Sunday, June 3, 2018

HUKUM NIKAH MISYAR

NIKAH MISYAR

Revisi Makalah

Diajukan untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah
“Kajian Fiqh Kontemporer”


Dosen Pengampu:
Dr. Tutik Hamidah M. Ag


Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: UIN Malang


Pemakalah:
ADELINA SARI POHAN
(16771004)


PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
 PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah SWT karena berkat rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya yang telah diberikan penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam di sampaikan pada Nabi Muhammad  S. A.W senantiasa kita tetap menjadi umat yang selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnahnya.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada dosen pembimbing Ibu Dr. Tutik Hamidah M. Ag, yang telah memberikan pengarahan kepada penulis dalam menyusun makalah ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Nikah Misyar”.
Penulis  menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari dosen pembimbing khususnya serta para pembaca umumnya, dalam rangka memperdalam pengetahuan kita tentang makalah ini.
Hanya kepada Allah SWT penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.Amiin.


                                                                       Malang,  22  Mei 2018
                                                                      
                                                                                              


                                                                                   Penulis






DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah ..........................................................................  1
B.       Rumusan Masalah.................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A.      Deskripsi Masalah..................................................................................... 5
1.    Pengertian Nikah Misyar..................................................................... 7
2.    Prinsip dan Pernikahan Misyar............................................................ 8
3.    Fenomena Nikah Misyar di Indonesia................................................. 9
B.       Pendapat Ulama tentang Hukum Nikah Misyar...................................... 10
C.       Analisis Pendapat Ulama......................................................................... 13
D.      Pendapat yang dipilih dan hujjah yang digunakan ................................. 15
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan ....................................................................................  17
DAFTAR PUSTAKA














NIKAH MISYAR
Oleh:
ADELINA SARI POHAN (16771004)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

BAB I
PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang Masalah
Pernikahan adalah suatu peristiwa yang sangat sakral dan dinantikan oleh setiap manusia, melalui pernikahan hal-hal yang semula dilarang menjadi boleh, dalam pernikahan sepasang suami istri melakukan komitmen (ijab qabul) untuk mengarungi kehidupan bersama sehidup semati, sehingga timbullah hak dan kewajiban diantara keduanya. Pernikahan dalam Islam juga diistilahkan dengan sebuah ungkapan yaitu mithaq ghalidhan (ikatan yang sangat kuat), artinya ikatan pertalian yang sakral antara lawan jenis untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Bab 1 pasal 1 menyatakan bahwa: perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.[1]
Ketika laki-laki dan perempuan menikah kemudian menjadi suami istri dan membina rumah tangga, maka masing-masing suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang. Seorang suami berkewajiban untuk membayar mahar, nafkah dan sebagainya, dia juga berhak untuk mendapatkan pelayanan yang paripurna dari istri. Begitu pula sebaliknya, seorang istri mempunyai kewajiban untuk melayani suami secara maksimal disamping dia juga punya hak untuk mendapatkan tempat tinggal, nafkah, pakaian dan sebagainya. Tanggungjawab nafkah juga tidak berhenti pada istri saja, akan tetapi juga bertanggungjawab secara penuh terhadap pengasuhan, penjagaan, dan perawatan anak karena suami merupakan kepala rumah tangga seperti yang disebutkan KHI Pasal 79 ayat 1.[2]  
Dalam pernikahan, seorang suami dituntut untuk menyediakan tempat tinggal, dan memikul seluruh biaya yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Pemberian nafkah adalah sepenuhnya kewajiban suami seperti halnya juga ia wajib menyediakan tempat tinggal, suami juga wajib mewujudkan kehidupan pernikahan yang diharapkan Allah untuk terwujud, yaitu sakinah, mawaddah, wa rahmah. Maka dari itu suami wajib memberikan rasa tenang bagi istrinya, memberikan cinta dan kasih sayang kepada istrinya. Hal ini sesuai dengan firman Allah:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. ar-Rum: 21)
Para fuqaha’ empat mazhab sepakat bahwa nafkah untuk istri itu wajib, nafkah yang diberikan oleh suami meliputi tiga hal yaitu: sandang, pangan, papan, mereka juga sepakat tentang besar kecilnya nafkah tergantung kepada keadaan kedua belah pihak.[3]
Namun tidak demikian dengan nikah misyar, yaitu sebuah bentuk pernikahan dimana wanita tidak menuntut hak yang sepatutnya diperoleh dalam pernikahan, seperti nafkah lahir, wanita tersebut telah mencabut haknya terhadap laki-laki yang mau menikahinya dan hanya menuntut nafkah batin saja.
Ini artinya dalam nikah misyar hanya mengedepankan aspek kesenangan dari segi biologis tanpa mengedepankan aspek sakinah, mawaddah, wa rohmah sebagai tujuan dari pernikahan itu sendiri. Sang istri melepaskan haknya yang lain yaitu hak untuk mendapatkan nafkah lahir, sang suami juga tidak memberikan kewajibannya memberikan nafkah secara utuh dari sisi lahir dan batin.
Fenomena nikah misyar telah banyak dijumpai dalam masyarakat pada masa lalu dan sekarang, orang-orang Qatar dan orang-orang di Negara Teluk lainnya pada hari-hari ghaus (melaut) meninggalkan keluarganya sampai berbulan-bulan, sebagian dari mereka ada yang kawin dengan wanita-wanita Afrika, Asia dan wanita-wanita kaya di tempat mereka bepergian. Mereka tinggal bersama istri baru selama menetap di negara tersebut, kemudian meninggalkan wanita-wanita tersebut dan kembali ke negaranya, apabila semua urusan telah selesai dan kembali lagi hanya kalau memungkinkan.[4]
Hal itu dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan biologis juga untuk mempertahankan hidup di perantauan, dalam masyarakat perkotaan di negara-negara maju, kaum wanita mayoritas memiliki karir dan memiliki ekonomi yang cukup bahkan berlimpah, sementara jumlah ummat Islam berada pada posisi minoritas.
Pernikahan misyar ini diizinkan di Arab Saudi oleh fatwa yang diberikan syeikh Abdul Azeez ibn Abdullah ibn Baaz, dan resmi diperundangkan di Mesir oleh Imam Syeikh Muhammad Sayid Tantawy pada tahun 1999.
Pernikahan misyar telah biasa dilakukan oleh masyarakat muslim, biasanya setelah seorang wanita menjadi janda kemudian ia kawin lagi dengan seorang laki-laki, karena sang wanita memiliki rumah dan anak, maka sang suami yang menikahinya secara misyar tersebutlah yang datang ke rumahnya setiap minggu satu atau dua hari. Sedangkan rumah yang ditempati sang wanita adalah rumah suami pertama yang telah meninggal atau rumahnya sendiri, dan suami misyarnya tidak memberikan sesuatu apapun kepada istrinya baik nafkah mupun tempat tinggal.
Sebagaimana bentuk-bentuk pernikahan sebelumnya, pernikahan seperti inipun juga menimbulkan perdebatan terutama dikalangan ulama kontemporer, karena model nikah misyar baru dikenal masa kini. Ulama kontemporer berbeda pendapat menghukuminya, mereka terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok yang membolehkan dan kelompok yang mengharamkan nikah misyar.
Ulama yang mengharamkan nikah misyar seperti Syekh Nashiruddin Albani, Ali Qurah Daqi, dan Abdul Sattar al-Jubali, mereka beralasan bahwa nikah misyar tidak mewujudkan tujuan-tujuan syariat dalam pernikahan. Sedang salah satu ulama yang memperbolehkannya adalah Yusuf al-Qardhawi, menurutnya pernikahan misyar boleh dilakukan karena nikah misyar menjadi solusi bagi perempuan-perempuan yang tidak bersuami, perawan-perawan yang telah lewat masa nikahnya, tentunya dengan memilih laki-laki yang benar-benar baik budi pekertinya, dan antara kedua belah pihak telah sama-sama ridho, maka tidak sepatutnya menghalangi jalan yang dihalalkan oleh syara’ 
Tidak mustahil peraktek nikah seperti ini juga akan menjadi tren dikalangan umat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia, oleh karena itu penulis akan membahas tentang apa yang dimaksud dengan nikah misyar dan pandangan para ulama pro dan contra tentang hukum nikah misyar.
b.      Rumusan Masalah
1.      Pengertian Kawin Misyar
2.      Prinsip dalam Perkawinan Misyar
3.      Fenomena Kawin Misyar di Indonesia
4.      Pandangan Para Ulama Tentang Hukum Kawin Misyar
5.      Analisis Pandangan Para Ulama tentang Hukum Kawin Misyar
6.      Pandangan Para Ulama yang dipilih dan hujjah yang digunakan penulis









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Deskripsi Masalah
1.      Pengertian Nikah Misyar
Secara bahasa, misyar berasal dari kata السير artinya pergi atau perjalanan,[5] kata ini menurut pakar bahasa mengandung pengertian kathrah, yakni terjadi dengan intensitas tinggi. Nama المسيار (al-misyar) adalah sebuah nama bagi pernikahan, dimana suami pergi ketempat istrinya bukan sebaliknya, kata ini diambil dari ungkapan yang artinya “seseorang pergi ke fulan untuk mengunjunginya dari waktu ke waktu”. Pernikahan ini disebut misyar dikarenakan suamilah yang bertolak menuju tempat istri di waktu-waktu yang terpisah lagi sempit, ia tidak berlama-lama tinggal dengan istrinya bahkan seringkali suami tersebut tidak bermalam dan tidak menetap.[6]
Yusuf al-Qardhawi sebagai ulama yang pertama kali membahas kawin misyar mengakui, bahwa tidak ditemukan makna misyar dengan pasti, hanya saja istilah ini berkembang di sebagian besar negara-negara Teluk. Makna misyar menurut mereka adalah lewat dan tidak lama-lama bermukim, menurutnya tidak ada defenisi yang pas untuk kawin misyar ini, akan tetapi setelah ia melihat praktek kawin misyar yang terjadi di masyarakat, al-Qardhawi memberikan satu gambaran mengenai kawin misyar yaitu, seorang laki-laki pergi ke pihak wanita dan wanita itu tidak pindah atau tinggal bersama laki-laki dirumahnya (tidak tinggal dalam satu rumah), dan laki-laki itu tidak dikenai kewajiban untuk membayar nafkah. Disamping itu, biasanya pihak laki-laki sudah punya istri, sehingga perkawinannya harus disembunyikan dari pihak istri yang pertama.[7]
Berbeda dengan al-Qardhawi, Abdullah Ibn Baz justru mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan kawin misyar adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan dengan niat akan menceraikannya setelah beberapa waktu, tetapi tanpa memberitahukan niat tersebut kepada calon istrinya. Disamping itu, keberadaan perkawinan ini tidak diberitahukan pada orang-orang atau cenderung dirahasiakan, Ibn Baz memberikan contoh, seorang laki-laki belajar ke luar negeri, selama berada di luar negeri ia menikahi seorang perempuan dengan tidak mengungkapkan niat untuk menceraikan setelah pendidikannya selesai.
Sedangkan Abdullah al-Faqih berpendapat dalam fatwa al-Shabkah al-Islamiyah-nya, bahwa kawin misyar itu sama dengan perkawinan pada umumnya, hanya saja pihak istri dengan ketulusan hatinya, membebaskan pihak suami dari segala tanggungan nafkah. Menurutnya model kawin misyar ini ada dua yaitu: pertama, model perkawinan yang memenuhi semua syarat rukun perkawinan, seperti halnya perkawinan pada umumnya, akan tetapi ketika pelaksanaan akad nikah suami memberikan syarat agar istri membebaskannya dari segala tanggungan nafkah dan tempat tinggal. Kedua, model perkawinan yang sudah memenuhi syarat rukun perkawinan, tetapi suami meminta pada istri agar tidak menuntut qasm (penggiliran) dan mabit (bermalam). Masalah qasm dan mabit, suami yang menentukan, sebab suami statusnya sudah beristri, di samping itu suami mensyaratkan agar perkawinannya yang kedua ini dirahasiakan dari orang-orang khususnya dari pihak istri yang pertama.[8]  
Dari beberapa gambaran kawin misyar di atas, maka dapat disimpulkan pengertian kawin misyar yaitu, kawin yang dilakukan oleh perempuan kaya dengan seorang laki-laki pilihannya, dengan cara laki-laki tersebut mendatangi rumah perempuan tanpa tinggal dalam satu rumah. Pihak laki-laki dibebaskan dari segala tanggungjawab yang menurut kebiasaan seharusnya ditanggung oleh para suami, seperti nafkah, tempat tinggal, qasm dan mabit, selain itu perkawinan ini dirahasiakan, terutama pada pihak istri yang pertama.
Pernikahan seperti ini dilakukan agar para musafir, baik itu pedagang, tentara, penuntut ilmu yang berada di negeri asing agar terhindar dari kerusakan, namun perlu diwaspadai bentuk pernikahan ini kurang penuaian hak disebabkan adanya kelemahan dalam menuaikan hak dan kewajiban, disamping memberikan nafkah kepada anak-anak dikemudian hari ketika jalinan pernikahan tersebut membuahkan anak.
2.      Prinsip dalam Perkawinan Misyar
Ada beberapa prinsip perkawinan menurut hukum Islam, yang perlu diperhatikan agar perkawinan itu benar-benar berarti dalam hidup manusia melaksanakan tugasnya mengabdi pada Tuhan.
Pada hakekatnya nikah misyar tidak jauh berbeda dengan nikah biasa, artinya segala sesuatu yang menjadi syarat dan rukun dari nikah biasa terdapat pula pada pernikahan misyar, sehingga prinsip-prinsip perkawinan misyar dengan nikah dalam Islam, yaitu:
a.    Memenuhi dan melaksanakan perintah agama
Bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, itu berarti bahwa melaksanakan perkawinan itu pada hakekatnya merupakan dari ajaran-ajaran agama, memberi batasan rukun dan syarat-syarat yang perlu. Apabila rukun syarat tidak terpenuhi, batal dan fasidlah perkawinan itu, dengan demikian dalam perkawinan misyar ada ketentuan lain selain di samping rukun dan syarat, seperti harus adanya mahar dalam perkawinan dan juga harus ada kemampuan.
Selain itu memenuhi kebutuhan biologis sekaligus memuliakan dan menjaga agar tidak tergelincir dalam perbuatan zina, manusia diciptakan berpasang-pasangan dan diciptakan oleh Allah mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita artinya saling memerlukan. 
b.    Kerelaan dan persetujuan
Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang hendak melaksanakan perkawinan adalah ikhtiyar (tidak paksa), pihak yang melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan kata-kata kerelaan calon istri dan suami. Prinsip hakiki dalam suatu perkawinan adalah ada kerelaan kedua calon suami-istri. Prinsip kerelaan ini dalam nikah misyar merupakan unsur yang utama untuk melaksanakan pernikahan, dimana kerelaan istri yang didasari dari sikap mengalah istri untuk tidak diberikan nafkah dari suami yang berupa materi.
c.    Perkawinan untuk selamanya
Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat berketurunan dan untuk ketenangan, ketentraman, saling mencintai dan saling mengasihi, semuanya dapat dicapai dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya dalam waktu tertentu saja.
3.      Fenomena Nikah Misyar di Indonesia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh saudari Nasiri di Surabaya, kompleks perumahan elit Palm Sepring menyatakan bahwa, nikah misyar banyak dilakukan wanita-wanita single di kota Surabaya, keberadaan model kawin misyar ini memberikan solusi bagi para wanita yang sibuk dan tidak sempat memikirkan perkawinan, mereka di tengah-tengah kesibukan dapat merasakan nikmatnya perkawinan. Praktek kawin misyar di kota surabaya dalam perfektif teori dramaturgi, menyimpulkan bahwa para pelaku kawin misyar di kota pahlawan ini adalah rata-rata para wanita menengah ke atas, baik dari segi ekonomi maupun dari segi pendidikan, mereka cerdas dan lincah dalam memerankan dua peran sekaligus. Ketika di rumah layaknya seperti wanita single, tetapi di penginapan atau hotel maka dia wanita bersuami tetapi ketika dia beraktifitas atau bergabung dengan para wanita lajang, maka diapun mengaku masih lajang.  
Adapun alasan dari beberapa wanita informan yang di teliti Nasiri yaitu, agar terbebas dari hegemoni suami, tidak mau repot dengan urusan suami, ada juga yang bermotif agar tidak terlalu ribet ketika hendak mengganti pasangan, dan ada juga yang hanya mencoba-coba, sementara yang single parent mengatakan memilih nikah misyar karena suaminya tidak tinggal serumah maka anak tidak akan terganggu dengan adanya ayah tiri. [9]

B.     Pendapat Ulama tentang Hukum Nikah Misyar
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum nikah misyar, dalam hal ini terbagi kepada dua kelompok ulama yang memiliki pandangan hukum yang berbeda, yaitu:
Pertama, kelompok yang membolehkan nikah misyar mayoritas ulama kontemporer telah mengeluarkan fatwa bahwa nikah misyar merupakan pernikahan syar’i yang sah hukumnya, meskipun demikian sebagian mereka yang membolehkan nikah misyar menegaskan bahwa nikah ini bukanlah suatu penganjuran, sedangkan sebagian lagi menyatakan bahwa hukumnya makruh meskipun sah. Dengan demikian hukum-hukum sebagai konsekuensi pernikahan tersebut berlaku, begitupula dampak-dampaknya, karena pencabutan istri terhadap sebagian haknya dan pengajuan hal itu sebagai syarat dalam pernikahan tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan, selama pernikahan tersebut telah memenuhi rukun-rukun dan persyaratan-persyaratannya.[10]
Diantara ulama yang membolehkan nikah misyar adalah shaykh Abd al-Aziz bin Baz, Shaykh Abd al-Aziz Alu al-Shaykh (Mufti kerajaan Arab Saudi saat ini), Yusuf al-Qardhawi, syaikh ali Jum’ah al-Shafi, Wahbah Zuhaifi, Ahmad al-Hajj al-Kurdi, Shaykh Su’ud al-Syuraym, Shaykh Yusuf al-Duraywish, dan beberapa ulama lainnya.[11]
Menurut al-Qardhawi nikah misyar dibolehkan karena sebagaimana pernikahan da’im (pernikahan konvensional), nikah misyar juga mewujudkan maslahat syari’at, dimana pasangan  suami istri mendapatkan kepuasan batin juga adanya kehidupan keluarga yang dibangun atas dasar kemuliaan. Secara hukum nikah misyar sah adanya karena memenuhi semua rukun dan syarat nikah yang sah, ada ijab qabul, saling meridhoi antara kedua mempelai, wali, saksi, kedua mempelai sepadan dan ada mahar yang telah disepakati. Setelah akad nikah keduanya resmi menjadi suami istri yang dikemudian hari punya hak, hak keturunan, hak waris, hak iddah, hak talak, hak meniduri, hak tempat tinggal, hak biaya hidup, dan lain sebagain ya. Namun dalam pernikahan misyar keduanya saling meridhai dan sepakat bahwa tidak ada tuntutan bagi istri terhadap suami untuk tinggal bersama istrinya, begitu juga dengan hak berbagi giliran, sebab semuanya tergantung kepada suami, kapan saja suami mau menziarahi istrinya maka ia akan menjumpainya di sembarang jam baik siang maupun malam.
Pendapat ini mengambil sebuah hadis sebagai dalil sahnya nikah misyar, yaitu hadis tentang bolehnya istri menggugurkan hak hari gilirannya kepada istri lain:
Al-Qardhawi menyatakan bahwa nikah misyar menjadi solusi bagi perempuan-perempuan ya ng tidak bersuami, perawan-perawan yang telah lewat masa nikahnya, tentunya dengan memilih laki-laki yang benar-benar baik budi pekertinya, dan antara kedua pihak telah sama-sama ridho. Maka tidak sepatutnya orang menghalangi jalan yang dihalalkan oleh syara’, namun demikian al-Qardhawi menegaskan bahwa dirinya bukanlah sebagai orang yang menyukai dan menganjurkan pernikahan misyar.[12]
Ulama lain yang mendukung dibolehkannya nikah misyar adalah Yusuf al-Duraysh, menurutnya pendapat yang menyatakan tidak sahnya nikah misyar karena adanya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan itu, baik oleh saksi, wali, maupun kedua mempelai, tidaklah menjadikan pernikahan itu tidak sah. Pendapat inilah yang menurutnya sesuai dengan pendapat jumhur ulama, selain itu ditinjau dari perwujudan tujuan-tujuan besar sebuah pernikahan, memang benar bahwa nikah misyar bukan bentuk pernikahan yang ideal, akan tetapi bukan berarti kosong dari pembentukan tujuan-tujuan utamanya secara keseluruhan.[13]
Menurut Syaikh Wahbah Zuhayli, Dosen Syari’ah di Universitas Damsyiq, Suriah “ pernikahan disyariatkan oleh Allah swt untuk merealisasikan beberapa tujuan” diantaranya adalah:
a.       Untuk menambah keturunan dan memelihara kelangsungan keturunan
b.      Adalah untuk mendatangkan kebahagiaan
c.       Memelihara diri dari terjebak ke kancah ke kancah maksiat dan zina
d.      Mewujudkan kerjasama dan keserasian hidup antara pria dan wanita untuk kehidupan berumahtangga
e.       Pernikahan ini adalah untuk mewujudkan kebahagiaan, dan ketenangan diantara suami dan istri selain bertujuan untuk mendidik anak-anak dengan didikan yang sempurna
Pernikahan misyar juga merealisaskan sebagian dari tujuan-tujuan pernikahan meskipun tidak semuanya, nikah misyar sah hukumnya tetapi makruh, beliau berpendapat nikah ini adalah sah tetapi tidak disukai dalam syara’, karena kurang menacapai tujuan syariat Islam dalam menikah, terkait itu ketenangan jiwa, bimbingan terhadap keluarga dan anak serta perhatian terhadap keluarga dengan sempurna.[14] Hal ini tidak akan didapat melalui nikah misyar karena wanita tidak berhak menuntut suaminya atas semua itu.
Ulama kontemporer yang membolehkan nikah misyar selanjutnya adalah Abd al-Aziz bin Baz, tentang pernikahan ini beliau berpendapat bahwa tidak mengapa jika akadnya memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati secara syar’i : wali, kerelaan calon suami-istri, disaksikan dua saksi yang adil, dan, hal tersebut tidak akan membatalkan akad nikah selama pernikahan tersebut diumumkan dan tidak dirahasiakan.[15] Namun setelah melihat banyaknya penyimpangan yang dilakukan sebagian orang yang melampaui batas dan memperturutkan hawa nafsunya, seperti bermunculan agen-agen memasang yang memasang tarif untuk mengadakan pernikahan ini, munculnya wali-wali palsu, dan pelaksanaan secara diam-diam. Maka Abd al-Aziz bin Baz di lain kesempatan ketika ditanya tentang nikah misyar beliau menjawab:
Wajib bagi setiap muslim untuk menikah dengan pernikahan syar’i dan hendaknya ia berhati-hati dengan apa-apa yang menyelisihi hal itu, sama saja apakah ia dinamakan nikah misyar atau selainnya. Termasuk syarat pernikahan syar’i adalah diumumkannya pernikahan itu, apabila suami istri tersebut menyembunyikannya, maka tidak sah, karena apa yang tidak disebutkan itu menyerupai perbuatan zina.  
 Kedua, kelompok yang mengharamkan nikah misyar, sejumlah ulama kontemporer diantaranya adalah Nasiruddin Albani, Muhammad Zuhayli, Ali Qurah Daqi, dan Ibrahim Fadhil, diantara argumen mereka adalah lantaran menonjolnya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan semacam ini, karena itu ia merupakan jalan kerusakan dan perbuatan kemunkaran. Orang-orang yang sudah rusak pribadinya bisa saja menjadikannya sebagai tunggangan untuk merealisasikan tujuan mereka, sebab segala sesuatu yang menyeret kepada perkara haram maka hukumnya juga diharamkan, larangan ini juga ditunjukan untuk kepentingan mengatur ummat manusia. Dampak-dampak buruk ini dapat dipastikan timbul dan biasanya menjadi kenyataan, bukan sekedar dalam batas prediksi-prediksi, khayalan belaka.
 Menurut Nasiruddin Albani sebagaimana dikutip Uswah Umar Sulaiman Al-Asyqari bahwa ada dua alasan diharamkan nikah misyar, yaitu:
1.      Maksud dari pernikahan adalah tercapainya ketentraman sebagaimana yang di firmankan Allah swt “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang” (QS. Ar-Rum: 21). Sedangkan pernikahan misyar tidak mewujudkan demikian.
2.      Boleh jadi Allah Ta’ala mentakdirkan si suami mendapatkan anak dari istrinya sebagai hasil dari pernikahan ini, lalu dengan sebab jauh dan jarang bertemu maka akan menyebabkan dampak buruk bagi anak-anaknya di dalam urusan pendidikan dan akhlak.
Selain itu al-Asyqari juga berpendapat bahwa pernikahan misyar tidak mewujudkan orientasi-orientasi pernikahan, seperti hidup bersama, meretas jalinan kasih sayang, cita-cita memiliki keturunan dan perhatian terhadap istri dan anak, serta tidak adanya keadilan dihadapan istri-istri. Terlebih lagi, adanya unsur penghinaan terhadap kaum wanita dan terkadang mengandung muatan untuk menggugurkan hak istri atas pemenuhan kebutuhan nafkah, dan lain-lain.[16]
Adapun ulama kontemporer yang termasuk kelompok yang mengharamkan nikah misyar adalah Syeikh Abdul Sattar al-Jubali, beliau berargumen bahwa nikah misyar menyebabkan suami tidak punya rasa tanggungjawab keluarga, akibatnya suami akan dengan mudah menceraikan istrinya semudah dia menikahinya, belum lagi praktek nikah misyar yang lebih banyak dilakukan secara diam-diam tanpa wali, semua ini akan menjadikan akad nikah menjadi bahan permainan oleh orang-orang pengagum seks dan pecinta wanita, karena tak ada tujuan lain selain agar nafsu seksnya terpenuhi tanpa ada tanggungjawab sedikitpun. Belum lagi anak-anak yang terlahir nantinya akan merasa asing dengan bapaknya karena jarang dikunjungi, dan hal ini akan memperburuk pendidikan dan akhlak anak-anak.
Selain itu al-Jubali juga membantah argumen ulama yang membolehkan nikah misyar bahwa disebabkan dalil yang digunakan oleh pendapat pertama sangat tidak pas, Al-Jubali juga menolak argumen yang dikemukakan oleh pendapat yang membolehkan nikah misyar, bahwa nikah misyar meminimalisir perawan-perawan tua yang kaya raya dan tidak butuh biaya suami. Menurutnya alasan seperti ini perlu ditela’ah lebih jauh, bahwa perawan-perawan tua lagi kaya itu hanya sedikit jumlahnya, maka solusi itu justru akan banyak menelantarkan perawan-perawan tua miskin yang jumlahnya lebih banyak.
Syekh Abu Malik Kamal al-Sayyid Salim berpendapat bahwa pendapat yang rajih tentang nikah misyar adalah bahwa yang menjadi pangkal perselisihan terletak pada pengajuan syarat untuk menggugurkan kewajiban menafkahi dan tinggal bersama istri, serta pengaruhnya terhadap keabsahan akad. Beliau menyatakan bahwa akad nikah misyar tetap sah dan perkawinannya legal namun syaratnya gugur, dengan demikian perkawinan ini tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syari’at berupa penghalalan senggama, kepastian nasab, kewajiban nafkah dan pembagian yang adil (jika poligami), dalam hal ini istri berhak menuntut namun tidak masalah jika ia dengan sukarela melepaskan hak-hak ini tanpa syarat, sebab itu merupakan haknya.[17]   
Ketiga, kelompok yang tawaqquf terhadap hukum nikah misyar, sebagian ulama memilih untuk tawaqquf (abstain) tentang hukumnya lantaran menurut mereka esensi pernikahan seperti ini baik dalil yang digunakan mendukung maupun menolak tampak belum jelas, mereka menyatakan bahwa sangat penting untuk dilakukan pengkajian mendalam dan pencermatan ekstra perihal nikah misyar ini, diantara ulama kontemporer yang mengambil posisi ini adalah Syeikh Muhammad bin Salih al-Uthaymin. Pembahasan di atas menunjukkan bahwa para ulama hingga kini belum mencapai kesepakatan tentang hukum nikah misyar, karena nikah misyar merupakan masalah baru dan belum ditemukan dasar hukum yang kuat untuk menghukuminya.[18]
C.    Analisis Pendapat Ulama
Berdasarkan pendapat pro dan contra para ulama di atas mengenai hukum nikah misyar, ada beberapa hal yang menjadi sebab perbedaan pendapat tersebut yaitu:
a)      Perbedaan manhaj dalam menetapkan hukum antara kelompok yang membolehkan dan yang melarang pernikahan misyar sama-sama menggunakan dalil akal dalam menentukan hukumnya, namun letak perbedaannya adalah kelompok yang membolehkan nikah misyar seperti Yusuf al-Qardhawi lebih banyak menggunakan pendekatan kemaslahatan yang dapat dicapai dalam pernikahan ini. Meskipun al-Qardhawi juga menggunakan qiyas, yakni mengqiyaskan nikah misyar dengan dengan kasus Saudah istri Nabi yang memberikan hak malamnya untuk Aisyah namun dalam proporsi yang kecil. Sementara kelompok yang menentang nikah misyar lebih banyak melihat aspek mudharat yang dihasilkan dari jenis pernikahan ini, dari persfektif ilmu ushul fiqh, kelompok yang menolak nikah misyar mengharamkan pernikahan jenis ini dengan metode sad al-zariah artinya menutup jalan menuju kepada kerusakan, selain itu kelompok yang menentang nikah misyar tampaknya lebih mengedepankan qiyas antara nikah misyar dengan nikah biasa. Sehingga adanya perbedaan-perbedaan antara nikah misyar dengan nikah biasa, menyebabkan nikah misyar dianggap sebagai pernikahan yang tidak sah dan harus diharamkan.
b)      Perbedaan dalam penetapan kriteria keabsahan nikah, sebagaimana diketahui bahwa di antara alasan yang dikemukakan oleh para ulama yang membolehkan nikah misyar adalah selama suatu pernikahan terpenuhi syarat dan rukunnya, maka pernikahan itu sah. Sedangkan ulama yang mengharamkan nikah misyar berpandangan bahwa keabsahan pernikahan tidak semata-mata tercapai sarat dan rukun pernikahan tetapi juga harus terwujud tujuan-tujuan pernikahan.
c)      Perbedaan dalam memahami wajib tidaknya sosialisasi suatu pernikahan, pernikahan misyar (meskipun tidak semuanya) biasanya mengandung unsur kerahasiaan antara pihak yang melakukan nikah misyar dengan istri pertama dan keluarganya. Perdebatan tentang akibat hukum merahasiakan pernikahan ini sebenarnya telah terjadi pada masa lalu antara para ulama mazhab, mazhab Maliki misalnya, berpendapat bahwa misi pernikahan adalah pemberitahuan dan sosialisasi, syarat adanya sosialisasi merupakan syarat sahnya suatu pernikahan. Dengan adanya permintaan untuk dirahasiakan, baik oleh kedua suami istri, wali maupun saksi, berarti tidak terwujud misi pemberitahuan dan sosialisasi. Selain itu, merahasiakan hubungan pernikahan termasuk ciri-ciri perzinaan, sehingga pernikahan manakala sudah diminta untuk disembunyikan, maka mirip dengan praktek perzinaan dan berakibat rusak secara hukum, demikian pandangan mazhab Maliki yang kemudian diikuti oleh kelompok ulama yang mengharamkan nikah misyar.
Adapun kelompok yang membolehkan nikah misyar berpedoman kepada pendapat zumhur ulama mazhab Hanafi, Syafi’i serta Hanbali yang menyatakan bahwa pernikahan yang telah terpenuhi syarat dan rukunnya, meskipun suami istri, wali, maupun kedua saksi bersepakat untuk merahasiakan pernikahan tersebut dari pengetahuan masyarakat, maka pernikahan itu tetap sah hukumnya. Menurut jumhur ulama, adanya dua orang saksi telah cukup untuk mengatakan bahwa pernikahan tersebut tidak lagi bersifat rahasia, namun menyembunyikan pernikahan dapat dihukumi makruh agar tidak muncul tuduhan miring kepada kedua pihak yang melaksanakan pernikahan itu.
d)     Perbedaan dalam menentukan syarat-syarat yang membatalkan pernikahan menurut pihak yang mengharamkan nikah misyar, adanya syarat bahwa suami tidak menafkahi istri, tidak memberi tempat tinggal, serta tidak membagi malamnya dengan istri yang dinikahi secara misyar, serta beberapa kewajiban sejenis yang ditetapkan syariat atas suami termasuk syarat-syarat ilegal. Sehingga pada kelompok ulama yang menolak nikah misyar karena syaratnya bathil maka pernikahannya juga tidak sah, sedangkan yang lain menyatakan pernikahannya tetap sah, tetapi syaratnya batil, maka dari itu tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syari’at berupa penghalalan senggama, kepastian nasab, kewajiban nafkah dan pembagian yang adil (jika poligami). Dalam hal ini istri berhak menuntut namun tidak masalah jika ia dengan sukarela melepaskan hak-hak tanpa syarat, sebab itu merupakan haknya, pendapat ini dikemukakan oleh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim.
Sedangkan ulama yang membolehkan nikah misyar mengenai masalah ini berpendapat bahwa adanya syarat-syarat seperti suami tidak menafkahi istri, tidak memberi tempat tinggal, serta tidak membagi malamnya dengan istri yang dinikahi secara misyar, bukanlah syarat yang menyebabkan pernikahan tersebut bathil (tidak sah). Adanya syarat-syarat tersebut dapat diterima dengan syarat pula bahwa sang istri merelakan tidak terpenuhinya sebagian hak-haknya dalam pernikahan tanpa paksaan dari pihak manapun, akan tetapi, seandainya pada suatu saat istri bermaksud menuntut haknya kembali, maka ia berhak menuntutnya dan pernikahan tetaplah sah tanpa ada sesuatupun yang membatalkannya. Poin-poin inilah yang menjadi sebab perbedaan pendapat para ulama dalam menemukan hukum nikah misyar.  


D.    Pendapat Yang Dipilih dan Hujjah Yang Digunakan
Penulis dalam hal ini memilih untuk mngikuti ulama yang tidak membolehkan nikah misyar, sebab bila dikaitkan sekilas dengan keabsahan akad nikah,[19] nikah misyar merupakan akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukun nikah, yaitu ijab qabul, adanya wali, mahar, dan saksi. Disamping itu pasangan suami istri yang melakukan nikah misyar dilandasi atas dasar suka sama suka, hanya saja pihak istri tidak menuntut suami untuk kewajiban memberikan nafkah lahiriyah dan menyediakan tempat tinggal.
Berdasarkan konteks diatas kerelaan istri tidak menuntut suami untuk memberi nafkah lahiriah, menyediakan tempat tinggal, dan tidak mendapatkan hak sama bagi istri yang dipoligami dalam pembagian pemberian nafkah biologis, berarti tidak adanya kewajiban suami untuk memenuhi hak-hak tersebut. Sementara memberi nafkah dan menyediakan tempat tinggal merupakan kewajiban suami dan menjadi hak istri, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an (QS. At-Thalaq:7)
÷,ÏÿYãÏ9 rèŒ 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuŠy ª!$# y÷èt/ 9Žô£ãã #ZŽô£ç ÇÐÈ  
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (al-Qur’an dan Terjemahannya, 1418:946)
Nikah misyar ini merupakan pernikahan yang tidak lazim, karena mafsadat lebih banyak dibanding maslahahnya, ketika terjadi pertentangan maslahat dan mafsadat maka menolak mafsadat lebih diutamakan dari pada meraih maslahat.
Seandainya pernikahan misyar dibolehkan, haruslah dengan penetapan berbagai persyaratan yang cukup ketat, dengan tujuan agar kebolehan tersebut tidak disalahgunakan, hal ini dimaksudkan untuk melindungi ummat Islam dari memandang remeh ajaran Islam, dan demi menyelamatkan kaum wanita dari pelecehan kaum laki-laki. Dalam konteks masyarakat Indonesia sebaiknya nikah misyar ini dilarang, karena pernikahan misyar hanya menciptakan kemaslahatan sebelah pihak tetapi menimbulkan kerusakan di pihak lain, nikah misyar hanya menguntungkan para turis Arab daripada wanita-wanita muslimah di Indonesia.
Perkawinan ini hanya merealisasikan standard yang paling rendah dari hubungan suami istri, dan menanggalkan nilai-nilai perkawinan serta kosong dari hakikat-hakikat yang sebenarnya dalam tujuan menciptakan keluarga idaman, saling mengasuh keturunan dan membangun generasi yang baik dalam konteks kasih sayang.
Dalam perkawinan misyar, suami kehilangan harga dirinya karena tidak memenuhi semua kewajiban maka dia hanya menjadi tanggungan bagi istri. Sesungguhnya kehidupan perkawinan bukanlah hubungan seksual semata, hubungan seksual dalam kehidupan keluarga sehari tidak lebih dari 2% artinya masih terdapat 98%, yaitu aktivitas-aktivitas yang akan terjadi didalamnya, dan ini merupakan wilayah yang sangat luas.







BAB III
Penutup
A.    Kesimpulan
Secara bahasa misyar berasal dari artinya pergi atau perjalanan, kata ini menurut pakar bahasa mengandung pengertian kathrah, yakni terjadi dengan intensitas tinggi. Misyar adalah sebuah nama bagi pernikahan, dimana suami pergi ketempat istrinya bukan sebaliknya, kata ini terambil dari ungkapan yang artinya “seseorang pergi ke fulan untuk mengunjunginya dari waktu ke waktu”. Pernikahan ini disebut misyar dikarenakan suamilah yang bertolak menuju tempat istri di waktu-waktu yang terpisah lagi sempit, ia tidak berlama-lama tinggal dengan istrinya bahkan seringkali suami tersebut tidak bermalam dan tidak menetap
Al-Qardhawi menyatakan bahwa nikah misyar menjadi solusi bagi perempuan-perempuan yang tidak bersuami, perawan-perawan yang telah lewat masa nikahnya, tentunya dengan memilih laki-laki yang benar-benar baik budi pekertinya, dan antara kedua pihak telah sama-sama ridho. Maka tidak sepatutnya orang menghalangi jalan yang dihalalkan oleh syara’, namun demikian al-Qardhawi menegaskan bahwa dirinya bukanlah sebagai orang yang menyukai dan menganjurkan pernikahan misyar
Syeikh Abdul Sattar al-Jubali, beliau berargumen bahwa nikah misyar menyebabkan suami tidak punya rasa tanggungjawab keluarga, akibatnya suami akan dengan mudah menceraikan istrinya semudah dia menikahinya, belum lagi praktek nikah misyar yang lebih banyak dilakukan secara diam-diam tanpa wali, semua ini akan menjadikan akad nikah menjadi bahan permainan oleh orang-orang pengagum seks dan pecinta wanita, karena tak ada tujuan lain selain agar nafsu seksnya terpenuhi tanpa ada tanggungjawab sedikitpun. Belum lagi anak-anak yang terlahir nantinya akan merasa asing dengan bapaknya karena jarang dikunjungi, dan hal ini akan memperburuk pendidikan dan akhlak anak-anak.
Sebagian ulama memilih untuk tawaqquf (abstain) tentang hukumnya lantaran menurut mereka esensi pernikahan seperti ini baik dalil yang digunakan mendukung maupun menolak tampak belum jelas, mereka menyatakan bahwa sangat penting untuk dilakukan pengkajian mendalam dan pencermatan ekstra perihal nikah misyar ini, diantara ulama kontemporer yang mengambil posisi ini adalah Syeikh Muhammad bin Salih al-Uthaymin. Pembahasan di atas menunjukkan bahwa para ulama hingga kini belum mencapai kesepakatan tentang hukum nikah misyar, karena nikah misyar merupakan masalah baru dan belum ditemukan dasar hukum yang kuat untuk menghukuminya
Perbedaan dalam penetapan kriteria keabsahan nikah, sebagaimana diketahui bahwa di antara alasan yang dikemukakan oleh para ulama yang membolehkan nikah misyar adalah selama suatu pernikahan terpenuhi syarat dan rukunnya, maka pernikahan itu sah. Sedangkan ulama yang mengharamkan nikah misyar berpandangan bahwa keabsahan pernikahan tidak semata-mata tercapai sarat dan rukun pernikahan tetapi juga harus terwujud tujuan-tujuan pernikahan.
Nikah misyar ini merupakan pernikahan yang tidak lazim, karena mafsadat lebih banyak dibanding maslahahnya, ketika terjadi pertentangan maslahat dan mafsadat maka menolak mafsadat lebih diutamakan dari pada meraih maslahat.
Seandainya pernikahan misyar dibolehkan, haruslah dengan penetapan berbagai persyaratan yang cukup ketat, dengan tujuan agar kebolehan tersebut tidak disalahgunakan, hal ini dimaksudkan untuk melindungi ummat Islam dari memandang remeh ajaran Islam, dan demi menyelamatkan kaum wanita dari pelecehan kaum laki-laki. Dalam konteks masyarakat Indonesia sebaiknya nikah misyar ini dilarang, karena pernikahan misyar hanya menciptakan kemaslahatan sebelah pihak tetapi menimbulkan kerusakan di pihak lain, nikah misyar hanya menguntungkan para turis Arab daripada wanita-wanita muslimah di Indonesia.







DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2006
Al-Duraywish, al-Zawaj, 143. Pandangan ini diperkuat oleh dewan fatwa ulama Arab Saudi dalam majalah al-Dakwah, edisi 1843, h. 56
Busyro, Menyoal Hukum Nikah Misyar dalam Potensinya Mewujudkan Maqasid al-Asliyyah dan AL-Tab’iyyah dalam Perkawinan Umat Islam, al-Manahij, Vol. XI No. 2 Desember 2017
Chomim Tohari, Fatwa Ulama tentang Hukum Nikah Misyar Persfektif Maqasid Syari’ah, al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013
Faisal, Tesis Studi Komparatif Keabsahan Nikah Misyar dalam Fiqh Klasik dan Fiqh Kontemporer, 2016 
Muhammad Abdul Rauf al-Manawi, al-Ta’arif al-Manawi, Maktabah Syamilah Iskandar 3.8 v 10600, 2009
Muhammad Nabil Kazhm, Buku Pintar Nikah: Strategi Jitu Menuju Pernikahan Sukses, Solo: Samudra, 2007
Moh. Nurhakim, Tinjauan Sosiologis Fatwa Ulama Kontemporer tentang Status Hukum Nikah Misyar, Volume 14 Nomor 2 Juli, Desember 2011
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Terjemah Afif Muhammad Jakarta: Lentera Basri Tama: 2001
Nasiri, Kawin Misyar di Surabaya dalam Persfektif Dramaturgi Erving Goffman, Al-Hukma, The Journal of Islamic Family Law, Volume 06, Nomor 01, Juni 2016
Yusuf al-Qhardawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2002



[1] Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 7
[2] Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 163
[3] Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Terjemah Afif Muhammad (Jakarta: Lentera Basri Tama: 2001), 76
[4] Yusuf al-Qhardawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 402
[5] Muhammad Abdul Rauf al-Manawi, al-Ta’arif al-Manawi, (Maktabah Syamilah Iskandar 3.8 v 10600, 2009), h. 420
[6] Chomim Tohari, Fatwa Ulama tentang Hukum Nikah Misyar Persfektif Maqasid Syari’ah, al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013
[7] Yusuf al-Qardhawi
[8] Nasiri, Kawin Misyar di Surabaya dalam Persfektif Dramaturgi Erving Goffman, Al-Hukma, The Journal of Islamic Family Law, Volume 06, Nomor 01, Juni 2016
[9] Nasiri, Kawin Misyar di Surabaya dalam Persfektif Dramaturgi Erving Goffman, Al-Hukma, The  Journal of Islamic Family Law, Volume 06, Nomor 01, Juni 2016
[10] Moh. Nurhakim, Tinjauan Sosiologis Fatwa Ulama Kontemporer tentang Status Hukum Nikah Misyar, Volume 14 Nomor 2 Juli, Desember 2011
[11] Faisal, Tesis Studi Komparatif Keabsahan Nikah Misyar dalam Fiqh Klasik dan Fiqh Kontemporer, 2016 
[12] Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 397
[13] Al-Duraywish, al-Zawaj, 143. Pandangan ini diperkuat oleh dewan fatwa ulama Arab Saudi dalam majalah al-Dakwah, edisi 1843, h. 56
[14]http://www.scribd.com/doc/109321294/problematika-keabsahan-kawan-misyar-menurut-ulama-kontemporer
[15] Chomim Tohari, Fatwa Ulama tentang Hukum Nikah Misyar Persfektif Maqasid Syari’ah, al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013
[16] Busyro, Menyoal Hukum Nikah Misyar dalam Potensinya Mewujudkan Maqasid al-Asliyyah dan AL-Tab’iyyah dalam Perkawinan Umat Islam, al-Manahij, Vol. XI No. 2 Desember 2017
[17] Chomim Tohari, Fatwa Ulama tentang Hukum Nikah Misyar Persfektif Maqasid Syari’ah, al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013
[18] https://konsultasisyariah.com/20922-hukum-nikah-misyar-nikah-untuk-cerai.html
[19] Keabsahan ditentukan oleh terpenuhinya syarat dan rukun, sebab syarat dan rukun merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari setiap bentuk akad. Terdapat kesepakatan dikalangan fuqaha’ bahwa ijab qabul merupakan rukun dalam akad nikah, karena ijab dan qabul merupakan pernyataan yang mengikat kedua belah pihak yang terlibat dalam akad.

No comments:

Post a Comment