TEORI-TEORI DAN
PENDEKATAN SISTEM MUTU PENDIDIKAN
Oleh:
MUHAMMAD FURQAN
(16771006)
Mahasiswa Prodi
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A.
Pendahuluan
Bagi setiap institusi,
mutu adalah agenda utama dan meningkatkan mutu merupakan tugas yang paling
penting. Walaupun demikian, ada sebagian orang yang menganggap mutu sebagai
sebuah konsep yang penuh dengan teka-teki. Mutu dianggap sebagai suatu hal yang
membingungkan dan sulit untuk diukur. Mutu dalam pandangan seseorang terkadang
bertentangan dengan mutu dalam pandangan orang lain, sehingga tidak aneh jika
ada dua pakar yang tidak memiliki kesimpulan yang sama tentang bagaimana cara
menciptakan institusi yang baik.
Kita memang bisa
mengetahui mutu ketika kita mengalaminya, tapi kita tetap merasa kesulitan
ketika kita mencoba mendeskripsikan dan menjelaskannya. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita akan melakukan apa saja untuk mendapatkan mutu, terutama jika
mutu tersebut sudah menjadi kebiasaan kita. Namun, ironisnya, kita hanya bisa
menyadari keberadaan mutu tersebut saat mutu tersebut hilang. Satu hal yang
bisa kita yakini adalah mutu merupakan suatu hal yang membedakan antara yang
baik dan yang sebaliknya. Bertolak dari kenyataan tersebut, mutu dalam
pendidikan akhirnya merupakan hal yang membedakan antara kesuksesan dan
kegagalan. Sehingga, mutu jelas sekali merupakan masalah pokok yang akan
menjamin perkembangan sekolah dalam meraih status di tengah-tengah persaingan
dunia pendidikan yang kian keras.[1]
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
menggariskan bahwa pendidikan dilaksanakan melalui satu sistem pendidikan
nasional yang mengusahakan tercapainya suatu pendidikan nasional yaitu untuk
mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia. Implikasi dari
berlakunya undang-undang ini di antaranya adalah perlu adanya suatu
standar mutu pendidikan yang bersifat nasional. Di antara upaya menentukan
standar secara nasional adalah adanya standar nasional pendidikan (PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional) untuk berbagai jenis dan jenjang pendidikan.[2]
Penjaminan mutu pendidikan formal, nonformal, dan informal telah
diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 Tahun 2009 tentang
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Kebijakan pembangunan pendidikan nasional
diarahkan pada upaya mewujudkan daya saing, pencitraan publik, dan
akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan. Tolok ukur efektivitas implementasi
kebijakan tersebut dapat dilihat dari ketercapaian indikator-indikator mutu
penyelenggaraan pendidikan yang telah ditetapkan BNSP dalam delapan (8) standar
nasional pendidikan (SNP).[3]
Sistem penjaminan mutu pendidikan merupakan kegiatan yang sistemik
dan terpadu pada penyelenggaraan pendidikan untuk meningkatkan tingkat
kecerdasan bangsa. Tidak dipungkiri bahwa upaya strategis jangka panjang untuk
mewujudkannya menuntut satu sistem pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan
yang dapat membangun kerjasama dan kolaborasi di antara berbagai pemangku
kepentingan (stakeholders) yang terkait dalam satu keterpaduan jaringan
kerja tingkat nasional, regional, dan lokal.
Awal mula kata ‘mutu’ ini dipakai dalam dunia
bisnis karena di dunia bisnis terdapat pemasaran serta interaksi antara
konsumen dan produksi, apabila perusahaan memproduksi barang atau jasa dengan
mutu yang tinggi maka konsumen akan merasa terpenuhi apa yang diinginkannya,
sehingga perusahaan akan semakin meningkat. Akan tetapi, seiring berkembangnya
zaman dan kuatnya analisis para pemerhati pendidikan, dari teori mutu yang
biasa diterapkan pada dunia bisnis, dapat juga diterapkan dalam dunia
pendidikan.
Bahkan bukan hanya itu saja, dengan adanya
konsep mutu tersebut, muncul standar mutu yang notabene berfungsi untuk melihat tingkat tinggi dan rendahnya
lembaga tersebut dalam menjalankan konsep mutu di lembaga masing-masing,
sehingga para staekholder lembaga
pendidikan formal terdorong untuk menjadi yang terbaik dalam segi
mutu/kualitas.[4]
Perbaikan
mutu pendidikan harus segera dilakukan secara terus menerus dengan cara
memperbaiki manajemen mutu pendidikannya. Organisasi-organisasi pendidikan
memegang peranan awal dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu, dalam makalah ini penulis berusaha membahas mengenai mutu pendidikan melalui teori-teori dan pendekatannya.
1.
Pengertian Mutu Pendidikan
Transformasi sekolah era kontemporer menuju sekolah bermutu terpadu
diawali dengan komitmen bersama terhadap mutu pendidikan oleh komite sekolah,
administrator, guru, staf, siswa, dan orang tua dalam komunitas sekolah. Adapun
prosesnya melalui manajemen strategi yang berorientasi pada mutu dan difokuskan
untuk memenuhi kebutuhan costumer (user education).
Pengembangan mutu dalam sektor pendidikan, sesungguhnya mengadopsi
dari berbagai konsep (walaupun yang paling dominan adalah konsep mutu dalam
dunia industri). Akan tetapi, pengembangan mutu akhirnya merembes pada ranah
pendidikan menjadi suatu konsep yang “paten” sehingga mutu pendidikan merupakan
suatu hal yang menjelma kebutuhan primer bagi sekolah untuk bersaing dengan
sekolah-sekolah lainnya. Membicarakan tentang pengertian kualitas atau mutu
dapat berbeda makna bagi setiap orang, karena mutu memiliki banyak kriteria dan
sangat tergantung pada konteksnya. Dalam mendefinisakan mutu, ada lima pakar
utama yang saling berbeda pendapat, tetapi sebenarnya memiliki maksud yang
sama.[5]
Menurut Edward Sallis, mutu dapat dipandang sebagai sebuah konsep
yang absolut sekaligus relatif. Dalam percakapan sehari-hari, mutu sebagian
besar dipahami sebagai sesuatu yang absolut, misalnya restoran yang mahal dan
mobil-mobil yang mewah. Sebagai suatu konsep yang absolut, mutu sama halnya
dengan sifat baik, cantik, dan benar, merupakan suatu idealisme yang tidak
dapat dikompromikan. Dalam defenisi yang absolut, sesuatu yang bermutu
merupakan bagian dari standar yang sangat tinggi dan tidak dapat diungguli.[6] Sedangkan mutu yang relatif dipandang sebagai suatu yang melekat
pada sebuah produk yang sesuai dengan kebutuhan pelanggannya. Untuk itu, dalam
defenisi relatif ini produk atau layanan akan dianggap bermutu bukan karena ia
mahal dan eksklusif, tetapi karena memiliki nilai, misalnya keaslian produk,
wajar, dan familiar.[7]
Sedangkan menurut Joseph Juran, seperti yang dikutip Oleh M. N.
Nasution, kualitas diartikan sebagai kecocokan penggunaan produk (fitness
for use) untuk memebuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan atau kualitas
sebagai kesesuaian terhadap spesifikasi.[8] Sementara, W. Edward Deming menyatakan bahwa kualitas adalah
kesesuaian dengan kebutuhan pasar atau apa pun yang menjadi kebutuhan dan
keinginana konsumen. Adapun menurut Philip B. Crosby, kualitas adalah conformance
to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau disandarkan atau
kualitas sebagai nihil cacat, kesempurnaan, dan kesesuaian terhadap
persyaratan. Feigenbaum juga mencoba untuk mendefiniskan bahwa kualitas adalah
kepuasan-kepuasan pelanggan sepenuhnya (full customer satisfaction).[9]
Meskipun tidak ada defenisi mengenai kualitas yang diterima secara
universal, dari definisi-definisi yang ada terdapat beberapa kesamaan. Artinya,
dalam mendefinisakan mutu/kualitas memerlukan pandangan yang komprehensif.
Dalam hal ini, ada beberapa elemen yang bisa membuat sesuatu dikatakan
berkualitas. Pertama, kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi
harapan pelanggan. Kedua, kualitas mencakup produk, jasa, manusia,
proses, dan lingkungan. Ketiga, kualitas merupakan kondisi yang selalu
berubah (apa yang dianggap berkualitas saat ini mungkin dianggap kurang
berkualitas pada saat yang lain). Keempat, kualitas merupakan suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, dan lingkungan
yang memenuhi atau melebihi harapan.[10]
Maka, pada tataran tersebut,
pengertian mengenai mutu pendidikan mengandung makna yang berlainan, sehingga
perlu ada suatu pengertian yang operasional sebagai suatu pedoman dalam
pengelolaan pendidikan untuk sampai pada pengertian mutu pendidikan. Oleh sebab
itu, perlu terlebih dahulu melihat kerangka dasar pengertian mutu pendidikan.
Secara leksikal, dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, mutu adalah ukuran baik
buruk suatu benda, keadaan, taraf, atau derajat (kepandaian, kecerdasan, dan
sebagainya).[11] Adapun Sudarwan Danim mendefinisikan mutu sebagai derajat
keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa barang atau jasa.[12] Sedangkan D.L. Goetsch dan S. Davis, seperti yang dikutip oleh
Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana, mendefinisikan mutu sebagai suatu kondisi
dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan
yang memenuhi atau melebihi harapan.[13]
Sementara itu, jika dilihat dari segi korelasi mutu dengan
pendidikan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Dzaujak Amad, bahwa mutu
pendidikan adalah kemampuan sekolah dalam pengelolaan secara operasional dan
efisien terhadap komponen-komponen yang berkaitan dengan sekolah, sehingga
menghasilkan nilai tambah terhadap komponen tersebut menurut norma/standar yang
berlaku.[14]
Menurut Oemar Hamalik, pengertian mutu dapat dilihat dari dua sisi,
yaitu segi normatif dan segi deskriptif. Dalam arti normatif, mutu ditentukan
berdasarkan pertimbangan (kriteria) intristik dan ekstrinsik. Berdasarkan
kriteria instrinsik, mutu pendidikan merupakan produk pendidikan yakni manusia
yang terdidik, sesuai dengan standar ideal. Berdasarkan kriteria ekstrinsik,
pendidikan merupakan instrumen untuk mendidikan tenaga kerja yang terlatih.
Adapun dalam arti deskriptif, mutu ditentukan berdasarkan keadaan senyatanya,
misalnya hasil tes belajar.[15]
Sudarwan Danim memiliki pandangan lain tentang pengertian mutu.
Menurutnya, mutu pendidikan mengacu pada masukan, proses, luaran dan dampaknya.
Mutu masukan dapat dilihat dari beberapa sisi. Pertama, kondisi baik
atau tidaknya masukan sumber daya manusia, seperti kepala sekolah, guru,
laboran, staf tata usaha, dan siswa. Kedua, memenuhi atau tidaknya
kriteria masukan material berupa alat peraga, buku-buku, kurikulum, sarana,
prasarana sekolah, dan lain-lain. Ketiga, memenuhi atau tidaknya
kriteria masukan yang berupa perangkat lunak, seperti peraturan, struktur
organisasi, deskripsi kerja, dan struktur organisasi. Keempat, mutu
masukan yang bersifat harapan dan kebutuhan, seperti visi, motivasi, ketekunan
dan cita-cita.
Mutu proses pembelajaran mengandung makna bahwa kemampuan sumber
daya sekolah mentransformasikan multi jenis masukan dan situasi untuk mencapai
derajat nilai tambah tertentu dari peserta didik. Dilihat dari hasil
pendidikan, mutu pendidikan dipandang berkualitas jika mampu melahirkan
keunggulan akademis dan ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan
lulus untuk satu jenjang pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran
tertentu.[16]
Berdasarkan deskripsi dari beberapa pakar di atas dapat disimpulkan
bahwa mutu pendidikan adalah derajat keunggulan dalam pengelolaan pendidikan
secara efektif dan efisien untuk melahirkan keunggulan akademis dan
ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang
pendidikan atau menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Dilihat dari
definisi ini, maka mutu pendidikan bukanlah upaya sederhana, melainkan suatu
kegiatan dinamis dan penuh tantangan. Pendidikan akan terus berubah seiring
dengan perubahan zaman yang melingkarinya, sebab pendidikan merupakan buah dari
zaman itu sendiri. Oleh karena itu, pendidikan senantiasa memerlukan upaya
perbaikan dan peningkatan mutu sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan dan tuntunan
kehidupan masyarakat.
2.
Karakteristik Mutu Pendidikan
Menurut Husaini Usman di dalam bukunya
mengatakan bahwa mutu memiliki 13 karakteristik, yaitu:
1) Kinerja (performa), berkaitan
dengan aspek fungsional sekolah. Misalnya:
kinerja guru dalam mengajar baik, memberikan penjelasan meyakinkan, sehat dan rajin mengajar, dan
menyiapkan bahan pelajaran lengkap.
Pelayanan administratif dan edukatif sekolah baik yang ditandai hasil belajar
tinggi, lulusannya banyak, putus sekolah sedikit, dan yang lulus tepat waktu banyak. Akibat kinerja yang
baik maka sekolah tersebut menjadi sekolah favorit.
2) Waktu wajar (timeliness), selesai
dengan waktu yang wajar. Misalnya:
memulai dan mengakhiri pelajaran tepat waktu, waktu ulangan tepat, batas waktu pemberian pekerjaan rumah
wajar serta waktu untuk guru naik pangkat wajar.
3) Handal (reliability), usia
pelayanan prima bertahan lama. Misalnya:
pelayanan prima yang diberikan sekolah bertahan dari tahun ke tahun, mutu
sekolah tetap bertahan dari tahun ke tahun, sebagai sekolah favorit bertahan dari tahun ke tahun, sekolah
menjadi juara tertentu bertahan
dari tahun ke tahun, guru jarang sakit, kerja keras guru bertahan dari
tahun ke tahun.
4) Daya tahan (durability), tahan
banting. Misalnya: meskipun krisis
moneter, sekolah masih tetap bertahan, tidak tutup. Siswa dan guru
tidak putus asa dan selalu sehat.
5) Indah (aestetics). Misalnya: eksterior dan interior sekolah
ditata menarik, taman ditanami bunga dan
terpelihara dengan baik, guru-guru membuat media pembelanjaran yang
menarik, warga sekolah berpenampilan rapi.
6) Hubungan manusiawi (personal
interface), menjunjung tinggi nilai-nilai
moral dan profesionalisme. Misalnya: warga
sekolah saling menghormati, baik warga internal maupun eksternal
sekolah, demokratis, dan menghargai profesionalisme.
7) Mudah penggunaannya (easy of use),
sarana dan prasarana dipakai. Misalnya: aturan-aturan sekolah mudah
diterapkan, buku-buku perpustakaan
mudah dipinjam dan dikembalikan tepat waktu, penjelasan guru di
kelas mudah dimengerti siswa, contoh soal mudah dipahami, demonstrasi praktik
mudah diterapkan siswa.
8) Bentuk khusus (feature), keunggulan
tertentu. Misalnya: sekolah ada yang unggul dengan hampir semua
lulusannya diterima di universitas
bermutu, unggul dengan bahasa Inggrisnya, unggul dengan penguasaan
teknologi informasinya (komputerisasi), ada yang unggul dengan karya ilmiah
kesenian atau olahraga.
9) Standar
tertentu (conformance to specification), memenuhi standar tertentu.
Misalnya: sekolah sudah memenuhi Standar
Pelayanan Minimal (SPM), sekolah sudah
memenuhi standar minimal ujian nasional atau sekolah sudah memenuhi ISO 9001:2000 atau sekolah sudah memenuhi
TOEFL dengan skor 650.
10) Konsistensi (Consistency), keajegan,
konstan, atau stabil. Misalnya: mutu
sekolah dari dahulu sampai sekarang tidak menurun seperti harus
mengatrol nilai siswa-siswanya, warga sekolah konsisten antara perkataan dengan
perbuatan (apabila berkata tidak berbohong, apabila berjanji ditepati, dan
apabila dipercaya tidak mengkhianati).
11) Seragam (uniformity), tanpa
variasi, tidak tercampur. Misalnya:
sekolah menyeragamkan pakaian sekolah dan pakaian dinas, sekolah
melaksanakan aturan, tidak pandang bulu atau pilih kasih.
12) Mampu melayani (serviceability), mampu
memberikan pelayanan prima. Misalnya: sekolah menyediakan kotak saran dan
saran-saran yang masuk
mampu dipenuhi dengan sebaik-baiknya,
sekolah mampu memberikan pelayanan primanya kepada pelanggan sekolah sehingga
semua pelanggan merasa puas.
13) Ketepatan (Accruracy), ketepatan
dalam pelayanan. Misalnya: sekolah mampu memberikan pelayanan sesuai dengan
yang diinginkan pelanggan sekolah, guru-guru tidak salah dalam menilai
siswa-siswanya, semua warga sekolah bekerja dengan teliti, jam Belajar di
sekolah berlangsung tepat waktu.[17]
3.
Dimensi Mutu Pendidikan
Dalam tulisan singkat ini akan dijelaskan secara
sekilas tentang pandangan UNESCO tentang beberapa dimensi mutu pendidikan.
Uraian tentang dimensi mutu pendidikan itu tertuang dalam buku EFA
Global Monitoring Report 2005 atau Laporan Pemantauan Global
Pendidikan Untuk Semua. Menurut UNESCO setidaknya ada 5 dimensi yang terkait dengan mutu pendidikan,
yaitu:[18]
a. Karakteristik
Pembelajar (learner characteristics)
Dimensi ini sering disebut sebagai masukan
(inputs) atau malah masukan kasar (raw inputs) dalam teori fungsi
produksi (production function theory), yaitu peserta didik atau
pembelajar dengan berbagai latar belakangnya, seperti pengetahuan (aptitude),
kemauan dan semangat untuk belajar (perseverance), kesiapan untuk
bersekolah (school readiness), pengetahuan siap sebelum masuk sekolah (prior
knowledge), dan hambatan untuk pembelajaran (barriers to learning)
terutama bagi anak luar biasa.
Banyak faktor latar belakang peserta didik yang sangat mempengaruhi mutu
pendidikan di negeri ini. Banyak anak usia sekolah yang tidak didukung oleh
kondisi yang kondusif, misalnya peserta didik yang berasal dari keluarga tidak
mampu, keluarga pecah (broken home), kesehatan lingkungan, pola asuh
anak usia dini, dan faktor-faktor lain-lainnya. Dimensi ini menjadi faktor awal
yang mempengaruhi mutu pendidikan.
b. Pengupayaan
Masukan (enabling inputs)
Ada dua macam masukan yang akan
mempengaruhi mutu pendidikan yang dihasilkan, yaitu sumber daya manusia dan
sumber daya fisikal. Guru atau pendidik, kepala sekolah, pengawas, dan tenaga
kependidikan lain menjadi sumber daya manusia (human resources) yang
akan mempengaruhi mutu hasil belajar siswa (outcomes).
Proses belajar mengajar tidak dapat berlangung dengan nyaman dan aman jika
fasilitas belajar, seperti gedung sekolah, ruang kelas, buku dan bahan ajar
lainnya (learning materials), media dan alat peraga yang dapat
diupayakan oleh sekolah, termasuk perpustakaan dan laboratorium, bahkan juga
kantin sekolah, dan fasilitas pendidikan lainnya, seperti buku pelajaran dan
kurikulum yang digunakan di sekolah. Semua itu dikenal sebagai infrastruktur
fisikal (physical infrastructure atau facilities). Singkat kata,
mutu sumber daya manusia yang tersedia di sekolah dan mutu fasilitas sekolah
merupakan dua macam masukan yang sangat berpengaruh terhadap mutu pendidikan.
c. Proses
Belajar Mengajar (teaching and learning)
Dimensi ketiga ini sering disebut sebagai kotak hitam (black box)
masalah pendidikan. Dalam kotak hitam ini terdapat tiga komponen utama
pendidikan yang saling berinteraksi satu dengan yang lain, yaitu peserta didik,
pendidik, dan kurikulum. Oleh karena itu mutu proses belajar mengajar, atau
mutu interaksi edukatif yang terjadi di ruang kelas, menjadi faktor yang amat
berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Efektivitas proses belajar-mengajar
dipengaruhi oleh: (1) lama waktu belajar; (2) metode mengajar yang digunakan;
(3) penilaian, umpan balik, bentuk penghargaan bagi peserta didik; dan (4)
jumlah peserta didik dalam satu kelas.
d. Hasil
Belajar (outcomes)
Hasil belajar adalah sasaran yang
diharapkan oleh semua pihak. Di sini memang terjadi perbedaan harapan dari
pihak-pihak tersebut. Setidaknya, semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
menghasilkan lulusan yang dapat membaca dan menulis (literacy),
berhitung (numeracy), dan kecakapan hidup (life skills), ini
memang pasti. Selain itu, peserta didik harus memiliki kecerdasan
emosional dan sosial (emotional dan social intelligences),
nilai-nilai lain yang diperlukan masyarakat.
Hasil belajar yang akan dicapai sesungguhnya yang sesuai dengan potensinya,
sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta sesuai dengan tipe kecerdasannya,
di samping juga nilai-nilai kehidupan (values) yang diperlukan untuk
memeliharan dan menstransformasikan budaya dan kepribadian bangsa. Dalam
perspektif psikologi pendidikan dikenal sebagai ranah kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Dalam perspektif sosial dikenal dengan istilah 3H (head,
heart, hand). Semua itu pada dasarnya untuk mencapai tujuan pendidikan
nasional yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab (UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional).
e. Konteks (contexts)
atau Lingkungan (environments)
Keempat dimensi yang telah dijelaskan tersebut saling pengaruh-mempengaruhi
dengan konteks (contexts) atau lingkungan (environments) yang
meliputi berbagai aspek alam, sosial, ekonomi, dan budaya. Pada awalnya, peran
orangtua (rumah) dan keluarga belum dipandang sebagai dimensi yang benar-benar
berpengaruh terhadap mutu pendidikan. Sekarang dukungan orangtua menjadi salah
satu faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar peserta didik. Dalam kajian
tentang sekolah efektif (effective school), dukungan orangtua siswa dan
masyarakat menjadi salah satu faktor dalam sekolah efektif.[19]
4.
Pendekatan Mutu Secara Umum
Mutu merupakan konsep yang terus mengalami
perkembangan dalam pemaknaannya, menurut Garvin perspektif tentang konsep mutu
mengalami evolusi sebagai berikut, dia mengidentifikasi adanya lima alternatif
perspektif kualitas yang biasa digunakan, yaitu:
a.
Transcendental approach. Kualitas dalam pendekatan
ini dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit didefinisikan dan
dioperasionalkan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam seni musik,
drama, seni tari, dan seni rupa. Selain itu perusahaan dapat mempromosikan
produknya dengan pernyataan-pernyataan seperti tempat berbe- lanja yang
menyenangkan (supermarket), elegan (mobil), kecantikan wajah (kosmetik),
kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), dan lain-lain. Dengan demikian
fungsi perencanaan, produksi, dan pelayanan suatu perusahaan sulit sekali
menggunakan definisi seperti ini sebagai dasar manajemen kualitas.
b.
Product-based approach. Pendekatan
ini menganggap kualitas sebagai karakteristik atau atribut yang dapat
dikuantifikasikan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan
perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk. Karena
pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat menjelaskan perbedaan dalam selera,
kebutuhan, dan preferensi individual.
c.
User-based approach. Pendekatan
didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang yang
memandangnya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang (misalnya
perceived quality) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi. Perspektif
yang subjektif dan demand-oriented ini juga menyatakan bahwa pelanggan yang
berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula, sehingga kualitas
bagi seseorang adalah sama dengan
kepuasan maksimum yang dirasakannya.
d.
Manufacturing-based approach. Perspektif
ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktik- praktik
perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai sama
dengan persyaratannya (conformance to requirements). Dalam sektor jasa, dapat
dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations-driven. Pendekatan ini berfokus
pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal, yang seringkali
didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. Jadi yang
menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan
konsumen yang menggunakannya. Dalam konteks ini konsumen dipandang sebagai
fihak yang harus menerima standar-standar yang ditetapkan oleh produsen atau
penghasil produk
e.
Value-based Approach. Pendekatan
ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan mempertimbangkan
trade-off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan sebagai
"affordable excellence". Kualitas dalam perspektif ini bersifat
relatif, sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu
produk yang paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah produk
atau jasa yang paling tepat dibeli (best-buy).[20]
5.
Standar Mutu Pendidikan
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Indonesia
disebutkan bahwa pendidikan di Indonesia menggunakan delapan standar
yang menjadi acuan dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan,
Standar Nasional Pendidikan merupakan kriteria minimal tentang sistem
pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia, ada
delapan standar yang menjadi kriteria minimal tersebut yaitu:
a.
Standar
Isi. Mencakup lingkup materi minimal dan tingkat
kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan
jenis pendidikan tertentu. Standar isi memuat kerangka dasar dan struktur
kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender
pendidikan/akademik
b.
Standar Proses Pendidikan. Proses pembelajaran pada satuan pendidikan
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang
cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat,
dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Selain itu, dalam proses
pembelajaran pendidik memberikan keteladanan. Setiap satuan pendidikan
melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran,
penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk
terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien.
c.
Standar Kompetensi Lulusan. Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
untuk digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta
didik dari satuan pendidikan. Standar
Kompetensi Lulusan meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok
mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah.
d.
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Pendidik harus memiliki kualifikasi
akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani,
serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kualifikasi akademik yang dimaksudkan adalah tingkat pendidikan minimal yang
harus dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau
sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku. Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi: a. Kompetensi pedagogik; b.
Kompetensi kepribadian; c. Kompetensi profesional; dan d. Kompetensi sosial. Pendidik meliputi
pendidik pada TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SDLB/SMPLB/SMALB, SMK/MAK, satuan
pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C, dan pendidik pada lembaga kursus dan
pelatihan. Tenaga Kependidikan meliputi kepala sekolah/madrasah, pengawas
satuan pendidikan, tenaga administrasi, tenaga perpustakaan, tenaga
laboratorium, teknisi, pengelola kelompok belajar, pamong belajar, dan tenaga
kebersihan.
e.
Standar Sarana dan Prasarana. Setiap satuan
pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, peralatan pendidikan,
media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta
perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang
teratur dan berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib memiliki prasarana
yang meliputi lahan, ruang kelas, ruang pimpinan satuan pendidikan, ruang
pendidik, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, ruang laboratorium, ruang
bengkel kerja, ruang unit produksi, ruang kantin, instalasi daya dan jasa,
tempat berolahraga, tempat beribadah, tempat bermain, tempat berkreasi, dan
ruang/tempat lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang
teratur dan berkelanjutan.
f.
Standar Pengelolaan. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang
ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan
akuntabilitas. Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi
menerapkan otonomi perguruan tinggi yang dalam batas-batas yang diatur dalam
ketentuan perundang-undangan yang berlaku memberikan kebebasan dan mendorong
kemandirian dalam pengelolaan akademik, operasional, personalia, keuangan, dan
area fungsional kepengelolaan lainnya yang diatur oleh masing-masing perguruan
tinggi.
g.
Standar Pembiayaan. Pembiayaan pendidikan terdiri atas: a. Biaya investasi satuan pendidikan
meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya
manusia, dan modal kerja tetap; b. Biaya personal sebagaimana dimaksud pada di
atas meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk
bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan; c. Biaya
operasi satuan pendidikan meliputi: Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta
segala tunjangan yang melekat pada gaji, Bahan atau peralatan pendidikan habis
pakai, dan Biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa
telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi,
konsumsi, pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
h.
Standar Penilaian Pendidikan. Penilaian
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar terdiri atas: a. Penilaian hasil belajar oleh pendidik; b. Penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan; dan c. Penilaian
hasil belajar oleh Pemerintah. Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan
tinggi terdiri atas: a. Penilaian
hasil belajar oleh pendidik;
dan b. Penilaian
hasil belajar oleh satuan pendidikan tinggi. Penilaian pendidikan pada jenjang
pendidikan tinggi diatur oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[21]
Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan
nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat (PP 19/2005 Pasal 4). Namun demikian dalam kenyataannya, perhatian
dunia pendidikan akan kualitas merupakan hal yang baru jika dibandingkan dengan
dunia bisnis, oleh karena itu kualitas dan penjaminan kualitas dapat dipandang
sebagai suatu inovasi dalam pendidikan. Dalam hubungan
ini sosialisasi menjadi hal yang penting dalam mendukung keberhasilan
implementasi penjaminan kualitas/manajemen kualitas pendidikan.[22]
Menurut Baker, seperti yang
dikutip oleh Engkoswara dan Aan Komariah memaparkan standar sekolah yang
bermutu, adalah sebagai berikut:
a.
Administrator dan jajarannya serta guru-guru adalah para profesional yang
handal.
b.
Tersedia kurikulum yang luas bagi seluruh siswa.
c.
Memiliki filosofi yang selalu dikomunikasikan bahwa seluruh anak dapat
belajar dengan harapan yang tinggi.
d.
Iklim yang baik untuk belajar, aman, bersih, mempedulikan dan
terorganiusasi dengan baik.
e.
Suatu sistem penilaian berkelanjutan yang didukung supervisi.
f.
Keterlibatan masyarakat yang tinggi
g.
Membantu para guru mengembangkan strategi, teknik instruksional dan
mendorong kerja sama kelompok.
h.
Menyusun jadwal secara terprogram untuk memberikan pelatihan dalam jabatan
dan seminar untuk seluruh staf.
i.
Pengorganisasian SDM untuk melayani seluruh siswa.
j.
Komunikasi dengan orang tua dan menyediakan waktu cukup untuk dialog.
k.
Menetapkan dan mengartikulasikan tujuan secara jelas.
l.
Pelihara staf yang memiliki kesemimbangan ketrampilan dan kemampuan dan
ketahui kekuatan dan kapabilitas khusus dari staff.
m.
Bekerja untuk memelihara moril tinggi yang berkontribusi terhadap
stabilitas organisasi dan membatasi tingkat turn-over (perputaran guru).
n.
Bekerja keras untuk memelihara ukuran kelas sesuai dengan mata pelajaran dan
tingkatan kelas siswa sesuai dengan aturan yang ada.
o.
Kembangkan dengan staf dan orang tua kebijakan sekolah dalam disiplin,
penilaian, kehadiran, pengujian, promosi dan ingatan.
p.
Kerja sama guru dan orang tua untuk menyediakan dukungan pelayanan dalam pemecahan
permasalahan siswa.
6.
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP)
Untuk membangun sistem
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu, dibutuhkan juga suatu sistem
penjaminan mutu pendidikan. Dengan sistem ini diharapkan sistem tata kelola
akan berkembang sesuai dengan standar mutu yang diharapkan. Sistem penjaminan
mutu yang dimaksud penulis ambil dari Permendiknas No. 63 Tahun 2009 tentang
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Secara normatif, pendidikan nasional menjadi
tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Oleh karena itu penjaminan mutu pendidikan pun menjadi tanggung jawab bersama
ketiga unsur tersebut.
Mutu pendidikan menurut Permendiknas
Nomor 63 Tahun 2009 adalah adalah tingkat kecerdasan kehidupan bangsa yang
dapat diraih dari penerapan Sistem Pendidikan
Nasional. Bukan hanya mutu pendidikan yang perlu dibahas oleh para
pengambil kebijakan pendidikan, tapi perlu ditetapkan penjaminan mutu
pendidikan. Penjaminan mutu pendidikan merupakan kegiatan sistemik dan terpadu
oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program
pendidikan, pemerintah daerah, Pemerintah, dan masyarakat untuk menaikkan
tingkat kecerdasan kehidupan bangsa melalui pendidikan.
Dalam Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan (SPMP) ditetapkan pula Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang yaitu
jenis dan tingkat pelayanan pendidikan minimal yang harus disediakan oleh
satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten atau kota sebagaimana diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/ Kota.
Selain itu, agar sistem penjaminan
mutu pendidikan berkembang secara positif, dibutuhkan suatu lembaga yang dalam
Permendiknas 63/2009 disebut Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) adalah
unit pelaksana teknis Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 66 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan Sumatera Barat, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
Jawa Tengah, dan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Sulawesi Selatan.
Khusus untuk pengembangan mutu
pendidikan nonformal, perlu didukung oleh suatu lembaga yang dalam aturan
disebut Balai Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal (BPPNFI), yaitu
unit pelaksana teknis Departemen Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pengembangan Pendidikan
Nonformal dan Informal. Juga lembaga
lain yang disebut Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal dan Informal
(P2PNFI), yaitu unit pelaksana teknis Departemen Pendidikan Nasional
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 8 Tahun
2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pusat Pengembangan Pendidikan Nonformal
dan Informal.
Lembaga lain yang juga mendukung
terselenggaranya sistem penjaminan mutu pendidikan adalah Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Badan Akreditasi Nasional
Sekolah/Madrasah (BAN-S/M) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Tujuan akhir penjaminan mutu
pendidikan adalah tingginya kecerdasan kehidupan manusia dan bangsa sebagaimana
dicita-citakan oleh Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang dicapai melalui penerapan SPMP.[24]
Dalam upaya untuk terus meningkatkan
mutu pendidikan di Indonesia, penjaminan mutu menjadi suatu keharusan,
penjaminan mutu (quality assurance) pada dasarnya merupakan suatu upaya
untuk menjamin agar proses yang berjalan dalam organisasi/lembaga pendidikan
dapat memenuhi standar atau bahkan melebihi standar mutu yang telah ditetapkan.
Dalam Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
pasal 91 ayat 1, 2, dan 3 tentang penjaminan mutu pendidikan disebutkan bahwa:
1.
Setiap
satuan pendidikan pada jalur formal dan non formal wajib melakukan penjaminan
mutu.
2.
Penjaminan
mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bertujuan untuk memenuhi atau
melampaui Standar Nasional Pendidikan.
3.
Penjaminan
mutu pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan secara bertahap,
sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki
target dan kerangka waktu yang jelas.[25]
Dengan melihat pasal 91 dari PP 19/2005, nampak bahwa penjaminan
kualitas merupakan suatu kewajiban bagi lembaga pendidikan. Dalam melakukan
penjaminan Kualitas Pendidikan, agar sesuai konteks diperlukan peninjauan
pendidikan dalam lingkup tatarannya, Dalam upaya untuk mengkaji masalah
pendidikan, pemahaman akan kondisi kualitas yang ada merupakan suatu hal
penting yang dapat membantu memahami posisi dan kondisi pendidikan.
7.
Penutup
Mutu
pendidikan adalah derajat keunggulan dalam pengelolaan pendidikan secara
efektif dan efisien untuk melahirkan keunggulan akademis dan ekstrakurikuler
pada peserta didik yang dinyatakan lulus untuk satu jenjang pendidikan atau
menyelesaikan program pembelajaran tertentu. Dilihat dari definisi ini, maka
mutu pendidikan bukanlah upaya sederhana, melainkan suatu kegiatan dinamis dan
penuh tantangan. Pendidikan akan terus berubah seiring dengan perubahan zaman
yang melingkarinya, sebab pendidikan merupakan buah dari zaman itu sendiri.
Mutu pendidikan memang hal yang sangat krusial dalam
pembangunan sebuah negara di samping kesehatan dan ekonomi masyarakatnya.
Karena dengan pendidikan dapat menciptakan sumber daya-sumber daya yang dapat
diandalkan dalam pembangunan. Untuk memajukan pendidikan peranan sekolah
haruslah memenuhi standar mutu yang diharapkan bagi masyarakat. Maka tidak
heran saat ini terdapat berbagai macam pilihan sekolah seperti sekolah standar
nasional, reguler, standar internasional dan lainnya. Masyarakat
dapat memilih pendidikan mana yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
Peningkatan
mutu pendidikan secara khusus berorientasi pada peningkatan kualitas sumber
daya manusia. Kualitas sumber daya akan dipengaruhi oleh input, proses dan
output pendidikan. Sehingga perlu adanya kesinergian antara ketiga hal
tersebut. Mutu Pendidikan akan dapat baik jika baik organisasi pendidikan
maupun pemerintah telah mampu menerapkan manajemen yang tepat dalam
pelaksanaannya. Sehingga tidak ada kelemahan baik itu dalam hal kurikulum,
sarana prasarana, proses pembelajaran, dan kualitas sumber daya manusianya.
Mutu Pendidikan dalam pelaksanaannya perlu mendapat pengawasan yang intensif
dari para penyelenggara pendidikan.
[1] Edward Sallis,
Total Quality Management in Education, terj. Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi,
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2010), hlm. 29-30.
[4] Asmuni, “Konsep Mutu dan Total Quality Management (TQM) dalam Dunia
Pendidikan”, Jurnal Ta’dib, Vol. XVIII, No. 01, Edisi Juni 2013, hlm.
17-18.
[5] Umiarso dan
Iman Gojali, Manajemen Mutu Sekolah di Era Otonomi Pendidikan,
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2011), hlm. 121.
[8] M. N.
Nasution, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management), (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2000), hlm. 15. Lihat juga Zulian Yamit, Manajemen
Kualitas Produk dan Jasa, (Yogyakarta: Ekonisia, 2004), hlm. 7.
[10] Fandy Tjiptono
dan Anastasia Diana, Total Quality Management, (Yogyakarta: Andi, 2009),
hlm. 3-4.
[12] Sudarwan
Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah; Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademi,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hlm. 53.
[14] Dzaujak Ahmad,
Petunjuk Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah Dasar, (Jakarta:
Depdikbud, 1996), hlm. 8.
[17] Husaini Usman,
Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,
2009), hlm. 515.
[18] Education for
All: The Quality Imperative, EFA Global Monitoring Report 2005, (Paris:
UNESCO, 2004), hlm. 35-37. Lihat juga Suparlan, Dimensi Mutu Pendidikan,
akses melalui website https://suparlan.org/178/dimensi-mutu-pendidikan, dikutip
pada tanggal 06 Maret 2018.
[20] Jerry H.
Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung:
ALFABETA, 2011), hlm. 47-49.
[21] PP Nomor 19
Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Lihat juga PP Nomor 32 Tahun
2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan.
[24] Permendiknas
Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Lihat juga Dedi
Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2012), hlm. 129-130.
No comments:
Post a Comment