Oleh: Yovi Nur Rohman
KATA
PENGANTAR
Segala puji
bagi Allah yang telah mengutus Rosulnya dengan cahaya petunjuk dan agama yang
haq. Dan dengan limpahan rahmat, hidayah dan pertolongannya penulis bisa
menyelesaikan makalah ini. sholawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurahkan
kepada sebaik-baiknya para nabi dan para Rosul. Yakni junjungan kita nabi
Muhammad SAW yang menjadi penutup para nabi dan menjadi cahaya bagi gelapnya
hati.
Selanjutnya
penulis, menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Tutik Hamidah M. Ag
sebagai dosen pembimbing kajian fiqih kontemporer yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Khilafiyah
Bunga Bank Menurut Ulama’. Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari
bahwa masih banyak sekali kekurangan dan keterbatasan ilmu. Karna tulisan yang
sempurna dan jauh dari kekurangan hanyalah al-Quran. Walaupun al-Quran yang
sudah jauh dari cacat masih saja dikritik oleh orang kafir yang mengatakan
bahwa al-Quran hanyalah kumpulan dari dongeng-dongeng terdahulu “wa qoolu
inhada illa asaatirul awwalin”. Jika tulisan sekelas al-Quran saja tidak
lepas dari kritikan apalagi hanya makalah ini. oleh karena itu kritik dan saran
yang sifatnya membangun akan sangat kami harapkan untuk bisa memperbaiki
makalah ini.
Semoga makalah
ini dapat memberikan bacaan referensi bagi para pelajar untuk bisa lebih
mendalami ilmu-ilmu agama dan semakin menambah kepekaan terhadap
masalah-masalah kontemporer fiqih yang semakin berkembang.
Malang,
22 Maret 2018
Yovi
Nur Rohman
DAFTAR
ISI
BAB
1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu
karakter dari hukum Islam adalah prinsip harokah yaitu hukum selalu
berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Semakin berkembangnya jaman
semakin berkembang pula masalah-masalah fiqih yang terjadi dalam masyarakat.
Masalah-masalah yang tidak pernah terjadi dalam dunia Islam pada masa
Rosulullah para sahabat bahkan sampai kepada masa imam Mujtahid, menuntut ulama
kontemporer untuk membuka pintu ijtihad kembali, guna menjawab segala
problematika fiqih yang ada dalam masyarakat modern.
Salah satu
masalah fiqih yang tidak ada pada jaman Rosulullah dan jaman sahabat adalah
bunga bank. Permasalahan muncul ketika ada pertanyaan apakah bunga bank
termasuk dari riba yang secara tegas diharamkan oleh syariat atau bunga bank
tidak bisa disamakan dengan riba. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan
ini penulis menyajikan perbedaan antara bunga bank dan riba yang diharamkan
oleh Agama. Kemudian menyajikan pendapat para ulama-ulama tentang bunga bank.
Setelah itu perlu dilakukan analisis terhadap perbedaan ulama’ tersebut
sehingga akan ditemukan pendapat yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan
kondisi masyarakat pada jaman modern.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa perbedaan antara bunga
bank dan riba?
2.
Bagaimana pendapat ulama
tentang bunga bank?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui perbedaan
antara bunga bank dan riba
2.
Untuk mengetahui pendapat
para ulama’ tentang bunga bank
BAB
II PEMBAHASAN
A. Bunga Bank dan Riba
Berbicara
tentang Bank pasti tidak lepas dengan istilah bunga. Bunga adalah sejumlah uang yang dibayar atau tambahan untuk
penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau
prosentase modal yang berkaitan dengan itu dan biasa dinamakan suku bunga
modal. Sedangkan bank (perbankan) adalah suatu lembaga keuangan yang usaha
pokoknya adalah simpan-pinjam, memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi kredit dengan modal
sendiri atau orang lain.[1] Sedangkan menurut Ummi
Kalsum dosen jurusan ekonomi Islam jurusan syariah STAIN Kediri , Bunga
merupakan tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan
persentase dari uang yang dipinjamkan.[2]
Secara garis
besar, Bank adalah sebagai pihak ketiga yang memberikan fasilitas dan bantuan
kepada masyarakat yang ingin meminjam uang kepada pihak masyarakat pemilik dana
yang kemudian sebagai upah dari jasa Bank maka Bank berhak menetapkan bunga
pinjaman kepada peminjam modal. Dan tidak hanya itu, Bank juga menetapkan bunga
tabungan atau deposito kepada masyarakat pemilik dana dengan tujuan untuk
menarik masyarakat pemilik dana agar menyimpan uangnya di Bank. Berikut bagan
operasional dalam Bank konvensional
Kemudian apakah
bunga Bank termasuk dari Riba yang diharamkan dalam Islam. Riba berasal dari
bahasa Arab secara etimologis berarti “tambahan” (az-ziyadah).[3] atau “kelebihan”[4] yakni tambahan pemabayaran
atas uang pokok pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba
merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari orang yang
sedang bertransaksi.
Sedangkan,
pengertian riba menurut terminologi
(pendapat ulama) adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang
berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan
sejumlah uang milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.[5] Misalnya si A memberi
pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman
serta sekian persen tambahannya.
Macam-maca Riba yang diharamkan
dalam Islam adalah sebagai berikut:
1.
Riba fadlol yaitu menjual
barang ribawi (emas,perak dan makanan) dgn barang sejenis yg salah satunya ada
yg lebih banyak spt emas 7 gr dijual dgn emas 10 gram.
2.
Riba qordl yaitu
menghutangkan sesesuatu dgn mensyaratkn manfa'at pada muqridl/orang yg
menghutangkan seperti hutang 1000 di haruskan bayar 1100.
3.
Riba yad yaitu salah satu
dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli) berpisah/meninggalkan tempat
transaksi/aqad sebelum menerima barangnya.
4.
Riba nasaa' yaitu
mensyaratkan tempo pada salah satunya dan semua riba yg di sebut di atas ulama'
sefakat semuanya batal/ harom.[6]
Jadi jika
disamakan dengan Riba maka bunga Bank termasuk jenis Riba nasa’ dan qordl yang
dilarang oleh Islam. Untuk mengetahui secara jelas apakah bunga Bank termasuk
Riba jenis ini, maka penulis menyajikan beberapa pendapat para Ulama’ yang
berkaitan dengan hal ini.
B. Pendapat Ulama’ tentang Bunga Bank
1.
Bunga Bank Menurut NU dan
Muhammadiyah
Berdasarkan keputusan
Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21-25 Januari 1992. mengenai
keputusan hukum bunga Bank ditempuh melalui prosedur yang lebih metodologis
lagi, sebagai penyeimbang keputusan Muktamar NU XII di Malang. Adapun hasil
keputusannya sebagai berikut :
a. Haram,
kerena bunga bank dipersamakan dengan riba secara mutlak
b. Boleh,
kerena bunga bank tidak dipersamakan dengan riba
c. Subhat,
kerena masih belum jelas[7]
Sementara itu,
salah satu respon dari Muhammadiyah melalui keputusan Majlis Tarjih tahun 1968
di Sidoarjo Jawa Timur tentang masalah–masalah fiqh kontemporer (khususnya
mengenai bunga bank) dalam menetapkan hukum bunga bank, Majlis Tarjih
mangaitkannya dengan masalah riba, apakah bunga bank identik dengan riba atau
tidak?, untuk memastikan jawaban tersebut, Majlis Tarjih menggunakan qiyas
sebagai metode ijtihadnya. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah
adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana.
Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama
dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga
bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu tidak haram.[8]
Bagi
Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada bunga bank,
sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah haram. Namun
keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta. Adapun bunga bank
yang diberikan oleh bank milik negara pada para nasabahnya atau sebaliknya,
termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak.[9]
2.
Konsul Kajian Islam Dunia
Ulama-ulama
besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah
memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam Konferensi II KKID yang diselenggarakan
di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir pada bulan Muharram 1385 H/ Mei 1965,
menetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktik
pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Di antara
ulama-ulama besar yang hadir pada saat itu antara lain, Syeikh al-Azhar, Prof.
Abu Zahrah, Prof. Abdullah Daraz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad az-Zarqa, Dr. Yusuf
Qardawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia lainnya.[10]
Namun mereka
memperinci pemanfaatan bunga bank: pertama, menurut Prof. Abu Zahrah (Guru
Besar Fakultas Syari’ah Universitas Cairo), Abu a’la al-Maududi di Pakistan,
dan Yusuf Qardawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasi’ah yang
dilarang oleh Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan
bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa).[11]
Kedua, menurut
Prof. Mustafa Ahmad az-Zarqa (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Fakultas
Syari’ah Universitas Damaskus), riba yang diharamkan itu adalah seperti riba
yang berlaku pada masyarakat Jahiliyah, yang merupakan pemerasan terhadap orang
yang lemah (miskin) dan bersifat konsumtif. Hal ini berbeda dengan yang
bersifat produktif, yang tidak termasuk
haram.[12]
3.
Sidang Organisasi Konferensi
Islam (OKI)
Semua
peserta Sidang OKI ke-2 yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970,
telah menyepakati dua hal utama yaitu: pertama, praktik bank dengan sistem
bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam. Kedua, perlu segera didirikan
bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah. Hasil kesepakatan inilah yang melatarbelakangi didirikannya Bank
Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).
4.
Mufti Negara Mesir
Keputusan
Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan
konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti
Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu
bentuk riba yang diharamkan.
Selain pendapat
yang mengharamkan bunga Bank juga ada pendapat yang membolehkan bunga Bank,
seperti dalam tafsir al-Manar[13] dan di dalam fatwa-fatwanya,
sebagaimana dicatat ‘Ammarah, menyebutkan bahwa Muhammad Abduh membolehkan
menyimpan uang di bank dan juga boleh mengambil bunga simpanannya, dengan kata
lain ia mehalalkan bunga bank. Hal ini menurutnya, didasarkan pada
maslahah-mursalah (kesejahteraan). Larangan riba menurut Muhammad Abduh adalah
untuk menghindari adanya unsur eksploitasi dan menghindari memakan harta orang
lain secara batil (al-Baqarah : 188).
Salah satu
ulama Indonesia, yang menghalalkan bunga bank, menurut catatan Khoiruddin
Nasution selanjutnya adalah H. Abdullah Ahmad, seorang ulama yang berasal dari
Padang, Sumatera Barat. Dia mengatakan, bunga bank boleh diambil dengan syarat,
persentase bunga tersebut diumumkan lebih dahulu, sehingga jika bunga diumumkan
sebelumnya maka berarti seorang yang meminjam rela dengan bunga yang diumumkan.
Di sini sebagai tambahan, hendaknya agar prosentase bunga hendaknya selalu
dikontrol oleh pemerintah agar bank dalam menetapkan bunga tidak sembarangan,
namun mengikuti UU pemerintah
Sementara A.
Hasan pemimpin Perguruan Persis Bangil, Jawa Timur, mengatakan bahwa riba yang
haram, menurutnya, mempunyai sifat :[14]
1. Terpaksa,
yaitu orang terpaksa menunda hutang karena tidak mampu membayar dan pihak si
peminjam menerima dengan syarat ada bayaran tambahan.
2. Darar, yaitu
pinjaman yang sekiranya digunakan untuk berdagang dengan uang tersebut tidak
akan bisa untuk yang cukup buat makan, minum dan bayar hutang.
3. Berlipat
ganda.
Adapun yang
dihalalkan sifat-sifatnya adalah:
1. Tidak
ganda-berganda.
2. Tidak
membawa kepada ganda berganda.
3. Tidak mahal,
artinya sekiranya orang berusaha dengan uang tersebut tidak akan membawa kepada
kerugian.
4. Pinjaman
yang produktif
Tokoh yang
berpendapat bahwa bunga itu haram karena sangat berpegang teguh pada konteks
al-Qur’an (dalam arti konteksnya bukan maknanya) yang mana al-Qur’an dan
as-Sunnah dua sumber pokok Islam melarang keras adanya bunga karena
kezalimannya (QS. al-Muzammil dan QS. al-Baqarah) dan mengatakan bahwa beberapa
orang Islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriyah peradaban Eropa
mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Oleh karenanya
Daoualibi, seorang ahli politik dan jurnalis Syiria mengatakan, Islam
semestinya membedahkan antara bunga yang dihubungkan dengan tujuan produktif dan
konsumtif. Bagi pinjaman yang berhubungan dengan usaha dan tujuan produktif,
seperti untuk tujuan dangang atau usaha yang lainya, maka menjadi pantas untuk
mendapatkan bagian dari keuntungan yang diperoleh si peminjam. Sebaliknya,
untuk pinjaman yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
peminjam, maka tidak dipungut bunga dan digunakan prinsip saling tolong menolong[15]
C. Analisis Pendapat Ulama’ tentang Bunga Bank
Sebenarnya
masalah kredit/ rentenir/ bank/koprasi simpan pinjam secara umum hukumnya
terbagi menjadi 3:
1.
haram karena masuk pada
utang piutang yang menarik kemanfaatan pada orang yg menghutangi
2.
halal karena tiada syarat
saat akad sedang berlangsung atau dimajlis khiyar karena kebiasaan yang berlaku
tidak bisa menempati tempatnya syarat menurut jumhur ulama'
3.
syubhat karena ulama'
berbeda-beda pendapat
اختلف العلماء فى هذه المسألة على
ثلاثة أقوال قيل انه حرام لانه داخل فى قرض جر نفعا، وقيل انه حلال لعدم الشرط فى
صلب العقد او مجلس الخيار والعادة المطردة لاينزل منزلة الشرط عند الجمهور وقيل
شبهة لاختلاف العلماء فيه والمؤتمر قرر ان الاحوط القول الاول وهو الحرمة. وفى
الاشباه والنظائر فى البحث الثالث ما نصه: ومنها لو عم فى الناس اعتياد اباحة
منافع الرهن للمرتهن فهل ينزل منزلة شرطه حتى يفسد الرهن؟ قال الجمهور: لا، وقال
القفال: نعم، وفى إعانة الطالبين فى باب القرض ما نصه: وجاز لمقرض نفع يصل له من
مقترض كرد الزائد قدرا او صفة والاجود فى الردئ (بلا شرط) فى العقد بل يسن ذلك
لمقترض -إلى أن قال- واما القرض بشرط جر نفع لمقرض ففاسد، لخبر كل قرض جر منفعة
فهو ربا (قوله ففاسد) قال ع ش ومعلوم ان محل الفساد حيث وقع الشرط فى صلب العقد
اما لو توافقا على ذلك ولم يقع الشرط فى العقد فلا فساد[16]
Ulama’ yang
mengharamkan bunga Bank cenderung menyamakan antara bunga Bank dengan Riba yang
dilarang dalam Islam. Mereka menganggap bahwa keberadaan Bank bukan merupakan
solusi bagi perekonomian suatu negara akan tetapi justru kedoliman kepada
rakyat kecil yang cenderung sebagai peminjam dana dan keuntungan bagi
masyarakat pemilik dana. Sehingga dari sini muncullah istilah yang kaya semakin
kaya yang miskin semakin miskin.
Penyamaan bunga
bank dengan riba adalah berdasarkan unsur ziyadah atau tambahan bagi orang yang
berhutang ketika akan membayar hutangnya. Hal ini masuk kepada jenis riba Nasa’
atau juga masuk jenis riba Qirodl. Dari sini ulama’ yang melarang bunga bank
mengambil tindakan hati-hati agar tidak masuk kepada sesuatu yang secara tegas
dilarang oleh Allah dalam Al-Quran. Akan tetapi walaupun berfatwa tentang
keharaman bunga bank Yusuf Qordawi masih membolehkan bunga bank jika dalam
keadaan terpaksa. Berbeda dengan pendapatnya Prof. Mustafa Ahmad az-Zarqa (Guru
Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus),
riba yang diharamkan itu adalah seperti riba yang berlaku pada masyarakat
Jahiliyah, yang merupakan pemerasan terhadap orang yang lemah (miskin) dan
bersifat konsumtif. Hal ini berbeda dengan yang bersifat produktif, yang tidak
termasuk haram.
Sementara
Organisasi masyarakat terbesar di Indonesia (NU) lebih bijak dalam mengeluarkan
pendapatnya. Dibanding Muhammadiyah, NU lebih lentur dalam megambil keputusan
tentang hukum bunga Bank. Artinya NU memberi kebebasan kepada masyarakat untuk
memilih tiga pendapat tentang bunga bank yaitu haram karena disamakan dengan
riba, halal karena tidak sama dengan riba dan syubhat karena Ulama’ masih
berbeda pendapat tentang hal ini.
Sementara itu,
pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank itu halal adalah adanya perbedaan
antara bunga bank dan riba. Riba merupakan akad antara dua orang, yang satu
pihak sebagai dholim (yang mendolimi) sedangkan yang satu pihak sebagai madlum
(yang terdolimi) dan riba terjadi dalam akadnya. Artinya jika tidak terjadi
akad riba dalam akadnya maka riba tidak terjadi. Misalnya jika ada si A
meminjam uang kepada si B dengan jangka waktu tertentu kemudian ketika sudah
jatuh tempo si A melunasinya dengan jumlah uang yang lebih maka lebihan ini
bukanlah termasuk riba karena tidak terjadi dalam akad dan lebihan tersebut
bisa dikatan pemberian atau hadiah. Untuk memahami hal ini bisa dipahami dengan
ibarot dari beberapa keterangan dari kitab-kitab klasik fiqih tradisional.
Dasar
Pengambilan Hukum:
1. Al-Jamal
'Ala Fatchi al-Wahhab, Juz II, Hlm. 261
وَمَعْلُومٌ
أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ إذَا وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ أَمَّا لَوْ
تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ اهـ
"Dan
sebagaimana diketahui, sesunguhnya objek kerusakan akad adalah jika terdapat
syarat dalam pengukuhan akad. Adapun jika kedua pihak sepakat adanya bunga dan
tidak ada syarat dalam akad, maka akad tersebut tidak rusak".
2. Chasyiyatu
al-Jamal
وَلَوْ
قَصَدَ إقْرَاضَ مَنْ هُوَ مَشْهُورٌ بِرَدِّ الزِّيَادَةِ لأَجْلِهَا فَفِي
كَرَاهَتِهِ وَجْهَانِ فِي الرَّوْضَةِ عَنْ الْمُتَوَلِّي
"Apabila
meminjamkan pada orang yang terkenal mengembalikan hutang dengan tambahan untuk
mendapatkan keuntungan, maka mengenai kemakruhannya terdapat dua pendapat dalam
kitab Raudloh dari penjelasan Imam Mutawalli".
3. Ghayatu
al-Talchishi al-Murad Hamisy Bughyatu al-Mustarsyidin, Hlm. 129
عَمَّتِ
الْبَلْوَى اَنَّ اَهْلَ الثَّرْوَةِ لاَ يُقْرِضُوْنَ اَحَدًا اِلاَّ
بِزِيَادَةٍ، اِمَّا مِنْ نَوْعِ الْمُسْتَقْرِضِ اَوْغَيْرِهِ بِصِيْغَةِ
النَّذْرِ ... فَالْعُقُوْدُ الْمَذْكُوْرَةُ صَحِيْحَةٌ اِذَا تَوَفَّرَتْ
شُرُوْطُهَا وَلاَ يَدْخُلُ ذَلِكَ فِى اَبْوَابِ الرِّبَا.
"Telah menjadi hal yang lumrah, bahwa orang yang memiliki harta
tidak meminjamkan pada seorang pun kecuali disertai dengan tambahan. Adakalanya
dari jenis yang dipinjamkan atau yang lainnya dengan sighot nadzar…. Maka
akad-akad tersebut sah jika syarat-syaratnya sempurna. Dan hal tersebut tidak termasuk
bab riba".
4. Bughyatu
al-Mustarsyidin, Hlm. 127
هَلْ
يَخْتَصُّ اِثْمُ الرِّبَا بِالْمُقْرِضِ الْجَارِ لِنَفْسِهِ نَفْعًا اَوْ
يَعُمُّ الْمُقْتَرِضَ فِيْهِ خِلاَفٌ فِى فَتْحِ الْمُعِيْنِ، وَاَمَّا قَرْضُ
السُّلْطَانِ دَرَاهِمَ اِلَى اَجَلٍ ثُمَّ يَرُدُّهَا لِلْمُقْرِضِ مَعَ
زِيَادَةٍ. فَاِنْ كَانَ رَدُّهُ لِلزِّيَادَةِ بِلاَ شَرْطٍ اَوْ بِتَمْلِيْكِهِ
اِيَّاهَا بِنَحْوِ نَذْرٍ اَوْ هِبَةٍ اَوْكَانَ اْلآَخِذُ لَهُ حَقٌّ فِى بَيْتِ
الْمَالِ فَأَخْذُهَا ظُفْرًا وَنَحْوُهُ فَحَلاَلٌ وَاِلاَّ فَلاَ
"Apakah dosa
riba hanya khusus bagi orang yang menghutangi yang mengambil manfaat untuk
dirinya atau juga mengenai pada orang yang berhutang?. Dalam hal ini terdapat
beberapa perbedaan didalam kitab Fathul Mu’in. Adapun, apabila pimpinan
pemerintah meminjam beberapa dirham dan sampai masa mengembalikan, kemudian
pimpinan pemerintah itu mengembalikan hutang tersebut pada orang yang
menghutangi disertai dengan tambahan. Apabila pengembalian yang disertai
tambahan tersebut tidak disertai syarat atau semata-mata sebagai pemberian
kepemilikan seperti sebagai nadzar atau hibah, atau orang yang mengambil itu
memiliki hak atas baitul mal, maka mengambil tambahan tersebut sebagai
keuntungan atau sejenisnya, hal tersebut diperbolehkan, jika tidak maka
hukumnya haram".
5. I'anatu
al-Thalibin, Juz III, 21
قَالَ
شَيْخُنَا ابْنُ زِيَادٍ: لاَ يَنْدَفِعُ اِثْمُ اِعْطَاءِ الرِّبَا عِنْدَ
اْلاِقْتِرَاضِ لِلضَّرُوْرَةِ بِحَيْثُ اِنَّهُ اِنْ لَمْ يُعْطِ الزِّيَادَةَ
لاَ يَحْصُلُ لَهُ الْقَرْضُ. اِذْ لَهُ طَرِيْقٌ اِلَى اِعْطَاءِ الزَّائِدِ
بِطَرِيْقِ النَّذْرِ اَوِ التَّمْلِيْكِ، لاَ سِيَّمَا اِذَا قُلْنَا: النَّذْرُ
لاَ يَحْتَاجُ اِلَى قَبُوْلِ لَفْظٍ عَلَى الْمُعْتَمَدِ. وَقَالَ شَيْخُنَا:
يَنْدَفِعُ اْلاِثْمُ لِلضَّرُوْرَةِ
"Syeikh ibnu
Ziyad berkata, “Dosa memberikan riba tidak berlaku bagi orang yang meminjam
karena dhorurot, sekiranya jika tidak memberikan tambahan maka dia tidak
mendapatkan pinjaman. Karena dia memiliki cara untuk memberikan tambahan
tersebut, yakni dengan cara nadzar atau kepemilikan, terutama apabila kita mengatakan,
“Nadzar tidak membutuhkan lafad qobul pada sesuatu yang dijadikan sandaran.
Syeikh ibnu Ziyad berkata, “Dosa juga berlaku karena dhorurot”.
6. I'anatu
al-Thalibin, Juz III, 53
وَاَمَّا
الْقَرْضُ بِشَرْطِ جَرِ نَفْعٍ لِمُقْرِضٍ فَفَاسِدٌ قال ع ش: وَمَعْلُومٌ أَنَّ
مَحَلَّ الْفَسَادِ إذَا وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ أَمَّا لَوْ
تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ وَجُبِرَ ضُعْفُهُ مَجِىْءَ مَعْنَاهُ عَنْ
جَمْعٍ مِنَ الصَّحَابَةِ. وَمِنْهُ الْقَرْضُ لِمَنْ يَسْتَأْجِرُ مِلْكَهُ أَىْ
مَثَلاً بِأَكْثَرَ مِنْ قِيْمَتِهِ ِلأَجْلِ الْقَرْضِ إنْ وَقَعَ ذَلِكَ شَرْطًا
إذْ هُوَ حِيْنَئِذٍ حَرَامٌ إجْمَاعًا وَإلاَّ كُرِهَ عِنْدَنَا وَحَرَامٌ عِنْدَ
كَثِيْرٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ قَالَهُ السُّبْكِى.
"Adapun pinjaman dengan
syarat mengambil manfaat untuk orang yang meminjami adalah fasid. Asy-syubro
Milsy berkata, “Telah diketahui bahwa objek rusaknya akad yakni apabila terjadi
syarat dalam penentuan akad. Adapun apabila kedua belah pihak sepakat atas
suatu syarat dan syarat tersebut tidak terjadi dalam akad, maka akad tersebut
tidak rusak. Berdasarkan hadits “Setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah
riba” hadits tersebut adalah hadits dhoif. Adapun maknanya diperoleh dari
sekelompok sahabat. Termasuk didalamnya, seseorang yang meminjamkan barangnya
misalnya lebih mahal dibanding dengan nilai barang tersebut dengan tujuan
meminjamkan. Apabila terdapat syarat maka dalam hal ini hukumnya haram menurut
kesepakatan ulama’. Jika tidak, maka menurut pendapat kami hukumnya makruh dan
menurut mayorits ulama’ hukumnya haram".
7. Nihayatu
az-Zain, 242
وَجَازَ
مِنْ غَيْرِ كَرَاهَةٍ (نَفْعٌ) يَصِلُ لِمُقْرِضٍ مِنْ مُقْتَرِضٍ (بِلاَ شَرْطٍ)
فِى اْلعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِلْمُقْرِضِ لِقَوْلِهِ :
(اِنَّ خِيَارَكُمْ اَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً) وَاَحَاسِنُ جَمْعُ اَحْسَنَ. وَفِى
رِوَايَةٍ: (اِنَّ خِيَارَكُمْ مَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً). اِلَى اَنْ قَالَ :
وَاْلاَوْجَهُ اَنَّ اْلإِقْرَاضَ مِمَّنْ تَعُوْدُ الزِّيَادَةُ بِقَصْدِهَا
مَكْرُوْهٌ.
"Diperbolehkan tanpa
hukum makruh adanya manfaat yang kembali pada orang yang meminjami dari orang
yang berhutang jika tidak ada syarat dalam akad, bahkan hal tersebut disunahkan
sebagaimana hadits Rasul ,
“Sesuatu yang paling baik diantara kamu sekalian adalah yang paling baik dalam
mengembalikan pinjaman”. Lafad أحاسن disini
adalah jama’ dari lafad أحسن . dalam riwayat lain
disebutkan, “Sesuatu yang paling baik diantara kamu sekalian adalah yang paling
baik dalam mengembalikan pinjaman”. Adapun pinjaman pada orang yang terbiasa
meminta tambahan adalah makruh".
8. Bughyatu al-Mustarsyidin,
Hlm. 176
(مَسْئَلَةُ
ب) مَذْهَبُ الشَّافِعِىِّ اَنَّ مُجَرَّدَ الْكِتَابَةِ فِى سَائِرِ الْعُقُوْدِ
وَاْلإِخْبَارَاتِ وَاْلإِنْشَأَتِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ شَرْعِيَّةٍ.
"Menurut madzhab Syafi’i
bahwa tulisan dalam semua akad, perjanjian, dan penyusunan tidak bisa menjadi
dasar syara’".
9. Al-Asybah
wa an-Nadhair, Hlm. 61
الْعَادَةُ
الْمُطَّرِدَةُ فِي نَاحِيَةٍ، هَلْ تُنَزَّلُ عَادَتُهُمْ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ،
فِيهِ صُوَرٌ. اِلَى اَنْ قَالَ... وَمِنْهَا: لَوْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُقْتَرِضِ
بِرَدِّ أَزْيَدَ مِمَّا اقْتَرَضَ، فَهَلْ يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ،
فَيَحْرُمُ إقْرَاضُهُ وَجْهَانِ، أَصَحُّهُمَا: لاَ. اهـ
"Kebiasaan
yang terus menerus dalam suatu daerah, apakah kebiasaan mereka bisa menjadi
syarat? Dalam hal ini terdapat beberapa bentuk –sampai pada perkataan mushonif-
“diantaranya jika kebiasaan orang yang berhutang mengembalikan dengan adanya
tambahan dari barang yang dipinjam”. Apakah menempati tempat syarat sehingga
hutangnya haram?. Dalam hal ini ada dua pendapat, dan yang paling unggul adalah
tidak".
10. Ghayatu
al-Talchishi al-Murad Hamisy Bughyatu al-Mustarsyidin, Hlm. 129
(مَسْئَلَةٌ)
اِعْطَاءُ الرِّبَا عِنْدَ اْلإِقْتِرَاضِ وَلَوْ لِلضَّرُوْرَةِ بِحَيْثُ اِنَّهُ
اِنْ لَمْ يُعْطِهِ لَمْ يُقْرِضْ لاَ يَدْفَعُ اْلاِثْمَ اِذْ لَهُ طَرِيْقٌ
اِلَى حِلِّ اِعْطَاءِ الزَّائِدِ بِطَرِيْقِ النَّذْرِ وَغَيْرِهِ مِنَ
اْلأَسْبَابِ الْمُمْلِكَةِ لاَ سِيَّمَا اِذَا قُلْنَا بِالْمُعْتَمَدِ اَنَّ
النَّذْرَ لاَ يَحْتَاجُ اِلَى الْقَبُوْلِ لَفْظًا. قُلْتُ وَهَذَا اَعْنِى
النَّذْرَ الْمَذْكُوْرَ فِى هَذِهِ وَاْلاِسْتِئْجَارِ فِى الَّتِى قَبْلَهَا
اِنْ وَقَعَ شَرْطُهُمَا فِى صُلْبِ الْعَقْدِ اَوْ مَجْلِسِ الْخِيَارِ اَبْطَلاَ
وَاِلاَّ كُرِهَ اِذْ كُلُّ مُفْسِدٍ اَبْطَلَ شَرْطُهُ كُرِهَ اِضْمَارُهُ كَمَا
فِى التُّحْفَةِ وَهَذِهِ الْكَرَاهَةِ مِنْ حَيْثُ الظَّاهِرُ اَمَّا مِنْ حَيْثُ
الْبَاطِنُ فَحَرَامٌ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الْفُحُوْلُ الْمُتَّقُوْنَ مِنَ
الْعُلَمَاءِ الْجَامِعِيْنَ بَيْنَ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ كَالْقُطْبِ
الْحَدَّادِ وَغَيْرِهِ اِذْ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ رِبْحًا فَهُوَ رِبًا فَانْظُرْهُ
فِى اْلخُطْبَةِ لِبَاسُوْدَانِ.
"(Masalah) Pemberian
riba ketika meminjam jika karena darurat sekiranya jika dia tidak
memberikannya, dia tidak akan mendapatkan pinjaman maka dia tidak berdosa.
Karena dia memiliki cara untuk mengatasi pemberian tambahan tersebut dengan
cara nadzar atau sebab-sebab kepemilikan yang lain. Terutama jika kita
mengatakan berdasarkan qoul yang mu’tamad bahwa nadzar tidak memerlukan adanya
qobul secara lafad. Yang aku maksudkan disini dan penyewaan yang disebutkan
sebelumnya, jika dalam dua hal tersebut terdapat syarat dalam pengukuhan akad
atau dalam majlis khiyar, maka akad keduanya batal, jika tidak maka dimakruhkan.
Karena setiap hal yang merusak yang dapat membatalkan syaratnya, dimakruhkan
menyimpannya. Sebagaimana diterangkan dalam kita at-Tuhfah. Kemakruhan ini
dilihat dari sisi dhohir, adapun dari sisi batin maka hukumnya haram
sebagaimana ditetapkan oleh para ulama’ terkemuka yang mengumpulkan antara hal
yang dlohir dan yang batin. Seperti syeikh al-Qutbu al-Haddad atau yang
lainnya. Karena setiap pinjaman yang menarik untung adalah riba, lihatlah dalam
khutbah Syeikh Basudan".
Untuk pendapat terakhir yang mengatakan
bahwasannya bunga bank itu masih syubhat adalah bank tidak bisa dikatakan haram
100% karena akad dalam riba tidak sama dengan mekanisme yang ada dalam bank
akan tetapi juga tidak bisa dikatakan halal 100% karena masih adanya unsur
ziyadah.
D. Pendapat yang dipilih dan Hujjah yang digunakan
Setelah
membahas tentang bunga bank dan melakukan analisis pendapat Ulama’ tentang
bunga Bank. Penulis memilih pendapat yang mengatakan bahwa bunga Bank tidak
bisa dikatakan riba sepenuhnya dengan hujjah sebagai berikut:
Pertama,
jika menghindari bunga dalam akad, yang kemudian bunga tersebut dijanjikan
dengan hadiah atau nadzar.
وَجَازَ
مِنْ غَيْرِ كَرَاهَةٍ (نَفْعٌ) يَصِلُ لِمُقْرِضٍ مِنْ مُقْتَرِضٍ (بِلاَ شَرْطٍ)
فِى اْلعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِلْمُقْرِضِ لِقَوْلِهِ :
(اِنَّ خِيَارَكُمْ اَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً) وَاَحَاسِنُ جَمْعُ اَحْسَنَ. وَفِى
رِوَايَةٍ: (اِنَّ خِيَارَكُمْ مَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً). اِلَى اَنْ قَالَ :
وَاْلاَوْجَهُ اَنَّ اْلإِقْرَاضَ مِمَّنْ تَعُوْدُ الزِّيَادَةُ بِقَصْدِهَا
مَكْرُوْهٌ.
"Diperbolehkan tanpa
hukum makruh adanya manfaat yang kembali pada orang yang meminjami dari orang
yang berhutang jika tidak ada syarat dalam akad, bahkan hal tersebut disunahkan
sebagaimana hadits Rasul ,
“Sesuatu yang paling baik diantara kamu sekalian adalah yang paling baik dalam
mengembalikan pinjaman”. Lafad أحاسن disini
adalah jama’ dari lafad أحسن . dalam riwayat lain
disebutkan, “Sesuatu yang paling baik diantara kamu sekalian adalah yang paling
baik dalam mengembalikan pinjaman”. Adapun pinjaman pada orang yang terbiasa
meminta tambahan adalah makruh".[17]
Kedua,
mekanisme bank konvensional merupakan suatu sistem yang dimana sistem tersebut
tidak sama dengan transaksi hutang piutang yang mengandung unsur riba. Riba
meruapakan akad yang terjadi antara dua orang dalam suatu majlis, yang satu
sebagai orang yang berhutang dan yang kedua sebagai orang yang menghutangi
dengan menyaratkan tambahan ketika melunasinya. Sedangkan dalam bank bukanlah
transaksi yang terjadi antara dua orang, akan tetapi bank merupakan suatu
lembaga pihak ketiga yang membantu masyarakat pemilik dana untuk menabung
hartanya kemudian bank juga membantu masyarakat yang membutuhkan dana untuk
meminjam modal kepada masyarakat pemilik dana. Dari sini bank memiliki suatu
sistem tentang tatacara penetapan prosentase bunga pinjaman dan bunga tabungan
sebagai penghargaan bagi masyarakat pemilik dana. Kemudian dari keuntungan
bunga pinjaman yang didapatkan bank, bunga tersebut masih dibagi dengan segala
perangkat yang ada dalam lembaga tersebut. Contohnya seperti pegawai bank,
pajak kepada negara, bunga tabungan dan deposito dan lain sebagainya. Dari sini
transaksi yang ada dalam bank tidak bisa dikatakan riba 100%.
الْعَادَةُ
الْمُطَّرِدَةُ فِي نَاحِيَةٍ، هَلْ تُنَزَّلُ عَادَتُهُمْ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ،
فِيهِ صُوَرٌ. اِلَى اَنْ قَالَ... وَمِنْهَا: لَوْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُقْتَرِضِ
بِرَدِّ أَزْيَدَ مِمَّا اقْتَرَضَ، فَهَلْ يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ،
فَيَحْرُمُ إقْرَاضُهُ وَجْهَانِ، أَصَحُّهُمَا: لاَ. اهـ
"Kebiasaan
yang terus menerus dalam suatu daerah, apakah kebiasaan mereka bisa menjadi
syarat? Dalam hal ini terdapat beberapa bentuk –sampai pada perkataan mushonif-
“diantaranya jika kebiasaan orang yang berhutang mengembalikan dengan adanya
tambahan dari barang yang dipinjam”. Apakah menempati tempat syarat sehingga
hutangnya haram?. Dalam hal ini ada dua pendapat, dan yang paling unggul adalah
tidak".[18]
Ketiga, mengutip
pendapatnya Muhammad Abduh bahwa bank diperlukan untuk maslahah. Tidak bisa
dipungkiri pada masa modern perekonomian suatu negara juga tidak terlepas
dengan adanya peran Bank. berdirinya perusahaan-perusahaan besar khususnya
dalam bidang industri tidak akan bisa jika tidak melakukan transaksi dengan
bank. pernah ada suatu kasus bahwasannya pengusaha-pengusaha minyak dari timur
tengah menyimpan uangnya di bank Swis. Tujuan mereka hanya untuk menyimpan dan
mengamankan uangnya yang jumlahnya sangatlah banyak tetapi mereka tidak mahu
menerima bunga tabungan atau bunga deposito dari bank dengan alasan riba. Karena
bank merupakan suatu sistem yang memiliki aturan, Mahu tidak mahu pihak bank
tetap harus mengeluarkan dana tersebut. Karena para pengusaha timur tengah
menolaknya akhirnya dana tersebut diambil oleh Vatikan (pusat agama kristen
diseluruh dunia). Jika seperti itu maka menghindari mudhorot yang kecil
menuju mudhorot yang lebih besar. Hal ini bisa diibaratkan “kita tidak mahu
mengambil kotoran kambing alasannya najis, kemudian kotoran kambing tersebut
diambil oleh musuh kita kemudian dilempar kemuka kita”. Padahal walaupun
najis kotoran kambing masih bisa kita manfaatkan sebagai pupuk agar tanaman
kita menjadi subur, masalah kotoran kambing itu najis atau tidak, masih bisa kita
sucikan dengan air. Walaupun bunga bank itu riba atau bukan karena masih
diperselisihkan akan tetapi bunga tersebut masih banyak manfaatnya contohnya
untuk diberikan kepada faqir miskin, membantu mereka sehingga terhindar dari
bahaya kristenisasi, sehingga membantu menumbuhkan keimananan mereka terhadap
Islam. Masalah apakah bunga itu riba atau bukan, masih bisa kita sucikan tangan
kita dengan memperbanyak istighfar. Jika kita terlalu kaku dengan pendapat
haramnya bunga tabungan, maka jika bunga tersebut diambil oleh Vatikan yang
terjadi malah mudhorot yang sangat besar. Jangan sampai terlalu ngotot
mengutamakan hukum syariah akan tetapi malah kehilangan tauhid. Ushul harus
lebih didahulukan daripada furu’. Dari sini berlakulah kaidah fiqih:
درء المفاسد مقدم علي
جلب المصالح
Mencegah kemudhorotan lebih
didahulukan daripada melakukan suatu kemaslahatan
اذا اجتمع الضراران فعليكم باخفهما
Jika berkumpul dua kemudhorotan maka memilih mudhorot yang paling
ringan
Keempat,untuk hajat dan kebutuhan.
Seperti yang telah dijelaskan diawal adanya suatu bank merupakan suatu
keniscayaan dalam suatu negara. Jika seorang muslim terlalu radikal dalam
memilih pendapat yang mengharamkan bunga bank. maka perusahaan-perusahaan dalam
negeri justru akan dikuasai oleh non muslim atau pihak-pihak asing. Hal ini
dikarenakan, orang-orang muslim tidak mahu mendirikan suatu perusahaan karena
harus berurusan dengan bank. Sedangkan mendirikan perusahan yang besar tidak
akan bisa berkembang jika tidak berinteraksi dengan bank. jika
perusahaan-perusahaan dikuasai oleh non muslim mahu tidak mahu umat muslim
hanya akan menjadi pegawai dalam perusahaan-perusahaan tersebut, kemudian tidak
sedikit dari mereka yang harus terikat peraturan perusahaan yang bisa jadi
membatasi umat muslim untuk beribadah. Contohnya kesulitan dalam melaksanakan
sholat tepat waktu, sholat jamaah, sholat jumat, puasa, menutup aurat dll.
Disisi lain kebutuhan ekonomi masyarakat yang tidak terbatas semakin membuat
mereka terpaksa masuk kedalam pekerjaan-pekerjaan yang menjanjikan
kesejahteraan hidup.
Melakukan transaksi hutang
piutang melalui bank juga merupakan kebutuhan masyarakat modern. Bank sebagai
pihak ketiga membantu masyarakat dalam memberikan pinjaman dari masyarakat
pemilik dana. Bisa dibayangkan jika seandainya seseorang yang ingin melakukan
pinjaman dalam jumlah besar kemudian dia harus mencari orang yang mahu
meminjamkan uangnya kepadanya maka akan terjadi kesulitan. Dari sini fungsi
bank sebagai lembaga yang memberikan bantuan dalam mengatasi masalah tersebut. Dengan
alasan ini maka berlaku kaidah fiqih:
المشقة تجلب التيسر
Segala kesulitan membawa kepada kemudahan
الضرورة تبيح
المحظورات
Dhorurot
membolehkan kepada seseuatu yang dilarang
Abdul Wahab
Kholaf dalam bukunya Ushul Fiqih mengutip dari kitab Asbah wan nadhoir
mengungkapkan bahwa: di Mesir pernah terjadi krisis ekonomi, kemudian sebagai
solusinya menerapkan sistem koperasi yang juga menerapkan bunga. Dari sini
berlaku kaidah fiqih:
الحجة تنزل منزلة
الضرورات في اباحة المحظورات
Hajat menempati kedudukan dorurot dalam hal membolehkan yang
dilarang.
Akan tetapi hal-hal yang dibolehkan dalam keadaan dhorurot harus
tetap diukur menurut kadar kedhorurotannya.
الضرورة تقدر بقدارها
Kelima, pada
jaman sekarang ini, secara tidak langsung semua orang telah melakukan transaksi
dengan bank. Atau paling tidak ikut terlibat dalam membantu eksistensi
berlangsungnya bank dalam suatu negeri. Walaupun secara tidak lansung
masyarakat menghindari transaksi dengan bank dengan alasan riba, akan tetapi
segala sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia seperti, pakaian, mobil, rumah,
perabotan dll merupakan hasil transaksi antara bank dan toko penyedia
barang-barang tersebut. Jadi menghindari trransaksi dengan bank rasanya sesuatu
yang sangatlah mustahil. Jika bank itu dihukumi haram maka sesuatu yang dapat
menyebabkan keharoman maka hukumnya juga haram. Dalam ilmu ushul fiqih hal ini
masuk dalam pembahasan sadduz dziroi[19]
فإنما يؤدي الي الشر شر
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
Riba meruapakan
akad yang terjadi antara dua orang dalam suatu majlis, yang satu sebagai orang
yang berhutang dan yang kedua sebagai orang yang menghutangi dengan menyaratkan
tambahan kepada penghutang. Sedangkan dalam bank bukanlah transaksi yang
terjadi antara dua orang, akan tetapi bank merupakan suatu lembaga pihak ketiga
yang membantu masyarakat pemilik dana untuk menabung hartanya kemudian bank
juga membantu masyarakat yang membutuhkan dana untuk meminjam modal kepada
masyarakat pemilik dana. Dari sini bank memiliki suatu sistem tentang tatacara
penetapan prosentase bunga pinjaman dan bunga tabungan sebagai penghargaan bagi
masyarakat pemilik dana. Kemudian dari keuntungan bunga pinjaman yang
didapatkan bank, bunga tersebut masih dibagi dengan segala perangkat yang ada dalam
lembaga tersebut. Contohnya seperti pegawai bank, pajak kepada negara, bunga
tabungan dan deposito dan lain sebagainya. Dari sini transaksi yang ada dalam
bank tidak bisa dikatakan riba 100% akan tetapi juga tidak bisa dikatakan halal
100% karena masih terdapat unsur ziyadah.
Sebenarnya
masalah kredit/ rentenir/ bank/koprasi simpan pinjam secara umum menurut para
Ulama’ hukumnya terbagi menjadi 3: pertama haram karena masuk pada utang
piutang yang menarik kemanfaatan pada orang yg menghutangi. Pendapat ini
menyamakan bunga bank dengan riba. kedua halal selama tidak ada syarat
ketika akad sedang berlangsung atau dimajlis khiyar karena kebiasaan yang
berlaku tidak bisa menempati tempatnya syarat menurut jumhur ulama'. Pendapat
ini tidak menyamakan antara bunga bank dan riba. Ketiga syubhat karena
ulama' berbeda-beda pendapat tentang kehalalanya. Dari ketiga pendapat tersebut
pendapat pertama lebih banyak dipilih untuk mengambil tindakan hati-hati.
Sedangkan penulis lebih memilih pendapat yang masih memberi keringanan untuk
menerima bunga bank asalkan dengan beberapa syarat seperti yang telah
disebutkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bahresy, Husein. September
2013. Himpunan Fatwa, (Surabaya:
al-Ikhas. 1987) sebagaimana dikutip Abdurrohman Kasdi. Analisis Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih, dalam Jurnal
Iqtishadia.Vol. 6, No. 2.
Faturrohman, Djamil. 1995. Metode
Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. cet. I Jakarta: Logos Publishing House.
Hasan, A.
1983. Soal-Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung: Diponegoro
Imam Taqiyuddin dalam
kitabnya. Tt. Kifayah al-Akhyar fi Halli
Gayati al-Ikhtisar. ttp: Darul Haya.
Ilmi, Makhalul. 2002. Teori dan Prakiek Lembaga Mikro Keuangan
Syari’ah. Cet. I. Yogayakarta: UII Press.
Kasdi, Abdurrohman.
September 2013. Analisis Bunga Bank dalam
Pandangan Fiqih. dalam Jurnal Iqtishadia.Vol. 6, No. 2
Kalsum, Ummi.
Juli 2014. Riba dan Bunga Bank dalam
Islam, dalam Jurnal Al-Adl. Vol. 7, No. 2.
Kasdi, Abdurrohman.
September 2013. Analisis Bunga Bank dalam
Pandangan Fiqih. dalam Jurnal Iqtishadia.Vol. 6, No. 2
Nasution, Khoiruddin
Nasution. 1996. Riba dan Poligami: Sebuah
Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. cet, I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salam, Abdul. Juni 2013. Bunga
Bank dalam Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan Muhammadiyah). dalam
Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia. Vol. 3, No. 1.
Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhyah. Jakarta: Midas Surya
Grafindo.
DAFTAR KITAB
1. Al-Jamal 'Ala Fatchi
al-Wahhab
2. Chasyiyatu
al-Jamal
3. Ghayatu
al-Talchishi al-Murad Hamisy Bughyatu al-Mustarsyidin
4. Bughyatu
al-Mustarsyidin
5. I'anatu
al-Thalibin
6. I'anatu
al-Thalibin
7. Nihayatu
az-Zain
8. Bughyatu al-Mustarsyidin
9. Al-Asybah wa an-Nadhair
10. Ghayatu al-Talchishi al-Murad
Hamisy Bughyatu al-Mustarsyidin
[1]
Abdurrohman Kasdi, Analisis Bunga Bank
dalam Pandangan Fiqih, dalam Jurnal Iqtishadia,Vol. 6, No. 2, September
2013, hlm. 320
[2] Ummi
Kalsum, Riba dan Bunga Bank dalam Islam,
dalam Jurnal Al-Adl, Vol. 7, No. 2, Juli 2014, hlm. 71
[3]
Biar lebih jelas, baca Khoiruddin Nasution, Riba
dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 37. Sebagai perbandingan lihat Imam
Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah
al-Akhyar fi Halli Gayati al-Ikhtisar, (ttp: Darul Haya, tt), hlm. 246
[4]
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhyah.
(Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1997), hlm. 102. Sementara Makhalul Ilmi. SM,
mengatakan bahwa arti “kelebihan” tidak berhenti di sini saja—karena
“kelebihan” yang lahir akibat dilakukannya transaksi ekonomi antara dua pihak
atau lebih disebut sebagai riba, termasuk mengambil keuntungan atas suatu
transaksi jual beli yang lazim berlaku dalam tatanan masyarakat bangsa-bangsa
di dunia sejak dahulu hingga sekarang. Sudah barang tentu bukanlah yang
dimaksud al-Qur’an demikian, karena tegas-tegas salah satu ayatnya menyebutkan:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba”. Makhalul Ilmi, Teori dan Prakiek Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah,
Cet. I (Yogayakarta: UII Press, 2002), hlm. 19
[5] Ali
as-Sabuni, Rawai ‘al-Bayan fi at-Tafsir
Ayati al-Ahkam,(ttp: Dar al-Qur’an, 1391/1972), I: 383 sebagaimana dikutib
oleh Moh, Nashiruddin A. Ma’mun, Perspektif
NU tentang Bunga Bank, dalam Jurnal Ummul Qura, Vol. V, No.1, Maret 2015,
hlm. 119
[7] Abdul
Salam, Bunga Bank dalam Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan Muhammadiyah),
dalam Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, Juni 2013, hlm. 80
[8] Ibid,
hlm
[9] Djamil,
Faturrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I Jakarta:
Logos Publishing House, 1995, sebagaimana dikutip oleh Abdul Salam, Bunga
Bank dalam Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan Muhammadiyah), dalam
Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, Juni 2013, hlm. 80
[10] Husein
Bahreisy, Himpunan Fatwa, (Surabaya:
al-Ikhas. 1987) sebagaimana dikutip Abdurrohman Kasdi, Analisis Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih, dalam Jurnal
Iqtishadia,Vol. 6, No. 2, September 2013, hlm. 332
[11]
Abdurrohman Kasdi, Analisis Bunga Bank dalam
Pandangan Fiqih, dalam Jurnal Iqtishadia,Vol. 6, No. 2, September 2013,
hlm. 332
[12] Ibid.
[13]
Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh, cet, I: (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), sebagaimana dikutip
Abdul Salam, Bunga Bank dalam Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan
Muhammadiyah), dalam Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, Juni
2013, hlm. 83
[14]
A, Hasan, Soal-Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, (Bandung:
Diponegoro, 1983), sebagaimana dikutip oleh Abdul Salam, Bunga Bank dalam
Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan Muhammadiyah), dalam Jurnal Ekonomi
Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, Juni 2013, hlm. 83
[15]
Khoiruddin Nasution, sebagaimana dikutip Abdul Salam, Bunga Bank dalam
Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan Muhammadiyah), dalam Jurnal Ekonomi
Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, Juni 2013, hlm. 84
[16] Ahkamul
Fuqoha', . . . juz 1, hlm 22
[17] Nihayatu
az-Zain, 242
[18] Nihayatu
az-Zain, 242
[19]
Larangan melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan kepada hukum haram.
ReplyDeleteSaya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.
Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.
saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan
Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)
Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)