Oleh: Anis Jamil Mahdi
MAHASISWA PASCASARJANA UIN MALIKI MALANG
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Manusia
adalah makhluk yang memiliki sifat bertanggung jawab karena ia memiliki
kemampuan untuk memilih secara sadar dalam meraih cita-cita dalam kehidupannya.
Sadar akan hal itu berarti, mengetahui kondisi yang ada dan konsekwensi yang
akan ditimbulkannya. Manusia dapat berperan dengan baik dalam kelompok kecil
maupun kelompok masyarakat bahkan dalam pembentukan ulang norma-norma
disekitarnya ketika berhadapan dengan tantangan-tantangan untuk membuat
pilihan-pilihan yang secara mandiri dalam hidup dengan gaya yang dimiliki.[1]
Agama
Islam memiliki aturan-aturan yang menjaga manusia dari kerusakan. Menjauhkan
manusia dari tiap-tiap zahrah kerendahan serta seterusnya yang membimbing
manusai itu mencapai puncak kemuliaan, kebahagiaaan, dan kesempurnaan.[2]
Kemajuan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta keberhasilan pembangunan
akhir-akhir ini telah merambah seluruh aspek bidang kehidupan manusia. Tidak
saja membawa kemudahan, kebahagiaan dan kesenangan, melainkan juga menimbulkan
sejumlah persoalan. Disisi lain kesadaran keberagaman umat Islam, khususnya di
Indonesia. Pada dasawarsa terakhir ini semakin tumbuh subur dan
meningkat. Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul persoalan, penemuan maupun
aktivitas baru sebagai produk dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
memunculkan pertanyaan, bagaimanakah kedudukan hal tersebut dalam pandangan
hukum Islam.[3]
Oleh
karenanya, hal seperti ini sangat memerlukan adanya formulasi hukum yang sesuai
dengan konteks dan tantangan zaman. Yang tentunya jawaban dari formulasi
tersebut didasarkan kepada dalil-dalil yang absah, sehingga ummat islam tidak
terjebak pada perbuatan yang menurut syari’at dianggap tidak sesuai. Disinilah
dibutuhkan yang namanya usaha logis untuk menghasilkan produk hukum yang dalam
literatur ushul fikih dikenal dengan istilah ijtihad.
Hal
ini pernah dilakukan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal tatkala hendak di utus oleh
Nabi unuk menjadi qadhi (hakim) di negara Yaman sebagaimana disebutkan
dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitabnya:
عَنْ مُعَاذٍ
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص بَعَثَ مُعَاذًا اِلَى اْليَمَنِ فَقَالَ: كَيْفَ تَقْضِى؟
فَقَالَ: اَقْضِى بِمَا فِى كِتَابِ اللهِ. قَالَ. فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ
اللهِ؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ
رَسُوْلِ اللهِ ص؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَأْيِى. قَالَ: اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ وَفَّقَ
رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ
Dari
Mu’adz, bahwasanya Rasulullah SAW mengutus Mu’adz ke Yaman. Beliau SAW
bersabda, “Bagaimana kamu memutuskan perkara ?”. (Mu’adz menjawab), “Saya
memutuskan dengan hukum yang ada di dalam kitab Allah”. Rasulullah SAW
bersabda, “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah ?”. Mu’adz berkata, “Saya
akan memutuskan dengan sunnah Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda, “Kalau
tidak terdapat di dalam sunnah Rasulullah SAW ?”. Mu’adz menjawab, “Saya
berijtihad dengan pendapatku”. Rasulullah SAW bersabda, “Segala puji bagi Allah
yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah”. [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 394][4]
Dalam
hadis tersebut dinyatakan bagaimana proses pengambilan hukum yang dilakukan
oleh Mu’adz bin Jabal. Dari hadis inilah muncullah ijtihad untuk menemukan jawaban atas persoalan yang
dihadapi oleh ummat Islam. Namun, sesungguhnya ada pesan lain yang menarik
untuk dicermati. Dengan bertanya kepada sahabat Mu’adz bagaimana ia akan
memutuskan perkara yang tidak ia temukan rujukannya di Qur’an atau Hadis, Nabi
secara implisit mengakui adanya kemungkinan muncul kasus-kasus hukum baru di
wilayah baru dimana ditempat Nabi dan para sahabatnya tinggal. Nabi menyadari
betapa lokasi yang terletak ribuan kilometer dari Madinah seperti Yaman
berpotensi melahirkan kasus-kasus hukum baru yang tidak bisa di temukan dalam
Qur’an dan Hadis. Kalau pada masa Nabi saja Yaman, yang nota bene masih
termasuk kawasan Jazirah Arab, bisa memunculkan keadaan-keadaan baru yang tak
ada presendennya di Qur’an dan Sunnah, apalagi wilayah-wilayah lain yang
letaknya lebih jauh lagi, lebih-lebih setelah Nabi wafat[5].
Disini
kita berhadapan dengan situasi yang oleh Ibnu Rusyd dalam pengantar kitabnya, Bidayat
al-Mujtahid dirumuskan sebagai النصوص المنتناهية و
الواقع غير المنتناهية (nas-nas atau teks-teks syari’at itu sudah
terhenti berabad-abad silam, sementara peristiwa kasuistik itu tidak ada
batasnya dan terus berkelanjutan).[6]
Maka dari sini perlu adanya ijtihad untuk menjawab persoalan yang baru
dalam konteks yang berbeda pula.
Salah
satu persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam yang tentunya membutuhkan jawaban
syari’at adalah masalah kosmetik dan obat-obatan. Seiring pesatnya kemajuan
dalam bidang teknologi juga merambah pada teknologi pembuatan kosmetik dan
obat-obatan, yang disinyalir bahan baku dari kosmetik dan obat-obatan tersebut
adalah barang yang haram untuk dikonsumsi yaitu terbuat dari organ tubuh
manusia, plasenta (ari-ari), dan kencing manusia. Oleh karenanya disini penulis
akan membahas hal tersebut.
B.
Rumusan
Masala
Dari
latar belakang masalah sebagaimana dijelaskan diatas, maka, peneliti disini
akan menfokuskan beberapa masalah yang akan dirumuskan sebagaimana berikut:
1.
Bagaimanakah
Deskripsi tentang istilah Ari-Ari (plasenta), Organ Tubuh Manusia, dan Air seni
manusia
2.
Bagaimanakah
Fatwa dan Hujjah para Fuqaha’ tentang penggunaan obat-obatan dan kosmetik
dengan menggunakan bahan baku sebagaimana diatas.
3.
Bagaimanakah
analisis akhir dari hujjah para Fuqaha’ tentang penggunaan obat-obatan
dan kosmetik dengan bahan baku sebagaimana diatas.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Deskripsi
Ari-ari Bayi (Plasenta), Organ Tubuh Manusia, dan Air seni
1.
Istilah
Ari-ari (Plasenta)
Plasenta
atau ari-ari ini merupakan organ manusia yang berfungsi sebagai media nutrisi
untuk embrio yang ada dalam kandungan. Ia memiliki bobot seberat 600 gram
berdiameter 16-18 cm dan mengandung 200 ml darah yang berisi jaringan seperti
spon. Selam berfungsi sebagai sumber kehidupan. Embrio plasenta kaya akan
kandungan darah dan juga protein seperti albumin, hormon seperti estrogin dan
subtansi lain seperti asam, deoxy ribo nukleat. Semula plasenta digunakan dalam
bidang farmasi, karena organ ini mempunyai fungsi yang luas. Di antaranya
adalah untuk menyembuhkan cacar bawaaan, terapi kangker, kehilangan protein
akut melalaui luka bakar, infeksi bakteri yang berulang dan serius serta
menginitis[7]
Dari
pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwasannya plasenta merupakan
bagian dari organ tubuh manusia, berupa darah yang memiliki fungsi dan manfa’at
untuk janin yang ada didalam kandungan manusia. Oleh karenanya plasenta atau
ari-ari tersebut di beri penghormatan layaknya manusia oleh sebagian
masyarakat. Sehingga dalam tradisi masyarakat Jawa-Madura plasenta ini dikubur
dan di lakukan ritual penghormatan dalam menguburnya.
Disamping itu,
berdasarkan penelitian medis plasenta atau ari-ari bayi juga memiliki beberapa
manfa’at, diantaranya adalah mempercepat regenerasi sel-sel kulit, mreproduksi
kembali kulit yang sudah mati, sehingga kulit itu akan kembali kencang layaknya
baru kembali. Disamping itu plasenta juga bermanfaat untuk menyembuhkan luka
yang membusuk, cacar air, dan penyakit kulit lainnya. Sehingga pada dasawarsa
ini plasenta digunakan untuk kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
2.
Organ
Tubuh
menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan organ adalah alat yang
mempunya tugan dan fungsi tertentu dalam tubuh manusia, seperti dapat
disederhanakan bahwasannya yang dimaksud dengan organ tubuh manusia adalah
bagi-bagian tubuh manusia yang menjadi alat yang memiliki fungsi-fungsi
tertentu.
Dalam
bahasa Arab sebagian diartikan dengan kata “al-Juz” yang merupakan
bentuk tunggal dari kata “al-Ajza’” (bentuk pluralnya). Dalam kamus Mu’jam
al-Washit kata al-Juz adalah bagian dari sesuatu.[8]
Sedangkan kata tubuh diistilah kan dengan kata al-Jism yang bentuk
pluralnya adalah al-Ajsam.[9]
Maka yang dimaksud dengan organ tubuh adalah bagian atau potongan tubuh
manusia.
B.
Penggunaan
Plasenta, Organ Tubuh Manusia, dan Urine (Air seni) dalam produk kosmetik dan
Obat-Obatan.
masyarakat
sempat dibuat heboh ketika pada tahun 1970-an beredar kosmetik dari Jepang,
yang bahannya dicampuri plasenta. Kosmetik tersebut kemudian menghilang, namun,
dibeberapa tempat tetap saja ada yang menawarkan rahasia menjadi cantik
menggunakan aneka produk kosmetik yang bahannya mengandung plasenta.[10]
Melalui
rekayasa genetika dan teknologi pangan saat ini, telah memungkinkan semua yang
ada dimuka bumi ini dijadikan sebagai bahan baku makanan, obat-obatan, dan
kosmetik yang dikonsumsi manusia. Seekor hewan misalnya, tidak hanya dagingnya
yang dapat dimanfaatkan, tetapi plasentanya juga dapat dimanfaatkan sebagai
bahan kosmetik, perkembangan ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti sampai
disana tetapi bahkan plasenta manusia pun sekarang dapat dimanfaatkan. Kosmetik
yang mengandung ekstrak plasenta cenderung bekerja cepat dan efektif karena
ekstrak plasenta mampu membantu regenerasi sel-sel secara lebih cepat.[11]
Tren
facial menggunakan plasenta manusia ini menjadi popular di Amerika dan di
kota-kota besar lainnya, meski terdengar aneh, tapi para ahli yakin bahwa
plasenta bayi bisa mengencangkan, meregenerasi dan membuat kulit tampak lebih
muda.
Semakin
maju teknologi semakin banyak pula alternati-alternatif bahan baku kosmetik
yang digunakan, sebagai contoh plasenta, ekstrak plasenta merupakan sumber
proterin yang bisa berasal dari hewan maupun manusia, biasanya ia menjadi bahan
baku krem regenerasi untuk memperbaiki elastisitas kulit dan mencegah
degenerasi sel, sehingga menghasilkan fungsi kulit yang diinginkan. Seiring
dengan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan kulit yang cantik dan menawan,
produkproduk berplasenta semakin digemari. Tetapi tanpa informasi yang mendamai
kepada konsumen tidak menutup kemungkinan masyarakat akan terjebak kepada
produk yang sebenarnya najis dan dilarang agama, preparat kosmetik yang
menggunakan plasenta dan turunannya tidak jelas sumber plasenta ynag digunakan.
Apakah berasal dari plasenta manusia atau hewan, keduanya memiliki permasalahan
yang sama ditinjau dari sudut kehalalan.[12]
Dengan melihat fakta tersebut maka sudah barang tentu harus ada ketegasan hukum
tentang masalah ini, yang tentunya harus diambilkan dari fatwa para Ulama’.
Sehingga ummat Islam tidak terjebak pada penggunaan produk yang haram, atau
belum jelas halal-haramnya
C.
Fatwa
Ulama’ Tentang Penggunaan Kosmetik dan Obat-Obatan dengan Menggunakan Plasenta,
Organ Tubuh Manusia dan Urine
1.
Fatwa
Para Imam Madzhab
Madzahib
al-Arba’ah sepakan bahwasannya menggunakan
obat-obatan ataupun kosmetik yang bahan bakunya berupa plasenta (ari-ari bayi),
organ Tubuh manusia dan urine (kencing manusia) ataupun menggunakan produk
kosmetik yang dibiat dengan menggunakan ekstrak tiga bahan tersebut adalah
Haram. Keharaman tersebut disebabkan karna
dua hal. Yang pertama karena plasenta dan organ tubuh manusia itu
kedudukannnya sama dengan manusia itu sendiri yaitu mulia. Yang kedua,
sebab kencing manusia itu merupakan sesuatu yang najis, begitu pula dengan
plasenta juga sesuatu yang najis. Sedangkan menggunakan sesuatu yang najis itu
hukmnya haram.[13]
Sementara
berdasarkan ketetapan fatwa Ulama’ NU (Nahdhatul Ulama’) yang diputuskan pada
Muktamar juga menyatakan keharamannya.
Sebab bahaya penyakit yang ditimbulkan oleh berbagai penyakit tersebut tidak
akan melebihi pencemaranan kehormatan mayat. Argumentasi ini didasarkan pada
kitab Hasyiah al-Rasyid ‘ala al-‘Ibad. Sebagaimana sebagai berikut[14]:
قرر
المعتمر بأن ذالك الافتاء غير صحيح, بل يحرم أخذ حداقة الميت ولو غير محترم كمرتد
وحربي. ويحرم وصله بأجزاء الآدمي لآن ضرر المي لايزيد على مفسدة انتهاك حرمات
الميت
“ketetapan ulama’ dalam mu’tamar
menyatakan bahwasannya haram hukumnya menggunakan kornea mata untuk dibuat
sebagai obat bagi orang yang buta sebab bahaya kebitaan tidak akan melebihi
pencemaran kemuliaan mayyit. Walaupun itu adalah mayatnya orang murtad dan
kafir harby’
Karena
faktor kemuliaan ini para ulama’ sepakat kalau menggunakan sesuatu yang
terputus dari manusia itu haram, sebab kemuliaan mayat dari manusia itu sama
dengan kemuliaan manusia itu sendiri. Oleh karenanya ari-ari (plasenta) itu
disunnahkan untuk di kubur.
2.
Fatwa
MUI (Majelis Ulama’ Indonesia)
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi keulamaan yang bersifat independen,
tidak berafiliasi kapada salah satu aliran politik, madzhab atau aliran
keagamaan Islam yang ada di Indonesia.[15]
Adanya
suatu wadah yang dapat menampung, menghimpun dan mempersatukan
pendapat-pendapat dan pikiran-pikiran dari para ulama Indonesia, sudah lama
menjadi hasrat dan keinginan umat Islam Indonesia dan pemerintahan republik
Indonesia. Dengan adanya wadah ini diharapkan partisipasi para ulama yang telah
mempunyai tempat khusus di hati rakyat Indonesia, terhadap pembangunan
nasionalnya akan lebih dapat terus ditingkatkan. Musyawarah yang diadakan atas
prakasa pusat dakwah Islam Indonesia ini, bertemakan :“Mewujudkan kesatuan
amaliah sosial umat Islam dalam masyarakat dan partisipasi alim ulama dalam
pembangunan nasional”. Dalam musyawarah ini banyak peserta (ulama) yang mengusulkan
perlu adanya Majelis Ulama yang didalamnya mencakup lembaga fatwa.[16]
Kemajuan
dalam bidang iptek dan tuntutan pembangunan yang telah menyentuh seluruh aspek
kehidupan, di samping membawa berbagai kemudahan, juga menimbulkan sejumlah
perilaku dan persoalan-persoalan baru, banyak persoalan yang berperan waktu
lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah dibayangkan, kini hal itu menjadi
kenyataan. Di sisi lain kesadaran keberagaman umat Islam di bumi nusantara ini
semakain tumbuh subur. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajaran dan
keniscayaan jika setiap timbul persoalan baru, umat mendapatkan jawaban (fatwa)
yang tepat dari pandangan ajaran Islam.[17]
Dasar
penetapan fatwa yang dilakukan oleh MUI adalah sebagai berikut :[18]
a.
Setiap keputusan
fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan sunnah Rasul yang mu’tabarah,
serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
b.
Jika tidak
terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasul sebagaimana ditentukan dalam pasal 2
agar berdasarkan keputusan sidang komisi fatwa MUI, keputusan fatwa hendaknya
tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas, dan mu’tabar dan dalildalil hukum yang
seperti : istihsân, maslahah mursalah dan sadd az-zari’ah.
c.
Sebelum
mengambil keputusan fatwa hendaknya ditinjau pendapat-pendapat para Imam
madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang
berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
d.
Pandangan tenaga
ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.
Berkaitan dengan masalah yang dibahas
yaitu mengenai penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan
kosmetika. Maka komisi fatwa MUI setelah menimbang dan memperhatikan dari
berbagai sudut pandang. Bahwasanya penggunaan organ tubuh manusia bagi
kepentingan obat-obatan dan kosmetika hukumnya haram, kecuali dalam keadaan
darurat, dan keputusan tersebut berdasarkan pada sidang komisi fatwa MUI
berlangsung pada tanggal 27 Rabi’ul Akhir 1421 H / 30 Juli 2000 M yang membahas
tentang penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan
kosmetika.
1.
Rumusan Masalah
a.
Diketahui
sejumlah obat-obatan dan kosmetika mengandung unsur atau bahan yang berasal
dari organ (bagian) tubuh atau ari-ari (tembuni) manusia.
b.
Menurut sebagian
dokter, urine (air seni) manusia dapat menjadi obat (menyembuhkan) sejumlah
jenis penyakit.
c.
Bagaimanakah
hukum menggunakan obat-obatan dan kosmetika seperti dimaksudkan di atas?
d.
Oleh karena itu,
MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum dimaksud untuk
dijadikan pedoman.[19]
2.
Dalil / Dasar
a.
Firman Allah SWT
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ
مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“maka
barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa maka, Allah
sesungguhnya maha pengampun lagi maha penyayang”
b.
Hadis
Nabi S.A.W, yang menyatakan antara lain:
تداووا فإن الله عز وجل لم يضع داء الا
وضع له دواء غير داء وحد الهرم (راوه أبو داود)
“berobatlah kalian,
sesungguhnya Allah tidak meletakkan penyakit kecuali terdapat obatnya kecuali
obatnya orang yang pikun (H.R. Abu Dawud)”
ان الله أنزل الداء والدواء وجعل لكل
داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرم (راوه أبو دود)
“sesungguhnya Allah
menurunkan penyakit dan penewarnya, dan Allah menjadikan tiap-tiap penawar bagi
tiap-tiap penyakit, maka, berobatlah dan janganlah berobat dengan sesuatu yang
haram (H.R. Abu Dawud)”
c.
Pendapat
sebagaian Ulama’ menegaskan
قال الزهري: لايحل شرب بول الناس لشدة
تنزل لأنه رجس قال الله تعالى (أحل لكم الطيبات. المائدة) وقال ابن مسعود في السكر
ان الله لم يجعل شفائكم فيما حرم عليكم (راوه البخاري)
“al-Zuhry berkata
tidak halal meminum air kencing manusia lantara penyakit yang keras, sebab hal
itu merupakan sesuatu yang kotor (najis) Allah berfurman: “dihalalkan bagi kamu
makanan yang baik-baik” dan Ibnu Mas’ud berkata tentang minuman yang memabukkan
Allah tidak menjadikan obatmu dengan sesuatu yang diharamkan (H.R.
al-Bukhary)”
d.
Kaidah
Fikih
الضرورة تبيح المحظورات
“keadaan Dharurat
dapat memperbolehkan melakukan sesuatu yang dilarang”
3.
Keputusan
Fatwa
a.
Dalam
fatwa ini yang dimaksud dengan[20]:
1)
Penggunaan
obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan, bukan menggunakan obat
pada bagian luar tubuh; Penggunaan air seni adalah meminumnya sebagai obat.
2)
Penggunaan
kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar tubuh dengan tujuan
perawatan tubuh atau kulit agar tetap atau menjadi baik dan indah.
3)
Darurat
adalah kondisi-kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan maka dapat
mengancam eksistensi jiwa manusia.
b.
Penggunaan
obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organmanusia
(juz’ul-insan) hukumnya haram.[21]
c.
Penggunaan
air seni manusia untuk pengobatan, seperti disebut pada butir a.2 hukumnya
adalah haram.
d.
Penggunaan
kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya
haram.
e.
Hal-hal
tersebut pada butir b, c, dan d di atas boleh dilakukan dalam keadaan dharurat
syari’ah.
f.
Menghimbau
kepada semua pihak agar tidak memproduksi atau menggunakan obat-obatan atau
kosmetika yang mengadung unsure bagian organ manusia, atau berobat dengan air
seni manusia.[22]
D.
Analisis Fatwa Para Ulama’ Tentang Penggunaan Produk Kosmetik dan
Obat-Obatan yang terbuat fari Plasenta, Organ Tubuh Manusia, dan Urine
Pada bab sebelumnya telah penulis kemukakan keputusan fatwa MUI
tentang penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan
kosmetika adalah haram, kecuali dalam keadaan darurat syar’iyah boleh
dilakukan. Dalam uraian tersebut terdapat permasalahan yang perlu mendapat
pembahasan dan analisis serta pemecahannya. Berkisar pada keharaman penggunaan
organ tubuh, ari-ari, air seni manusia bagi kepentingan obat-obatan dan
kosmetika kecuali dalam keadaan dharurat serta sejauh mana batasan darurat
tersebut bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
Namun demikian dengan menggunakan data-data yang telah terkumpul,
dan tidak lepas dari kajian hujjah para ulama sebagai studi analitis yang
penulis gunakan untuk mencapai suatu kesimpulan yang dapat menggambarkan fatwa
secara obyektif.
1.
Kriteria
Halal dan Haram
Sebagaimana
yang telah dijelaskan diatas, bahwasannya untuk sampai pada titik kesimpulan
fatwa yang obyektif maka perlu adanya analisis terhadap fatwa-fatwa para Ulama’
atau study analitis terhadap teks-teks yang merupakan hasil keputusan para
Ulama’. Atau yang disebut didalam istilah ushul fikih dengan ijtihad Insya’i
analisis terhadap teks untuk menghasilkan produk hukum yang sesuai dengan
konteksnya. Untuk melakukan proses tersebut maka perluadanya tahapan-tahapan
yang sesuai dengan prosedur yang ditawarkan oleh para Ulama’.
Pada
dasarnya, semua yang ada dimuka bumi ini disediakan hanya untuk manusia.
Apa-apa yang ada didunia ini secara esensial boleh digunakan oleh manusia hal
ini didasarkan oleh firman Allah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي
الْأَرْضِ جَمِيعًا
“dia
(Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada dibumi seluruhnya”
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ
وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“dan
dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu segala yang ada dilangit dan
dibumi semua bersumber dari-Nya ”
Bertitik tolak dari kedua ayat tersebut, para Ulama’ berkesimpulan
bahwasannya pada prinsipnya segala sesuatu yang ada dialam raya ini adalah
halal untuk digunakan, sehingga makanan yang terdapat didalamnya juga adalah
halal.[23] dalam istilah fikih adala
sebuah kaidah yang bisa digunakan yaitu “al-Ashl fi al-Asya’ al-Ibahah”[24] (hukum asal segala sesuatu adalah boleh digunakan). Dalam
tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan,
tumbuhan, atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya dalam syari’at.
Semua jenis barang tersebut dihukumi halal, sesuai subtansi yang dikandung
kaidah ini.[25]
Dengan dasar inilah maka penulis menyimpulkan bahwasannya semua
yang ada di muka bumi ini boleh hukumnya dikonsumsi atau digunakan oleh
manusia, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Pengecualian atau
pengharaman yang disebutkan harus bersumber dari Allah baik dari al-Qur’an
ataupun al-Sunnah. Sedang pengecualian itu lahir dan disebabkan oleh kondisi
manusia, karena ada makanan yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa
raganya.[26]
Dalm ushulul fikih hal ini diistilahkan dengan “mafhum mukhalafah al-Hasyr”[27]
Contoh pengecualian yang disebutkan oleh al-Qur’an dalam
mengharamkan sesuatu yang dikonsumsi ataupun sesuatu yang digunakan, adalah
surah al-An’am ayat: 145:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
“tidakkah
aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi
orang-orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua benda itu kotor,
atas binatang yang disembelih selain Allah”
Bertolak dari ayat diatas maka, dapat ditarik benang merah bahwa
makanan yang diharamkan oleh Allah ada empat hal yaitu: (1) bangkai, kecuali
bangkai nya belalang dan hewan lautan. (2) darah yang mengalir. (3) daging
babi. (4) hewan yang disembelih tanpa menggunakan prosedur secara syar’i. Sebab
keharamannya adalah karena ke empat kategori tersebut termasuk rijs[28]
(kotor). Maka dari sini dapat disimpulkan bahwasannya kriteri Halal-Haram nya
penggunaan produk yang dijadikan konsumsi adalah najis tidaknya produk
tersebut. Selain itu batasan produk itu halal atau tidaknya bisa dilihat dari
dampak yang ditimbulkan oleh produk tersebut.
Salah satu yang menjadi tolak ukur dalam menetapkan keharaman
penggunaan produk adalah najis sebagaimana yang dijelaskan diatas maka disini
perlu adanya batasan tentang sesuatu itu bisa dikatakan najis. Menurut Dr.
Wahbah Zuhaily yang dimaksud dengan najis secara bahasa adalah sesuatu yang
kotor dan menjijikkan, sedangkan secara istilah fikhiyahnya adalah sesuatu yang
kotor dan menjijikkan yang dapat mencegah status keabsahan ibadah shalat.[29]
Dari sini dapat dikatakan bahwasannya sesuatu yang najis sudah
pasti kotor dan menjijikkan sedangkan sesuatu yang kotor dan menjijikkan belum
tentu najis. Dan secara medis menggunakan sesuatu yang kotor akan berdampak
negatif pada kesehatan manusia. Oleh sebabnya Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا
فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
“wahai
orang-orang yang beriman makanlah apa-apa yang halal dan baik yang ada dibumi ”
Dari sini dapat kita temukan satu titik kesimpulan bahwasannya
menggunakan produk kosmetik dan obat-obatan yang mengandung ekstrak atau bahan
bakunya adalah plasenta (ari-ari), organ tubuh manusia, dan urine (kencing
manusia) adalah haram. Hal ini disebabkan karena semua produk tersebut
merupakan sesuatu yang najis, dan menggunakan produk yang najis adalah haram.
2.
Analisis Tentang Batasan Dharurat (Kondisi Kritis)
Untuk melakukan analisa terhadap batasan dharurat, dengan artian
kapan seseorang itu dikatakan berada dalam kondisi dharurat. Maka, perlu adanya
pengetahuan apa yang dimaksud dengan dharurat itu sendiri. Hal ini agar tidak
serampangan dan tidak mempermudah status hukum karena hanya alasan dharurat
saja.
Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam
peristiwa yang melingkupinya. Adakalanya senang, susah, gembira, bahagia,
khawatir, takut, dan seterusnya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan
sunnatullah (alamiah). Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan yang
bersifat universal (Rahmatan li al-Alamin), Islam tidak melepaskan
perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan
apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi muslimin dengan memberikan
keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit untuk diimplementasikan.[30]
Hal semacam
ini dapat kita temukan, misalnya, dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat: 185,
yang berbunyi:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا
يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah
swt menginginkan terwujudnya kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan bagi
kalian semua”
Ditilik dari asbab al-Nuzul nya, ayat ini memang diturunkan
dalam konteks pemberian keringanan hukum berupa diperbolehkannya berbuka puasa
bagi orang sakit atau orang sedang melakukan perjalanan (musafir),
namun, jika ditilik dari aspek universalitas teks secara aplikatif maka ayat
ini berlaku dalam skala yang sangat luas. Artinya kemudahan itu tidak hanya
diberikan kepada orang sakit atau musafir, melainkan bagi semua ummat
Islam yang mengalami kesulitan.[31]
Penjelasan tentang ayat diatas memberikan legitimasi terhadap
keabsahan setiap perbuatan yang awalnya
diharamkan menjadi halal atau diperbolehkan dalam kondisi sulit atau kritis (dharurat).
Hal ini dapat dilihat pada contoh diatas dimana seseorang boleh tidak berpuasa
ketika melakukan perjalanan. Maka analogi sederhananya menandaskan seorang
muslim boleh menggunakan atau mengkonsumsi sesuatu yang haram dalam keadaan
kritis. Namun untuk menentukan seseorang itu dalam kedaan dharurat harus
dipahami apa itu dharurat sehingga dapat diketahui batasan-batasan sampai mana
seseorang itu dikatakan dalam kondisi dharurat yang menyebabkan seseorang boleh
melakukan hal yang pada dasarnya tidak diperbolehkan.
Secara
etimologi, kata dlarar adalah antonim atau kebalikan dari manfa’at (khilaf
al-Nafi’). Jadi, bila minum air adalah sebuah aktivitas yang memberi
manfaat bagi tubuh, maka perbuatan menghindari perbuatan minum air selama
berhari-hari adalah termasuk dlarar karena berlawanan dengan sesuatu
yang bermanfaat.[32]
Sedangkan secara terminologis, mengutip paparan Fakhr al-Din
al-Razi, dlarar adalah sebuah perasaan sakit yang terbesit dalam hati.
Ada lagi yang mengartikan dlarar adalah kecelakaan yang menimpa
seseorang, artinya dlarar adalah sesuatu yang dapat menghilangkan fungsi
dari tubuh manusia atau bahkan sampai menghilangkan jiwa manusia.[33] Lebih lanjut al-Ghazali
memberi pernyataan bahwasannya kondisi dlarar yang menimpa seseorang
sehingga dalam kondisi seperti itu seseorang boleh melakukan sesuatu yang
dilarang, menggunakan atau menkonsumsi makanan yang pada awalnya diharamkan
yaitu ketika kondisi itu menyebabkan hilangnya salah satu dari beberapa aspek dharuriyyat[34]
(kebutuhan primer).[35] Maka menegakkan
aspek-aspek dharuriyyat tersebut merupakan keharusan dan harus
dipeneuhi, karena hilangnya salah satu aspek tersebut akan menghancurkan
tatanan nilai-nilai kehidupan manusia.
Maka dapat disimpulkan bahwasannya batasan dlarar yang
dialami oleh seorang muslim sehingga dia boleh menggunakan sesuatu yang haram,
atau menkonsumsi sesuatu yang haram adalah ketika dia beradala dalam satu
kondisi yang sangat kritis yang bisa sampai menghilangkan nyawanya. Dan dia
sudah berusaha semaksimal mungkin menghilangkan kondisi tersebut dengan sesuatu
yang halal. dalam kasus ini seorang muslim boleh menggunakan obat-obatan yang
terbuat dari berbagai macam bahan tersebut diatas apa bila dia berada dalam dua
kondisi. Pertama, penyakit yang dideritanya sampai menghilangkan
nyawanya. Kedua, tidak menemukan obat lagi selain itu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang oleh penulis paparkan diatas, maka, penulis
disini dapat memberikan titik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Penggunaan
plasenta (ari-ari bayi), organ tubuh manusia, dan urine (kencing manusia) untuk
kepentingan obat-obatan dan kosmetik adalah haram. Keharaman itu disebabkan
karena hal-hal seperti itu adalah benda najis dan memiliki unsur kemuliaan.
2.
Penggunaan
plasenta (ari-ari bayi), organ tubuh manusia, dan urine (kencing manusia) untuk
kepentingan obat-obatan dan kosmetik adalah boleh jika dalam kedaan dlarurat.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Burnu,
Muhammad Shidqy bin Ahmad, (1983) al-Wajiz fi Idhahi Qawaid al-Fiqh
al-Kulliyat, Beirut: Muaasat al-Risalah
Al-ghazaly,
Abu Hamid Muhammad, (1971), al-Mustasfa
min al-Ilm al-Ushul, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah
Al-Jaziry
Abdur Rahman, (2013) al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Instanbul:
Hakikat Kitabevi
Al-Qurtuby,
Abu Abdillah, (Tt), Tafsir al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar
al-Fikr
Al-Razi,
Zayn al-Din Muhammad bin Abi Bakr, (Tt), Mukhtar al-Shihhah, Beirut: Dar
al-Fikri
Ash-Shiddieqy
Hasby, (2001) A-Islam II, Semarang: Pustaka Rizki Putra
Departemen
Agama, (2003) Sistem dan Prosedur Penerapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta
Azra,
Azyumardi, (2004) Menuju Masyarakat Madani, Bandung : remaja Rosdakarya
Keputusan
Muktamar, (2006) Solusi Hukum Islam, Surabaya: Diantama
Komunitas
Kajian Ilmiah Lirboyo 2005, (2017) Formulasi Nalar Fikih; Tela’ah Kaidah
Fikih Konseptual, Lirboyo: Kakilima
Sekretariat
MUI Masjid Istiqlal., 15 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : Sekretatariat
MUI Masjid Istiqlal
Sahal,
Akhmad , (2016) dalam memberikan prolog pada buku Islam Nusantara; dari
Ushul Fikih Hingga Paham Kebangsaan, Bandung: Penerbit Mizan
Syihab,
Quraishi, (1996) Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Ummat, Bandung: Penerbit Mizan
Zuhaily,
Wahbah, (1999) Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,
Damaskus: Dar al-Fikr
Zuhaily,
Wahbah, (1999) al-Wajiz fi Ushul al- Fiqh, Damaskus: Dar al-Fikri
[1] Muhammad, R. Lukman Fauroni, Visi
Al-Qur`an Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta : Salemba Diniyah, 2002, hlm . 99
[3] Departemen
Agama, Sistem dan Prosedur Penerapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama
Indonesia, Jakarta : 2003, hlm. 25
[4] Hadis ini memiliki dua sanad yang mana dari kedua sanad tersebut
terdapat perawi majhul sehingga menyebabkan posisi hadis ini secara kualitas
dinilai dha’if. Bahkan imam Tirmidzi sendiri menilai hadis ini tidak muttashil
al-Sanad.
[5] Akhmad Sahal, dalam memberikan
prolog pada buku Islam Nusantara; dari Ushul Fikih Hingga Paham Kebangsaan,
(Bandung: Penerbit Mizan, 2016), hlm. 15
[7]
http://www.halal.guid.info/contet/view/891/38, Jum’at, 2 Maret 2007
[11]
Novan Prasetya Tauvani, Tinjauan
Hukum Islam terhadap Penggunaan Plasenta pada Obat Luka Bakar dan Kosmetik, <Skripsi
UII> on 28/07/2011.
[13]
Abdur Rahman al-Jaziry, al-Fiqh
‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Instanbul: Hakikat Kitabevi, 2013), juz III
hlm 6-7
[16]
Sekretariat MUI Masjid Istiqlal., 15 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta :
Sekretatariat MUI Masjid Istiqlal, hlm. 45-46
[17]
Depag. RI., Sistem dan
Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI, Depag RI:Jakarta, 2003. hlm. 1
[23]
Quraishi Syihab, Wawasan
Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung:
Penerbit Mizan, 1996), hlm. 139
[25]
Komunitas Kajian Ilmiah
Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fikih; Tela’ah Kaidah Fikih Konseptual,
(Lirboyo: Kakilima, 2017). Hlm. 151
[26]
Quraishi Syihab, Wawasan
Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat............., hlm
140
[27] Mafhum al-Hashr adalah mafhum
mukhalafah yang menggunakan kata “hasyr” (kalimat yang meringkas),
biasanya dengan menggunakan kata illa atau innama. Wahbah Zuhaily,
al-Wajiz fi Ushul al- Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikri, 1999), hlm. 171
[28] Yang dimaksud dengan kata rijs
adalah sesuatu yang menjijikkan, kotor, jelek dan najis. Wahbah Zuhaily, Tafsir
al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Damaskus: Dar al-Fikr,
1999), Juz VIII hlm. 431
[30]
Komunitas Kajian Ilmiah
Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fiqh; Tela’ah Kaidah Fikih Konseptual,
(Surabaya: Penerbit Khalista, 2006). Hlm. 174
[31]
Abu Abdillah al-Qurtuby, Tafsir
al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Fikr, Tt), Jilid II hlm 301
[32]
Zayn al-Din Muhammad bin
Abi Bakr al-Razi, Mukhtar al-Shihhah, (Beirut: Dar al-Fikri, Tt), Jilid
I, hlm. 159
[33]
Muhammad Shidqy bin Ahmad
al-Burnu, al-Wajiz fi Idhahi Qawaid al-Fiqh al-Kulliyat, (Beirut: Muaasat
al-Risalah, 1983), hlm.77-78
[34]
Yang dimaksud dlaruriyyat
adalah salah satu dari lima prinsip pemeliharaan, yakni pemeliharaan atas agama
(hifdz al-Diin), Jiwa (al-Nafs), akal (al-Aql) Keturunan (al-Nasab),
dan Harta Benda (al-Mal)
[35]
Abu Hamid Muhammad
al-Ghazaly, al-Mustasfa min al-Ilm al-Ushul, (Lebanon: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, 1971), hlm. 303
No comments:
Post a Comment