Monday, June 4, 2018

TEORI-TEORI DAN PENDEKATAN SISTEM MUTU PENDIDIKAN

TEORI-TEORI DAN PENDEKATAN SISTEM MUTU PENDIDIKAN

Oleh:

MUHAMMAD FURQAN (16771006)

Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

A.       Pendahuluan

Bagi setiap institusi, mutu adalah agenda utama dan meningkatkan mutu merupakan tugas yang paling penting. Walaupun demikian, ada sebagian orang yang menganggap mutu sebagai sebuah konsep yang penuh dengan teka-teki. Mutu dianggap sebagai suatu hal yang membingungkan dan sulit untuk diukur. Mutu dalam pandangan seseorang terkadang bertentangan dengan mutu dalam pandangan orang lain, sehingga tidak aneh jika ada dua pakar yang tidak memiliki kesimpulan yang sama tentang bagaimana cara menciptakan institusi yang baik.
Kita memang bisa mengetahui mutu ketika kita mengalaminya, tapi kita tetap merasa kesulitan ketika kita mencoba mendeskripsikan dan menjelaskannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita akan melakukan apa saja untuk mendapatkan mutu, terutama jika mutu tersebut sudah menjadi kebiasaan kita. Namun, ironisnya, kita hanya bisa menyadari keberadaan mutu tersebut saat mutu tersebut hilang. Satu hal yang bisa kita yakini adalah mutu merupakan suatu hal yang membedakan antara yang baik dan yang sebaliknya. Bertolak dari kenyataan tersebut, mutu dalam pendidikan akhirnya merupakan hal yang membedakan antara kesuksesan dan kegagalan. Sehingga, mutu jelas sekali merupakan masalah pokok yang akan menjamin perkembangan sekolah dalam meraih status di tengah-tengah persaingan dunia pendidikan yang kian keras.[1]
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggariskan bahwa pendidikan dilaksanakan melalui satu sistem pendidikan nasional yang mengusahakan tercapainya suatu pendidikan nasional yaitu untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia. Implikasi dari berlakunya undang-undang ini di antaranya adalah perlu adanya suatu standar mutu pendidikan yang bersifat nasional. Di antara upaya menentukan standar secara nasional adalah adanya standar nasional pendidikan (PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional) untuk berbagai jenis dan jenjang pendidikan.[2]
Penjaminan mutu pendidikan formal, nonformal, dan informal telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Kebijakan pembangunan pendidikan nasional diarahkan pada upaya mewujudkan daya saing, pencitraan publik, dan akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Tolok ukur efektivitas implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat dari ketercapaian indikator-indikator mutu penyelenggaraan pendidikan yang telah ditetapkan BNSP dalam delapan (8) standar nasional pendidikan (SNP).[3]
Sistem penjaminan mutu pendidikan merupakan kegiatan yang sistemik dan terpadu pada penyelenggaraan pendidikan untuk meningkatkan tingkat kecerdasan bangsa. Tidak dipungkiri bahwa upaya strategis jangka panjang untuk mewujudkannya menuntut satu sistem pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan yang dapat membangun kerjasama dan kolaborasi di antara berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait dalam satu keterpaduan jaringan kerja tingkat nasional, regional, dan lokal.
Awal mula kata ‘mutu’ ini dipakai dalam dunia bisnis karena di dunia bisnis terdapat pemasaran serta interaksi antara konsumen dan produksi, apabila perusahaan memproduksi barang atau jasa dengan mutu yang tinggi maka konsumen akan merasa terpenuhi apa yang diinginkannya, sehingga perusahaan akan semakin meningkat. Akan tetapi, seiring berkembangnya zaman dan kuatnya analisis para pemerhati pendidikan, dari teori mutu yang biasa diterapkan pada dunia bisnis, dapat juga diterapkan dalam dunia pendidikan.
Bahkan bukan hanya itu saja, dengan adanya konsep mutu tersebut, muncul standar mutu yang notabene berfungsi untuk melihat tingkat tinggi dan rendahnya lembaga tersebut dalam menjalankan konsep mutu di lembaga masing-masing, sehingga para staekholder lembaga pendidikan formal terdorong untuk menjadi yang terbaik dalam segi mutu/kualitas.[4]
Perbaikan mutu pendidikan harus segera dilakukan secara terus menerus dengan cara memperbaiki manajemen mutu pendidikannya. Organisasi-organisasi pendidikan memegang peranan awal dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu, dalam makalah ini penulis berusaha membahas mengenai mutu pendidikan melalui teori-teori dan pendekatannya.
1.      Pengertian Mutu Pendidikan
Transformasi sekolah era kontemporer menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan komitmen bersama terhadap mutu pendidikan oleh komite sekolah, administrator, guru, staf, siswa, dan orang tua dalam komunitas sekolah. Adapun prosesnya melalui manajemen strategi yang berorientasi pada mutu dan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan costumer (user education).
Pengembangan mutu dalam sektor pendidikan, sesungguhnya mengadopsi dari berbagai konsep (walaupun yang paling dominan adalah konsep mutu dalam dunia industri). Akan tetapi, pengembangan mutu akhirnya merembes pada ranah pendidikan menjadi suatu konsep yang “paten” sehingga mutu pendidikan merupakan suatu hal yang menjelma kebutuhan primer bagi sekolah untuk bersaing dengan sekolah-sekolah lainnya. Membicarakan tentang pengertian kualitas atau mutu dapat berbeda makna bagi setiap orang, karena mutu memiliki banyak kriteria dan sangat tergantung pada konteksnya. Dalam mendefinisakan mutu, ada lima pakar utama yang saling berbeda pendapat, tetapi sebenarnya memiliki maksud yang sama.[5]
Menurut Edward Sallis, mutu dapat dipandang sebagai sebuah konsep yang absolut sekaligus relatif. Dalam percakapan sehari-hari, mutu sebagian besar dipahami sebagai sesuatu yang absolut, misalnya restoran yang mahal dan mobil-mobil yang mewah. Sebagai suatu konsep yang absolut, mutu sama halnya dengan sifat baik, cantik, dan benar, merupakan suatu idealisme yang tidak dapat dikompromikan. Dalam defenisi yang absolut, sesuatu yang bermutu merupakan bagian dari standar yang sangat tinggi dan tidak dapat diungguli.[6] Sedangkan mutu yang relatif dipandang sebagai suatu yang melekat pada sebuah produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggannya. Untuk itu, dalam defenisi relatif ini produk atau layanan akan dianggap bermutu bukan karena ia mahal dan eksklusif, tetapi karena memiliki nilai, misalnya keaslian produk, wajar, dan familiar.[7]
Sedangkan menurut Joseph Juran, seperti yang dikutip Oleh M. N. Nasution, kualitas diartikan sebagai kecocokan penggunaan produk (fitness for use) untuk memebuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan atau kualitas sebagai kesesuaian terhadap spesifikasi.[8] Sementara, W. Edward Deming menyatakan bahwa kualitas adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau apa pun yang menjadi kebutuhan dan keinginana konsumen. Adapun menurut Philip B. Crosby, kualitas adalah conformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau disandarkan atau kualitas sebagai nihil cacat, kesempurnaan, dan kesesuaian terhadap persyaratan. Feigenbaum juga mencoba untuk mendefiniskan bahwa kualitas adalah kepuasan-kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction).[9]
Meskipun tidak ada defenisi mengenai kualitas yang diterima secara universal, dari definisi-definisi yang ada terdapat beberapa kesamaan. Artinya, dalam mendefinisakan mutu/kualitas memerlukan pandangan yang komprehensif. Dalam hal ini, ada beberapa elemen yang bisa membuat sesuatu dikatakan berkualitas. Pertama, kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan. Kedua, kualitas mencakup produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan. Ketiga, kualitas merupakan kondisi yang selalu berubah (apa yang dianggap berkualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada saat yang lain). Keempat, kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.[10]
 Maka, pada tataran tersebut, pengertian mengenai mutu pendidikan mengandung makna yang berlainan, sehingga perlu ada suatu pengertian yang operasional sebagai suatu pedoman dalam pengelolaan pendidikan untuk sampai pada pengertian mutu pendidikan. Oleh sebab itu, perlu terlebih dahulu melihat kerangka dasar pengertian mutu pendidikan. Secara leksikal, dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, mutu adalah ukuran baik buruk suatu benda, keadaan, taraf, atau derajat (kepandaian, kecerdasan, dan sebagainya).[11] Adapun Sudarwan Danim mendefinisikan mutu sebagai derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa barang atau jasa.[12] Sedangkan D.L. Goetsch dan S. Davis, seperti yang dikutip oleh Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, mendefinisikan mutu sebagai suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.[13]
Sementara itu, jika dilihat dari segi korelasi mutu dengan pendidikan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dzaujak Amad, bahwa mutu pendidikan adalah kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang berlaku.[14]
Menurut Oemar Hamalik, pengertian mutu dapat dilihat dari dua sisi, yaitu segi normatif dan segi deskriptif. Dalam arti normatif, mutu ditentukan berdasarkan pertimbangan (kriteria) intristik dan ekstrinsik. Berdasarkan kriteria instrinsik, mutu pendidikan merupakan produk pendidikan yakni manusia yang terdidik, sesuai dengan standar ideal. Berdasarkan kriteria ekstrinsik, pendidikan merupakan instrumen untuk mendidikan tenaga kerja yang terlatih. Adapun dalam arti deskriptif, mutu ditentukan berdasarkan keadaan senyatanya, misalnya hasil tes belajar.[15]
Sudarwan Danim memiliki pandangan lain tentang pengertian mutu. Menurutnya, mutu pendidikan mengacu pada masukan, proses, luaran dan dampaknya. Mutu masukan dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, kondisi baik atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala sekolah, guru, laboran, staf tata usaha, dan siswa. Kedua, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan material berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, sarana, prasarana sekolah, dan lain-lain. Ketiga, memenuhi atau tidaknya kriteria masukan yang berupa perangkat lunak, seperti peraturan, struktur organisasi, deskripsi kerja, dan struktur organisasi. Keempat, mutu masukan yang bersifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan dan cita-cita.
Mutu proses pembelajaran mengandung makna bahwa kemampuan sumber daya sekolah mentransformasikan multi jenis masukan dan situasi untuk mencapai derajat nilai tambah tertentu dari peserta didik. Dilihat dari hasil pendidikan, mutu pendidikan dipandang berkualitas jika mampu melahirkan keunggulan akademis dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu.[16]
Berdasarkan deskripsi dari beberapa pakar di atas dapat disimpulkan bahwa mutu pendidikan adalah derajat keunggulan dalam pengelolaan pendidikan secara efektif dan efisien untuk melahirkan keunggulan akademis dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Dilihat dari definisi ini, maka mutu pendidikan bukanlah upaya sederhana, melainkan suatu kegiatan dinamis dan penuh tantangan. Pendidikan akan terus berubah seiring dengan perubahan zaman yang melingkarinya, sebab pendidikan merupakan buah dari zaman itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan senantiasa memerlukan upaya perbaikan dan peningkatan mutu sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan dan tuntunan kehidupan masyarakat.
2.      Karakteristik Mutu Pendidikan
Menurut Husaini Usman di dalam bukunya mengatakan bahwa mutu memiliki 13 karakteristik, yaitu:
1)   Kinerja (performa), berkaitan dengan aspek fungsional sekolah. Misalnya: kinerja guru dalam mengajar baik, memberikan penjelasan meyakinkan, sehat dan rajin mengajar, dan menyiapkan bahan pelajaran lengkap. Pelayanan administratif dan edukatif sekolah baik yang ditandai hasil belajar tinggi, lulusannya banyak, putus sekolah sedikit, dan yang lulus tepat waktu banyak. Akibat kinerja yang baik maka sekolah tersebut menjadi sekolah favorit.
2)   Waktu wajar (timeliness), selesai dengan waktu yang wajar. Misalnya: memulai dan mengakhiri pelajaran tepat waktu, waktu ulangan tepat, batas waktu pemberian pekerjaan rumah wajar serta waktu untuk guru naik pangkat wajar.
3)   Handal (reliability), usia pelayanan prima bertahan lama. Misalnya: pelayanan prima yang diberikan sekolah bertahan dari tahun ke tahun, mutu sekolah tetap bertahan dari tahun ke tahun, sebagai sekolah favorit bertahan dari tahun ke tahun, sekolah menjadi juara tertentu bertahan dari tahun ke tahun, guru jarang sakit, kerja keras guru bertahan dari tahun ke tahun.
4)   Daya tahan (durability), tahan banting. Misalnya: meskipun krisis moneter, sekolah masih tetap bertahan, tidak tutup. Siswa dan guru tidak putus asa dan selalu sehat.
5)   Indah (aestetics). Misalnya: eksterior dan interior sekolah ditata menarik, taman ditanami bunga dan terpelihara dengan baik, guru-guru membuat media pembelanjaran yang menarik, warga sekolah berpenampilan rapi.
6)   Hubungan manusiawi (personal interface), menjunjung tinggi nilai-nilai
moral dan profesionalisme. Misalnya: warga sekolah saling menghormati, baik warga internal maupun eksternal sekolah, demokratis, dan menghargai profesionalisme.

7)   Mudah penggunaannya (easy of use), sarana dan prasarana dipakai. Misalnya: aturan-aturan sekolah mudah diterapkan, buku-buku perpustakaan mudah dipinjam dan dikembalikan tepat waktu, penjelasan guru di kelas mudah dimengerti siswa, contoh soal mudah dipahami, demonstrasi praktik mudah diterapkan siswa.
8)   Bentuk khusus (feature), keunggulan tertentu. Misalnya: sekolah ada yang unggul dengan hampir semua lulusannya diterima di universitas bermutu, unggul dengan bahasa Inggrisnya, unggul dengan penguasaan teknologi informasinya (komputerisasi), ada yang unggul dengan karya ilmiah kesenian atau olahraga.
9)   Standar tertentu (conformance to specification), memenuhi standar tertentu. Misalnya: sekolah sudah memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM), sekolah sudah memenuhi standar minimal ujian nasional atau sekolah sudah memenuhi ISO 9001:2000 atau sekolah sudah memenuhi TOEFL dengan skor 650.
10)    Konsistensi (Consistency), keajegan, konstan, atau stabil. Misalnya: mutu sekolah dari dahulu sampai sekarang tidak menurun seperti harus mengatrol nilai siswa-siswanya, warga sekolah konsisten antara perkataan dengan perbuatan (apabila berkata tidak berbohong, apabila berjanji ditepati, dan apabila dipercaya tidak mengkhianati).
11)    Seragam (uniformity), tanpa variasi, tidak tercampur. Misalnya: sekolah menyeragamkan pakaian sekolah dan pakaian dinas, sekolah melaksanakan aturan, tidak pandang bulu atau pilih kasih.
12)    Mampu melayani (serviceability)mampu memberikan pelayanan prima. Misalnya: sekolah menyediakan kotak saran dan saran-saran yang masuk
mampu dipenuhi dengan sebaik-baiknya, sekolah mampu memberikan pelayanan primanya kepada pelanggan sekolah sehingga semua pelanggan merasa puas.

13)    Ketepatan (Accruracy), ketepatan dalam pelayanan. Misalnya: sekolah mampu memberikan pelayanan sesuai dengan yang diinginkan pelanggan sekolah, guru-guru tidak salah dalam menilai siswa-siswanya, semua warga sekolah bekerja dengan teliti, jam Belajar di sekolah berlangsung tepat waktu.[17]
3.      Dimensi Mutu Pendidikan
Dalam tulisan singkat ini akan dijelaskan secara sekilas tentang pandangan UNESCO tentang beberapa dimensi mutu pendidikan. Uraian tentang dimensi mutu pendidikan itu tertuang dalam buku EFA Global Monitoring Report 2005 atau Laporan Pemantauan Global Pendidikan Untuk Semua. Menurut UNESCO setidaknya ada 5 dimensi yang terkait dengan mutu pendidikan, yaitu:[18]
a.       Karakteristik Pembelajar (learner characteristics)
Dimensi ini sering disebut sebagai masukan (inputs) atau malah masukan kasar (raw inputs) dalam teori fungsi produksi (production function theory), yaitu peserta didik atau pembelajar dengan berbagai latar belakangnya, seperti pengetahuan (aptitude), kemauan dan semangat untuk belajar (perseverance), kesiapan untuk bersekolah (school readiness), pengetahuan siap sebelum masuk sekolah (prior knowledge), dan hambatan untuk pembelajaran (barriers to learning) terutama bagi anak luar biasa.
Banyak faktor latar belakang peserta didik yang sangat mempengaruhi mutu pendidikan di negeri ini. Banyak anak usia sekolah yang tidak didukung oleh kondisi yang kondusif, misalnya peserta didik yang berasal dari keluarga tidak mampu, keluarga pecah (broken home), kesehatan lingkungan, pola asuh anak usia dini, dan faktor-faktor lain-lainnya. Dimensi ini menjadi faktor awal yang mempengaruhi mutu pendidikan.
b.      Pengupayaan Masukan (enabling inputs)
Ada dua macam masukan yang akan mempengaruhi mutu pendidikan yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan sumber daya fisikal. Guru atau pendidik, kepala sekolah, pengawas, dan tenaga kependidikan lain menjadi sumber daya manusia (human resources) yang akan mempengaruhi mutu hasil belajar siswa (outcomes).
Proses belajar mengajar tidak dapat berlangung dengan nyaman dan aman jika fasilitas belajar, seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan bahan ajar lainnya (learning materials), media dan alat peraga yang dapat diupayakan oleh sekolah, termasuk perpustakaan dan laboratorium, bahkan juga kantin sekolah, dan fasilitas pendidikan lainnya, seperti buku pelajaran dan kurikulum yang digunakan di sekolah. Semua itu dikenal sebagai infrastruktur fisikal (physical infrastructure atau facilities). Singkat kata, mutu sumber daya manusia yang tersedia di sekolah dan mutu fasilitas sekolah merupakan dua macam masukan yang sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
c.       Proses Belajar Mengajar (teaching and learning)
Dimensi ketiga ini sering disebut sebagai kotak hitam (black box) masalah pendidikan. Dalam kotak hitam ini terdapat tiga komponen utama pendidikan yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, yaitu peserta didik, pendidik, dan kurikulum. Oleh karena itu mutu proses belajar mengajar, atau mutu interaksi edukatif yang terjadi di ruang kelas, menjadi faktor yang amat berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas proses belajar-mengajar dipengaruhi oleh: (1) lama waktu belajar; (2) metode mengajar yang digunakan; (3) penilaian, umpan balik, bentuk penghargaan bagi peserta didik; dan (4) jumlah peserta didik dalam satu kelas.
d.      Hasil Belajar (outcomes)
Hasil belajar adalah sasaran yang diharapkan oleh semua pihak. Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari pihak-pihak tersebut. Setidaknya, semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan menghasilkan lulusan yang dapat membaca dan menulis (literacy), berhitung (numeracy), dan kecakapan hidup (life skills), ini memang pasti.  Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan emosional dan sosial (emotional dan social intelligences), nilai-nilai lain yang diperlukan masyarakat.
Hasil belajar yang akan dicapai sesungguhnya yang sesuai dengan potensinya, sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta sesuai dengan tipe kecerdasannya, di samping juga nilai-nilai kehidupan (values) yang diperlukan untuk memeliharan dan menstransformasikan budaya dan kepribadian bangsa. Dalam perspektif psikologi pendidikan dikenal sebagai ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam perspektif sosial dikenal dengan istilah 3H (head, heart, hand). Semua itu pada dasarnya untuk mencapai tujuan pendidikan nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
e.       Konteks (contexts) atau Lingkungan (environments)
Keempat dimensi yang telah dijelaskan tersebut saling pengaruh-mempengaruhi dengan konteks (contexts) atau lingkungan (environments) yang meliputi berbagai aspek alam, sosial, ekonomi, dan budaya. Pada awalnya, peran orangtua (rumah) dan keluarga belum dipandang sebagai dimensi yang benar-benar berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Sekarang dukungan orangtua menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Dalam kajian tentang sekolah efektif (effective school), dukungan orangtua siswa dan masyarakat menjadi salah satu faktor dalam sekolah efektif.[19]
4.      Pendekatan Mutu Secara Umum
Mutu merupakan konsep yang terus mengalami perkembangan dalam pemaknaannya, menurut Garvin perspektif tentang konsep mutu mengalami evolusi sebagai berikut, dia mengidentifikasi adanya lima alternatif perspektif kualitas yang biasa digunakan, yaitu:

a.       Transcendental approach. Kualitas dalam pendekatan ini dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan dioperasionalkan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam seni musik, drama, seni tari, dan seni rupa. Selain itu perusahaan dapat mempromosikan produknya dengan pernyataan-pernyataan seperti tempat berbe- lanja yang menyenangkan (supermarket), elegan (mobil), kecantikan wajah (kosmetik), kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), dan lain-lain. Dengan demikian fungsi perencanaan, produksi, dan pelayanan suatu perusahaan sulit sekali menggunakan definisi seperti ini sebagai dasar manajemen kualitas.

b.      Product-based approach. Pendekatan ini menganggap kualitas sebagai karakteristik atau atribut yang dapat dikuantifikasikan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk. Karena pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat menjelaskan perbedaan dalam selera, kebutuhan, dan preferensi individual.

c.       User-based approach. Pendekatan didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang memandangnya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang (misalnya perceived quality) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Perspektif yang subjektif dan demand-oriented ini juga menyatakan bahwa pelanggan yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang dirasakannya.

d.      Manufacturing-based approach. Perspektif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktik- praktik perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai sama dengan persyaratannya (conformance to requirements). Dalam sektor jasa, dapat dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations-driven. Pendekatan ini berfokus pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal, yang seringkali didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. Jadi yang menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan konsumen yang menggunakannya. Dalam konteks ini konsumen dipandang sebagai fihak yang harus menerima standar-standar yang ditetapkan oleh produsen atau penghasil produk

e.       Value-based Approach. Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai "affordable excellence". Kualitas dalam perspektif ini bersifat relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah produk atau jasa yang paling tepat dibeli (best-buy).[20]

5.      Standar Mutu Pendidikan
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Indonesia disebutkan bahwa pendidikan di Indonesia menggunakan delapan standar yang menjadi acuan dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan, Standar Nasional Pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada delapan standar yang menjadi kriteria minimal tersebut yaitu:
a.      Standar Isi. Mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender pendidikan/akademik
b.      Standar Proses Pendidikan. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Selain itu, dalam proses pembelajaran pendidik memberikan keteladanan. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
c.       Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. Standar Kompetensi Lulusan meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah.
d.      Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik yang dimaksudkan adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: a. Kompetensi pedagogik; b. Kompetensi kepribadian; c. Kompetensi profesional; dan d. Kompetensi sosial. Pendidik meliputi pendidik pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan pelatihan. Tenaga Kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga kebersihan.
e.       Standar Sarana dan Prasarana. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa, tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan.
f.        Standar Pengelolaan. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi menerapkan otonomi perguruan tinggi yang dalam batas-batas yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku memberikan kebebasan dan mendorong kemandirian dalam pengelolaan akademik, operasional, personalia, keuangan, dan area fungsional kepengelolaan lainnya yang diatur oleh masing-masing perguruan tinggi.
g.      Standar Pembiayaan. Pembiayaan pendidikan terdiri atas: a. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap; b. Biaya personal sebagaimana dimaksud pada di atas meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan; c. Biaya operasi satuan pendidikan meliputi: Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai, dan Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
h.      Standar Penilaian Pendidikan. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar terdiri atas: a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik; b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan c. Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi terdiri atas: a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik; dan b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.[21]

Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat (PP 19/2005 Pasal 4). Namun demikian dalam kenyataannya, perhatian dunia pendidikan akan kualitas merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan dunia bisnis, oleh karena itu kualitas dan penjaminan kualitas dapat dipandang sebagai suatu inovasi dalam pendidikan. Dalam hubungan ini sosialisasi menjadi hal yang penting dalam mendukung keberhasilan implementasi penjaminan kualitas/manajemen kualitas pendidikan.[22]
Menurut Baker, seperti yang dikutip oleh Engkoswara dan Aan Komariah memaparkan standar sekolah yang bermutu, adalah sebagai berikut:
a.    Administrator dan jajarannya serta guru-guru adalah para profesional yang handal.
b.    Tersedia kurikulum yang luas bagi seluruh siswa.
c.    Memiliki filosofi yang selalu dikomunikasikan bahwa seluruh anak dapat belajar dengan harapan yang tinggi.
d.   Iklim yang baik untuk belajar, aman, bersih, mempedulikan dan terorganiusasi dengan baik.
e.    Suatu sistem penilaian berkelanjutan yang didukung supervisi.
f.     Keterlibatan masyarakat yang tinggi
g.    Membantu para guru mengembangkan strategi, teknik instruksional dan mendorong kerja sama kelompok.
h.    Menyusun jadwal secara terprogram untuk memberikan pelatihan dalam jabatan dan seminar untuk seluruh staf.
i.      Pengorganisasian SDM untuk melayani seluruh siswa.
j.      Komunikasi dengan orang tua dan menyediakan waktu cukup untuk dialog.
k.    Menetapkan dan mengartikulasikan tujuan secara jelas.
l.      Pelihara staf yang memiliki kesemimbangan ketrampilan dan kemampuan dan ketahui kekuatan dan kapabilitas khusus dari staff.
m.  Bekerja untuk memelihara moril tinggi yang berkontribusi terhadap stabilitas organisasi dan membatasi tingkat turn-over (perputaran guru).
n.    Bekerja keras untuk memelihara ukuran kelas sesuai dengan mata pelajaran dan tingkatan kelas siswa sesuai dengan aturan yang ada.
o.    Kembangkan dengan staf dan orang tua kebijakan sekolah dalam disiplin, penilaian, kehadiran, pengujian, promosi dan ingatan.
p.    Kerja sama guru dan orang tua untuk menyediakan dukungan pelayanan dalam pemecahan permasalahan siswa.
q.    Memelihara hubungan baik dengan pemerintah daerah.[23]
6.      Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP)
Untuk membangun sistem penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, dibutuhkan juga suatu sistem penjaminan mutu pendidikan. Dengan sistem ini diharapkan sistem tata kelola akan berkembang sesuai dengan standar mutu yang diharapkan. Sistem penjaminan mutu yang dimaksud penulis ambil dari Permendiknas No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Secara normatif, pendidikan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Oleh karena itu penjaminan mutu pendidikan pun menjadi tanggung jawab bersama ketiga unsur tersebut.
Mutu pendidikan menurut Permendiknas Nomor 63 Tahun 2009 adalah adalah tingkat kecerdasan kehidupan bangsa yang dapat diraih dari penerapan Sistem Pendidikan Nasional. Bukan hanya mutu pendidikan yang perlu dibahas oleh para pengambil kebijakan pendidikan, tapi perlu ditetapkan penjaminan mutu pendidikan. Penjaminan mutu pendidikan merupakan kegiatan sistemik dan terpadu oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah daerah, Pemerintah, dan masyarakat untuk menaikkan tingkat kecerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan.
Dalam Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) ditetapkan pula Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang yaitu jenis dan tingkat pelayanan pendidikan minimal yang harus disediakan oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota.
Selain itu, agar sistem penjaminan mutu pendidikan berkembang secara positif, dibutuhkan suatu lembaga yang dalam Permendiknas 63/2009 disebut Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) adalah unit pelaksana teknis Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 66 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Sumatera Barat, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Jawa Tengah, dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Sulawesi Selatan.
Khusus untuk pengembangan mutu pendidikan nonformal, perlu didukung oleh suatu lembaga yang dalam aturan disebut Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI), yaitu unit pelaksana teknis Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal. Juga lembaga lain yang disebut Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (P2PNFI), yaitu unit pelaksana teknis Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal.
Lembaga lain yang juga mendukung terselenggaranya sistem penjaminan mutu pendidikan adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Tujuan akhir penjaminan mutu pendidikan adalah tingginya kecerdasan kehidupan manusia dan bangsa sebagaimana dicita-citakan oleh Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dicapai melalui penerapan SPMP.[24]
Dalam upaya untuk terus meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, penjaminan mutu menjadi suatu keharusan, penjaminan mutu (quality assurance) pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk menjamin agar proses yang berjalan dalam organisasi/lembaga pendidikan dapat memenuhi standar atau bahkan melebihi standar mutu yang telah ditetapkan. Dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 91 ayat 1, 2, dan 3 tentang penjaminan mutu pendidikan disebutkan bahwa:

1.    Setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan non formal wajib melakukan penjaminan mutu.
2.    Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan.
3.    Penjaminan mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.[25]
Dengan melihat pasal 91 dari PP 19/2005, nampak bahwa penjaminan kualitas merupakan suatu kewajiban bagi lembaga pendidikan. Dalam melakukan penjaminan Kualitas Pendidikan, agar sesuai konteks diperlukan peninjauan pendidikan dalam lingkup tatarannya, Dalam upaya untuk mengkaji masalah pendidikan, pemahaman akan kondisi kualitas yang ada merupakan suatu hal penting yang dapat membantu memahami posisi dan kondisi pendidikan.

7.      Penutup
Mutu pendidikan adalah derajat keunggulan dalam pengelolaan pendidikan secara efektif dan efisien untuk melahirkan keunggulan akademis dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Dilihat dari definisi ini, maka mutu pendidikan bukanlah upaya sederhana, melainkan suatu kegiatan dinamis dan penuh tantangan. Pendidikan akan terus berubah seiring dengan perubahan zaman yang melingkarinya, sebab pendidikan merupakan buah dari zaman itu sendiri.
Mutu pendidikan memang hal yang sangat krusial dalam pembangunan sebuah negara di samping kesehatan dan ekonomi masyarakatnya. Karena dengan pendidikan dapat menciptakan sumber daya-sumber daya yang dapat diandalkan dalam pembangunan. Untuk memajukan pendidikan peranan sekolah haruslah memenuhi standar mutu yang diharapkan bagi masyarakat. Maka tidak heran saat ini terdapat berbagai macam pilihan sekolah seperti sekolah standar nasional, reguler, standar internasional dan lainnya.  Masyarakat dapat memilih pendidikan mana yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Peningkatan mutu pendidikan secara khusus berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya akan dipengaruhi oleh input, proses dan output pendidikan. Sehingga perlu adanya kesinergian antara ketiga hal tersebut. Mutu Pendidikan akan dapat baik jika baik organisasi pendidikan maupun pemerintah telah mampu menerapkan manajemen yang tepat dalam pelaksanaannya. Sehingga tidak ada kelemahan baik itu dalam hal kurikulum, sarana prasarana, proses pembelajaran, dan kualitas sumber daya manusianya. Mutu Pendidikan dalam pelaksanaannya perlu mendapat pengawasan yang intensif dari para penyelenggara pendidikan.


[1] Edward Sallis, Total Quality Management in Education, terj. Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2010), hlm. 29-30.
[2] UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[3] Permendiknas Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan.
[4] Asmuni, “Konsep Mutu dan Total Quality Management (TQM) dalam Dunia Pendidikan”, Jurnal Ta’dib, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013, hlm. 17-18.
[5] Umiarso dan Iman Gojali, Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2011), hlm. 121.
[6] Edward Sallis, Total Quality Management in Education..., hlm. 51-52.
[7] Edward Sallis, Total Quality Management in Education..., hlm. 53.
[8] M. N. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 15. Lihat juga Zulian Yamit, Manajemen Kualitas Produk dan Jasa, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 7.
[9] M. N. Nasution, Manajemen Mutu Terpadu..., hlm. 16.
[10] Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Andi, 2009), hlm. 3-4.
[11] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 677.
[12] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah; Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 53.
[13] Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, Total Quality Management..., hlm. 4.
[14] Dzaujak Ahmad, Petunjuk Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar, (Jakarta: Depdikbud, 1996), hlm. 8.
[15] Oemar Hamalik, Evaluasi Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990), hlm. 33.
[16] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah..., hlm. 53.
[17] Husaini Usman, Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 515.
[18] Education for All: The Quality Imperative,  EFA Global Monitoring Report 2005, (Paris: UNESCO, 2004), hlm. 35-37. Lihat juga Suparlan, Dimensi Mutu Pendidikan, akses melalui website https://suparlan.org/178/dimensi-mutu-pendidikan, dikutip pada tanggal 06 Maret 2018.
[19] Umiarso dan Iman Gojali, Manajemen Mutu Sekolah..., hlm. 134.
[20] Jerry H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung: ALFABETA, 2011), hlm. 47-49.
[21] PP Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Lihat juga PP Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
[22] Uhar Suharsaputra, Administrasi Pendidikan, (Bandung: Refika Aditama, 2013), hlm. 280-282.
[23] Engkoswara dan Aan Komariah, Administrasi Pendidikan, (Bandung: ALFABETA, 2010), hlm. 310-311.
[24] Permendiknas Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Lihat juga Dedi Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 129-130.
[25] Nanang Fattah, Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 5. 

No comments:

Post a Comment