Sunday, June 3, 2018

Fatwa dan Hujjah para Fuqaha’ tentang penggunaan obat-obatan dan kosmetik dengan menggunakan Ari-Ari (plasenta), Organ Tubuh Manusia, dan Air seni manusia

Oleh: Anis Jamil Mahdi
MAHASISWA PASCASARJANA UIN MALIKI MALANG

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk yang memiliki sifat bertanggung jawab karena ia memiliki kemampuan untuk memilih secara sadar dalam meraih cita-cita dalam kehidupannya. Sadar akan hal itu berarti, mengetahui kondisi yang ada dan konsekwensi yang akan ditimbulkannya. Manusia dapat berperan dengan baik dalam kelompok kecil maupun kelompok masyarakat bahkan dalam pembentukan ulang norma-norma disekitarnya ketika berhadapan dengan tantangan-tantangan untuk membuat pilihan-pilihan yang secara mandiri dalam hidup dengan gaya yang dimiliki.[1]
Agama Islam memiliki aturan-aturan yang menjaga manusia dari kerusakan. Menjauhkan manusia dari tiap-tiap zahrah kerendahan serta seterusnya yang membimbing manusai itu mencapai puncak kemuliaan, kebahagiaaan, dan kesempurnaan.[2]
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta keberhasilan pembangunan akhir-akhir ini telah merambah seluruh aspek bidang kehidupan manusia. Tidak saja membawa kemudahan, kebahagiaan dan kesenangan, melainkan juga menimbulkan sejumlah persoalan. Disisi lain kesadaran keberagaman umat Islam, khususnya di Indonesia. Pada dasawarsa terakhir ini semakin tumbuh subur dan meningkat. Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul persoalan, penemuan maupun aktivitas baru sebagai produk dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memunculkan pertanyaan, bagaimanakah kedudukan hal tersebut dalam pandangan hukum Islam.[3]
Oleh karenanya, hal seperti ini sangat memerlukan adanya formulasi hukum yang sesuai dengan konteks dan tantangan zaman. Yang tentunya jawaban dari formulasi tersebut didasarkan kepada dalil-dalil yang absah, sehingga ummat islam tidak terjebak pada perbuatan yang menurut syari’at dianggap tidak sesuai. Disinilah dibutuhkan yang namanya usaha logis untuk menghasilkan produk hukum yang dalam literatur ushul fikih dikenal dengan istilah ijtihad.
Hal ini pernah dilakukan oleh sahabat Mu’adz bin Jabal tatkala hendak di utus oleh Nabi unuk menjadi qadhi (hakim) di negara Yaman sebagaimana disebutkan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam kitabnya:
عَنْ مُعَاذٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص بَعَثَ مُعَاذًا اِلَى اْليَمَنِ فَقَالَ: كَيْفَ تَقْضِى؟ فَقَالَ: اَقْضِى بِمَا فِى كِتَابِ اللهِ. قَالَ. فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِى كِتَابِ اللهِ؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ص؟ قَالَ: اَجْتَهِدُ رَأْيِى. قَالَ: اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ
Dari Mu’adz, bahwasanya Rasulullah SAW mengutus Mu’adz ke Yaman. Beliau SAW bersabda, “Bagaimana kamu memutuskan perkara ?”. (Mu’adz menjawab), “Saya memutuskan dengan hukum yang ada di dalam kitab Allah”. Rasulullah SAW bersabda, “Kalau tidak terdapat di dalam kitab Allah ?”. Mu’adz berkata, “Saya akan memutuskan dengan sunnah Rasulullah”. Rasulullah SAW bersabda, “Kalau tidak terdapat di dalam sunnah Rasulullah SAW ?”. Mu’adz menjawab, “Saya berijtihad dengan pendapatku”. Rasulullah SAW bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah”. [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 394][4]
Dalam hadis tersebut dinyatakan bagaimana proses pengambilan hukum yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal. Dari hadis inilah muncullah ijtihad  untuk menemukan jawaban atas persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam. Namun, sesungguhnya ada pesan lain yang menarik untuk dicermati. Dengan bertanya kepada sahabat Mu’adz bagaimana ia akan memutuskan perkara yang tidak ia temukan rujukannya di Qur’an atau Hadis, Nabi secara implisit mengakui adanya kemungkinan muncul kasus-kasus hukum baru di wilayah baru dimana ditempat Nabi dan para sahabatnya tinggal. Nabi menyadari betapa lokasi yang terletak ribuan kilometer dari Madinah seperti Yaman berpotensi melahirkan kasus-kasus hukum baru yang tidak bisa di temukan dalam Qur’an dan Hadis. Kalau pada masa Nabi saja Yaman, yang nota bene masih termasuk kawasan Jazirah Arab, bisa memunculkan keadaan-keadaan baru yang tak ada presendennya di Qur’an dan Sunnah, apalagi wilayah-wilayah lain yang letaknya lebih jauh lagi, lebih-lebih setelah Nabi wafat[5].
Disini kita berhadapan dengan situasi yang oleh Ibnu Rusyd dalam pengantar kitabnya, Bidayat al-Mujtahid dirumuskan sebagai النصوص المنتناهية و الواقع غير المنتناهية   (nas-nas atau teks-teks syari’at itu sudah terhenti berabad-abad silam, sementara peristiwa kasuistik itu tidak ada batasnya dan terus berkelanjutan).[6] Maka dari sini perlu adanya ijtihad untuk menjawab persoalan yang baru dalam konteks yang berbeda pula.
Salah satu persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam yang tentunya membutuhkan jawaban syari’at adalah masalah kosmetik dan obat-obatan. Seiring pesatnya kemajuan dalam bidang teknologi juga merambah pada teknologi pembuatan kosmetik dan obat-obatan, yang disinyalir bahan baku dari kosmetik dan obat-obatan tersebut adalah barang yang haram untuk dikonsumsi yaitu terbuat dari organ tubuh manusia, plasenta (ari-ari), dan kencing manusia. Oleh karenanya disini penulis akan membahas hal tersebut.
B.     Rumusan Masala
Dari latar belakang masalah sebagaimana dijelaskan diatas, maka, peneliti disini akan menfokuskan beberapa masalah yang akan dirumuskan sebagaimana berikut:
1.      Bagaimanakah Deskripsi tentang istilah Ari-Ari (plasenta), Organ Tubuh Manusia, dan Air seni manusia
2.      Bagaimanakah Fatwa dan Hujjah para Fuqaha’ tentang penggunaan obat-obatan dan kosmetik dengan menggunakan bahan baku sebagaimana diatas.
3.      Bagaimanakah analisis akhir dari hujjah para Fuqaha’ tentang penggunaan obat-obatan dan kosmetik dengan bahan baku sebagaimana diatas.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Deskripsi Ari-ari Bayi (Plasenta), Organ Tubuh Manusia, dan Air seni
1.      Istilah Ari-ari (Plasenta)
Plasenta atau ari-ari ini merupakan organ manusia yang berfungsi sebagai media nutrisi untuk embrio yang ada dalam kandungan. Ia memiliki bobot seberat 600 gram berdiameter 16-18 cm dan mengandung 200 ml darah yang berisi jaringan seperti spon. Selam berfungsi sebagai sumber kehidupan. Embrio plasenta kaya akan kandungan darah dan juga protein seperti albumin, hormon seperti estrogin dan subtansi lain seperti asam, deoxy ribo nukleat. Semula plasenta digunakan dalam bidang farmasi, karena organ ini mempunyai fungsi yang luas. Di antaranya adalah untuk menyembuhkan cacar bawaaan, terapi kangker, kehilangan protein akut melalaui luka bakar, infeksi bakteri yang berulang dan serius serta menginitis[7]
Dari pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwasannya plasenta merupakan bagian dari organ tubuh manusia, berupa darah yang memiliki fungsi dan manfa’at untuk janin yang ada didalam kandungan manusia. Oleh karenanya plasenta atau ari-ari tersebut di beri penghormatan layaknya manusia oleh sebagian masyarakat. Sehingga dalam tradisi masyarakat Jawa-Madura plasenta ini dikubur dan di lakukan ritual penghormatan dalam menguburnya.
Disamping itu, berdasarkan penelitian medis plasenta atau ari-ari bayi juga memiliki beberapa manfa’at, diantaranya adalah mempercepat regenerasi sel-sel kulit, mreproduksi kembali kulit yang sudah mati, sehingga kulit itu akan kembali kencang layaknya baru kembali. Disamping itu plasenta juga bermanfaat untuk menyembuhkan luka yang membusuk, cacar air, dan penyakit kulit lainnya. Sehingga pada dasawarsa ini plasenta digunakan untuk kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
2.      Organ Tubuh
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan organ adalah alat yang mempunya tugan dan fungsi tertentu dalam tubuh manusia, seperti dapat disederhanakan bahwasannya yang dimaksud dengan organ tubuh manusia adalah bagi-bagian tubuh manusia yang menjadi alat yang memiliki fungsi-fungsi tertentu.
Dalam bahasa Arab sebagian diartikan dengan kata “al-Juz” yang merupakan bentuk tunggal dari kata “al-Ajza’” (bentuk pluralnya). Dalam kamus Mu’jam al-Washit kata al-Juz adalah bagian dari sesuatu.[8] Sedangkan kata tubuh diistilah kan dengan kata al-Jism yang bentuk pluralnya adalah al-Ajsam.[9] Maka yang dimaksud dengan organ tubuh adalah bagian atau potongan tubuh manusia.
B.     Penggunaan Plasenta, Organ Tubuh Manusia, dan Urine (Air seni) dalam produk kosmetik dan Obat-Obatan.
masyarakat sempat dibuat heboh ketika pada tahun 1970-an beredar kosmetik dari Jepang, yang bahannya dicampuri plasenta. Kosmetik tersebut kemudian menghilang, namun, dibeberapa tempat tetap saja ada yang menawarkan rahasia menjadi cantik menggunakan aneka produk kosmetik yang bahannya mengandung plasenta.[10]
Melalui rekayasa genetika dan teknologi pangan saat ini, telah memungkinkan semua yang ada dimuka bumi ini dijadikan sebagai bahan baku makanan, obat-obatan, dan kosmetik yang dikonsumsi manusia. Seekor hewan misalnya, tidak hanya dagingnya yang dapat dimanfaatkan, tetapi plasentanya juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik, perkembangan ilmu pengetahuan tidak hanya berhenti sampai disana tetapi bahkan plasenta manusia pun sekarang dapat dimanfaatkan. Kosmetik yang mengandung ekstrak plasenta cenderung bekerja cepat dan efektif karena ekstrak plasenta mampu membantu regenerasi sel-sel secara lebih cepat.[11]
Tren facial menggunakan plasenta manusia ini menjadi popular di Amerika dan di kota-kota besar lainnya, meski terdengar aneh, tapi para ahli yakin bahwa plasenta bayi bisa mengencangkan, meregenerasi dan membuat kulit tampak lebih muda.
Semakin maju teknologi semakin banyak pula alternati-alternatif bahan baku kosmetik yang digunakan, sebagai contoh plasenta, ekstrak plasenta merupakan sumber proterin yang bisa berasal dari hewan maupun manusia, biasanya ia menjadi bahan baku krem regenerasi untuk memperbaiki elastisitas kulit dan mencegah degenerasi sel, sehingga menghasilkan fungsi kulit yang diinginkan. Seiring dengan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan kulit yang cantik dan menawan, produkproduk berplasenta semakin digemari. Tetapi tanpa informasi yang mendamai kepada konsumen tidak menutup kemungkinan masyarakat akan terjebak kepada produk yang sebenarnya najis dan dilarang agama, preparat kosmetik yang menggunakan plasenta dan turunannya tidak jelas sumber plasenta ynag digunakan. Apakah berasal dari plasenta manusia atau hewan, keduanya memiliki permasalahan yang sama ditinjau dari sudut kehalalan.[12] Dengan melihat fakta tersebut maka sudah barang tentu harus ada ketegasan hukum tentang masalah ini, yang tentunya harus diambilkan dari fatwa para Ulama’. Sehingga ummat Islam tidak terjebak pada penggunaan produk yang haram, atau belum jelas halal-haramnya
C.    Fatwa Ulama’ Tentang Penggunaan Kosmetik dan Obat-Obatan dengan Menggunakan Plasenta, Organ Tubuh Manusia dan Urine
1.      Fatwa Para Imam Madzhab
Madzahib al-Arba’ah sepakan bahwasannya menggunakan obat-obatan ataupun kosmetik yang bahan bakunya berupa plasenta (ari-ari bayi), organ Tubuh manusia dan urine (kencing manusia) ataupun menggunakan produk kosmetik yang dibiat dengan menggunakan ekstrak tiga bahan tersebut adalah Haram. Keharaman tersebut disebabkan karna  dua hal. Yang pertama karena plasenta dan organ tubuh manusia itu kedudukannnya sama dengan manusia itu sendiri yaitu mulia. Yang kedua, sebab kencing manusia itu merupakan sesuatu yang najis, begitu pula dengan plasenta juga sesuatu yang najis. Sedangkan menggunakan sesuatu yang najis itu hukmnya haram.[13]
Sementara berdasarkan ketetapan fatwa Ulama’ NU (Nahdhatul Ulama’) yang diputuskan pada Muktamar  juga menyatakan keharamannya. Sebab bahaya penyakit yang ditimbulkan oleh berbagai penyakit tersebut tidak akan melebihi pencemaranan kehormatan mayat. Argumentasi ini didasarkan pada kitab Hasyiah al-Rasyid ‘ala al-‘Ibad. Sebagaimana sebagai berikut[14]:

قرر المعتمر بأن ذالك الافتاء غير صحيح, بل يحرم أخذ حداقة الميت ولو غير محترم كمرتد وحربي. ويحرم وصله بأجزاء الآدمي لآن ضرر المي لايزيد على مفسدة انتهاك حرمات الميت
ketetapan ulama’ dalam mu’tamar menyatakan bahwasannya haram hukumnya menggunakan kornea mata untuk dibuat sebagai obat bagi orang yang buta sebab bahaya kebitaan tidak akan melebihi pencemaran kemuliaan mayyit. Walaupun itu adalah mayatnya orang murtad dan kafir harby
Karena faktor kemuliaan ini para ulama’ sepakat kalau menggunakan sesuatu yang terputus dari manusia itu haram, sebab kemuliaan mayat dari manusia itu sama dengan kemuliaan manusia itu sendiri. Oleh karenanya ari-ari (plasenta) itu disunnahkan untuk di kubur.
2.      Fatwa MUI (Majelis Ulama’ Indonesia)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi keulamaan yang bersifat independen, tidak berafiliasi kapada salah satu aliran politik, madzhab atau aliran keagamaan Islam yang ada di Indonesia.[15]
Adanya suatu wadah yang dapat menampung, menghimpun dan mempersatukan pendapat-pendapat dan pikiran-pikiran dari para ulama Indonesia, sudah lama menjadi hasrat dan keinginan umat Islam Indonesia dan pemerintahan republik Indonesia. Dengan adanya wadah ini diharapkan partisipasi para ulama yang telah mempunyai tempat khusus di hati rakyat Indonesia, terhadap pembangunan nasionalnya akan lebih dapat terus ditingkatkan. Musyawarah yang diadakan atas prakasa pusat dakwah Islam Indonesia ini, bertemakan :“Mewujudkan kesatuan amaliah sosial umat Islam dalam masyarakat dan partisipasi alim ulama dalam pembangunan nasional”. Dalam musyawarah ini banyak peserta (ulama) yang mengusulkan perlu adanya Majelis Ulama yang didalamnya mencakup lembaga fatwa.[16]
Kemajuan dalam bidang iptek dan tuntutan pembangunan yang telah menyentuh seluruh aspek kehidupan, di samping membawa berbagai kemudahan, juga menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru, banyak persoalan yang berperan waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah dibayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan. Di sisi lain kesadaran keberagaman umat Islam di bumi nusantara ini semakain tumbuh subur. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajaran dan keniscayaan jika setiap timbul persoalan baru, umat mendapatkan jawaban (fatwa) yang tepat dari pandangan ajaran Islam.[17]
Dasar penetapan fatwa yang dilakukan oleh MUI adalah sebagai berikut :[18]
a.       Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
b.      Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasul sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 agar berdasarkan keputusan sidang komisi fatwa MUI, keputusan fatwa hendaknya tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas, dan mu’tabar dan dalildalil hukum yang seperti : istihsân, maslahah mursalah dan sadd az-zari’ah.
c.       Sebelum mengambil keputusan fatwa hendaknya ditinjau pendapat-pendapat para Imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
d.      Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.
Berkaitan dengan masalah yang dibahas yaitu mengenai penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika. Maka komisi fatwa MUI setelah menimbang dan memperhatikan dari berbagai sudut pandang. Bahwasanya penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat, dan keputusan tersebut berdasarkan pada sidang komisi fatwa MUI berlangsung pada tanggal 27 Rabi’ul Akhir 1421 H / 30 Juli 2000 M yang membahas tentang penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
1.      Rumusan Masalah
a.       Diketahui sejumlah obat-obatan dan kosmetika mengandung unsur atau bahan yang berasal dari organ (bagian) tubuh atau ari-ari (tembuni) manusia.
b.      Menurut sebagian dokter, urine (air seni) manusia dapat menjadi obat (menyembuhkan) sejumlah jenis penyakit.
c.       Bagaimanakah hukum menggunakan obat-obatan dan kosmetika seperti dimaksudkan di atas?
d.      Oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum dimaksud untuk dijadikan pedoman.[19]
2.      Dalil / Dasar
a.       Firman Allah SWT
فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa maka, Allah sesungguhnya maha pengampun lagi maha penyayang
b.      Hadis Nabi S.A.W, yang menyatakan antara lain:
تداووا فإن الله عز وجل لم يضع داء الا وضع له دواء غير داء وحد الهرم (راوه أبو داود)
berobatlah kalian, sesungguhnya Allah tidak meletakkan penyakit kecuali terdapat obatnya kecuali obatnya orang yang pikun (H.R. Abu Dawud)”
ان الله أنزل الداء والدواء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا تداووا بحرم (راوه أبو دود)
sesungguhnya Allah menurunkan penyakit dan penewarnya, dan Allah menjadikan tiap-tiap penawar bagi tiap-tiap penyakit, maka, berobatlah dan janganlah berobat dengan sesuatu yang haram (H.R. Abu Dawud)”
c.       Pendapat sebagaian Ulama’ menegaskan
قال الزهري: لايحل شرب بول الناس لشدة تنزل لأنه رجس قال الله تعالى (أحل لكم الطيبات. المائدة) وقال ابن مسعود في السكر ان الله لم يجعل شفائكم فيما حرم عليكم (راوه البخاري)
al-Zuhry berkata tidak halal meminum air kencing manusia lantara penyakit yang keras, sebab hal itu merupakan sesuatu yang kotor (najis) Allah berfurman: “dihalalkan bagi kamu makanan yang baik-baik” dan Ibnu Mas’ud berkata tentang minuman yang memabukkan Allah tidak menjadikan obatmu dengan sesuatu yang diharamkan (H.R. al-Bukhary)”
d.      Kaidah Fikih
الضرورة تبيح المحظورات
keadaan Dharurat dapat memperbolehkan melakukan sesuatu yang dilarang
3.      Keputusan Fatwa
a.       Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan[20]:
1)      Penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan, bukan menggunakan obat pada bagian luar tubuh; Penggunaan air seni adalah meminumnya sebagai obat.
2)      Penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar tubuh dengan tujuan perawatan tubuh atau kulit agar tetap atau menjadi baik dan indah.
3)      Darurat adalah kondisi-kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan maka dapat mengancam eksistensi jiwa manusia.
b.      Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organmanusia (juz’ul-insan) hukumnya haram.[21]
c.       Penggunaan air seni manusia untuk pengobatan, seperti disebut pada butir a.2 hukumnya adalah haram.
d.      Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya haram.
e.       Hal-hal tersebut pada butir b, c, dan d di atas boleh dilakukan dalam keadaan dharurat syari’ah.
f.       Menghimbau kepada semua pihak agar tidak memproduksi atau menggunakan obat-obatan atau kosmetika yang mengadung unsure bagian organ manusia, atau berobat dengan air seni manusia.[22]
D.    Analisis Fatwa Para Ulama’ Tentang Penggunaan Produk Kosmetik dan Obat-Obatan yang terbuat fari Plasenta, Organ Tubuh Manusia, dan Urine
Pada bab sebelumnya telah penulis kemukakan keputusan fatwa MUI tentang penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika adalah haram, kecuali dalam keadaan darurat syar’iyah boleh dilakukan. Dalam uraian tersebut terdapat permasalahan yang perlu mendapat pembahasan dan analisis serta pemecahannya. Berkisar pada keharaman penggunaan organ tubuh, ari-ari, air seni manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika kecuali dalam keadaan dharurat serta sejauh mana batasan darurat tersebut bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
Namun demikian dengan menggunakan data-data yang telah terkumpul, dan tidak lepas dari kajian hujjah para ulama sebagai studi analitis yang penulis gunakan untuk mencapai suatu kesimpulan yang dapat menggambarkan fatwa secara obyektif.
1.      Kriteria Halal dan Haram
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwasannya untuk sampai pada titik kesimpulan fatwa yang obyektif maka perlu adanya analisis terhadap fatwa-fatwa para Ulama’ atau study analitis terhadap teks-teks yang merupakan hasil keputusan para Ulama’. Atau yang disebut didalam istilah ushul fikih dengan ijtihad Insya’i analisis terhadap teks untuk menghasilkan produk hukum yang sesuai dengan konteksnya. Untuk melakukan proses tersebut maka perluadanya tahapan-tahapan yang sesuai dengan prosedur yang ditawarkan oleh para Ulama’.
Pada dasarnya, semua yang ada dimuka bumi ini disediakan hanya untuk manusia. Apa-apa yang ada didunia ini secara esensial boleh digunakan oleh manusia hal ini didasarkan oleh firman Allah:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
dia (Allah) menciptakan untuk kamu apa yang ada dibumi seluruhnya
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
dan dia (Allah) yang telah menundukkan untuk kamu segala yang ada dilangit dan dibumi semua bersumber dari-Nya
Bertitik tolak dari kedua ayat tersebut, para Ulama’ berkesimpulan bahwasannya pada prinsipnya segala sesuatu yang ada dialam raya ini adalah halal untuk digunakan, sehingga makanan yang terdapat didalamnya juga adalah halal.[23] dalam istilah fikih adala sebuah kaidah yang bisa digunakan yaitu “al-Ashl fi al-Asya’ al-Ibahah[24] (hukum asal segala  sesuatu adalah boleh digunakan). Dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan, atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya dalam syari’at. Semua jenis barang tersebut dihukumi halal, sesuai subtansi yang dikandung kaidah ini.[25]
Dengan dasar inilah maka penulis menyimpulkan bahwasannya semua yang ada di muka bumi ini boleh hukumnya dikonsumsi atau digunakan oleh manusia, selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Pengecualian atau pengharaman yang disebutkan harus bersumber dari Allah baik dari al-Qur’an ataupun al-Sunnah. Sedang pengecualian itu lahir dan disebabkan oleh kondisi manusia, karena ada makanan yang dapat memberi dampak negatif terhadap jiwa raganya.[26] Dalm ushulul fikih hal ini diistilahkan dengan “mafhum mukhalafah al-Hasyr[27]
Contoh pengecualian yang disebutkan oleh al-Qur’an dalam mengharamkan sesuatu yang dikonsumsi ataupun sesuatu yang digunakan, adalah surah al-An’am ayat: 145:
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
tidakkah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua benda itu kotor, atas binatang yang disembelih selain Allah
Bertolak dari ayat diatas maka, dapat ditarik benang merah bahwa makanan yang diharamkan oleh Allah ada empat hal yaitu: (1) bangkai, kecuali bangkai nya belalang dan hewan lautan. (2) darah yang mengalir. (3) daging babi. (4) hewan yang disembelih tanpa menggunakan prosedur secara syar’i. Sebab keharamannya adalah karena ke empat kategori tersebut termasuk rijs[28] (kotor). Maka dari sini dapat disimpulkan bahwasannya kriteri Halal-Haram nya penggunaan produk yang dijadikan konsumsi adalah najis tidaknya produk tersebut. Selain itu batasan produk itu halal atau tidaknya bisa dilihat dari dampak yang ditimbulkan oleh produk tersebut.
Salah satu yang menjadi tolak ukur dalam menetapkan keharaman penggunaan produk adalah najis sebagaimana yang dijelaskan diatas maka disini perlu adanya batasan tentang sesuatu itu bisa dikatakan najis. Menurut Dr. Wahbah Zuhaily yang dimaksud dengan najis secara bahasa adalah sesuatu yang kotor dan menjijikkan, sedangkan secara istilah fikhiyahnya adalah sesuatu yang kotor dan menjijikkan yang dapat mencegah status keabsahan ibadah shalat.[29]
Dari sini dapat dikatakan bahwasannya sesuatu yang najis sudah pasti kotor dan menjijikkan sedangkan sesuatu yang kotor dan menjijikkan belum tentu najis. Dan secara medis menggunakan sesuatu yang kotor akan berdampak negatif pada kesehatan manusia. Oleh sebabnya Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
wahai orang-orang yang beriman makanlah apa-apa yang halal dan baik yang ada dibumi
Dari sini dapat kita temukan satu titik kesimpulan bahwasannya menggunakan produk kosmetik dan obat-obatan yang mengandung ekstrak atau bahan bakunya adalah plasenta (ari-ari), organ tubuh manusia, dan urine (kencing manusia) adalah haram. Hal ini disebabkan karena semua produk tersebut merupakan sesuatu yang najis, dan menggunakan produk yang najis adalah haram.
2.      Analisis Tentang Batasan Dharurat (Kondisi Kritis)
Untuk melakukan analisa terhadap batasan dharurat, dengan artian kapan seseorang itu dikatakan berada dalam kondisi dharurat. Maka, perlu adanya pengetahuan apa yang dimaksud dengan dharurat itu sendiri. Hal ini agar tidak serampangan dan tidak mempermudah status hukum karena hanya alasan dharurat saja.
Dinamika kehidupan manusia selalu bergelut dengan beragam peristiwa yang melingkupinya. Adakalanya senang, susah, gembira, bahagia, khawatir, takut, dan seterusnya. Perbedaan sifat yang demikian itu sudah merupakan sunnatullah (alamiah). Sebagai agama yang membawa misi kemaslahatan yang bersifat universal (Rahmatan li al-Alamin), Islam tidak melepaskan perhatiannya pada unsur-unsur kesulitan yang dialami umatnya. Islam memberikan apresiasi besar pada kesulitan yang dihadapi muslimin dengan memberikan keringanan hukum pada obyek hukum yang dinilai sulit untuk diimplementasikan.[30]
Hal semacam ini dapat kita temukan, misalnya, dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat: 185, yang berbunyi:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah swt menginginkan terwujudnya kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan bagi kalian semua
Ditilik dari asbab al-Nuzul nya, ayat ini memang diturunkan dalam konteks pemberian keringanan hukum berupa diperbolehkannya berbuka puasa bagi orang sakit atau orang sedang melakukan perjalanan (musafir), namun, jika ditilik dari aspek universalitas teks secara aplikatif maka ayat ini berlaku dalam skala yang sangat luas. Artinya kemudahan itu tidak hanya diberikan kepada orang sakit atau musafir, melainkan bagi semua ummat Islam yang mengalami kesulitan.[31]
Penjelasan tentang ayat diatas memberikan legitimasi terhadap keabsahan setiap perbuatan  yang awalnya diharamkan menjadi halal atau diperbolehkan dalam kondisi sulit atau kritis (dharurat). Hal ini dapat dilihat pada contoh diatas dimana seseorang boleh tidak berpuasa ketika melakukan perjalanan. Maka analogi sederhananya menandaskan seorang muslim boleh menggunakan atau mengkonsumsi sesuatu yang haram dalam keadaan kritis. Namun untuk menentukan seseorang itu dalam kedaan dharurat harus dipahami apa itu dharurat sehingga dapat diketahui batasan-batasan sampai mana seseorang itu dikatakan dalam kondisi dharurat yang menyebabkan seseorang boleh melakukan hal yang pada dasarnya tidak diperbolehkan.
Secara etimologi, kata dlarar adalah antonim atau kebalikan dari manfa’at (khilaf al-Nafi’). Jadi, bila minum air adalah sebuah aktivitas yang memberi manfaat bagi tubuh, maka perbuatan menghindari perbuatan minum air selama berhari-hari adalah termasuk dlarar karena berlawanan dengan sesuatu yang bermanfaat.[32]
Sedangkan secara terminologis, mengutip paparan Fakhr al-Din al-Razi, dlarar adalah sebuah perasaan sakit yang terbesit dalam hati. Ada lagi yang mengartikan dlarar adalah kecelakaan yang menimpa seseorang, artinya dlarar adalah sesuatu yang dapat menghilangkan fungsi dari tubuh manusia atau bahkan sampai menghilangkan jiwa manusia.[33] Lebih lanjut al-Ghazali memberi pernyataan bahwasannya kondisi dlarar yang menimpa seseorang sehingga dalam kondisi seperti itu seseorang boleh melakukan sesuatu yang dilarang, menggunakan atau menkonsumsi makanan yang pada awalnya diharamkan yaitu ketika kondisi itu menyebabkan hilangnya salah satu dari beberapa aspek dharuriyyat[34] (kebutuhan primer).[35] Maka menegakkan aspek-aspek dharuriyyat tersebut merupakan keharusan dan harus dipeneuhi, karena hilangnya salah satu aspek tersebut akan menghancurkan tatanan nilai-nilai kehidupan manusia.
Maka dapat disimpulkan bahwasannya batasan dlarar yang dialami oleh seorang muslim sehingga dia boleh menggunakan sesuatu yang haram, atau menkonsumsi sesuatu yang haram adalah ketika dia beradala dalam satu kondisi yang sangat kritis yang bisa sampai menghilangkan nyawanya. Dan dia sudah berusaha semaksimal mungkin menghilangkan kondisi tersebut dengan sesuatu yang halal. dalam kasus ini seorang muslim boleh menggunakan obat-obatan yang terbuat dari berbagai macam bahan tersebut diatas apa bila dia berada dalam dua kondisi. Pertama, penyakit yang dideritanya sampai menghilangkan nyawanya. Kedua, tidak menemukan obat lagi selain itu.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan yang oleh penulis paparkan diatas, maka, penulis disini dapat memberikan titik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Penggunaan plasenta (ari-ari bayi), organ tubuh manusia, dan urine (kencing manusia) untuk kepentingan obat-obatan dan kosmetik adalah haram. Keharaman itu disebabkan karena hal-hal seperti itu adalah benda najis dan memiliki unsur kemuliaan.
2.      Penggunaan plasenta (ari-ari bayi), organ tubuh manusia, dan urine (kencing manusia) untuk kepentingan obat-obatan dan kosmetik adalah boleh jika dalam kedaan dlarurat.























DAFTAR PUSTAKA
Al-Burnu, Muhammad Shidqy bin Ahmad, (1983) al-Wajiz fi Idhahi Qawaid al-Fiqh al-Kulliyat, Beirut: Muaasat al-Risalah
Al-ghazaly,  Abu Hamid Muhammad, (1971), al-Mustasfa min al-Ilm al-Ushul, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah
Al-Jaziry Abdur Rahman, (2013) al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, Instanbul: Hakikat Kitabevi
Al-Qurtuby, Abu Abdillah, (Tt), Tafsir al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, Kairo: Dar al-Fikr
Al-Razi, Zayn al-Din Muhammad bin Abi Bakr, (Tt), Mukhtar al-Shihhah, Beirut: Dar al-Fikri
Ash-Shiddieqy Hasby, (2001) A-Islam II, Semarang: Pustaka Rizki Putra
Departemen Agama, (2003) Sistem dan Prosedur Penerapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia, Jakarta
Azra, Azyumardi, (2004) Menuju Masyarakat Madani, Bandung : remaja Rosdakarya
Keputusan Muktamar, (2006) Solusi Hukum Islam, Surabaya: Diantama
Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005, (2017) Formulasi Nalar Fikih; Tela’ah Kaidah Fikih Konseptual, Lirboyo: Kakilima
Sekretariat MUI Masjid Istiqlal., 15 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : Sekretatariat MUI Masjid Istiqlal
Sahal, Akhmad , (2016) dalam memberikan prolog pada buku Islam Nusantara; dari Ushul Fikih Hingga Paham Kebangsaan, Bandung: Penerbit Mizan
Syihab, Quraishi, (1996) Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, Bandung: Penerbit Mizan
Zuhaily, Wahbah, (1999) Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Damaskus: Dar al-Fikr
Zuhaily, Wahbah, (1999) al-Wajiz fi Ushul al- Fiqh, Damaskus: Dar al-Fikri
















[1] Muhammad, R. Lukman Fauroni, Visi Al-Qur`an Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta : Salemba Diniyah, 2002, hlm . 99
[2] Hasby Ash-Shiddieqy, A-Islam II, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 202
[3] Departemen Agama, Sistem dan Prosedur Penerapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : 2003, hlm. 25
[4] Hadis ini memiliki dua  sanad yang mana dari kedua sanad tersebut terdapat perawi majhul sehingga menyebabkan posisi hadis ini secara kualitas dinilai dha’if. Bahkan imam Tirmidzi sendiri menilai hadis ini tidak muttashil al-Sanad.
[5] Akhmad Sahal, dalam memberikan prolog pada buku Islam Nusantara; dari Ushul Fikih Hingga Paham Kebangsaan, (Bandung: Penerbit Mizan, 2016), hlm. 15
[6]
[7] http://www.halal.guid.info/contet/view/891/38, Jum’at, 2 Maret 2007
[8] Ali Mustafa Ya’qub, Kriteria Halal-Haram (Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2009), hlm. 161
[9] Ali Mustafa Ya’qub, Kriteria Halal-Haram................ hlm. 161
[10] Sandy S, RE: ID :: Plasenta Banyak Manfaatnya <Email Protected> on 10/31/2010.
[11] Novan Prasetya Tauvani, Tinjauan Hukum Islam terhadap Penggunaan Plasenta pada Obat Luka Bakar dan Kosmetik, <Skripsi UII> on 28/07/2011.
[12] http://www.hala.guid.info/contet/view/891/38. Jum’at, 2 Maret 2007
[13] Abdur Rahman al-Jaziry, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Instanbul: Hakikat Kitabevi, 2013), juz III hlm 6-7
[14] Keputusan Muktamar, Solusi Hukum Islam, (Surabaya: Diantama, 2006), hlm376
[15] Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Bandung : remaja Rosdakarya, 2004, hlm. 65
[16] Sekretariat MUI Masjid Istiqlal., 15 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : Sekretatariat MUI Masjid Istiqlal, hlm. 45-46
[17] Depag. RI., Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI, Depag RI:Jakarta, 2003. hlm. 1
[18] Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. hlm.4-5
[19] Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Hlm. 266
[20] Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia., hlm. 268
[21] Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia., hlm. 266
[22] Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia., hlm. 268-269
[23] Quraishi Syihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 139
[25] Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fikih; Tela’ah Kaidah Fikih Konseptual, (Lirboyo: Kakilima, 2017). Hlm. 151
[26] Quraishi Syihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Ummat............., hlm 140
[27] Mafhum al-Hashr adalah mafhum mukhalafah yang menggunakan kata “hasyr” (kalimat yang meringkas), biasanya dengan menggunakan kata illa atau innama. Wahbah Zuhaily, al-Wajiz fi Ushul al- Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikri, 1999), hlm. 171
[28] Yang dimaksud dengan kata rijs adalah sesuatu yang menjijikkan, kotor, jelek dan najis. Wahbah Zuhaily, Tafsir al-Munir Fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1999), Juz VIII hlm. 431
[29] Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1984), Juz I Hlm. 149
[30] Komunitas Kajian Ilmiah Lirboyo 2005, Formulasi Nalar Fiqh; Tela’ah Kaidah Fikih Konseptual, (Surabaya: Penerbit Khalista, 2006). Hlm. 174
[31] Abu Abdillah al-Qurtuby, Tafsir al-Jami’ li ahkam al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Fikr, Tt), Jilid II hlm 301
[32] Zayn al-Din Muhammad bin Abi Bakr al-Razi, Mukhtar al-Shihhah, (Beirut: Dar al-Fikri, Tt), Jilid I, hlm. 159
[33] Muhammad Shidqy bin Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idhahi Qawaid al-Fiqh al-Kulliyat, (Beirut: Muaasat al-Risalah, 1983), hlm.77-78
[34] Yang dimaksud dlaruriyyat adalah salah satu dari lima prinsip pemeliharaan, yakni pemeliharaan atas agama (hifdz al-Diin), Jiwa (al-Nafs), akal (al-Aql) Keturunan (al-Nasab), dan Harta Benda (al-Mal)
[35] Abu Hamid Muhammad al-Ghazaly, al-Mustasfa min al-Ilm al-Ushul, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1971), hlm. 303

No comments:

Post a Comment