NIKAH
MISYAR
Revisi Makalah
Diajukan untuk
memenuhi tugas akhir
mata kuliah
“Kajian Fiqh Kontemporer”
Dosen Pengampu:
Dr. Tutik Hamidah M. Ag

Pemakalah:
ADELINA SARI POHAN
(16771004)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb
Alhamdulillah,
segala puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah SWT karena berkat rahmat,
nikmat, dan hidayah-Nya yang telah diberikan penulis bisa menyelesaikan makalah
ini. Shalawat dan salam di sampaikan pada Nabi Muhammad S.
A.W senantiasa kita tetap menjadi umat yang selalu berpegang teguh pada
Al-Qur’an dan Sunnahnya.
Penulis
menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada dosen pembimbing Ibu Dr. Tutik Hamidah M. Ag,
yang
telah memberikan pengarahan kepada penulis dalam menyusun makalah ini, sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Nikah
Misyar”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh
dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari dosen pembimbing khususnya serta para pembaca umumnya, dalam
rangka memperdalam pengetahuan kita tentang makalah ini.
Hanya
kepada Allah SWT penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.Amiin.
Malang, 22 Mei 2018
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................
ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................
ii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah .......................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah....................................................................................
4
BAB II PEMBAHASAN
A.
Deskripsi Masalah..................................................................................... 5
1. Pengertian
Nikah Misyar..................................................................... 7
2. Prinsip dan
Pernikahan Misyar............................................................ 8
3. Fenomena Nikah
Misyar di Indonesia................................................. 9
B.
Pendapat Ulama tentang Hukum Nikah
Misyar...................................... 10
C. Analisis
Pendapat Ulama......................................................................... 13
D. Pendapat
yang dipilih dan hujjah yang digunakan ................................. 15
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 17
DAFTAR
PUSTAKA
NIKAH MISYAR
Oleh:
ADELINA SARI
POHAN (16771004)
Mahasiswa Prodi
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar
Belakang Masalah
Pernikahan
adalah suatu peristiwa yang sangat sakral dan dinantikan oleh setiap manusia,
melalui pernikahan hal-hal yang semula dilarang menjadi boleh, dalam pernikahan
sepasang suami istri melakukan komitmen (ijab qabul) untuk mengarungi
kehidupan bersama sehidup semati, sehingga timbullah hak dan kewajiban diantara
keduanya. Pernikahan dalam Islam juga diistilahkan dengan sebuah ungkapan yaitu
mithaq ghalidhan (ikatan yang sangat
kuat), artinya ikatan pertalian yang sakral antara lawan jenis untuk membentuk
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Bab 1 pasal 1 menyatakan bahwa: perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang
Maha Esa.[1]
Ketika
laki-laki dan perempuan menikah kemudian menjadi suami istri dan membina rumah
tangga, maka masing-masing suami dan istri mempunyai hak dan kewajiban yang
seimbang. Seorang suami berkewajiban untuk membayar mahar, nafkah dan
sebagainya, dia juga berhak untuk mendapatkan pelayanan yang paripurna dari
istri. Begitu pula sebaliknya, seorang istri mempunyai kewajiban untuk melayani
suami secara maksimal disamping dia juga punya hak untuk mendapatkan tempat
tinggal, nafkah, pakaian dan sebagainya. Tanggungjawab nafkah juga tidak
berhenti pada istri saja, akan tetapi juga bertanggungjawab secara penuh
terhadap pengasuhan, penjagaan, dan perawatan anak karena suami merupakan
kepala rumah tangga seperti yang disebutkan KHI Pasal 79 ayat 1.[2]
Dalam
pernikahan, seorang suami dituntut untuk menyediakan tempat tinggal, dan
memikul seluruh biaya yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Pemberian nafkah
adalah sepenuhnya kewajiban suami seperti halnya juga ia wajib menyediakan
tempat tinggal, suami juga wajib mewujudkan kehidupan pernikahan yang
diharapkan Allah untuk terwujud, yaitu sakinah, mawaddah, wa
rahmah. Maka dari itu suami wajib memberikan rasa tenang bagi istrinya,
memberikan cinta dan kasih sayang kepada istrinya. Hal ini sesuai dengan firman
Allah:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4
¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir”. (QS. ar-Rum: 21)
Para fuqaha’ empat mazhab sepakat bahwa nafkah untuk istri
itu wajib, nafkah yang diberikan oleh suami meliputi tiga hal yaitu: sandang,
pangan, papan, mereka juga sepakat tentang besar kecilnya nafkah tergantung
kepada keadaan kedua belah pihak.[3]
Namun tidak demikian dengan nikah misyar, yaitu
sebuah bentuk pernikahan dimana wanita tidak menuntut hak yang sepatutnya diperoleh
dalam pernikahan, seperti nafkah lahir, wanita tersebut telah mencabut haknya
terhadap laki-laki yang mau menikahinya dan hanya menuntut nafkah batin saja.
Ini
artinya dalam nikah misyar hanya mengedepankan aspek kesenangan dari segi
biologis tanpa mengedepankan aspek sakinah, mawaddah, wa rohmah sebagai
tujuan dari pernikahan itu sendiri. Sang istri melepaskan haknya yang lain
yaitu hak untuk mendapatkan nafkah lahir, sang suami juga tidak memberikan
kewajibannya memberikan nafkah secara utuh dari sisi lahir dan batin.
Fenomena
nikah misyar telah banyak dijumpai dalam masyarakat pada masa lalu dan
sekarang, orang-orang Qatar dan orang-orang di Negara Teluk lainnya pada
hari-hari ghaus (melaut) meninggalkan
keluarganya sampai berbulan-bulan, sebagian dari mereka ada yang kawin dengan
wanita-wanita Afrika, Asia dan wanita-wanita kaya di tempat mereka bepergian. Mereka
tinggal bersama istri baru selama menetap di negara tersebut, kemudian
meninggalkan wanita-wanita tersebut dan kembali ke negaranya, apabila semua
urusan telah selesai dan kembali lagi hanya kalau memungkinkan.[4]
Hal
itu dilakukan selain untuk memenuhi kebutuhan biologis juga untuk
mempertahankan hidup di perantauan, dalam masyarakat perkotaan di negara-negara
maju, kaum wanita mayoritas memiliki karir dan memiliki ekonomi yang cukup
bahkan berlimpah, sementara jumlah ummat Islam berada pada posisi minoritas.
Pernikahan
misyar ini diizinkan di Arab Saudi oleh fatwa yang diberikan syeikh
Abdul Azeez ibn Abdullah ibn Baaz, dan resmi diperundangkan di Mesir oleh Imam
Syeikh Muhammad Sayid Tantawy pada tahun 1999.
Pernikahan
misyar telah biasa dilakukan oleh masyarakat
muslim, biasanya setelah seorang wanita menjadi janda kemudian ia kawin lagi
dengan seorang laki-laki, karena sang wanita memiliki rumah dan anak, maka sang
suami yang menikahinya secara misyar
tersebutlah yang datang ke rumahnya setiap minggu satu atau dua hari. Sedangkan
rumah yang ditempati sang wanita adalah rumah suami pertama yang telah
meninggal atau rumahnya sendiri, dan suami misyarnya
tidak memberikan sesuatu apapun kepada istrinya baik nafkah mupun tempat
tinggal.
Sebagaimana
bentuk-bentuk pernikahan sebelumnya, pernikahan seperti inipun juga menimbulkan
perdebatan terutama dikalangan ulama kontemporer, karena model nikah misyar
baru dikenal masa kini. Ulama kontemporer berbeda pendapat menghukuminya,
mereka terbagi menjadi dua kelompok yakni kelompok yang membolehkan dan kelompok
yang mengharamkan nikah misyar.
Ulama
yang mengharamkan nikah misyar seperti Syekh Nashiruddin Albani, Ali Qurah
Daqi, dan Abdul Sattar al-Jubali, mereka beralasan bahwa nikah misyar
tidak mewujudkan tujuan-tujuan syariat dalam pernikahan. Sedang salah satu
ulama yang memperbolehkannya adalah Yusuf al-Qardhawi, menurutnya pernikahan misyar
boleh dilakukan karena nikah misyar menjadi solusi bagi perempuan-perempuan
yang tidak bersuami, perawan-perawan yang telah lewat masa nikahnya, tentunya
dengan memilih laki-laki yang benar-benar baik budi pekertinya, dan antara
kedua belah pihak telah sama-sama ridho, maka tidak sepatutnya menghalangi
jalan yang dihalalkan oleh syara’
Tidak
mustahil peraktek nikah seperti ini juga akan menjadi tren dikalangan umat Islam
di seluruh dunia, termasuk Indonesia, oleh
karena itu penulis akan membahas tentang apa yang dimaksud dengan nikah misyar dan pandangan para ulama pro dan contra tentang hukum nikah misyar.
b.
Rumusan
Masalah
1. Pengertian
Kawin Misyar
2. Prinsip
dalam Perkawinan Misyar
3. Fenomena
Kawin Misyar di Indonesia
4. Pandangan
Para Ulama Tentang Hukum Kawin Misyar
5. Analisis
Pandangan Para Ulama tentang Hukum Kawin Misyar
6. Pandangan
Para Ulama yang dipilih dan hujjah yang digunakan penulis
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Deskripsi
Masalah
1.
Pengertian
Nikah Misyar
Secara
bahasa, misyar berasal dari kata
السير artinya pergi atau
perjalanan,[5]
kata ini menurut pakar bahasa mengandung pengertian kathrah, yakni terjadi dengan intensitas tinggi. Nama المسيار
(al-misyar) adalah sebuah nama bagi pernikahan, dimana suami pergi
ketempat istrinya bukan sebaliknya, kata ini diambil dari ungkapan yang artinya
“seseorang pergi ke fulan untuk mengunjunginya dari waktu ke waktu”. Pernikahan
ini disebut misyar dikarenakan
suamilah yang bertolak menuju tempat istri di waktu-waktu yang terpisah lagi
sempit, ia tidak berlama-lama tinggal dengan istrinya bahkan seringkali suami
tersebut tidak bermalam dan tidak menetap.[6]
Yusuf
al-Qardhawi sebagai ulama yang pertama kali membahas kawin misyar
mengakui, bahwa tidak ditemukan makna misyar dengan pasti, hanya saja
istilah ini berkembang di sebagian besar negara-negara Teluk. Makna misyar
menurut mereka adalah lewat dan tidak lama-lama bermukim, menurutnya tidak ada
defenisi yang pas untuk kawin misyar ini, akan tetapi setelah ia melihat
praktek kawin misyar yang terjadi di masyarakat, al-Qardhawi memberikan
satu gambaran mengenai kawin misyar yaitu, seorang laki-laki pergi ke
pihak wanita dan wanita itu tidak pindah atau tinggal bersama laki-laki
dirumahnya (tidak tinggal dalam satu rumah), dan laki-laki itu tidak dikenai
kewajiban untuk membayar nafkah. Disamping itu, biasanya pihak laki-laki sudah
punya istri, sehingga perkawinannya harus disembunyikan dari pihak istri yang
pertama.[7]
Berbeda
dengan al-Qardhawi, Abdullah Ibn Baz justru mengatakan, bahwa yang dimaksud
dengan kawin misyar adalah seorang laki-laki menikahi seorang perempuan
dengan niat akan menceraikannya setelah beberapa waktu, tetapi tanpa
memberitahukan niat tersebut kepada calon istrinya. Disamping itu, keberadaan
perkawinan ini tidak diberitahukan pada orang-orang atau cenderung
dirahasiakan, Ibn Baz memberikan contoh, seorang laki-laki belajar ke luar
negeri, selama berada di luar negeri ia menikahi seorang perempuan dengan tidak
mengungkapkan niat untuk menceraikan setelah pendidikannya selesai.
Sedangkan
Abdullah al-Faqih berpendapat dalam fatwa al-Shabkah al-Islamiyah-nya,
bahwa kawin misyar itu sama dengan perkawinan pada umumnya, hanya saja
pihak istri dengan ketulusan hatinya, membebaskan pihak suami dari segala
tanggungan nafkah. Menurutnya model kawin misyar ini ada dua yaitu: pertama,
model perkawinan yang memenuhi semua syarat rukun perkawinan, seperti halnya
perkawinan pada umumnya, akan tetapi ketika pelaksanaan akad nikah suami
memberikan syarat agar istri membebaskannya dari segala tanggungan nafkah dan
tempat tinggal. Kedua, model perkawinan yang sudah memenuhi syarat rukun
perkawinan, tetapi suami meminta pada istri agar tidak menuntut qasm
(penggiliran) dan mabit (bermalam). Masalah qasm dan mabit,
suami yang menentukan, sebab suami statusnya sudah beristri, di samping itu
suami mensyaratkan agar perkawinannya yang kedua ini dirahasiakan dari
orang-orang khususnya dari pihak istri yang pertama.[8]
Dari
beberapa gambaran kawin misyar di atas, maka dapat disimpulkan
pengertian kawin misyar yaitu, kawin yang dilakukan oleh perempuan kaya
dengan seorang laki-laki pilihannya, dengan cara laki-laki tersebut mendatangi
rumah perempuan tanpa tinggal dalam satu rumah. Pihak laki-laki dibebaskan dari
segala tanggungjawab yang menurut kebiasaan seharusnya ditanggung oleh para
suami, seperti nafkah, tempat tinggal, qasm dan mabit, selain itu
perkawinan ini dirahasiakan, terutama pada pihak istri yang pertama.
Pernikahan
seperti ini dilakukan agar para musafir, baik itu pedagang, tentara, penuntut
ilmu yang berada di negeri asing agar terhindar dari kerusakan, namun perlu
diwaspadai bentuk pernikahan ini kurang penuaian hak disebabkan adanya
kelemahan dalam menuaikan hak dan kewajiban, disamping memberikan nafkah kepada
anak-anak dikemudian hari ketika jalinan pernikahan tersebut membuahkan anak.
2.
Prinsip dalam Perkawinan Misyar
Ada beberapa prinsip perkawinan menurut hukum Islam, yang perlu
diperhatikan agar perkawinan itu
benar-benar berarti dalam hidup manusia melaksanakan tugasnya mengabdi pada
Tuhan.
Pada hakekatnya nikah misyar tidak jauh berbeda dengan nikah biasa,
artinya segala sesuatu
yang menjadi syarat dan rukun dari nikah biasa terdapat pula pada pernikahan
misyar, sehingga prinsip-prinsip perkawinan misyar dengan nikah dalam Islam,
yaitu:
a.
Memenuhi
dan melaksanakan perintah agama
Bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, itu berarti bahwa melaksanakan
perkawinan itu pada hakekatnya merupakan dari ajaran-ajaran agama, memberi
batasan rukun dan syarat-syarat yang perlu. Apabila rukun syarat tidak
terpenuhi, batal dan fasidlah perkawinan itu, dengan demikian dalam perkawinan misyar
ada ketentuan lain selain di samping rukun dan syarat, seperti harus adanya
mahar dalam perkawinan dan juga harus ada kemampuan.
Selain itu memenuhi kebutuhan biologis sekaligus memuliakan dan
menjaga agar tidak tergelincir dalam perbuatan zina, manusia diciptakan
berpasang-pasangan dan diciptakan oleh Allah mempunyai keinginan untuk
berhubungan antara pria dan wanita artinya saling memerlukan.
b.
Kerelaan
dan persetujuan
Sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang
hendak melaksanakan perkawinan adalah ikhtiyar (tidak paksa), pihak yang
melangsungkan perkawinan itu dirumuskan dengan kata-kata kerelaan calon istri
dan suami. Prinsip hakiki dalam suatu perkawinan adalah ada kerelaan kedua
calon suami-istri. Prinsip kerelaan ini dalam nikah misyar merupakan unsur yang
utama untuk melaksanakan pernikahan, dimana kerelaan istri yang didasari dari
sikap mengalah istri untuk tidak diberikan nafkah dari suami yang berupa
materi.
c.
Perkawinan
untuk selamanya
Tujuan perkawinan antara lain untuk dapat berketurunan dan untuk
ketenangan, ketentraman, saling mencintai dan saling mengasihi, semuanya dapat
dicapai dengan prinsip bahwa perkawinan adalah untuk selamanya, bukan hanya
dalam waktu tertentu saja.
3. Fenomena Nikah Misyar di Indonesia
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh saudari Nasiri di
Surabaya, kompleks perumahan elit Palm Sepring menyatakan bahwa, nikah misyar
banyak dilakukan wanita-wanita single di kota Surabaya, keberadaan model kawin
misyar ini memberikan solusi bagi para wanita yang sibuk dan tidak sempat
memikirkan perkawinan, mereka di tengah-tengah kesibukan dapat merasakan
nikmatnya perkawinan. Praktek kawin misyar di kota surabaya dalam perfektif
teori dramaturgi, menyimpulkan bahwa para pelaku kawin misyar di kota pahlawan
ini adalah rata-rata para wanita menengah ke atas, baik dari segi ekonomi
maupun dari segi pendidikan, mereka cerdas dan lincah dalam memerankan dua
peran sekaligus. Ketika di rumah layaknya seperti wanita single, tetapi di penginapan
atau hotel maka dia wanita bersuami tetapi ketika dia beraktifitas atau
bergabung dengan para wanita lajang, maka diapun mengaku masih lajang.
Adapun alasan dari beberapa wanita informan yang di teliti Nasiri
yaitu, agar terbebas dari hegemoni suami, tidak mau repot dengan urusan suami,
ada juga yang bermotif agar tidak terlalu ribet ketika hendak mengganti
pasangan, dan ada juga yang hanya mencoba-coba, sementara yang single parent
mengatakan memilih nikah misyar karena suaminya tidak tinggal serumah maka anak
tidak akan terganggu dengan adanya ayah tiri. [9]
B.
Pendapat
Ulama tentang Hukum Nikah Misyar
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum nikah misyar, dalam hal ini terbagi
kepada dua kelompok ulama yang memiliki pandangan hukum yang berbeda, yaitu:
Pertama,
kelompok yang membolehkan nikah misyar
mayoritas ulama kontemporer telah mengeluarkan fatwa bahwa nikah misyar merupakan pernikahan syar’i yang
sah hukumnya, meskipun demikian sebagian mereka yang membolehkan nikah misyar
menegaskan bahwa nikah ini bukanlah suatu penganjuran, sedangkan sebagian lagi
menyatakan bahwa hukumnya makruh meskipun sah. Dengan demikian hukum-hukum
sebagai konsekuensi pernikahan tersebut berlaku, begitupula dampak-dampaknya,
karena pencabutan istri terhadap sebagian haknya dan pengajuan hal itu sebagai
syarat dalam pernikahan tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan, selama
pernikahan tersebut telah memenuhi rukun-rukun dan persyaratan-persyaratannya.[10]
Diantara
ulama yang membolehkan nikah misyar
adalah shaykh Abd al-Aziz bin Baz, Shaykh Abd al-Aziz Alu al-Shaykh (Mufti
kerajaan Arab Saudi saat ini), Yusuf al-Qardhawi, syaikh ali Jum’ah al-Shafi,
Wahbah Zuhaifi, Ahmad al-Hajj al-Kurdi, Shaykh Su’ud al-Syuraym, Shaykh Yusuf
al-Duraywish, dan beberapa ulama lainnya.[11]
Menurut
al-Qardhawi nikah misyar dibolehkan
karena sebagaimana pernikahan da’im (pernikahan
konvensional), nikah misyar juga
mewujudkan maslahat syari’at, dimana
pasangan suami istri mendapatkan
kepuasan batin juga adanya kehidupan keluarga yang dibangun atas dasar
kemuliaan. Secara hukum nikah misyar
sah adanya karena memenuhi semua rukun dan syarat nikah yang sah, ada ijab
qabul, saling meridhoi antara kedua mempelai, wali, saksi, kedua mempelai
sepadan dan ada mahar yang telah disepakati. Setelah akad nikah keduanya resmi
menjadi suami istri yang dikemudian hari punya hak, hak keturunan, hak waris,
hak iddah, hak talak, hak meniduri, hak tempat tinggal, hak biaya hidup, dan
lain sebagain ya. Namun dalam pernikahan misyar
keduanya saling meridhai dan sepakat bahwa tidak ada tuntutan bagi istri
terhadap suami untuk tinggal bersama istrinya, begitu juga dengan hak berbagi
giliran, sebab semuanya tergantung kepada suami, kapan saja suami mau
menziarahi istrinya maka ia akan menjumpainya di sembarang jam baik siang
maupun malam.
Pendapat
ini mengambil sebuah hadis sebagai dalil sahnya nikah misyar, yaitu hadis
tentang bolehnya istri menggugurkan hak hari gilirannya kepada istri lain:
Al-Qardhawi
menyatakan bahwa nikah misyar menjadi
solusi bagi perempuan-perempuan ya ng tidak bersuami, perawan-perawan yang telah
lewat masa nikahnya, tentunya dengan memilih laki-laki yang benar-benar baik
budi pekertinya, dan antara kedua pihak telah sama-sama ridho. Maka tidak
sepatutnya orang menghalangi jalan yang dihalalkan oleh syara’, namun demikian al-Qardhawi menegaskan bahwa dirinya
bukanlah sebagai orang yang menyukai dan menganjurkan pernikahan misyar.[12]
Ulama
lain yang mendukung dibolehkannya nikah misyar
adalah Yusuf al-Duraysh, menurutnya pendapat yang menyatakan tidak sahnya nikah
misyar karena adanya upaya
menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan itu, baik oleh saksi, wali, maupun
kedua mempelai, tidaklah menjadikan pernikahan itu tidak sah. Pendapat inilah
yang menurutnya sesuai dengan pendapat jumhur ulama, selain itu ditinjau dari
perwujudan tujuan-tujuan besar sebuah pernikahan, memang benar bahwa nikah
misyar bukan bentuk pernikahan yang ideal, akan tetapi bukan berarti kosong
dari pembentukan tujuan-tujuan utamanya secara keseluruhan.[13]
Menurut
Syaikh Wahbah Zuhayli, Dosen Syari’ah di Universitas Damsyiq, Suriah “
pernikahan disyariatkan oleh Allah swt untuk merealisasikan beberapa tujuan”
diantaranya adalah:
a. Untuk
menambah keturunan dan memelihara kelangsungan keturunan
b. Adalah
untuk mendatangkan kebahagiaan
c. Memelihara
diri dari terjebak ke kancah ke kancah maksiat dan zina
d. Mewujudkan
kerjasama dan keserasian hidup antara pria dan wanita untuk kehidupan
berumahtangga
e. Pernikahan
ini adalah untuk mewujudkan kebahagiaan, dan ketenangan diantara suami dan
istri selain bertujuan untuk mendidik anak-anak dengan didikan yang sempurna
Pernikahan
misyar juga merealisaskan sebagian dari tujuan-tujuan pernikahan meskipun tidak
semuanya, nikah misyar sah hukumnya
tetapi makruh, beliau berpendapat nikah ini adalah sah tetapi tidak disukai
dalam syara’, karena kurang menacapai
tujuan syariat Islam dalam menikah, terkait itu ketenangan jiwa, bimbingan
terhadap keluarga dan anak serta perhatian terhadap keluarga dengan sempurna.[14] Hal
ini tidak akan didapat melalui nikah misyar karena wanita tidak berhak menuntut
suaminya atas semua itu.
Ulama
kontemporer yang membolehkan nikah misyar
selanjutnya adalah Abd al-Aziz bin Baz, tentang pernikahan ini beliau
berpendapat bahwa tidak mengapa jika akadnya memenuhi syarat-syarat yang telah
disepakati secara syar’i : wali,
kerelaan calon suami-istri, disaksikan dua saksi yang adil, dan, hal tersebut
tidak akan membatalkan akad nikah selama pernikahan tersebut diumumkan dan
tidak dirahasiakan.[15]
Namun setelah melihat banyaknya penyimpangan yang dilakukan sebagian orang yang
melampaui batas dan memperturutkan hawa nafsunya, seperti bermunculan agen-agen
memasang yang memasang tarif untuk mengadakan pernikahan ini, munculnya
wali-wali palsu, dan pelaksanaan secara diam-diam. Maka Abd al-Aziz bin Baz di
lain kesempatan ketika ditanya tentang nikah misyar beliau menjawab:
Wajib
bagi setiap muslim untuk menikah dengan pernikahan syar’i dan hendaknya ia
berhati-hati dengan apa-apa yang menyelisihi hal itu, sama saja apakah ia
dinamakan nikah misyar atau selainnya. Termasuk syarat pernikahan syar’i adalah
diumumkannya pernikahan itu, apabila suami istri tersebut menyembunyikannya,
maka tidak sah, karena apa yang tidak disebutkan itu menyerupai perbuatan
zina.
Kedua, kelompok yang mengharamkan nikah
misyar, sejumlah ulama kontemporer diantaranya adalah Nasiruddin Albani,
Muhammad Zuhayli, Ali Qurah Daqi, dan Ibrahim Fadhil, diantara argumen mereka
adalah lantaran menonjolnya upaya menyembunyikan dan merahasiakan pernikahan
semacam ini, karena itu ia merupakan jalan kerusakan dan perbuatan kemunkaran.
Orang-orang yang sudah rusak pribadinya bisa saja menjadikannya sebagai
tunggangan untuk merealisasikan tujuan mereka, sebab segala sesuatu yang
menyeret kepada perkara haram maka hukumnya juga diharamkan, larangan ini juga
ditunjukan untuk kepentingan mengatur ummat manusia. Dampak-dampak buruk ini
dapat dipastikan timbul dan biasanya menjadi kenyataan, bukan sekedar dalam
batas prediksi-prediksi, khayalan belaka.
Menurut Nasiruddin Albani sebagaimana dikutip
Uswah Umar Sulaiman Al-Asyqari bahwa ada dua alasan diharamkan nikah misyar, yaitu:
1. Maksud
dari pernikahan adalah tercapainya ketentraman sebagaimana yang di firmankan
Allah swt “ Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang” (QS. Ar-Rum: 21).
Sedangkan pernikahan misyar tidak mewujudkan demikian.
2. Boleh
jadi Allah Ta’ala mentakdirkan si suami mendapatkan anak dari istrinya sebagai
hasil dari pernikahan ini, lalu dengan sebab jauh dan jarang bertemu maka akan
menyebabkan dampak buruk bagi anak-anaknya di dalam urusan pendidikan dan
akhlak.
Selain
itu al-Asyqari juga berpendapat bahwa pernikahan misyar tidak mewujudkan orientasi-orientasi pernikahan, seperti
hidup bersama, meretas jalinan kasih sayang, cita-cita memiliki keturunan dan
perhatian terhadap istri dan anak, serta tidak adanya keadilan dihadapan
istri-istri. Terlebih lagi, adanya unsur penghinaan terhadap kaum wanita dan
terkadang mengandung muatan untuk menggugurkan hak istri atas pemenuhan
kebutuhan nafkah, dan lain-lain.[16]
Adapun
ulama kontemporer yang termasuk kelompok yang mengharamkan nikah misyar adalah Syeikh Abdul Sattar
al-Jubali, beliau berargumen bahwa nikah misyar
menyebabkan suami tidak punya rasa tanggungjawab keluarga, akibatnya suami akan
dengan mudah menceraikan istrinya semudah dia menikahinya, belum lagi praktek
nikah misyar yang lebih banyak dilakukan secara diam-diam tanpa wali, semua ini
akan menjadikan akad nikah menjadi bahan permainan oleh orang-orang pengagum
seks dan pecinta wanita, karena tak ada tujuan lain selain agar nafsu seksnya
terpenuhi tanpa ada tanggungjawab sedikitpun. Belum lagi anak-anak yang
terlahir nantinya akan merasa asing dengan bapaknya karena jarang dikunjungi, dan
hal ini akan memperburuk pendidikan dan akhlak anak-anak.
Selain
itu al-Jubali juga membantah argumen ulama yang membolehkan nikah misyar bahwa disebabkan dalil yang
digunakan oleh pendapat pertama sangat tidak pas, Al-Jubali juga menolak
argumen yang dikemukakan oleh pendapat yang membolehkan nikah misyar, bahwa nikah misyar meminimalisir perawan-perawan tua yang kaya raya dan tidak
butuh biaya suami. Menurutnya alasan seperti ini perlu ditela’ah lebih jauh, bahwa
perawan-perawan tua lagi kaya itu hanya sedikit jumlahnya, maka solusi itu
justru akan banyak menelantarkan perawan-perawan tua miskin yang jumlahnya
lebih banyak.
Syekh
Abu Malik Kamal al-Sayyid Salim berpendapat bahwa pendapat yang rajih tentang
nikah misyar adalah bahwa yang
menjadi pangkal perselisihan terletak pada pengajuan syarat untuk menggugurkan
kewajiban menafkahi dan tinggal bersama istri, serta pengaruhnya terhadap
keabsahan akad. Beliau menyatakan bahwa akad nikah misyar tetap sah dan perkawinannya legal namun syaratnya gugur, dengan
demikian perkawinan ini tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syari’at berupa penghalalan senggama,
kepastian nasab, kewajiban nafkah dan pembagian yang adil (jika poligami),
dalam hal ini istri berhak menuntut namun tidak masalah jika ia dengan sukarela
melepaskan hak-hak ini tanpa syarat, sebab itu merupakan haknya.[17]
Ketiga,
kelompok yang tawaqquf terhadap hukum
nikah misyar, sebagian ulama memilih
untuk tawaqquf (abstain) tentang
hukumnya lantaran menurut mereka esensi pernikahan seperti ini baik dalil yang
digunakan mendukung maupun menolak tampak belum jelas, mereka menyatakan bahwa
sangat penting untuk dilakukan pengkajian mendalam dan pencermatan ekstra
perihal nikah misyar ini, diantara
ulama kontemporer yang mengambil posisi ini adalah Syeikh Muhammad bin Salih
al-Uthaymin. Pembahasan di atas menunjukkan bahwa para ulama hingga kini belum
mencapai kesepakatan tentang hukum nikah misyar,
karena nikah misyar merupakan masalah
baru dan belum ditemukan dasar hukum yang kuat untuk menghukuminya.[18]
C.
Analisis
Pendapat Ulama
Berdasarkan
pendapat pro dan contra para ulama di atas mengenai hukum nikah misyar, ada beberapa hal yang menjadi
sebab perbedaan pendapat tersebut yaitu:
a)
Perbedaan manhaj dalam menetapkan hukum antara
kelompok yang membolehkan dan yang melarang pernikahan misyar sama-sama menggunakan dalil akal dalam menentukan hukumnya,
namun letak perbedaannya adalah kelompok yang membolehkan nikah misyar seperti Yusuf al-Qardhawi lebih
banyak menggunakan pendekatan kemaslahatan yang dapat dicapai dalam pernikahan
ini. Meskipun al-Qardhawi juga menggunakan qiyas,
yakni mengqiyaskan nikah misyar
dengan dengan kasus Saudah istri Nabi yang memberikan hak malamnya untuk Aisyah
namun dalam proporsi yang kecil. Sementara kelompok yang menentang nikah misyar lebih banyak melihat aspek mudharat yang dihasilkan dari jenis pernikahan ini,
dari persfektif ilmu ushul fiqh, kelompok yang menolak nikah misyar mengharamkan pernikahan jenis ini dengan metode sad al-zariah artinya menutup jalan menuju kepada kerusakan, selain itu kelompok
yang menentang nikah misyar tampaknya lebih mengedepankan qiyas antara nikah misyar dengan nikah biasa. Sehingga adanya perbedaan-perbedaan
antara nikah misyar dengan nikah
biasa, menyebabkan nikah misyar
dianggap sebagai pernikahan yang tidak sah dan harus diharamkan.
b)
Perbedaan dalam
penetapan kriteria keabsahan nikah, sebagaimana diketahui bahwa di antara
alasan yang dikemukakan oleh para ulama yang membolehkan nikah misyar adalah
selama suatu pernikahan terpenuhi syarat dan rukunnya, maka pernikahan itu sah.
Sedangkan ulama yang mengharamkan nikah misyar berpandangan bahwa keabsahan
pernikahan tidak semata-mata tercapai sarat dan rukun pernikahan tetapi juga
harus terwujud tujuan-tujuan pernikahan.
c)
Perbedaan dalam
memahami wajib tidaknya sosialisasi suatu pernikahan, pernikahan misyar (meskipun tidak semuanya)
biasanya mengandung unsur kerahasiaan antara pihak yang melakukan nikah misyar
dengan istri pertama dan keluarganya. Perdebatan tentang akibat hukum
merahasiakan pernikahan ini sebenarnya telah terjadi pada masa lalu antara para
ulama mazhab, mazhab Maliki misalnya, berpendapat bahwa misi pernikahan adalah
pemberitahuan dan sosialisasi, syarat adanya sosialisasi merupakan syarat
sahnya suatu pernikahan. Dengan adanya permintaan untuk dirahasiakan, baik oleh
kedua suami istri, wali maupun saksi, berarti tidak terwujud misi pemberitahuan
dan sosialisasi. Selain itu, merahasiakan hubungan pernikahan termasuk
ciri-ciri perzinaan, sehingga pernikahan manakala sudah diminta untuk
disembunyikan, maka mirip dengan praktek perzinaan dan berakibat rusak secara
hukum, demikian pandangan mazhab Maliki yang kemudian diikuti oleh kelompok ulama
yang mengharamkan nikah misyar.
Adapun
kelompok yang membolehkan nikah misyar berpedoman kepada pendapat zumhur ulama
mazhab Hanafi, Syafi’i serta Hanbali yang menyatakan bahwa pernikahan yang
telah terpenuhi syarat dan rukunnya, meskipun suami istri, wali, maupun kedua
saksi bersepakat untuk merahasiakan pernikahan tersebut dari pengetahuan
masyarakat, maka pernikahan itu tetap sah hukumnya. Menurut jumhur ulama,
adanya dua orang saksi telah cukup untuk mengatakan bahwa pernikahan tersebut
tidak lagi bersifat rahasia, namun menyembunyikan pernikahan dapat dihukumi
makruh agar tidak muncul tuduhan miring kepada kedua pihak yang melaksanakan
pernikahan itu.
d)
Perbedaan dalam
menentukan syarat-syarat yang membatalkan pernikahan menurut pihak yang
mengharamkan nikah misyar, adanya
syarat bahwa suami tidak menafkahi istri, tidak memberi tempat tinggal, serta
tidak membagi malamnya dengan istri yang dinikahi secara misyar, serta beberapa kewajiban sejenis yang ditetapkan syariat
atas suami termasuk syarat-syarat ilegal. Sehingga pada kelompok ulama yang
menolak nikah misyar karena syaratnya
bathil maka pernikahannya juga tidak
sah, sedangkan yang lain menyatakan pernikahannya tetap sah, tetapi syaratnya
batil, maka dari itu tetap mengimplikasikan pengaruh-pengaruh syari’at berupa penghalalan senggama,
kepastian nasab, kewajiban nafkah dan pembagian yang adil (jika poligami).
Dalam hal ini istri berhak menuntut namun tidak masalah jika ia dengan sukarela
melepaskan hak-hak tanpa syarat, sebab itu merupakan haknya, pendapat ini
dikemukakan oleh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim.
Sedangkan
ulama yang membolehkan nikah misyar mengenai
masalah ini berpendapat bahwa adanya syarat-syarat seperti suami tidak
menafkahi istri, tidak memberi tempat tinggal, serta tidak membagi malamnya
dengan istri yang dinikahi secara misyar,
bukanlah syarat yang menyebabkan pernikahan tersebut bathil (tidak sah). Adanya syarat-syarat tersebut dapat diterima
dengan syarat pula bahwa sang istri merelakan tidak terpenuhinya sebagian hak-haknya
dalam pernikahan tanpa paksaan dari pihak manapun, akan tetapi, seandainya pada
suatu saat istri bermaksud menuntut haknya kembali, maka ia berhak menuntutnya
dan pernikahan tetaplah sah tanpa ada sesuatupun yang membatalkannya. Poin-poin
inilah yang menjadi sebab perbedaan pendapat para ulama dalam menemukan hukum
nikah misyar.
D.
Pendapat
Yang Dipilih dan Hujjah Yang Digunakan
Penulis dalam hal ini memilih untuk mngikuti ulama
yang tidak membolehkan nikah misyar, sebab bila dikaitkan sekilas dengan
keabsahan akad nikah,[19]
nikah misyar merupakan akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukun nikah, yaitu ijab
qabul, adanya wali, mahar, dan saksi. Disamping itu pasangan suami istri yang
melakukan nikah misyar dilandasi atas dasar suka sama suka, hanya saja pihak
istri tidak menuntut suami untuk kewajiban memberikan nafkah lahiriyah dan
menyediakan tempat tinggal.
Berdasarkan konteks diatas kerelaan istri tidak
menuntut suami untuk memberi nafkah lahiriah, menyediakan tempat tinggal, dan
tidak mendapatkan hak sama bagi istri yang dipoligami dalam pembagian pemberian
nafkah biologis, berarti tidak adanya kewajiban suami untuk memenuhi hak-hak
tersebut. Sementara memberi nafkah dan menyediakan tempat tinggal merupakan
kewajiban suami dan menjadi hak istri, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an
(QS. At-Thalaq:7)
÷,ÏÿYãÏ9 rè 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy (
`tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) !$tB $yg8s?#uä 4
ã@yèôfuy ª!$# y÷èt/ 9ô£ãã #Zô£ç ÇÐÈ
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari
harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada
seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan
memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (al-Qur’an dan Terjemahannya,
1418:946)
Nikah misyar ini merupakan pernikahan yang tidak lazim, karena
mafsadat lebih banyak dibanding maslahahnya, ketika terjadi pertentangan maslahat dan mafsadat maka menolak mafsadat
lebih diutamakan dari pada meraih maslahat.
Seandainya pernikahan misyar dibolehkan, haruslah
dengan penetapan berbagai persyaratan yang cukup ketat, dengan tujuan agar
kebolehan tersebut tidak disalahgunakan, hal ini dimaksudkan untuk melindungi
ummat Islam dari memandang remeh ajaran Islam, dan demi menyelamatkan kaum
wanita dari pelecehan kaum laki-laki. Dalam konteks masyarakat Indonesia
sebaiknya nikah misyar ini dilarang, karena pernikahan misyar
hanya menciptakan kemaslahatan sebelah pihak tetapi menimbulkan kerusakan di
pihak lain, nikah misyar hanya menguntungkan para turis Arab daripada
wanita-wanita muslimah di Indonesia.
Perkawinan ini hanya merealisasikan standard yang paling rendah dari hubungan
suami istri, dan menanggalkan nilai-nilai perkawinan serta kosong dari
hakikat-hakikat yang sebenarnya dalam tujuan menciptakan keluarga idaman,
saling mengasuh keturunan dan membangun generasi yang baik dalam konteks kasih
sayang.
Dalam perkawinan misyar, suami kehilangan harga dirinya karena
tidak memenuhi semua kewajiban maka dia hanya menjadi tanggungan bagi istri.
Sesungguhnya kehidupan perkawinan bukanlah hubungan seksual semata, hubungan
seksual dalam kehidupan keluarga sehari tidak lebih dari 2% artinya masih
terdapat 98%, yaitu aktivitas-aktivitas yang akan terjadi didalamnya, dan ini
merupakan wilayah yang sangat luas.
BAB III
Penutup
A.
Kesimpulan
Secara
bahasa misyar berasal dari artinya
pergi atau perjalanan, kata ini menurut pakar bahasa mengandung pengertian kathrah, yakni terjadi dengan intensitas
tinggi. Misyar adalah sebuah nama
bagi pernikahan, dimana suami pergi ketempat istrinya bukan sebaliknya, kata
ini terambil dari ungkapan yang artinya “seseorang pergi ke fulan untuk mengunjunginya
dari waktu ke waktu”. Pernikahan ini disebut misyar dikarenakan suamilah yang bertolak menuju tempat istri di
waktu-waktu yang terpisah lagi sempit, ia tidak berlama-lama tinggal dengan
istrinya bahkan seringkali suami tersebut tidak bermalam dan tidak menetap
Al-Qardhawi
menyatakan bahwa nikah misyar menjadi
solusi bagi perempuan-perempuan yang tidak bersuami, perawan-perawan yang telah
lewat masa nikahnya, tentunya dengan memilih laki-laki yang benar-benar baik
budi pekertinya, dan antara kedua pihak telah sama-sama ridho. Maka tidak
sepatutnya orang menghalangi jalan yang dihalalkan oleh syara’, namun demikian al-Qardhawi menegaskan bahwa dirinya
bukanlah sebagai orang yang menyukai dan menganjurkan pernikahan misyar
Syeikh
Abdul Sattar al-Jubali, beliau berargumen bahwa nikah misyar menyebabkan suami tidak punya rasa tanggungjawab keluarga,
akibatnya suami akan dengan mudah menceraikan istrinya semudah dia menikahinya,
belum lagi praktek nikah misyar yang lebih banyak dilakukan secara diam-diam
tanpa wali, semua ini akan menjadikan akad nikah menjadi bahan permainan oleh
orang-orang pengagum seks dan pecinta wanita, karena tak ada tujuan lain selain
agar nafsu seksnya terpenuhi tanpa ada tanggungjawab sedikitpun. Belum lagi
anak-anak yang terlahir nantinya akan merasa asing dengan bapaknya karena
jarang dikunjungi, dan hal ini akan memperburuk pendidikan dan akhlak
anak-anak.
Sebagian
ulama memilih untuk tawaqquf
(abstain) tentang hukumnya lantaran menurut mereka esensi pernikahan seperti
ini baik dalil yang digunakan mendukung maupun menolak tampak belum jelas,
mereka menyatakan bahwa sangat penting untuk dilakukan pengkajian mendalam dan
pencermatan ekstra perihal nikah misyar
ini, diantara ulama kontemporer yang mengambil posisi ini adalah Syeikh
Muhammad bin Salih al-Uthaymin. Pembahasan di atas menunjukkan bahwa para ulama
hingga kini belum mencapai kesepakatan tentang hukum nikah misyar, karena nikah misyar
merupakan masalah baru dan belum ditemukan dasar hukum yang kuat untuk
menghukuminya
Perbedaan
dalam penetapan kriteria keabsahan nikah, sebagaimana diketahui bahwa di antara
alasan yang dikemukakan oleh para ulama yang membolehkan nikah misyar adalah
selama suatu pernikahan terpenuhi syarat dan rukunnya, maka pernikahan itu sah.
Sedangkan ulama yang mengharamkan nikah misyar berpandangan bahwa keabsahan
pernikahan tidak semata-mata tercapai sarat dan rukun pernikahan tetapi juga
harus terwujud tujuan-tujuan pernikahan.
Nikah misyar ini merupakan pernikahan yang tidak lazim, karena
mafsadat lebih
banyak dibanding maslahahnya, ketika
terjadi pertentangan maslahat dan mafsadat maka menolak mafsadat lebih
diutamakan dari pada meraih maslahat.
Seandainya pernikahan misyar dibolehkan, haruslah
dengan penetapan berbagai persyaratan yang cukup ketat, dengan tujuan agar kebolehan
tersebut tidak disalahgunakan, hal ini dimaksudkan untuk melindungi ummat Islam
dari memandang remeh ajaran Islam, dan demi menyelamatkan kaum wanita dari
pelecehan kaum laki-laki. Dalam konteks masyarakat Indonesia sebaiknya nikah misyar
ini dilarang, karena pernikahan misyar hanya menciptakan
kemaslahatan sebelah pihak tetapi menimbulkan kerusakan di pihak lain, nikah misyar
hanya menguntungkan para turis Arab daripada wanita-wanita muslimah di
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta:
Kencana, 2006
Al-Duraywish, al-Zawaj,
143. Pandangan ini diperkuat oleh dewan fatwa ulama Arab Saudi dalam majalah
al-Dakwah, edisi 1843, h. 56
Busyro,
Menyoal Hukum Nikah Misyar dalam
Potensinya Mewujudkan Maqasid al-Asliyyah dan AL-Tab’iyyah dalam Perkawinan
Umat Islam, al-Manahij, Vol. XI No. 2 Desember 2017
Chomim Tohari, Fatwa
Ulama tentang Hukum Nikah Misyar Persfektif Maqasid Syari’ah, al-Tahrir,
Vol. 13, No. 2 November 2013
Faisal, Tesis
Studi Komparatif Keabsahan Nikah Misyar dalam Fiqh Klasik dan Fiqh Kontemporer,
2016
Muhammad Abdul Rauf al-Manawi, al-Ta’arif al-Manawi, Maktabah Syamilah Iskandar 3.8 v 10600, 2009
Muhammad Nabil Kazhm, Buku Pintar Nikah: Strategi Jitu Menuju Pernikahan Sukses, Solo: Samudra,
2007
Moh. Nurhakim, Tinjauan
Sosiologis Fatwa Ulama Kontemporer tentang Status Hukum Nikah Misyar, Volume
14 Nomor 2 Juli, Desember 2011
Muhammad Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Terjemah Afif
Muhammad Jakarta: Lentera Basri Tama: 2001
Nasiri, Kawin Misyar di Surabaya
dalam Persfektif Dramaturgi Erving Goffman, Al-Hukma, The Journal of
Islamic Family Law, Volume 06, Nomor 01, Juni 2016
Yusuf
al-Qhardawi, Fatwa-fatwa Kontemporer,
Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani, 2002
[1] Tihami dan
Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2010), h. 7
[2] Amir
Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 163
[3] Muhammad
Jawwad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Terjemah Afif Muhammad (Jakarta:
Lentera Basri Tama: 2001), 76
[4] Yusuf al-Qhardawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 402
[5] Muhammad Abdul Rauf al-Manawi, al-Ta’arif al-Manawi, (Maktabah Syamilah
Iskandar 3.8 v 10600, 2009), h. 420
[6] Chomim Tohari, Fatwa Ulama tentang Hukum Nikah Misyar
Persfektif Maqasid Syari’ah, al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013
[7] Yusuf
al-Qardhawi
[8] Nasiri, Kawin
Misyar di Surabaya dalam Persfektif Dramaturgi Erving Goffman, Al-Hukma,
The Journal of Islamic Family Law, Volume 06, Nomor 01, Juni 2016
[9]
Nasiri, Kawin
Misyar di Surabaya dalam Persfektif Dramaturgi Erving Goffman, Al-Hukma,
The Journal of Islamic Family Law,
Volume 06, Nomor 01, Juni 2016
[10] Moh. Nurhakim, Tinjauan Sosiologis Fatwa Ulama Kontemporer
tentang Status Hukum Nikah Misyar, Volume 14 Nomor 2 Juli, Desember 2011
[11] Faisal, Tesis Studi Komparatif Keabsahan Nikah Misyar dalam Fiqh Klasik dan
Fiqh Kontemporer, 2016
[12] Yusuf al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Penerjemah
Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 397
[13] Al-Duraywish, al-Zawaj, 143. Pandangan ini diperkuat
oleh dewan fatwa ulama Arab Saudi dalam majalah al-Dakwah, edisi 1843, h. 56
[14]http://www.scribd.com/doc/109321294/problematika-keabsahan-kawan-misyar-menurut-ulama-kontemporer
[15]
Chomim Tohari, Fatwa Ulama tentang Hukum Nikah Misyar Persfektif
Maqasid Syari’ah, al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013
[16] Busyro, Menyoal Hukum Nikah Misyar dalam Potensinya Mewujudkan Maqasid
al-Asliyyah dan AL-Tab’iyyah dalam Perkawinan Umat Islam, al-Manahij, Vol.
XI No. 2 Desember 2017
[17]
Chomim Tohari, Fatwa Ulama tentang Hukum Nikah Misyar
Persfektif Maqasid Syari’ah, al-Tahrir, Vol. 13, No. 2 November 2013
[18]
https://konsultasisyariah.com/20922-hukum-nikah-misyar-nikah-untuk-cerai.html
[19]
Keabsahan ditentukan oleh
terpenuhinya syarat dan rukun, sebab syarat dan rukun merupakan dua hal yang
tidak bisa dipisahkan dari setiap bentuk akad. Terdapat kesepakatan dikalangan
fuqaha’ bahwa ijab qabul merupakan rukun dalam akad nikah, karena ijab dan
qabul merupakan pernyataan yang mengikat kedua belah pihak yang terlibat dalam
akad.
No comments:
Post a Comment