Sunday, June 3, 2018

Khilafiyah Bunga Bank Menurut Ulama’

Oleh: Yovi Nur Rohman

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Rosulnya dengan cahaya petunjuk dan agama yang haq. Dan dengan limpahan rahmat, hidayah dan pertolongannya penulis bisa menyelesaikan makalah ini. sholawat dan salam mudah-mudahan tetap tercurahkan kepada sebaik-baiknya para nabi dan para Rosul. Yakni junjungan kita nabi Muhammad SAW yang menjadi penutup para nabi dan menjadi cahaya bagi gelapnya hati.
Selanjutnya penulis, menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Dr. Tutik Hamidah M. Ag sebagai dosen pembimbing kajian fiqih kontemporer yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Khilafiyah Bunga Bank Menurut Ulama’. Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan dan keterbatasan ilmu. Karna tulisan yang sempurna dan jauh dari kekurangan hanyalah al-Quran. Walaupun al-Quran yang sudah jauh dari cacat masih saja dikritik oleh orang kafir yang mengatakan bahwa al-Quran hanyalah kumpulan dari dongeng-dongeng terdahulu “wa qoolu inhada illa asaatirul awwalin”. Jika tulisan sekelas al-Quran saja tidak lepas dari kritikan apalagi hanya makalah ini. oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun akan sangat kami harapkan untuk bisa memperbaiki makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan bacaan referensi bagi para pelajar untuk bisa lebih mendalami ilmu-ilmu agama dan semakin menambah kepekaan terhadap masalah-masalah kontemporer fiqih yang semakin berkembang.


Malang, 22 Maret 2018

Yovi Nur Rohman


DAFTAR ISI








BAB 1 PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Salah satu karakter dari hukum Islam adalah prinsip harokah yaitu hukum selalu berkembang seiring dengan berjalannya waktu. Semakin berkembangnya jaman semakin berkembang pula masalah-masalah fiqih yang terjadi dalam masyarakat. Masalah-masalah yang tidak pernah terjadi dalam dunia Islam pada masa Rosulullah para sahabat bahkan sampai kepada masa imam Mujtahid, menuntut ulama kontemporer untuk membuka pintu ijtihad kembali, guna menjawab segala problematika fiqih yang ada dalam masyarakat modern.
Salah satu masalah fiqih yang tidak ada pada jaman Rosulullah dan jaman sahabat adalah bunga bank. Permasalahan muncul ketika ada pertanyaan apakah bunga bank termasuk dari riba yang secara tegas diharamkan oleh syariat atau bunga bank tidak bisa disamakan dengan riba. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan ini penulis menyajikan perbedaan antara bunga bank dan riba yang diharamkan oleh Agama. Kemudian menyajikan pendapat para ulama-ulama tentang bunga bank. Setelah itu perlu dilakukan analisis terhadap perbedaan ulama’ tersebut sehingga akan ditemukan pendapat yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan kondisi masyarakat pada jaman modern.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa perbedaan antara bunga bank dan riba?
2.      Bagaimana pendapat ulama tentang bunga bank?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui perbedaan antara bunga bank dan riba
2.      Untuk mengetahui pendapat para ulama’ tentang bunga bank



BAB II PEMBAHASAN

A.    Bunga Bank dan Riba

Berbicara tentang Bank pasti tidak lepas dengan istilah bunga. Bunga adalah sejumlah     uang yang dibayar atau tambahan untuk penggunaan modal. Jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang berkaitan dengan itu dan biasa dinamakan suku bunga modal. Sedangkan bank (perbankan) adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah simpan-pinjam, memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang, dengan tujuan memenuhi kredit dengan modal sendiri atau orang lain.[1] Sedangkan menurut Ummi Kalsum dosen jurusan ekonomi Islam jurusan syariah STAIN Kediri , Bunga merupakan tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan.[2]
Secara garis besar, Bank adalah sebagai pihak ketiga yang memberikan fasilitas dan bantuan kepada masyarakat yang ingin meminjam uang kepada pihak masyarakat pemilik dana yang kemudian sebagai upah dari jasa Bank maka Bank berhak menetapkan bunga pinjaman kepada peminjam modal. Dan tidak hanya itu, Bank juga menetapkan bunga tabungan atau deposito kepada masyarakat pemilik dana dengan tujuan untuk menarik masyarakat pemilik dana agar menyimpan uangnya di Bank. Berikut bagan operasional dalam Bank konvensional
Kemudian apakah bunga Bank termasuk dari Riba yang diharamkan dalam Islam. Riba berasal dari bahasa Arab secara etimologis berarti “tambahan” (az-ziyadah).[3] atau “kelebihan”[4] yakni tambahan pemabayaran atas uang pokok pinjaman. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa riba merupakan kelebihan sepihak yang dilakukan oleh salah satu dari orang yang sedang bertransaksi.
Sedangkan, pengertian riba menurut terminologi (pendapat ulama) adalah bunga kredit yang harus diberikan oleh orang yang berhutang kepada orang yang berpiutang, sebagai imbalan untuk menggunakan sejumlah uang milik berpiutang dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.[5] Misalnya si A memberi pinjaman pada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman serta sekian persen tambahannya.
Macam-maca Riba yang diharamkan dalam Islam adalah sebagai berikut:
1.      Riba fadlol yaitu menjual barang ribawi (emas,perak dan makanan) dgn barang sejenis yg salah satunya ada yg lebih banyak spt emas 7 gr dijual dgn emas 10 gram.
2.      Riba qordl yaitu menghutangkan sesesuatu dgn mensyaratkn manfa'at pada muqridl/orang yg menghutangkan seperti hutang 1000 di haruskan bayar 1100.
3.      Riba yad yaitu salah satu dari kedua belah pihak (penjual dan pembeli) berpisah/meninggalkan tempat transaksi/aqad sebelum menerima barangnya.
4.      Riba nasaa' yaitu mensyaratkan tempo pada salah satunya dan semua riba yg di sebut di atas ulama' sefakat semuanya batal/ harom.[6]
Jadi jika disamakan dengan Riba maka bunga Bank termasuk jenis Riba nasa’ dan qordl yang dilarang oleh Islam. Untuk mengetahui secara jelas apakah bunga Bank termasuk Riba jenis ini, maka penulis menyajikan beberapa pendapat para Ulama’ yang berkaitan dengan hal ini.

B.     Pendapat Ulama’ tentang Bunga Bank

1.      Bunga Bank Menurut NU dan Muhammadiyah

Berdasarkan keputusan Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tanggal 21-25 Januari 1992. mengenai keputusan hukum bunga Bank ditempuh melalui prosedur yang lebih metodologis lagi, sebagai penyeimbang keputusan Muktamar NU XII di Malang. Adapun hasil keputusannya sebagai berikut :
a. Haram, kerena bunga bank dipersamakan dengan riba secara mutlak
b. Boleh, kerena bunga bank tidak dipersamakan dengan riba
c. Subhat, kerena masih belum jelas[7]
Sementara itu, salah satu respon dari Muhammadiyah melalui keputusan Majlis Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo Jawa Timur tentang masalah–masalah fiqh kontemporer (khususnya mengenai bunga bank) dalam menetapkan hukum bunga bank, Majlis Tarjih mangaitkannya dengan masalah riba, apakah bunga bank identik dengan riba atau tidak?, untuk memastikan jawaban tersebut, Majlis Tarjih menggunakan qiyas sebagai metode ijtihadnya. Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba adalah adanya pengisapan atau penganiayaan (az-Zulm) terhadap peminjaman dana. Konsekuensinya, kalau ‘illat itu ada pada bunga bank, maka bunga bank sama dengan riba dan hukumnya riba. Sebaliknya kalau ‘illat itu tidak ada pada bunga bank, maka bunga bank bukan riba, kerana itu tidak haram.[8]
Bagi Muhammadiyah ‘illat diharamkannya riba disinyalir juga ada pada bunga bank, sehingga bunga bank disamakan dengan riba dan hukumnya adalah haram. Namun keputusan tersebut hanya berlaku untuk bank milik swasta. Adapun bunga bank yang diberikan oleh bank milik negara pada para nasabahnya atau sebaliknya, termasuk perkara musytabihat, tidak haram dan tidak pula halal secara mutlak.[9]

2.      Konsul Kajian Islam Dunia

Ulama-ulama besar dunia yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia (KKID) telah memutuskan hukum yang tegas terhadap bunga bank. Dalam Konferensi II KKID yang diselenggarakan di Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir pada bulan Muharram 1385 H/ Mei 1965, menetapkan bahwa tidak ada sedikit pun keraguan atas keharaman praktik pembungaan uang seperti yang dilakukan bank-bank konvensional. Di antara ulama-ulama besar yang hadir pada saat itu antara lain, Syeikh al-Azhar, Prof. Abu Zahrah, Prof. Abdullah Daraz, Prof. Dr. Mustafa Ahmad az-Zarqa, Dr. Yusuf Qardawi, dan sekitar 300 ulama besar dunia lainnya.[10]
Namun mereka memperinci pemanfaatan bunga bank: pertama, menurut Prof. Abu Zahrah (Guru Besar Fakultas Syari’ah Universitas Cairo), Abu a’la al-Maududi di Pakistan, dan Yusuf Qardawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasi’ah yang dilarang oleh Islam. Oleh karena itu, umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat (terpaksa).[11]
Kedua, menurut Prof. Mustafa Ahmad az-Zarqa (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus), riba yang diharamkan itu adalah seperti riba yang berlaku pada masyarakat Jahiliyah, yang merupakan pemerasan terhadap orang yang lemah (miskin) dan bersifat konsumtif. Hal ini berbeda dengan yang bersifat produktif, yang tidak termasuk  haram.[12]

3.      Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI)

Semua peserta Sidang OKI ke-2 yang berlangsung di Karachi, Pakistan, Desember 1970, telah menyepakati dua hal utama yaitu: pertama, praktik bank dengan sistem bunga adalah tidak sesuai dengan syariah Islam. Kedua, perlu segera didirikan bank-bank alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Hasil kesepakatan inilah yang melatarbelakangi didirikannya Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IDB).

4.      Mufti Negara Mesir

Keputusan Kantor Mufti Negara Mesir terhadap hukum bunga bank senantiasa tetap dan konsisten. Tercatat sekurang-kurangnya sejak tahun 1900 hingga 1989 Mufti Negara Republik Arab Mesir memutuskan bahwa bunga bank termasuk salah satu bentuk riba yang diharamkan.
Selain pendapat yang mengharamkan bunga Bank juga ada pendapat yang membolehkan bunga Bank, seperti dalam tafsir al-Manar[13] dan di dalam fatwa-fatwanya, sebagaimana dicatat ‘Ammarah, menyebutkan bahwa Muhammad Abduh membolehkan menyimpan uang di bank dan juga boleh mengambil bunga simpanannya, dengan kata lain ia mehalalkan bunga bank. Hal ini menurutnya, didasarkan pada maslahah-mursalah (kesejahteraan). Larangan riba menurut Muhammad Abduh adalah untuk menghindari adanya unsur eksploitasi dan menghindari memakan harta orang lain secara batil (al-Baqarah : 188).
Salah satu ulama Indonesia, yang menghalalkan bunga bank, menurut catatan Khoiruddin Nasution selanjutnya adalah H. Abdullah Ahmad, seorang ulama yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Dia mengatakan, bunga bank boleh diambil dengan syarat, persentase bunga tersebut diumumkan lebih dahulu, sehingga jika bunga diumumkan sebelumnya maka berarti seorang yang meminjam rela dengan bunga yang diumumkan. Di sini sebagai tambahan, hendaknya agar prosentase bunga hendaknya selalu dikontrol oleh pemerintah agar bank dalam menetapkan bunga tidak sembarangan, namun mengikuti UU pemerintah
Sementara A. Hasan pemimpin Perguruan Persis Bangil, Jawa Timur, mengatakan bahwa riba yang haram, menurutnya, mempunyai sifat :[14]
1. Terpaksa, yaitu orang terpaksa menunda hutang karena tidak mampu membayar dan pihak si peminjam menerima dengan syarat ada bayaran tambahan.
2. Darar, yaitu pinjaman yang sekiranya digunakan untuk berdagang dengan uang tersebut tidak akan bisa untuk yang cukup buat makan, minum dan bayar hutang.
3. Berlipat ganda.
Adapun yang dihalalkan sifat-sifatnya adalah:
1. Tidak ganda-berganda.
2. Tidak membawa kepada ganda berganda.
3. Tidak mahal, artinya sekiranya orang berusaha dengan uang tersebut tidak akan membawa kepada kerugian.
4. Pinjaman yang produktif
Tokoh yang berpendapat bahwa bunga itu haram karena sangat berpegang teguh pada konteks al-Qur’an (dalam arti konteksnya bukan maknanya) yang mana al-Qur’an dan as-Sunnah dua sumber pokok Islam melarang keras adanya bunga karena kezalimannya (QS. al-Muzammil dan QS. al-Baqarah) dan mengatakan bahwa beberapa orang Islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriyah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Oleh karenanya Daoualibi, seorang ahli politik dan jurnalis Syiria mengatakan, Islam semestinya membedahkan antara bunga yang dihubungkan dengan tujuan produktif dan konsumtif. Bagi pinjaman yang berhubungan dengan usaha dan tujuan produktif, seperti untuk tujuan dangang atau usaha yang lainya, maka menjadi pantas untuk mendapatkan bagian dari keuntungan yang diperoleh si peminjam. Sebaliknya, untuk pinjaman yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari peminjam, maka tidak dipungut bunga dan digunakan prinsip saling tolong menolong[15]

C.    Analisis Pendapat Ulama’ tentang Bunga Bank

Sebenarnya masalah kredit/ rentenir/ bank/koprasi simpan pinjam secara umum hukumnya terbagi menjadi 3:
1.      haram karena masuk pada utang piutang yang menarik kemanfaatan pada orang yg menghutangi
2.      halal karena tiada syarat saat akad sedang berlangsung atau dimajlis khiyar karena kebiasaan yang berlaku tidak bisa menempati tempatnya syarat menurut jumhur ulama'
3.      syubhat karena ulama' berbeda-beda pendapat
اختلف العلماء فى هذه المسألة على ثلاثة أقوال قيل انه حرام لانه داخل فى قرض جر نفعا، وقيل انه حلال لعدم الشرط فى صلب العقد او مجلس الخيار والعادة المطردة لاينزل منزلة الشرط عند الجمهور وقيل شبهة لاختلاف العلماء فيه والمؤتمر قرر ان الاحوط القول الاول وهو الحرمة. وفى الاشباه والنظائر فى البحث الثالث ما نصه: ومنها لو عم فى الناس اعتياد اباحة منافع الرهن للمرتهن فهل ينزل منزلة شرطه حتى يفسد الرهن؟ قال الجمهور: لا، وقال القفال: نعم، وفى إعانة الطالبين فى باب القرض ما نصه: وجاز لمقرض نفع يصل له من مقترض كرد الزائد قدرا او صفة والاجود فى الردئ (بلا شرط) فى العقد بل يسن ذلك لمقترض -إلى أن قال- واما القرض بشرط جر نفع لمقرض ففاسد، لخبر كل قرض جر منفعة فهو ربا (قوله ففاسد) قال ع ش ومعلوم ان محل الفساد حيث وقع الشرط فى صلب العقد اما لو توافقا على ذلك ولم يقع الشرط فى العقد فلا فساد[16]                                                                                                                   
Ulama’ yang mengharamkan bunga Bank cenderung menyamakan antara bunga Bank dengan Riba yang dilarang dalam Islam. Mereka menganggap bahwa keberadaan Bank bukan merupakan solusi bagi perekonomian suatu negara akan tetapi justru kedoliman kepada rakyat kecil yang cenderung sebagai peminjam dana dan keuntungan bagi masyarakat pemilik dana. Sehingga dari sini muncullah istilah yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin.
Penyamaan bunga bank dengan riba adalah berdasarkan unsur ziyadah atau tambahan bagi orang yang berhutang ketika akan membayar hutangnya. Hal ini masuk kepada jenis riba Nasa’ atau juga masuk jenis riba Qirodl. Dari sini ulama’ yang melarang bunga bank mengambil tindakan hati-hati agar tidak masuk kepada sesuatu yang secara tegas dilarang oleh Allah dalam Al-Quran. Akan tetapi walaupun berfatwa tentang keharaman bunga bank Yusuf Qordawi masih membolehkan bunga bank jika dalam keadaan terpaksa. Berbeda dengan pendapatnya Prof. Mustafa Ahmad az-Zarqa (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Perdata Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus), riba yang diharamkan itu adalah seperti riba yang berlaku pada masyarakat Jahiliyah, yang merupakan pemerasan terhadap orang yang lemah (miskin) dan bersifat konsumtif. Hal ini berbeda dengan yang bersifat produktif, yang tidak termasuk  haram.
Sementara Organisasi masyarakat terbesar di Indonesia (NU) lebih bijak dalam mengeluarkan pendapatnya. Dibanding Muhammadiyah, NU lebih lentur dalam megambil keputusan tentang hukum bunga Bank. Artinya NU memberi kebebasan kepada masyarakat untuk memilih tiga pendapat tentang bunga bank yaitu haram karena disamakan dengan riba, halal karena tidak sama dengan riba dan syubhat karena Ulama’ masih berbeda pendapat tentang hal ini.
Sementara itu, pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank itu halal adalah adanya perbedaan antara bunga bank dan riba. Riba merupakan akad antara dua orang, yang satu pihak sebagai dholim (yang mendolimi) sedangkan yang satu pihak sebagai madlum (yang terdolimi) dan riba terjadi dalam akadnya. Artinya jika tidak terjadi akad riba dalam akadnya maka riba tidak terjadi. Misalnya jika ada si A meminjam uang kepada si B dengan jangka waktu tertentu kemudian ketika sudah jatuh tempo si A melunasinya dengan jumlah uang yang lebih maka lebihan ini bukanlah termasuk riba karena tidak terjadi dalam akad dan lebihan tersebut bisa dikatan pemberian atau hadiah. Untuk memahami hal ini bisa dipahami dengan ibarot dari beberapa keterangan dari kitab-kitab klasik fiqih tradisional.
Dasar Pengambilan Hukum:
     1. Al-Jamal 'Ala Fatchi al-Wahhab, Juz II, Hlm. 261
وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ إذَا وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ أَمَّا لَوْ تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ اهـ
"Dan sebagaimana diketahui, sesunguhnya objek kerusakan akad adalah jika terdapat syarat dalam pengukuhan akad. Adapun jika kedua pihak sepakat adanya bunga dan tidak ada syarat dalam akad, maka akad tersebut tidak rusak".
2. Chasyiyatu al-Jamal
وَلَوْ قَصَدَ إقْرَاضَ مَنْ هُوَ مَشْهُورٌ بِرَدِّ الزِّيَادَةِ لأَجْلِهَا فَفِي كَرَاهَتِهِ وَجْهَانِ فِي الرَّوْضَةِ عَنْ الْمُتَوَلِّي
"Apabila meminjamkan pada orang yang terkenal mengembalikan hutang dengan tambahan untuk mendapatkan keuntungan, maka mengenai kemakruhannya terdapat dua pendapat dalam kitab Raudloh dari penjelasan Imam Mutawalli".
3. Ghayatu al-Talchishi al-Murad Hamisy Bughyatu al-Mustarsyidin, Hlm. 129
عَمَّتِ الْبَلْوَى اَنَّ اَهْلَ الثَّرْوَةِ لاَ يُقْرِضُوْنَ اَحَدًا اِلاَّ بِزِيَادَةٍ، اِمَّا مِنْ نَوْعِ الْمُسْتَقْرِضِ اَوْغَيْرِهِ بِصِيْغَةِ النَّذْرِ ... فَالْعُقُوْدُ الْمَذْكُوْرَةُ صَحِيْحَةٌ اِذَا تَوَفَّرَتْ شُرُوْطُهَا وَلاَ يَدْخُلُ ذَلِكَ فِى اَبْوَابِ الرِّبَا.
"Telah menjadi hal yang lumrah, bahwa orang yang memiliki harta tidak meminjamkan pada seorang pun kecuali disertai dengan tambahan. Adakalanya dari jenis yang dipinjamkan atau yang lainnya dengan sighot nadzar…. Maka akad-akad tersebut sah jika syarat-syaratnya sempurna. Dan hal tersebut tidak termasuk bab riba".
4. Bughyatu al-Mustarsyidin, Hlm. 127
هَلْ يَخْتَصُّ اِثْمُ الرِّبَا بِالْمُقْرِضِ الْجَارِ لِنَفْسِهِ نَفْعًا اَوْ يَعُمُّ الْمُقْتَرِضَ فِيْهِ خِلاَفٌ فِى فَتْحِ الْمُعِيْنِ، وَاَمَّا قَرْضُ السُّلْطَانِ دَرَاهِمَ اِلَى اَجَلٍ ثُمَّ يَرُدُّهَا لِلْمُقْرِضِ مَعَ زِيَادَةٍ. فَاِنْ كَانَ رَدُّهُ لِلزِّيَادَةِ بِلاَ شَرْطٍ اَوْ بِتَمْلِيْكِهِ اِيَّاهَا بِنَحْوِ نَذْرٍ اَوْ هِبَةٍ اَوْكَانَ اْلآَخِذُ لَهُ حَقٌّ فِى بَيْتِ الْمَالِ فَأَخْذُهَا ظُفْرًا وَنَحْوُهُ فَحَلاَلٌ وَاِلاَّ فَلاَ
"Apakah dosa riba hanya khusus bagi orang yang menghutangi yang mengambil manfaat untuk dirinya atau juga mengenai pada orang yang berhutang?. Dalam hal ini terdapat beberapa perbedaan didalam kitab Fathul Mu’in. Adapun, apabila pimpinan pemerintah meminjam beberapa dirham dan sampai masa mengembalikan, kemudian pimpinan pemerintah itu mengembalikan hutang tersebut pada orang yang menghutangi disertai dengan tambahan. Apabila pengembalian yang disertai tambahan tersebut tidak disertai syarat atau semata-mata sebagai pemberian kepemilikan seperti sebagai nadzar atau hibah, atau orang yang mengambil itu memiliki hak atas baitul mal, maka mengambil tambahan tersebut sebagai keuntungan atau sejenisnya, hal tersebut diperbolehkan, jika tidak maka hukumnya haram".
5. I'anatu al-Thalibin, Juz III, 21
قَالَ شَيْخُنَا ابْنُ زِيَادٍ: لاَ يَنْدَفِعُ اِثْمُ اِعْطَاءِ الرِّبَا عِنْدَ اْلاِقْتِرَاضِ لِلضَّرُوْرَةِ بِحَيْثُ اِنَّهُ اِنْ لَمْ يُعْطِ الزِّيَادَةَ لاَ يَحْصُلُ لَهُ الْقَرْضُ. اِذْ لَهُ طَرِيْقٌ اِلَى اِعْطَاءِ الزَّائِدِ بِطَرِيْقِ النَّذْرِ اَوِ التَّمْلِيْكِ، لاَ سِيَّمَا اِذَا قُلْنَا: النَّذْرُ لاَ يَحْتَاجُ اِلَى قَبُوْلِ لَفْظٍ عَلَى الْمُعْتَمَدِ. وَقَالَ شَيْخُنَا: يَنْدَفِعُ اْلاِثْمُ لِلضَّرُوْرَةِ
"Syeikh ibnu Ziyad berkata, “Dosa memberikan riba tidak berlaku bagi orang yang meminjam karena dhorurot, sekiranya jika tidak memberikan tambahan maka dia tidak mendapatkan pinjaman. Karena dia memiliki cara untuk memberikan tambahan tersebut, yakni dengan cara nadzar atau kepemilikan, terutama apabila kita mengatakan, “Nadzar tidak membutuhkan lafad qobul pada sesuatu yang dijadikan sandaran. Syeikh ibnu Ziyad berkata, “Dosa juga berlaku karena dhorurot”.
6. I'anatu al-Thalibin, Juz III, 53
وَاَمَّا الْقَرْضُ بِشَرْطِ جَرِ نَفْعٍ لِمُقْرِضٍ فَفَاسِدٌ قال ع ش: وَمَعْلُومٌ أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ إذَا وَقَعَ الشَّرْطُ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ أَمَّا لَوْ تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فِي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ وَجُبِرَ ضُعْفُهُ مَجِىْءَ مَعْنَاهُ عَنْ جَمْعٍ مِنَ الصَّحَابَةِ. وَمِنْهُ الْقَرْضُ لِمَنْ يَسْتَأْجِرُ مِلْكَهُ أَىْ مَثَلاً بِأَكْثَرَ مِنْ قِيْمَتِهِ ِلأَجْلِ الْقَرْضِ إنْ وَقَعَ ذَلِكَ شَرْطًا إذْ هُوَ حِيْنَئِذٍ حَرَامٌ إجْمَاعًا وَإلاَّ كُرِهَ عِنْدَنَا وَحَرَامٌ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ قَالَهُ السُّبْكِى.
"Adapun pinjaman dengan syarat mengambil manfaat untuk orang yang meminjami adalah fasid. Asy-syubro Milsy berkata, “Telah diketahui bahwa objek rusaknya akad yakni apabila terjadi syarat dalam penentuan akad. Adapun apabila kedua belah pihak sepakat atas suatu syarat dan syarat tersebut tidak terjadi dalam akad, maka akad tersebut tidak rusak. Berdasarkan hadits “Setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah riba” hadits tersebut adalah hadits dhoif. Adapun maknanya diperoleh dari sekelompok sahabat. Termasuk didalamnya, seseorang yang meminjamkan barangnya misalnya lebih mahal dibanding dengan nilai barang tersebut dengan tujuan meminjamkan. Apabila terdapat syarat maka dalam hal ini hukumnya haram menurut kesepakatan ulama’. Jika tidak, maka menurut pendapat kami hukumnya makruh dan menurut mayorits ulama’ hukumnya haram".
7. Nihayatu az-Zain, 242
وَجَازَ مِنْ غَيْرِ كَرَاهَةٍ (نَفْعٌ) يَصِلُ لِمُقْرِضٍ مِنْ مُقْتَرِضٍ (بِلاَ شَرْطٍ) فِى اْلعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِلْمُقْرِضِ لِقَوْلِهِ : (اِنَّ خِيَارَكُمْ اَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً) وَاَحَاسِنُ جَمْعُ اَحْسَنَ. وَفِى رِوَايَةٍ: (اِنَّ خِيَارَكُمْ مَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً). اِلَى اَنْ قَالَ : وَاْلاَوْجَهُ اَنَّ اْلإِقْرَاضَ مِمَّنْ تَعُوْدُ الزِّيَادَةُ بِقَصْدِهَا مَكْرُوْهٌ.
"Diperbolehkan tanpa hukum makruh adanya manfaat yang kembali pada orang yang meminjami dari orang yang berhutang jika tidak ada syarat dalam akad, bahkan hal tersebut disunahkan sebagaimana hadits Rasul , “Sesuatu yang paling baik diantara kamu sekalian adalah yang paling baik dalam mengembalikan pinjaman”. Lafad أحاسن disini adalah jama’ dari lafad أحسن . dalam riwayat lain disebutkan, “Sesuatu yang paling baik diantara kamu sekalian adalah yang paling baik dalam mengembalikan pinjaman”. Adapun pinjaman pada orang yang terbiasa meminta tambahan adalah makruh".
8. Bughyatu al-Mustarsyidin, Hlm. 176
(مَسْئَلَةُ ب) مَذْهَبُ الشَّافِعِىِّ اَنَّ مُجَرَّدَ الْكِتَابَةِ فِى سَائِرِ الْعُقُوْدِ وَاْلإِخْبَارَاتِ وَاْلإِنْشَأَتِ لَيْسَ بِحُجَّةٍ شَرْعِيَّةٍ.
"Menurut madzhab Syafi’i bahwa tulisan dalam semua akad, perjanjian, dan penyusunan tidak bisa menjadi dasar syara’".
9. Al-Asybah wa an-Nadhair, Hlm. 61
الْعَادَةُ الْمُطَّرِدَةُ فِي نَاحِيَةٍ، هَلْ تُنَزَّلُ عَادَتُهُمْ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ، فِيهِ صُوَرٌ. اِلَى اَنْ قَالَ... وَمِنْهَا: لَوْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُقْتَرِضِ بِرَدِّ أَزْيَدَ مِمَّا اقْتَرَضَ، فَهَلْ يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ، فَيَحْرُمُ إقْرَاضُهُ وَجْهَانِ، أَصَحُّهُمَا: لاَ. اهـ
"Kebiasaan yang terus menerus dalam suatu daerah, apakah kebiasaan mereka bisa menjadi syarat? Dalam hal ini terdapat beberapa bentuk –sampai pada perkataan mushonif- “diantaranya jika kebiasaan orang yang berhutang mengembalikan dengan adanya tambahan dari barang yang dipinjam”. Apakah menempati tempat syarat sehingga hutangnya haram?. Dalam hal ini ada dua pendapat, dan yang paling unggul adalah tidak".
10. Ghayatu al-Talchishi al-Murad Hamisy Bughyatu al-Mustarsyidin, Hlm. 129
(مَسْئَلَةٌ) اِعْطَاءُ الرِّبَا عِنْدَ اْلإِقْتِرَاضِ وَلَوْ لِلضَّرُوْرَةِ بِحَيْثُ اِنَّهُ اِنْ لَمْ يُعْطِهِ لَمْ يُقْرِضْ لاَ يَدْفَعُ اْلاِثْمَ اِذْ لَهُ طَرِيْقٌ اِلَى حِلِّ اِعْطَاءِ الزَّائِدِ بِطَرِيْقِ النَّذْرِ وَغَيْرِهِ مِنَ اْلأَسْبَابِ الْمُمْلِكَةِ لاَ سِيَّمَا اِذَا قُلْنَا بِالْمُعْتَمَدِ اَنَّ النَّذْرَ لاَ يَحْتَاجُ اِلَى الْقَبُوْلِ لَفْظًا. قُلْتُ وَهَذَا اَعْنِى النَّذْرَ الْمَذْكُوْرَ فِى هَذِهِ وَاْلاِسْتِئْجَارِ فِى الَّتِى قَبْلَهَا اِنْ وَقَعَ شَرْطُهُمَا فِى صُلْبِ الْعَقْدِ اَوْ مَجْلِسِ الْخِيَارِ اَبْطَلاَ وَاِلاَّ كُرِهَ اِذْ كُلُّ مُفْسِدٍ اَبْطَلَ شَرْطُهُ كُرِهَ اِضْمَارُهُ كَمَا فِى التُّحْفَةِ وَهَذِهِ الْكَرَاهَةِ مِنْ حَيْثُ الظَّاهِرُ اَمَّا مِنْ حَيْثُ الْبَاطِنُ فَحَرَامٌ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الْفُحُوْلُ الْمُتَّقُوْنَ مِنَ الْعُلَمَاءِ الْجَامِعِيْنَ بَيْنَ الظَّاهِرِ وَالْبَاطِنِ كَالْقُطْبِ الْحَدَّادِ وَغَيْرِهِ اِذْ كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ رِبْحًا فَهُوَ رِبًا فَانْظُرْهُ فِى اْلخُطْبَةِ لِبَاسُوْدَانِ.
"(Masalah) Pemberian riba ketika meminjam jika karena darurat sekiranya jika dia tidak memberikannya, dia tidak akan mendapatkan pinjaman maka dia tidak berdosa. Karena dia memiliki cara untuk mengatasi pemberian tambahan tersebut dengan cara nadzar atau sebab-sebab kepemilikan yang lain. Terutama jika kita mengatakan berdasarkan qoul yang mu’tamad bahwa nadzar tidak memerlukan adanya qobul secara lafad. Yang aku maksudkan disini dan penyewaan yang disebutkan sebelumnya, jika dalam dua hal tersebut terdapat syarat dalam pengukuhan akad atau dalam majlis khiyar, maka akad keduanya batal, jika tidak maka dimakruhkan. Karena setiap hal yang merusak yang dapat membatalkan syaratnya, dimakruhkan menyimpannya. Sebagaimana diterangkan dalam kita at-Tuhfah. Kemakruhan ini dilihat dari sisi dhohir, adapun dari sisi batin maka hukumnya haram sebagaimana ditetapkan oleh para ulama’ terkemuka yang mengumpulkan antara hal yang dlohir dan yang batin. Seperti syeikh al-Qutbu al-Haddad atau yang lainnya. Karena setiap pinjaman yang menarik untung adalah riba, lihatlah dalam khutbah Syeikh Basudan".
Untuk pendapat terakhir yang mengatakan bahwasannya bunga bank itu masih syubhat adalah bank tidak bisa dikatakan haram 100% karena akad dalam riba tidak sama dengan mekanisme yang ada dalam bank akan tetapi juga tidak bisa dikatakan halal 100% karena masih adanya unsur ziyadah.

D.    Pendapat yang dipilih dan Hujjah yang digunakan

Setelah membahas tentang bunga bank dan melakukan analisis pendapat Ulama’ tentang bunga Bank. Penulis memilih pendapat yang mengatakan bahwa bunga Bank tidak bisa dikatakan riba sepenuhnya dengan hujjah sebagai berikut:
Pertama, jika menghindari bunga dalam akad, yang kemudian bunga tersebut dijanjikan dengan hadiah atau nadzar.
وَجَازَ مِنْ غَيْرِ كَرَاهَةٍ (نَفْعٌ) يَصِلُ لِمُقْرِضٍ مِنْ مُقْتَرِضٍ (بِلاَ شَرْطٍ) فِى اْلعَقْدِ بَلْ يُسَنُّ ذَلِكَ لِلْمُقْرِضِ لِقَوْلِهِ : (اِنَّ خِيَارَكُمْ اَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً) وَاَحَاسِنُ جَمْعُ اَحْسَنَ. وَفِى رِوَايَةٍ: (اِنَّ خِيَارَكُمْ مَحَاسِنُكُمْ قَضَاءً). اِلَى اَنْ قَالَ : وَاْلاَوْجَهُ اَنَّ اْلإِقْرَاضَ مِمَّنْ تَعُوْدُ الزِّيَادَةُ بِقَصْدِهَا مَكْرُوْهٌ.
"Diperbolehkan tanpa hukum makruh adanya manfaat yang kembali pada orang yang meminjami dari orang yang berhutang jika tidak ada syarat dalam akad, bahkan hal tersebut disunahkan sebagaimana hadits Rasul , “Sesuatu yang paling baik diantara kamu sekalian adalah yang paling baik dalam mengembalikan pinjaman”. Lafad أحاسن disini adalah jama’ dari lafad أحسن . dalam riwayat lain disebutkan, “Sesuatu yang paling baik diantara kamu sekalian adalah yang paling baik dalam mengembalikan pinjaman”. Adapun pinjaman pada orang yang terbiasa meminta tambahan adalah makruh".[17]
Kedua, mekanisme bank konvensional merupakan suatu sistem yang dimana sistem tersebut tidak sama dengan transaksi hutang piutang yang mengandung unsur riba. Riba meruapakan akad yang terjadi antara dua orang dalam suatu majlis, yang satu sebagai orang yang berhutang dan yang kedua sebagai orang yang menghutangi dengan menyaratkan tambahan ketika melunasinya. Sedangkan dalam bank bukanlah transaksi yang terjadi antara dua orang, akan tetapi bank merupakan suatu lembaga pihak ketiga yang membantu masyarakat pemilik dana untuk menabung hartanya kemudian bank juga membantu masyarakat yang membutuhkan dana untuk meminjam modal kepada masyarakat pemilik dana. Dari sini bank memiliki suatu sistem tentang tatacara penetapan prosentase bunga pinjaman dan bunga tabungan sebagai penghargaan bagi masyarakat pemilik dana. Kemudian dari keuntungan bunga pinjaman yang didapatkan bank, bunga tersebut masih dibagi dengan segala perangkat yang ada dalam lembaga tersebut. Contohnya seperti pegawai bank, pajak kepada negara, bunga tabungan dan deposito dan lain sebagainya. Dari sini transaksi yang ada dalam bank tidak bisa dikatakan riba 100%.
الْعَادَةُ الْمُطَّرِدَةُ فِي نَاحِيَةٍ، هَلْ تُنَزَّلُ عَادَتُهُمْ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ، فِيهِ صُوَرٌ. اِلَى اَنْ قَالَ... وَمِنْهَا: لَوْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُقْتَرِضِ بِرَدِّ أَزْيَدَ مِمَّا اقْتَرَضَ، فَهَلْ يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ، فَيَحْرُمُ إقْرَاضُهُ وَجْهَانِ، أَصَحُّهُمَا: لاَ. اهـ
"Kebiasaan yang terus menerus dalam suatu daerah, apakah kebiasaan mereka bisa menjadi syarat? Dalam hal ini terdapat beberapa bentuk –sampai pada perkataan mushonif- “diantaranya jika kebiasaan orang yang berhutang mengembalikan dengan adanya tambahan dari barang yang dipinjam”. Apakah menempati tempat syarat sehingga hutangnya haram?. Dalam hal ini ada dua pendapat, dan yang paling unggul adalah tidak".[18]
Ketiga, mengutip pendapatnya Muhammad Abduh bahwa bank diperlukan untuk maslahah. Tidak bisa dipungkiri pada masa modern perekonomian suatu negara juga tidak terlepas dengan adanya peran Bank. berdirinya perusahaan-perusahaan besar khususnya dalam bidang industri tidak akan bisa jika tidak melakukan transaksi dengan bank. pernah ada suatu kasus bahwasannya pengusaha-pengusaha minyak dari timur tengah menyimpan uangnya di bank Swis. Tujuan mereka hanya untuk menyimpan dan mengamankan uangnya yang jumlahnya sangatlah banyak tetapi mereka tidak mahu menerima bunga tabungan atau bunga deposito dari bank dengan alasan riba. Karena bank merupakan suatu sistem yang memiliki aturan, Mahu tidak mahu pihak bank tetap harus mengeluarkan dana tersebut. Karena para pengusaha timur tengah menolaknya akhirnya dana tersebut diambil oleh Vatikan (pusat agama kristen diseluruh dunia). Jika seperti itu maka menghindari mudhorot yang kecil menuju mudhorot yang lebih besar. Hal ini bisa diibaratkan “kita tidak mahu mengambil kotoran kambing alasannya najis, kemudian kotoran kambing tersebut diambil oleh musuh kita kemudian dilempar kemuka kita”. Padahal walaupun najis kotoran kambing masih bisa kita manfaatkan sebagai pupuk agar tanaman kita menjadi subur, masalah kotoran kambing itu najis atau tidak, masih bisa kita sucikan dengan air. Walaupun bunga bank itu riba atau bukan karena masih diperselisihkan akan tetapi bunga tersebut masih banyak manfaatnya contohnya untuk diberikan kepada faqir miskin, membantu mereka sehingga terhindar dari bahaya kristenisasi, sehingga membantu menumbuhkan keimananan mereka terhadap Islam. Masalah apakah bunga itu riba atau bukan, masih bisa kita sucikan tangan kita dengan memperbanyak istighfar. Jika kita terlalu kaku dengan pendapat haramnya bunga tabungan, maka jika bunga tersebut diambil oleh Vatikan yang terjadi malah mudhorot yang sangat besar. Jangan sampai terlalu ngotot mengutamakan hukum syariah akan tetapi malah kehilangan tauhid. Ushul harus lebih didahulukan daripada furu’. Dari sini berlakulah kaidah fiqih:
درء المفاسد مقدم علي جلب المصالح
Mencegah kemudhorotan lebih didahulukan daripada melakukan suatu kemaslahatan
اذا اجتمع الضراران فعليكم باخفهما
Jika berkumpul dua kemudhorotan maka memilih mudhorot yang paling ringan
Keempat,untuk hajat dan kebutuhan. Seperti yang telah dijelaskan diawal adanya suatu bank merupakan suatu keniscayaan dalam suatu negara. Jika seorang muslim terlalu radikal dalam memilih pendapat yang mengharamkan bunga bank. maka perusahaan-perusahaan dalam negeri justru akan dikuasai oleh non muslim atau pihak-pihak asing. Hal ini dikarenakan, orang-orang muslim tidak mahu mendirikan suatu perusahaan karena harus berurusan dengan bank. Sedangkan mendirikan perusahan yang besar tidak akan bisa berkembang jika tidak berinteraksi dengan bank. jika perusahaan-perusahaan dikuasai oleh non muslim mahu tidak mahu umat muslim hanya akan menjadi pegawai dalam perusahaan-perusahaan tersebut, kemudian tidak sedikit dari mereka yang harus terikat peraturan perusahaan yang bisa jadi membatasi umat muslim untuk beribadah. Contohnya kesulitan dalam melaksanakan sholat tepat waktu, sholat jamaah, sholat jumat, puasa, menutup aurat dll. Disisi lain kebutuhan ekonomi masyarakat yang tidak terbatas semakin membuat mereka terpaksa masuk kedalam pekerjaan-pekerjaan yang menjanjikan kesejahteraan hidup.
Melakukan transaksi hutang piutang melalui bank juga merupakan kebutuhan masyarakat modern. Bank sebagai pihak ketiga membantu masyarakat dalam memberikan pinjaman dari masyarakat pemilik dana. Bisa dibayangkan jika seandainya seseorang yang ingin melakukan pinjaman dalam jumlah besar kemudian dia harus mencari orang yang mahu meminjamkan uangnya kepadanya maka akan terjadi kesulitan. Dari sini fungsi bank sebagai lembaga yang memberikan bantuan dalam mengatasi masalah tersebut. Dengan alasan ini maka berlaku kaidah fiqih:
المشقة تجلب التيسر
Segala kesulitan membawa kepada kemudahan
الضرورة تبيح المحظورات
Dhorurot membolehkan kepada seseuatu yang dilarang
Abdul Wahab Kholaf dalam bukunya Ushul Fiqih mengutip dari kitab Asbah wan nadhoir mengungkapkan bahwa: di Mesir pernah terjadi krisis ekonomi, kemudian sebagai solusinya menerapkan sistem koperasi yang juga menerapkan bunga. Dari sini berlaku kaidah fiqih:
الحجة تنزل منزلة الضرورات في اباحة المحظورات
Hajat menempati kedudukan dorurot dalam hal membolehkan yang dilarang.
Akan tetapi hal-hal yang dibolehkan dalam keadaan dhorurot harus tetap diukur menurut kadar kedhorurotannya.
                                                                                                                الضرورة تقدر بقدارها
Kelima, pada jaman sekarang ini, secara tidak langsung semua orang telah melakukan transaksi dengan bank. Atau paling tidak ikut terlibat dalam membantu eksistensi berlangsungnya bank dalam suatu negeri. Walaupun secara tidak lansung masyarakat menghindari transaksi dengan bank dengan alasan riba, akan tetapi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan manusia seperti, pakaian, mobil, rumah, perabotan dll merupakan hasil transaksi antara bank dan toko penyedia barang-barang tersebut. Jadi menghindari trransaksi dengan bank rasanya sesuatu yang sangatlah mustahil. Jika bank itu dihukumi haram maka sesuatu yang dapat menyebabkan keharoman maka hukumnya juga haram. Dalam ilmu ushul fiqih hal ini masuk dalam pembahasan sadduz dziroi[19]
فإنما يؤدي الي الشر شر




BAB III PENUTUP

A.    Kesimpulan

Riba meruapakan akad yang terjadi antara dua orang dalam suatu majlis, yang satu sebagai orang yang berhutang dan yang kedua sebagai orang yang menghutangi dengan menyaratkan tambahan kepada penghutang. Sedangkan dalam bank bukanlah transaksi yang terjadi antara dua orang, akan tetapi bank merupakan suatu lembaga pihak ketiga yang membantu masyarakat pemilik dana untuk menabung hartanya kemudian bank juga membantu masyarakat yang membutuhkan dana untuk meminjam modal kepada masyarakat pemilik dana. Dari sini bank memiliki suatu sistem tentang tatacara penetapan prosentase bunga pinjaman dan bunga tabungan sebagai penghargaan bagi masyarakat pemilik dana. Kemudian dari keuntungan bunga pinjaman yang didapatkan bank, bunga tersebut masih dibagi dengan segala perangkat yang ada dalam lembaga tersebut. Contohnya seperti pegawai bank, pajak kepada negara, bunga tabungan dan deposito dan lain sebagainya. Dari sini transaksi yang ada dalam bank tidak bisa dikatakan riba 100% akan tetapi juga tidak bisa dikatakan halal 100% karena masih terdapat unsur ziyadah.
Sebenarnya masalah kredit/ rentenir/ bank/koprasi simpan pinjam secara umum menurut para Ulama’ hukumnya terbagi menjadi 3: pertama haram karena masuk pada utang piutang yang menarik kemanfaatan pada orang yg menghutangi. Pendapat ini menyamakan bunga bank dengan riba. kedua halal selama tidak ada syarat ketika akad sedang berlangsung atau dimajlis khiyar karena kebiasaan yang berlaku tidak bisa menempati tempatnya syarat menurut jumhur ulama'. Pendapat ini tidak menyamakan antara bunga bank dan riba. Ketiga syubhat karena ulama' berbeda-beda pendapat tentang kehalalanya. Dari ketiga pendapat tersebut pendapat pertama lebih banyak dipilih untuk mengambil tindakan hati-hati. Sedangkan penulis lebih memilih pendapat yang masih memberi keringanan untuk menerima bunga bank asalkan dengan beberapa syarat seperti yang telah disebutkan.



DAFTAR PUSTAKA

Bahresy, Husein. September 2013.  Himpunan Fatwa, (Surabaya: al-Ikhas. 1987) sebagaimana dikutip Abdurrohman Kasdi. Analisis Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih, dalam Jurnal Iqtishadia.Vol. 6, No. 2.

Faturrohman, Djamil. 1995. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. cet. I Jakarta: Logos Publishing House.

Hasan, A. 1983. Soal-Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung: Diponegoro
Imam Taqiyuddin dalam kitabnya. Tt. Kifayah al-Akhyar fi Halli Gayati al-Ikhtisar. ttp: Darul Haya.

Ilmi, Makhalul. 2002. Teori dan Prakiek Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah. Cet. I. Yogayakarta: UII Press.

Kasdi, Abdurrohman. September 2013. Analisis Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih. dalam Jurnal Iqtishadia.Vol. 6, No. 2

Kalsum, Ummi. Juli 2014. Riba dan Bunga Bank dalam Islam, dalam Jurnal Al-Adl. Vol. 7, No. 2.
Kasdi, Abdurrohman. September 2013. Analisis Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih. dalam Jurnal Iqtishadia.Vol. 6, No. 2

Nasution, Khoiruddin Nasution. 1996. Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. cet, I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Salam, Abdul. Juni 2013. Bunga Bank dalam Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan Muhammadiyah). dalam Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia. Vol. 3, No. 1.

Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhyah. Jakarta: Midas Surya Grafindo.

DAFTAR KITAB

1. Al-Jamal 'Ala Fatchi al-Wahhab
2. Chasyiyatu al-Jamal
3. Ghayatu al-Talchishi al-Murad Hamisy Bughyatu al-Mustarsyidin
4. Bughyatu al-Mustarsyidin
5. I'anatu al-Thalibin
6. I'anatu al-Thalibin
7. Nihayatu az-Zain
8. Bughyatu al-Mustarsyidin
9. Al-Asybah wa an-Nadhair
10. Ghayatu al-Talchishi al-Murad Hamisy Bughyatu al-Mustarsyidin



[1] Abdurrohman Kasdi, Analisis Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih, dalam Jurnal Iqtishadia,Vol. 6, No. 2, September 2013, hlm. 320
[2] Ummi Kalsum, Riba dan Bunga Bank dalam Islam, dalam Jurnal Al-Adl, Vol. 7, No. 2, Juli 2014, hlm. 71
[3] Biar lebih jelas, baca Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 37. Sebagai perbandingan lihat Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar fi Halli Gayati al-Ikhtisar, (ttp: Darul Haya, tt), hlm. 246
[4] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhyah. (Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1997), hlm. 102. Sementara Makhalul Ilmi. SM, mengatakan bahwa arti “kelebihan” tidak berhenti di sini saja—karena “kelebihan” yang lahir akibat dilakukannya transaksi ekonomi antara dua pihak atau lebih disebut sebagai riba, termasuk mengambil keuntungan atas suatu transaksi jual beli yang lazim berlaku dalam tatanan masyarakat bangsa-bangsa di dunia sejak dahulu hingga sekarang. Sudah barang tentu bukanlah yang dimaksud al-Qur’an demikian, karena tegas-tegas salah satu ayatnya menyebutkan: “Allah menghalalkan jual beli dan mengaharamkan riba”. Makhalul Ilmi, Teori dan Prakiek Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, Cet. I (Yogayakarta: UII Press, 2002), hlm. 19
[5] Ali as-Sabuni, Rawai ‘al-Bayan fi at-Tafsir Ayati al-Ahkam,(ttp: Dar al-Qur’an, 1391/1972), I: 383 sebagaimana dikutib oleh Moh, Nashiruddin A. Ma’mun, Perspektif NU tentang Bunga Bank, dalam Jurnal Ummul Qura, Vol. V, No.1, Maret 2015, hlm. 119
[6] Ianatut tholibin, juz. 3, hlm. 20
[7] Abdul Salam, Bunga Bank dalam Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan Muhammadiyah), dalam Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, Juni 2013, hlm. 80
[8] Ibid, hlm
[9] Djamil, Faturrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, cet. I Jakarta: Logos Publishing House, 1995, sebagaimana dikutip oleh Abdul Salam, Bunga Bank dalam Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan Muhammadiyah), dalam Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, Juni 2013, hlm. 80
[10] Husein Bahreisy,  Himpunan Fatwa, (Surabaya: al-Ikhas. 1987) sebagaimana dikutip Abdurrohman Kasdi, Analisis Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih, dalam Jurnal Iqtishadia,Vol. 6, No. 2, September 2013, hlm. 332
[11] Abdurrohman Kasdi, Analisis Bunga Bank dalam Pandangan Fiqih, dalam Jurnal Iqtishadia,Vol. 6, No. 2, September 2013, hlm. 332
[12] Ibid.
[13] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet, I: (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), sebagaimana dikutip Abdul Salam, Bunga Bank dalam Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan Muhammadiyah), dalam Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, Juni 2013, hlm. 83
[14] A, Hasan, Soal-Jawab: Tentang Berbagai Masalah Agama, (Bandung: Diponegoro, 1983), sebagaimana dikutip oleh Abdul Salam, Bunga Bank dalam Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan Muhammadiyah), dalam Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, Juni 2013, hlm. 83
[15] Khoiruddin Nasution, sebagaimana dikutip Abdul Salam, Bunga Bank dalam Perpektif Islam (Studi pendapat NU dan Muhammadiyah), dalam Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia, Vol. 3, No. 1, Juni 2013, hlm. 84
[16] Ahkamul Fuqoha', . . . juz 1, hlm 22
[17] Nihayatu az-Zain, 242
[18] Nihayatu az-Zain, 242
[19] Larangan melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan kepada hukum haram.

1 comment:




  1. Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.

    Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.

    saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp15 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Pembayaran yang fleksibel,
    Suku bunga rendah,
    Layanan berkualitas,
    Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan

    Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)

    Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)

    ReplyDelete