.
Cet. I; Jakarta: Pustaka Saksi, 2000.
Yasid,
Abu (ed.). Fiqh Realitas.
Cet. I;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005. Yasin, M. Nu’aim. Fikih Kedokteran. Cet. I;
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2001. Zuhdi, Masjfuk. Masail
Fiqhiyyah. Cet. X; Jakarta:
PT Toko Gunung Agung, 1997.
Mei 2018 pkl: 13:06
[1] Lihat Abu Ishaq al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah, Juz II (Kairo: Mustafa Muhammad, [t.th.]), h. 10.
[2] Osman Abd el-Malek al-Saleh, “The Right of the Individual to Personal Security in Islam,” dalam
M.
Cherif Bassiouni, The Islamic Criminal Justice System (New York: Oceana Publications Inc, 1982), h.
55.
[4] Yusuf Qardawi, Hady al-Islam Fatawi Mu’asirah, diterjemahkan oleh Abdul Haayie al-Kattani, dkk., Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 3 (Cet. I; Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h.
81-82.
[6]
https://www.scribd.com/document/352417052/BANK-MATA
[7] http://bankmataindonesia.org/tentang-kami
[8] Lihat M. Sa’ad Ih, “Transplantasi dan Hukuman Qisas Delik Pelukaan,
Studi tentang Reformasi
dan Perubahan Eksekuasi,” dalam Chuzaimah T.Yanggo dan A. Hafiz Anshary AZ, Problematikan Hukum Islam Kontemporer, Buku Keempat (Cet. II; Jakarta: PT Pustaka Firdaus dan LSIK, 1997), h.
69.
[12] Lihat ibid. h. 71. Lihat pula Abu Yasid (ed.), Fiqh Realitas (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 220.
[13] Lihat Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 86-87. Lihat pula Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Kajian Islam Aktual (Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Press, 2001), h.
197-198
[18] A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-
Masalah yang Praktis (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 11.
[20] Lihat M. Nu’aim Yasin, Fikih Kedokteran (Cet. I; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), h. 160-161.
[21] Lihat Abul
Fadl Mohsin
Ebrahim,
Organ Transplantation, Euthanasia,
Cloning and Animal
Experimentation:
An Islamic View, diterjemahkan oleh Mujiburohman, Fikih Kesehatan (Cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2007), h. 83-87.
[23] Lihat Kementerian Kesihatan Malaysia bekerjasama dengan Jabatan Kemajuan Islam Malaysia,
Pemindahan Organ Perspektif Islam, (Cet. I; Malaysia: Unit Pengkhidmatan Transplan, 2011), h. 21.
[27] Lihat Setiawan Budi Utomo, Fikih Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Pustaka Saksi, 2000), h. 210-211.
[30] Lihat Masjfuk Zuhdi, op.cit., h. 89-90. Kondisi darurat yang membolehkan seseorang melakukan
hal-hal yang dilarang adalah kondisi yang memenuhi syarat: (1) kondisi darurat itu mengancam jiwa dan atau
anggota badan; (2) kondisi darurat hanya dilakukan sekadarnya, tidak melampaui batas; (3) tidak ada jalan lain
yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang. Lihat A. Djazuli, op.cit., h. 72.
[31] Lihat Abdul Wahab Abd. Muhaimin, op.cit., h. 201. Lihat pula M. Nu’aim Yasin, op.cit., h. 164-165.
[32] Lihat MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: Sekretariat MUI, 1994), h. h.
176-177.
[38] Lihat al-Syafi’i, al-Umm, Juz II (Beirut: Dar al-Fik,t [t.th.]), h.
276.
Lihat pula Muhammad al-Ruki, Qawa’id al-Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Qalam, 1998), h. 207.
[40] Lihat al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Jilid V (Mesir: Matba’ah al-Iman, 1966), h. 267.
Lihat pula M. Hasbi Umar, op.cit., h.
186.
No comments:
Post a Comment