BAB
II
KAJIAN
HERMENEUTIKA AL-QUR’AN NASR HAMID ABU
ZAYD, HASSAN
HANAFI DAN FAZLUR RAHMAN
Muhammad Furqan 16771006
Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Program
Pasca Sarjana
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
A. Dasar Pemikiran
Bagi sebagian besar masyarakat Muslim, khususnya
di Indonesia, istilah hermeneutika mungkin masih asing. Ini wajar sebab
hermeneutika merupakan barang impor yang bukan milik asli keilmuan Islam. Karenanya,
sebelum melangkah pada ide-ide para tokoh tesebut tentang diskursus
hermeneutika, pengertian tentang hermeneutika secara sederhana dirasa penting
untuk dipaparkan, sembara melihat keniscayaan kehadirannya bagi sejumlah
pemikir Muslim di beberapa belahan dunia.
Sebenarnya tidak mudah untuk memberikan definisi
yang tepat dan akurat tentang hermeneutika hanya dalam rentetan satu-dua
kalimat. Kata hermeneutika (hermeneutic) berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang berarti menerjemahkan atau menafsirkan. Istilah ini
kerap dihubungkan dengan tokoh mitologis Yunani, Hermes[1],
yang bertugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Mitos ini menjelaskan
tugas seorang Hermes yang begitu penting, yang bila keliru dapat berakibat fatal.
Hermes adalah simbol seorang duta yang dibebani misi menyampaikan pesan sang
Dewa. Berhasil atau tidaknya misi itu tergantung pada cara bagaimana pesan itu
disampaikan. Indikasi keberhasilannya, manusia yang semula tidak tahu menjadi
mengetahui pesan itu. Dengan demikian, hermeneutika secara sederhana diartikan
sebagai proses mengubah ketidaktahuan menjadi tahu.[2]
Pembakuan hermeneutika sebagai sebuah perangkat
pemahaman tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran tentang bahasa
dalam tradisi Yunani. Bahasa dan hermeneutika adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bahasa penting
bagi hermeneutika karena lahan dari hermeneutika adalah bahasa. Demikian juga,
hermeneutika penting bagi bahasa karena hermeneutika menjadi metode untuk
memahami bahasa. Keterkaitan ini menjadikan hermeneutika sebagai metode yang
mengeluarkan makna kebahasaan sebuah teks. Metode pemahaman teks
inilah yang mula-mula menjadi tugas hermeneutika.
Pada awalnya hermeneutika digunakan oleh para
kalangan agamawan. Melihat hermeneutika dapat menyuguhkan makna dalam teks klasik, maka
abad ke-17 kalangan gereja menerapkan telaah hermeneutika untuk membongkar makna
teks Injil. Ketika menemukan kesulitan dalam memahami bahasa dan pesan kitab
suci itu, mereka berkesimpulan bahwa kesulitan itu akan membantu pemecahannya
oleh hermeneutika. Karena itu dalam posisi ini hermeneutika dianggap sebagai metode
untuk memahami teks kitab suci. Fakta ini dinisbatkan sebagai langkah awal dalam
pertumbuhan hermeneutika adalah gerakan interpretasi atau eksegesis diawal
perkembangannya.
Memasuki abad ke-20, kajian hermeneutika semakin
berkembang. F.D.E. Schleiermacher, filsuf yang kelak digelari Bapak
Hermeneutika Modern, memperluas cakupan hermeneutika tidak hanya dalam bidang
sastra dan kitab suci. Ia melihat bahwa sebagai metode interpretasi,
hermeneutika sangat besar artinya bagi keilmuan dan bisa diadopsi oleh semua
kalangan. Faktanya, sekarang berbagai disiplin ilmu menyadari arti pentingnya,
dan hermeneutika di zaman ini telah masuk ke bidang-bidang semisal agama (kitab
suci), sastra, sejarah, hukum, dan filsafat.[3]
Kendati hermeneutika telah difungsikan dalam
banyak lakon, yang menyebar di berbagai bidang keilmuan, tidak bisa dinafikan
bahwa peran terbesar hermeneutika tetap ada pada interpretasi teks. Sejarah
membuktikan bahwa sejak kelahirannya sampai pada perkembangannya di era kontemporer, para
pengkaji kitab suci dan teks kuno memosisikannya sebagai satu-satunya yang
dapat diandalkan.
Namun begitulah, sebagai sebuah barang impor dari
luar Islam, apresiasi terhadap perangkat ini menghadapi tantangan dan penolakan
dari sebagian Islam. Hermeneutika dicurigai sebagai benda asing yang dapat merusak tatanan keilmuan Islam, dan
bahkan merusak ajaran Islam itu sendiri.
Penolakan terhadap hermeneutika atas dasar bahwa
hermeneutika berasal dari Barat-Kristen jelas berlandaskan pada argument
emosional yang lebih mengedepankan kecurigaan dan apriori terhadap dunia
Barat-Kristen yang ingin merusak Islam. Pandangan ini tentu tidak
cukup kuat untuk dipertahankan secara ilmiah-akademis. Sementara pandangan
bahwa kehadiran hermeneutika hanya dimaksudkan untuk mencari kebenaran-kebenaran
Injil (yang otentitas dan orisinalitasnya sudah tidak diakui), adalah pandangan
yang hanya melihat satu sisi yang melatarbelakangi penggunaan hermeneutika
dalam dunia Kristen. Pandangan ini membatasi hermeneutika pada lingkup yang
sempit, sehingga cakrawala luas yang terbentang di dalamnya tidak dilihat. Hermeneutika
adalah satu metode penafsiran dengan area pembahasan yang amat luas. Ia juga
memiliki tujuan yang tidak terbatas pada tujuan yang diinginkan di Barat
semata. Hermeneutika adalah perangkat pemahaman metodologis yang senantiasa
berkembang dan tujuannya dapat dipilih.
Hermeneutika merupakan suatu perangkat disiplin
yang netral. Pemahaman orang terhadapnya tidak harus mengikuti alur yang dimiliki orang
lain. Lebih-lebih bila orang lain itu berasal dari luar agamanya. Andaikan
dalam hermeneutika ada keharusan orang untuk mengikuti alur dan motif yang
dibangun oleh seorang tokoh, hermeneutika tidak akan dihampiri banyak orang,
baik dari kalangan mereka sendiri terlebih dari kalangan lain. Namun, karena
hermeneutika menampakkan netralitas, elastisitas, dan berkembang, semua disiplin
keilmuan merasa memerlukannya, tak terkecuali keilmuan Islam. Di dunia Islam sendiri, meski
muncul banyak penolakan terhadap hasil pengkajiannya, tidak menyurutkan langkah
sebagain penulis kontemporer untuk mengadopsinya. [4]
Buktinya, para pemikir yang lebih terdidik secara
ilmiah-akademis justru semakin giat mengkampanyekan arti penting penggunaannya
sebagai teori interpretasi Al-Qur’an. Demi kampanye itu, mereka tak peduli apa
pun risiko yang harus ditanggung. Di Mesir, misalnya, Nashr Hamid Abu Zaid yang
mengusung hermeneutika dalam kerangka analisis wacana, terpaksa hijrah dari negerinya
sendiri karena divonis murtad oleh Pengadilan Mesir dan dipaksa bercerai dengan
istrinya.
Bisa dikata,
kesadaran hermeneutika kini telah benar-benar mengakar di benak para pemikir
kontemporer. Seperti Hassan Hanafi di Mesir menawarkan hermeneutika kebebasan, Fazlur
Rahman di Pakistan menerapkan hermeneutika dalam kerangka interpretasi
sistematis dan sistesi-logis. Di dalam makalah ini akan dibahas mengenai
biografi dan kajian hermeneutika Al-Qur’an dari beberapa tokoh pemikir yang
telah disebutkan di atas.
B.
Hermeneutika
Al-Quran Nasr Hamid Abu Zayd
1.
Biografi
Nasr Hamid Abu Zayd
Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh kontroversial
akibat kritik keagamaan yang dilontarkannya di Mesir dan kepada
kalangan Muslim Sunni.[5]
Nasr Hamid dilahirkan di desa Qahafah dekat kota Thantha, Mesir pada 10 Juli
1943 dan hidup dalam sebuah keluarga yang religius. Bapaknya adalah seorang
aktivis Al-Ikhwan Al-Muslimin dan pernah dipenjara menyusul
dieksekuensinya Sayyid Quthb. Sebagaimana
anak-anak Mesir, dia mulai belajar dan menulis, serta kemudian menghafal
Al-Qur’an di kuttab ketika dia berusia empat tahun. Dan karena
kecerdasannya, dia telah menghafal keseluruhan Al-Qur’an pada usia delapan
tahun, sehingga dia dipanggil “Syaikh Nashr” oleh anak-anak di desanya.[6]
Ketika Al-Ikhwan Al-Muslimin menjadi
sebuah gerakan yang kuat dan memiliki cabang hampir di setiap desa, dia ikut
bergabung dengan gerakan ini pada tahun 1954 saat usianya sebelas tahun. Dalam
usia yang masih belia seperti ini, sebenarnya dia belum diperkenankan
mengikutinya. Tetapi, dia
merajuk kepada ketua cabang di desanya untuk memasukkannya dalam gerakan yang
dipimpin oleh Sayyid Quthb ini, dan diperkenankan untuk menyenangkan hatinya. Karena namanya tercantum di dalam daftar
anggota itulah maka Abu Zayd pun pernah dijebloskan di penjara selama satu hari dan dilepaskan karena
dia masih dibawah umur. Pada saat itu, dia tertarik pada pemikiran Syayyid
Quthb dalam bukunya Al-Islam wa Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyyyah (Islam dan
Keadilan Sosial), khususnya penekanannya pada keadilan manusiawi dalam
menafsirkan Islam. Pada masa remajanya, dia biasa mengumandangkan adzan di
masjid dan tak jarang sebagai imam shalat, hal yang biasanya di Mesir dilakukan
oleh orang dewasa.[7]
Abu Zayd menyelesaikan pendidikan dasar dan
menengahnya di Thantha. Setelah
kematian ayahnya, saat berusia empat belas tahun, dia harus bekerja untuk
membantu perekonomian keluarganya. Setelah lulus dari sekolah teknik
Thantha pada 1960, dia bekerja sebagai seorang teknisi elektronik pada
Organisasi Komunikasi Nasional di Kairo sampai pada tahun 1972. Minatnya pada
kritik sastra tampak dalam tulisan-tulisan awalnya ketika dia berusia 21 yang
dipublikasikan pada 1964, di dalam jurnal Al-Adab, jurnal pemimpin Amīn
Al-Khūlī. Dua artikel pentingnya saat itu adalah “Hawl Adab Al-‘Ummal wa Al-Fallahin” (tentang Sastra Buruh dan
Petani)[8]
dan “Azmah Al-Aghniyyah Al-Mishriyyah”
(Krisis Lagu Mesir).[9] Dia sangat tertarik kepada sosialisme dan
revolusi ketika keduanya menjadi trend dominan di Mesir pada tahun
1960-an. Dan dia mulai mengkritik Al-Ikhwan Al-Muslimin, kendatipun dia
tidak mengekspresikan kritiknya itu dalam tulisan-tulisan awalnya.
Pada 1968, Abu Zayd mulai studinya di Jurusan
Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo. Dia masuk siang hari dan siangnya dia tetap
bekerja.Dia menyelesaikan studinya pada 1972 dengan predikat cum laude. Setelah itu, dia diangkat sebagai asisten
dosen. Karena
kebijakan pimpinan pada jurusannya mewajibkan para asisten dosen baru untuk
mengambil studi Islam sebagai bidang utama dalam riset Master dan Doktor, dia
merubah bidangnya dari murni linguistik dan kritik sastra menjadi studi Islam,
khususnya studi Al-Qur’an. Abu
Zayd sebenarnya enggan untuk mengambil subjek ini, mengingat pengalaman Muhammad
Ahmad Khalafallah yang mengalami problem serius karena dia menggunakan studi
kritik sastra (literer) atas narasi-narasi Al-Qur’an dalam disertasinya. Namun, akhirnya dia menerima keputusan itu. Sejak saat itulah dia melakukan studi tentang
Al-Qur’an dan problem interpretasi dan hermeneutika.
Pada 1975, Abu Zayd mendapatkan beasiswa Ford
Foundation untuk melakukan studi selama dua tahun di American University di
Kairo. Dua tahun kemudian dia meraih gelar MA dengan predikat cum laude
dari Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Universitas Kairo dengan tesis yang
berjudul Al-Ittijah Al-Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi
Al-Qur’an ‘inda Al-Mu’tazillah (Rasionalisme dalam Tafsir: Sebuah Studi
tentang Problem Metafor menurut Mu’tazillah), dan dipublikasikan pada 1982.
Setelah itu, dia diangkat menjadi dosen.
Selama periode 1976-1978, Abu Zayd mengajar
bahasa Arab untuk orang-orang Asing di Centre for Diplomats dan Kementrian
Pendidikan di samping tetap mengajar di Universitas Kairo. Pada 1978 dia menjadi
fellow pada Centre for Middle East Studies di Universitas Pensylvania,
Philadelphia, Amerika Serikat, di mana dia mempelajari ilmu-ilmu sosial dan
humanitas, khususnya teori-teori tentang cerita rakyat (folklore). Pada
periode inilah, Abu Zayd menjadi akrab dengan hermeneutika Barat. Dia menulis sebuah artikel “Al-Hirminiyuṭiqa wa mu’dhilat Tafsir Al-Nass”
(Hermeneutika dan Problem Penafsiran Teks), yang menurut pengakuannya merupakan
artikel pertama tentang hermeneutika yang ditulis dalam bahasa Arab.
Pada 1981, Abu Zayd meraih gelar PhD-nya dalam
bidang studi Islam dan Bahasa Arab dari jurusan yang sama dengan predikat cum
laude. Dia menulis disertasi berjudul “Falsafah
Al-Ta’wil: Dirasah fī Ta’wil Al-Qur’an ‘inda Muhy Al Din ibnu ‘Arab” (Filsafat
Takwil: Studi Hermeneutika Al-Qur’an Muhy Al-Din ibnu ‘Arabi) yang
dipublikasikan pada 1983. Abu Zayd dipromosikan sebagai asisten professor pada
1982, tahun di mana dia mendapatkan penghargaan ‘Abd Al-‘Aziz Al-Ahwani untuk
Humanitas karena konsernya pada humanitas dan budaya Arab.
Selama 1985-1989, dia menjadi seorang
professor tamu pada Osaka University of Foreign Studies, Jepang. Pada 1987, ketika dia masih berada di Jepang,
dia dipromosikan sebagai Associate Profesor. Periode Jepang tampaknya merupakan fase sangat
produktif baginya. Dalam pepriode inilah, Abu Zayd menyelesaikan bukunya
Mafhūm Al-Nass: Dirasah fī Al-Ulum Al-Qur’an (Konsep Teks: Studi tentang
Ilmu-ilmu Al-Qur’an) dan menulis artikel-artikel lainnya, yang sebagiannya
nanti dipublikasikan dalam Naqd Al-Khithab Al-Dini (Kritik atas Wacana
Keagamaan). Sebagian besar artikel yang dimuat dalam buku terakhir ini
dipublikkasikan pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.[10]
Pada tahun 1992, dia menikah dengan Dr. Ibtuhal Yunis pada saat usianya menginjak
49 tahun. Di tahun yang sama pula, ia mengajukan karya-karyanya untuk
dipromosikan mendapat gelar professor penuh di Fakultas Sastra Universitas
Kairo. Di antaranya
sejumlah karyanya yang diajukan adalah Naqd al-Kitab al-Dini yang
diterbitkan pertama kalinya pada tahun 1992 dan langsung membuat namanya
melejit di dunia Islam. Namun
di tahun ini dimulailah “kasus Abu Zayd” di persidangan yang berakhir dengan
vonis murtad atas dirinya dan dituntut menceraikan istrinya pada tahun
1995. Karena
karyanya dinilai tidak bermutu, dan promosinya ditolak bahkan dinyatakan
menyimpang dan merusak. Prof. Abdul Shabur Shahin, salah satu penguji ketika ia
mengajukan promosi profesornya, dalam khutbahnya di masjid ‘Amr bin ‘As
menyatakan bahwa Abu Zayd telah murtad, yang kemudian di-amin-kan oleh
para khatib lainnya di masjid-masjid pada hari jum’at berikutnya, Mesir pun
heboh. Dan
pada akhirnya pada 14 Juni 1995, “Mahkamah al-Isti’nāf Kairo” menyatakan Abu
Zayd murtad.
Setelah diusir dari Mesir dengan fatwa murtad
dan ia menolak untuk mencabut keyakinannya kemudian dijatuhkan vonis hukuman
mati yang dituntut oleh Majelis Ulama Al-Azhar kepada pemerintah Mesir, yang
kemudian dibuktikan juga dengan dikeluarkannya keputusan dari Mahkamah Agung
Mesir pada 5 Agustus 1996, yang juga telah menyatakan ia murtad, maka
kemudian pindah ke Madrid, Spanyol pada 23 Juli 1995, bersama-sama dengan
istrinya. Sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995
sampai sekarang (data pada tahun 2008).[11]
Hasil karya-karya kritis Nasr seperti Mafhum al-Nas: Dirasah fī `Ulum al-Qur’an (Konsep Teks:
Studi Ilmu-ilmu Alqur’an), Isykaliyyat al-Qira’ah wa
Aliyat al-Ta’wil (Problem Pembacaan
dan Metode Interpretasi), Falsafah al-Ta’wil: Dirasah fi Ta’wil al-Qur’an `inda
Ibn `Arabi(Filsafat Hermeneutika:
Studi Hermeneutika Alqur’an menurut Ibn Arabi), al-Imam al-Syafi’i wa
Ta`sis al-Aidiulujiyyah
al-Wasatiyyah (Imam Syafi’i dan
Pembasisan Ideologi Moderatisme), al-Ittija al-`Aqli
fi at-Tafsir (Rasionalisme dalam
Tafsir), Naqd al-Khithab al-Dini (Kritik Wacana Agama),
dan lain-lain. Karya-karyanya juga terbit dalam bahasa Inggris seperti Reformation of Islamic Thought: a Critical Historical Analysis;
Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics; dan Voice of an Exile: Reflections on Islam.
2.
Konsep
Teks
Persoalan menarik dari pemikiran Nasr adalah
diskursus mengenai konsep teks (al-nass).Dalam lintas sejarah dunia
Arab, teks memiliki kedudukan penting. Apalagi jika melihat perkembangan sastra era pra
Islam sampai Islam. Tradisi lisan mengakar dengan sangat kuat. Konsep teks menjadi begitu
penting di mata Nasr, sehingga dalam beberapa bukunya persoalan ini selalu
disinggung. Bahkan, salah satu statement Nasr yang mengatakan teks Al-Qur’an
adalah produk budaya (muntaj saqafi) merupakan statement yang cukup
kontroversial, sehingga mendapatkan respon dari berbagai kalangan.
Istilah teks (text) dalam bahasa Arab
disebut “al-nass”, sedangkan dalam bahasa Arab klasik kata “nass”
berarti mengangkat.[12]
Dalam bahasa-bahasa Eropa, teks (text) berarti suatu jalinan
relasi-realasi semantis struktural yang melampaui batas-batas kalimat dalam
pengertian gramatikal (nahwiyyah), yaitu suatu makna yang didukung oleh
akar kata utamanya dari bahasa latin. Nasr membedakan pengertian teks antara dalam
bahasa-bahasa Eropa dan bahasa Arab dengan mengutip makna “al-nass” di
kamus lisan al-‘Arab yang bermakna ‘tampak’ dan ‘tersingkap’ sebagai
makna utama. Paling tidak ada empat tingkatan pergeseran makna teks, meliputi:
makna materil, peralihan dari makna materil, peralihan pada makna konseptual,
lalu masuk pada makna terminologis.
Nasr menunjukkan penggunaan kata “-nass”
bermakna bayan, sebagaimana telah dipakai oleh Al-Syafi’i. Al-Syafi’I
menempatkan “-nass” pada puncak bentuk-bentuk bayan dan
mendefinisikan sebagai kata yang “cukup dengann teks itu sendiri tidak
membutuhkan takwil”, serta tidak ada alasan bagi seseorang untuk
mengabaikannya.[13] Hal ini
menunjukkan bahwa apa yang dimaksud teks adalah kejelasan tentang sesuatu
(teks), berkaitan dengan persoalan-persoalan tasyri’, seperti shalat,
zakat, haji dan lainnya. Teks-teks yang berbicara mengenai hal tersebut merupakan teks
mujmal, yang memiliki makna jelas secara tekstual.
Kajian Nasr terhadap teks Al-Qur’an pada dasarnya
berangkat dari sejumlah fakta-fakta di sekitar Al-Qur’an itu sendiri yang
dibentuk oleh peradaban Arab di satu sisi, dan berangkat dari konsep-konsep
yang ditawarkan teks Al-Qur’an di sisi lain. Hal ini menunjukan bahwa sebelum teks Al-Qur’an
turun, realitas budaya Arab sudah ada. Selain itu, perjalanan turunnya teks dilepaskan
realitas dan budaya yang ada. Dari sinilah Nasr berpendapat bahwa teks adalah
produk budaya.
Statemen Nasr
bahwa Al-Qur’an adalah produk budaya ini sebenarnya ingin menunjukkan bahwa
teks al-Qur’an terbentuk atau diturunkan kepada Nabi Muhammad bukan pada
masyarakat yang kosong dari budaya, tetapi teks tersebut di dalam realitas dan
budaya lebih dari 20 tahun. Pernyataan Nasr ini sering disalah pahami oleh
kalangan penentangnya, bahwa Al-Qur’an benar-benar diproduk oleh budaya, sehingga seolah-olah
Al-Qur’an tidak lagi wahyu Allah, tapi makhluk yang dihasilkan oleh budaya. Pada
kenyataannya Nasr tidak seperti yang mereka sangka, tetapi justruk benar-benar
mengakui bahwa Al-Qur’an adalah wahyu. Ini pun dibuktikan dalam buku “Mafhum
Al-Nass” dengan menempatkan diskusi tentang wahyu di bagian permulaan
sebelum pembahasan-pembahasan yang lain. Sebagai seorang intelektual, Nasr
memiliki latar belakang pendidikan sastra, sehingga ada kemungkinan teori-teori
sastra yang dipelajari memiliki pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran Nasr. Anggapan bahwa
teks Al-Qur’an merupakan produk budaya sebenarnya diambil dari teori kritik
sasatra, yaitu teori strukturalisme genetik dan sosiologi sastra.[14]
3.
Teori
Interpretasi Teks
Pembahasan tentang Al-Qur-an sebagai sebuah pesan tidak bisa
dilepaskan dari kesadaran seorang penafsir mengenai Al-Qur’an sebagai teks
linguistik yang memiliki
karakteristik sendiri. Menurut Nasr, di dalam makna bahasa terdapat dua dimensi
yang tampak terlihat kontradiktif, namun sebenarnya saling melengkapi. Gambaran
penjelasan ini terlihat dalam membedakan antara konsep tafsir dan ta’wil. Tafsir memiliki pengertian menyingkap
sesuatu yang tersembunyi atau tidak diketahui, yang bisa diketahui karena adanya
media tafsirah. Sedangkan, ta’wil adalah
kembali ke asal usul sesuatu untuk mengungkapkan ma’na dan magza. Ma’na merupakan dalalah (arti) yang
dibangun berdasarkan gramatikal teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah
makna-makna gramatik (ma’āni al-naḥwi). Sedangkan magzā menunjukkan
pada makna dalam konteks sosio-historis. Dalam proses penafsiran kedua hal ini
saling berhubungan dengan kuat, magzā selalu mengikuti ma’nā
begitu pula sebaliknya.
Perbedaan penting kedua hal tersebut tercermin bahwa proses
penafsiran selalu membutuhkan medium tafsirah,
sehingga penafsir dapat menyingkapkan apa yang dikehendakinya, sementara dalam
proses ta’wil tidak selalu
membutuhkan medium tafsirah, bahkan
kadang-kadang ta’wil didasarkan pada
gerak mental-intelektual dalam menemukan asal mula “gejala”.[15]
Hal ini menunjukkan bahwa ta’wil bisa
dijalankan atas dasar hubungan langsung antara subjek dan objek. Sementara itu
tafsir hanya bisa dijalankan melalui adanya medium, sehingga proses hubungan
antara subjek dan objek tidak bersifat langsung. Medium ini berupa teks bahasa
atau berupa suatu penanda.
Penafsiran Al-Qur’an sebagai teks bahasa tidak bisa
digali hanya dengan menganalisis bahasa secara inheren. Bagaimanapun teks
Al-Qur’an turun bukan dalam masyarakat yang sama sekali tidak memiliki budaya.
Paling tidak keberadaan asbab al-nuzul merupakan bukti bahwa
teks Al-Qur’an telah merespon terhadap kondisi masyarakat saat itu. Oleh sebab
itu, bagi Nasr persoalan konteks budaya secara luas yang saat itu berkembang
merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan.
Analisis terhadap teks Al-Qur’an dan tradisi otentik Nabi
Saw. Menurut latar belakang
konteks yang terjadi saat itu harus dilakukan dalam proses penafsiran. Hal ini disebabkan
karena pesan Islam tidak memiliki berbagai pengaruh kalau masyarakat yang
pertama kali menerima tidak mampu memahami pesan tersebut. Sementara itu,
masyarakat tersebut hanya bisa memahami pesan dalam konteks sosial-budaya
mereka sendiri.[16]
Pandangan seperti ini menyebabkan lahirnya perbedaan pemahaman terhadap pesan
dalam teks yang dilakukan oleh masyarakat dalam konteks sosial-budaya yang
berbeda pula.
Perbedaan konteks dan metode melahirkan pemahaman yang
beragam seiring dengan perjalanan waktu. Oleh karena itu, pemahaman generasi
muslim pertama terhadap pesan teks tidak dianggap sebagai pemahaman yang final
dan absolut.[17]
Bahasa teks Al-Qur’an pada hakikatnya sama dengan bahasa-bahasa lain. Bahasa
selalu mengalami perkembangan secara dinamis melalui proses pengkodean secara
terus menerus dan tidak berakhir. Hal ini berarti teks memiliki makna yang
berkembang menjadi signifikasi, atau dengan kata lain akan selalu terjadi
produksi makna tanpa akhir. Dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan
untuk menafsirkan teks itu secara terus-menerus. Oleh karena itu, proses
interpretasi tidak akan pernah berakhir, dan reinterpretasi akan selalu terjadi
di sepanjang masa.
Apa yang disampaikan Nasr di atas menunjukkan bahwa
interpretasi teks dapat dilakukan siapapun yang memiliki kompeten. Meskipun
demikian, Nasr memberikan catatan penting sebelum penafsir melakukan
interpretasi. Beberapa teori kontemporer[18] memiliki
kecenderungan untukmenekankan aspek internal teks sebagai hubungan-hubungan
semantis, sehingga melahirkan pembacaan yang terkait (al-qirā’ah gair
al-bariah).
Hubungan antara teks dengan pengarang, masa dan realitas
yang memproduk teks itu sendiri harus dipisahkan. Pembacaan seperti ini
mengakibatkan pembacaan terhadap teks selalu terikat dengan data-data
kebahasaan yang terdapat pada teks itu. Hubungan antara teks dengan dunia di
luar teks diabaikan, padahal kenyataannya teks tidak dapat dipisahkan dari
faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi teks. Pembacaan terikat atau
tidak bebas seperti inilah yang harus ditinggalkan dalam proses interpretasi.
Model pembacaan lain yang harus ditinggalkan oleh
penafsir adalah pembacaan tendensius (al-qirā’ah al-mugridah). Pembacaan tendensius
adalah pembacaan teks yang dilakukan sesuai dengan ideologi yang dianut oleh
penafsir. Pembacaan tendensius merupakan pembacaan yang dilakukan atas dasar
kepentingan, sehingga hasil yang dicapai akan selalu bersifat subjektif. Hal
ini karena sejak awal penafsir memiliki kepentingan dan berusaha agar hasil interpretasinya
berbicara sesuai yang diinginkannya. Oleh karena itu, sebelum melakukan
interpretasi penafsir harus menanggalkan segala macam horizon subjektif yang
beredar di otaknya.
Memang harus disadari bahwa untuk melepaskan diri dari
ideologi-ideologi yang ada pada diri penafsir bukan persoalan mudah. Dalam hal
ini Nasr membuat pemisahan dua dimensi. Makna
dalam teks, yaitu antara dalālah dan magzā. Pembedaan antara dalālah dan magzā
harus menjadi tuntutan utama agar metodologi interpretasi teks tidak tunduk
pada ideologi
pengkaji secara serampangan dan vulgar. Secara tegas Nasr menolak kegiatan interaksi
dengan teks dan interpretasi terhadapnya dengan landasan opotunistik-pragmatis,
karena interaksi dan interpretasi seperti itu dianggap mengabaikan gerak teks (harakah
al-naṣṣ) dalam konteks historis dan mengingkari data-data yang memungkinkan
untuk membantu mengungkap makna teks.
Aktivitas intelektual pada umumnya dan
tindakan pembacaan khususnya bertujuan untuk menyingkap fakta-fakta tertentu
dari tataran-tataran eksistensi di liar horizon subjek yang membaca. Apabila horizon pembaca membatasi sudut
pandangnya, maka data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap
orientasi-orientasi subjek.
Ini berarti pembacaan dan aktifitas intelektual yang benar itu didasarkan pada
dialektika antara subjek dan objek. Berbeda dengan ini, pembacaan tendensius
hanya akan menghasilkan ideologi.
Kecenderungan subjektifitas oportunistik pada akhirnya akan melahirkan klaim
bahwa pembaca mampu menemukan makna, padahal makna yang dihasilkan itu
sebenarnya adalah makna yang diinginkan sebelum melakukan pembacaan.
Dalam rangka menanggapi problem diatas, Nasr
menawarkan model pembacaan yang disebut al-qirā’ah al-muntijah
(pembacaan produktif). Al-qirā’ah
al-muntijah yang ditawarkan Nasr sebenarnya kembali masuk
dalam diskusi tentang hubungan antara ma’nādan magzā, tapi dalam
hal ini Nasr menggunakan dialektika
antara istilah dalālah dan magzā. Di sini Nasr terlihat tidak
konsisten dalam menggunakan istilah, terkadang menggunkan distingsi magzā dan
dalālah, tapi terkadang menggunakan distingsi magzā dan ma’na.
Pada dasarnya dalālah dan magzā
merupakan dua bentuk yang digunakan untuk satu pekerjaan. Magza tidak
bisa dilepaskan dari sentuhan dalālah, sebab dalalahlah yang
mengantarkan magzā sampai pada ma’na yang paling jauh. Sementara
itu, untuk mengungkap ma’na dalalah harus melalui media al-tafsirah
(denotatum/tanda). Dengan demikian, al-qirā’ah al-muntijah berangkat
dari analisis tanda bahasa untuk memperoleh makna tekstual, setelah itu kembali
ke asal atau dihubungkan dengan makna konteks sosio-historis untuk memperoleh magzā.[19]
Aktifitas pembacaan ini pada dasarnya adalah proses pengiriman pesan dari
pengirim pesan (al-mursil) yang
selalu melakukan pembacaan terhadap teks kepada penerima pesan (al-mutalaqqi). Dalam dunia penafsiran
dapat ditemukan jumlah tafsir yang begitu banyak. Hal ini selain disebabkan
jumlah pembaca yang banyak, juga disebabkan faktor latar belakang pemikiran dan
ideologi yang berbeda-beda. Seorang pembaca dalam menafsirkan teks harus
menyadari hal ini. Fakta inilah yang membuat Nasr beranggapan bahwa konteks
pembacaan termasuk bagian dari struktur teks. Dengan demikian, terlihat bahwa
sebenarnya Nasr ingin mengatakan resepsi para penafsir yang pernah ada
merupakan persoalan penting yang tidak bisa ditinggalkan dalam proses
penggalian makna teks.
4.
Aplikasi Penafsiran Nasr Hamid Abu Zayd
Aplikasi teori Nasr Hamid Abu Zayd berangkat dari
teori makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ) sebagaimana
dikemukakan sebelumnya dan contoh cara kerjanya sebagai berikut:
Penciptaan Langit dan Bumi
Beberapa teks Al-Qur’an
menyebutkan penciptaan langit dan bumi, baik secara global ataupun rinci. Ada
yang hanya menyebutkan penciptaan langit saja, dan juga ada yang hanya
menyebutkan penciptaan bumi saja. Banyak redaksi ayat yang menjelaskan bahwa
langit dan bumi diciptakan dengan “al-haq”.
Nasr mengawalinya dengan menunjukkan QS. Al-Nahl ayat 3-4 yang menjelaskan
perbandingan antara penciptaan langit dan bumi dengan “al-haq”, dan penciptaan manusia dengan air mani. Perbandingan ini
berasal dari dua hal, yaitu penciptaan langit dan bumi yang menyucikan Allah
sebagaimana diyakini penduduk Mekkah, dan penciptaan manusia yang kemudian
menjadi pembantah. Langit dan bumi diciptakan dengan “al-haq” menunjukkan pada penyucian Tuhan dan penegasian syirk, sedangkan penciptaan manusia dari
air mani sebagai bahan yang sangat hina menyebabkan manusia menentang Tuhan dan
menginggkari nikmat-nikmat-Nya.
Bagi Nasr dua hubungan
penciptaan tersebut bersifat paradoksal, dan mirip dengan ayat yang menjelaskan
bahwa penciptaan langit dan bumi lebih dahsyat daripada manusia. Ayat ini
berbicara dalam konteks pengingkaran kenabian Nabi Muhammad Saw, dan telah
melahirkan ancaman bahwa hari kiamat dekat dengan golongan manusia penentang
itu. Hubungan paradoksal tersebut menunjukkan dua proses penciptaan yang
berbeda. Proses penciptaan manusia dari air mani menunjukkan danya fase-fase
yang harus ditempuh sampai berwujud manusia seutuhnya. Hal ini berbeda dengan
penciptaan langit dan bumi yang diciptakan dengan “al-haq”, lalu apa pengertian “al-haq”
dalam konteks ayat penciptaan bumi dan langit tersebut. Pertanyaan inilah yang
akan dijawab Nasr untuk mengetahui bagimana langit dan bumi diciptakan.
Nasr lalu menunjukkan bahwa
ungkapan “al-haq” dalam konteks
ayat-ayat penciptaan langit dan bumi dalam formulasi yang berbeda-beda. Nasr
membeberkan perselisihan pendapat mengenai makna “bi al-haq” dengan mengutip pendapat Al-Tabari. Ada yang mengatakan
bahwa kata tersebut berarti benar dilawankan dengan batil dan salah, dengan
didasarkan pada firman Allah Swt, “Dan
Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan
batil”. Keberadaan huruf ba’ dan
kata sandang alif lam pada ungkapan “bi al-haq” menunjukkan suatu kemusykilan
yang merupakan suatu kebiasaan dalam kalam Arab, sebab orang Arab biasa
mengatakan sesuatu yang benar dengan ungkapan “bi al-haq”.
Bagi Nasr penafsiran ini intinya adalah langit dan bumi diciptakan dengan
bahan tertentu, karena berangkat analisis preposisi ba’ dan artikel pembatas alif
lam yang menunjukkan bahan bukan sifat penciptaan. Nasr lalu menyebutkan
penafsiran lain yang mengatakan “al-haq”
adalah perkataan Allah, sebab Allah menciptakan segala sesuatu dengan
perkataan-Nya, yaitu “jadilah” (kun).
Argumen ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. Yasin ayat 82. Jadi, “al-haq” adalah perkataan dan firman
Allah Swt, yaitu kun fayakun. Dengan
demikian, terdapat perbedaan antara penafsiran ini dengan penafsiran sebelumnya
yang mengatakan “al-haq” adalah makna
(bahan penciptaan), bukan perbuatan penciptaan (proses).[20]
C. Hermeneutika Al-Quran Hassan Hanafi
1. Biografi Hassan Hanafi
Hasan Hanafi adalah seorang cendikiawan
Muslim-Mesir kelas dunia (Internationally-qualified Scholars). Aktifitas dia
sebagai akademisi plus aktifis dengan segudang tulisan di berbagai media telah
menarik perhatian kalangan intelektual Arab, Barat, Eropa, dan bahkan Indonesia
sendiri. Gebrakan Hanafi paling tidak memancing beberapa kajian dari sederet
tokoh-tokoh besar seperti Kazuo Shimogaki, Muhsin Mili, Issa J. Boullata, Ali
Harb, Abdurrahman Wahid, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, serta
diskusi-diskusi serius yang diadakan LKiS dan Yayasan Paramadina semenjak tahun
1993.[21] Di samping interest
dari beberapa intelektual sebagai indikasi reputasi internasionalnya,
jabatannya sebagai guru besar luar biasa (visiting professor) di
berbagai universitas terkemuka di banyak negara seperti Prancis (1969), Belgia
(1970), Amerika Serikat (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), Jepang
(1984-1985), Uni Emirat Arab (1985), dan bahkan sebagai accademic consultant
di Universitas Perserikatan Bangsa-bangsa di Tokyo juga tidak dapat
diabaikan.[22]
Dilahirkan di kota metropolis Kairo, ibukota
Mesir, pada 13 Februari 1935. Sebagaimana anak-anak Arab lainnya, Hasan Hanafi
mulai menghafal Al-Qur’an sekitar umur 5 tahun. Sekolah formal ia tempuh mulai
dari pendidikan dasar di Madrasah Sulayman Ghawish, pendidikan guru di al-Mu’allimin
(pada tahun ke-5 pindah ke sekolah Silahdar), dan tingkat tsanawiyyah
(setingkat SLTA untuk Indonesia) di Khalil Agha yang ditamatkan pada
tahun 1952.[23] Tahun 1956,
Hanafi mendapatkan gelar kesarjanaan pertamanya di Fakultas Sastra Jurusan
Filsafat Universitas Kairo. Selanjutnya, selama sepuluh tahun ia menghabiskan
waktu belajar di Prancis, di Sorbonne University dan menyelesaikan
disertasi monumental dengan judul Essai sur la Methode d’Exegetse. Disertasi
yang didaulat sebagai karya ilmiyyah terbaik di Mesir pada tahun 1961 dan
berkuantitas 900 halaman ini merupakan upaya Hanafi untuk melakukan dialektika
filsafat hukum Islam (Ushul al-Fiqh) dengan teori fenomenologi Edmund
Husserl.[24]
Pembicaraan mengenai sosok Hasan Hanafi dan
pemikirannya tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan kondisi sosio-politik yang
ia hadapi secara terus-menerus semenjak kecil terutama sekali di negaranya,
Mesir. Menjelang kelahiran Hasan Hanafi, selama beberapa dekade Mesir
menghadapi fakta politik yang sedemikian rumit dan mengkhawatirkan. Di masa
penjajahan Inggris, terdapat tiga poros kekuatan yang saling berkonfrontasi,
pihak Inggris, Raja, dan partai-partai yang diwakili partai Wafd. Secara
diam-diam, Inggris berkoalisi dengan Raja untuk melawan Wafd, namun
dengan cara yang sama, Inggris juga bekerja sama dengan partai Wafd untuk
menghadapi Raja. Hasilnya, Inggris tetap dominan dengan kekuatan militernya,
sementara Mesir sendiri terpecah belah.
Tak cukup dengan rintangan penjajahan dan
dominasi militer, ekonomi, dan kultural Barat, Mesir juga berkabung dengan
kekalahannya melawan Zionis yang berhasil memproklamasikan berdirinya negara
Israel di Palestina. Pada usia yang masih terlalu dini, umur 13 tahun, Hasan
Hanafi mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan melawan Israel. Menimbang
usia yang belum cukup, Hanafi tidak diterima. Namun, hal yang menyakitkan bagi
Hanafi adalah ia dianggap bukan dari golongan mereka. Kenyataan ini telah
membuka pandangan Hanafi, bahwa umat Islam negaranya telah dihantui problem
mengenai persatuan.
Kondisi semacam ini dinilai sebagai kegagalan
modernisasi dan liberalisasi di Mesir, sehingga kelompok-kelompok Islam tidak
lagi mempercayainya. Ketidakpercayaan ini bermuara kepada pilihan alternatif untuk
kembali kepada Islam yang cenderung konservatif. Selanjutnya, kelompok ini
membangun sebuah pergerakan yang kemudian dikenal luas sebagai Ikhwan
al-Muslimin. Beberapa saat berselang, gerakan bawah tanah “perwira bebas” yang
dirintis oleh Muhammad Najib, Jamaluddin Nasser, dan Anwar Sadat secara mudah
mengakomodasikan diri ke pihak Ikhwan dengan landasan tujuan yang sama.
Koalisi ini berhasil meruntuhkan kekuasaan kerajaan sekaligus dominasi Inggris
(1952). Sayangnya, setelah Nasser memimpin, kedua kubu ini mulai
berkonfrotasi, Nasser menangkap dan membunuh aktifis Ikhwan, dan tentu
saja lahirlah konflik baru.
Peristiwa demi persitiwa yang dihadapi dan
diperhatikannya di Mesir -dan sepertinya juga negara-negara yang dikunjunginya- telah menyadarkannya
bahwa terdapat kesenjangan dalam tubuh umat Islam; kesenjangan yang kemudian
menjadi landasan keprihatinan Hasan Hanafi. Hanafi menilai
negara-negara Islam yang mayoritas berstatus negara ketiga, bergerak ke
belakang dan berada jauh di bawah peradaban Barat. Tidak hanya mengundang
dominasi Barat dalam tubuh Islam, kondisi ini juga menampilkan wajah
kolonialisme baru yang merusak, merendahkan, dan menciptakan berbagai problem.
Hasan Hanafi seringkali merespon setiap persitiwa
politik yang ia hadapi dengan berkarya. Secara garis besar, karya-karyanya bisa
dikelompokkan menjadi tiga: periode 60-an, 70-an, dan 80-an sampai 90-an.
Periode pertama ditandai dengan aktifitas kuliahnya di Prancis. Di sana ia
melahirkan karya trilogi disertasi yang luar biasa. Selanjutnya, mengiringi
kekalahan Arab dari Zionis Israel, Hanafi meresponnya dengan rajin mengirimkan
tulisan dalam jurnal-jurnal seperti al-Katib, al-Akhbar, al-Adab al-Fikr
al-Ma’ashir, dan Minbar al-Islam. Artikel-artikel di
jurnal-jurnal tersebut kemudian diterbitkan dalam sebuah buku yang berjudul
Qadhaya Ma’ashirah fi Fikr al-Gharb.
Periode 70-an ditandai dengan kepemimpinan Anwar
Sadat yang pro Barat dan Israel. Dalam situasi politik yang runyam, Hanafi
menulis karya besarnya al-Din wa al-Tsaurat fi Mishr (1952-1981). Buku
tersebut merupakan kumpulan artikel-artikel yang ia tulis yang kemudian disusun
menjadi delapan jilid, dimana masing-masing jilid memiliki judul tersendiri.
Selain itu, ia juga menulis Religious Dialogue and Revolution dan Dirasat
al-Islamiyyat.
Untuk periode
80-an, Hasan Hanafi menghadapi fakta politik yang cukup stabil. Dalam kondisi
ini ia berhasil merumuskan landasan-landasan teoritis pembebasannya melalui al-Turats
wa al-Tajdid. Selanjutnya, ia juga menulis Yasar al-Islami yang
lebih mencirikan manisfesto politik ketimbang aturan-aturan teoritis
sebagaimana al-Turats wa al-Tajdid. Presentasi-presentasinya di berbagai
negara kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku tersendiri yang berjudul
Religion, Ideology, and Developement. Selain itu, ia
menyelesaikan 5 jilid buku Min al-‘Aqidat ila al-Tsaurat. Sebagai proyek
lainnya, oksidentalisme, ia menulis Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab.[25]
2. Hermeneutika Pembebasan
Pada dasarnya, Hasan Hanafi lebih layak untuk
disebut sebagai seorang filosof Muslim ketimbang sebagai ahli hermeneutika atau
penafsir. Bukan hanya karena concern-nya yang sangat kuat kepada
realitas aktual umat Islam, namun juga karena proyek besar yang diusungnya (al-Turats
wa al-Tajdid) seringkali disebut sebagai proyek peradaban yang bertujuan
untuk merubah masyarakat[26],
dan pembahasan mengenai seni interpretasi, yang dalam hal ini adalah Al-Qur’an,
hanyalah salah satu pokok pembahasan yang dibahas dalam skema besar tersebut.
Penilaian semacam ini juga bisa dilihat dari bahasan panjang yang ditulis oleh
Ali Harb Naqd al-Nash, yang lebih menitikberatkan kritiknya kepada Hasan
Hanafi dalam kajian isu-isu yang lebih berbau filosofis daripada kajian
Al-Qur’an.[27]
Menurut Amin Abdullah, Hasan Hanafi adalah
sarjana pertama yang mencetuskan terminology hermeneutika
Al-Qur’an. Meski mengakui bahwa Hasan Hanafi belum
menerbitkan karya sistematis mengenai hermeneutika Al-Qur’an (pengakuan
tersebut ditulis tahun 2002), artikel-artikel lepasnya telah menunjukkan concern
Hanafi kepada agenda hermeneutika Al-Qur’an yang dibangun atas dua agenda:
persoalan metodis/teori penafsiran dan persoalan filosofis/matateori
penafsiran. Secara metodis, Hanafi menggariskan beberapa langkah baru dalam
memahami Al-Qur’an dengan tumpuan utama pada dimensi liberasi dan emansipatoris
Al-Qur’an.Sementara untuk agenda filosofis, Hanafi telah bertindak sebagai
komentator, kritikus, bahkan dekonstruktor terhadap teori lama yang dianggap
sebagai kebenaran dalam metodologi penafsiran Al-Qur’an.
Hanafi telah menelorkan tulisan-tulisan
hermeneutikanya
seperti dalam Hermeneutics as Axiomatics: an Islamic Model dalam bukunya
Relegious Dialog and Revolution yang ditulis diantara tahun 1972-1976.
Bahkan, sebenarnya Hanafi telah jauh sebelum itu memulai tulisan hermeneutikanya, jika ditarik
sedikit keluar dari konteks Al-Qur’an, ketika ia menulis disertasinya Les
Methodes d’Exegese, essai sur La science des Fondamen de la Comprehension, ilm
Usul al-Fiqh (Metodologi Penafsiran: Sebuah Upaya Rekonstruksi Ilmu Ushul
Fiqh), L’Exegese de la Phenomenologie, L’etat actual de la metode
phenomenologique et son application au phenomene religiux (Tafsir
Fenomenologis: Status Quo Metode Fenomenologi dan Aplikasinya dalam Fenomena
Keagamaan), dan La Phenomenologie de L’Exegese, esay d’une hermeneutique
existentielle a partir du Nueveau Testament (Fenomenologi Penafsiran:
Risalah Penafsiran Eksistensialisme terhadap Perjanjian Baru) pada tahun
1965-1966. Sedangkan expert-hermeneut lainnya, seperti Fazlurrahman baru
memulai tulisan hermeneutisnya dengan Islam and Modernity pada tahun
1977-1978, Major Themes of the Qur’an tahun 1980; Arkoun dengan Lecture
de Coran tahun 1982; apalagi dengan Nashr Hamid Abu Zayd, Farid Esack, dan
Muhammad Shahrur yang baru menulis karya mereka setelah tahun 1990.[28]
Dalam membangun hermeneutika ala Hasan
Hanafi, ia menggunakan beberapa piranti besar, yaitu ushul fiqh,
fenomenologi, Marxisme, dan hermeneutika itu sendiri. Dengan menggunakan empat ingridients
tersebut, Hasan Hanafi membangun sebuah teori hermeneutika yang mampu
mewadahi gagasan pembebasan dalam Islam; tafsir revolusioner yang mumpuni
menjadi landasan normatif-ideologis bagi umat Islam untuk menghadapi segala
bentuk represi, eksploitasi, dan ketidakadilan, baik dari dalam maupun luar. Di samping
itu, bangunan hermeneutika semacam ini juga merupakan upaya Hasan Hanafi untuk
melampaui bangunan hermeneutika teoritis yang bertendensi objektifis seperti
hermeneutika Fazlurrahman dan Arkoun. Dengan argumentasi bahwa hermeneutika
aliran objektifis yang dimasuki pengaruh positifistik tersebut bersifat elitis
dan tidak menyentuh masyarakat Islam secara meluas, Hasan Hanafi sendiri
menghindari model hermeneutika demikian, dan mengusung hermeneutika yang lebih
bersifat praksis dan mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan kronis umat
saat ini.[29]
Dari tradisi ilmu-ilmu
keislaman klasik, hermeneutika Al-Qur’an Hanafi sengaja memanfaatkan landasan ushul fiqh sebagai titik tolak. Sebab secara praktis, ia melihat adanya
keterkaitan yang erat antara kegiatan penafsiran di satu sisi, dan proses
pembentukan hukum di sisi yang lain. Mengingat yang terakhir ini berusaha
merumuskan hukum dalam menghadapi tuntutanb realitas sosial, maka jelas ushul fiqh kompatibel
dengan kepentingan hermeneutika pembebasan Hanafi yang berbicara tentang
kebutuhan dan kepentingan kaum Muslim dalam menghadapi berbagai persoalan
kontemporer mereka.
Hasan
hanafi dalam hal ini memperbincangkan beragam problematika teoretis yang
berkenaan dengan masalah-masalah sosial dalam ushul
fiqh, seperti asbab
an-nuzul, an-nasikh wa al-mansukh, dan mashlahah. Asbab
an-nuzul dimaksudkan oleh Hanafi untuk menunjukkan prioritas kenyataan
sosial. Sementara an-nasikh wa al-mansukh mengasumsikan gradualisme
dalam penetapan aturan hukum, eksistensi wahyu dalam waktu, perubahannya
menurut kesanggupan manusia, dan keselarasannya dengan perkembangan kedewasaan
individu dan masyarakat dalam sejarah. Ada pun konsep mashlahah
berangkat dari pendasaran wahyu sebagai bagian dari peristiwa sejarah dan
tuntutan kemaslahatan manusia. Dapat dipahami dari maksud praksis hermeneutika
pembebasan Al-Qur’an Hanafi jika tidak semua masalah dan pendirian dalam ilmu
fiqih dan ushul fiqh perlu diterima.[30]
Hasan
Hanafi lebih lanjut melengkapi pemikirannya dengan kontribusi fenomenologi,
terutama dalam kaitannya dengan kritik eidetik atau usaha transendensi
“metafisika” teks,[31]
dan sebaliknya mengupayakan penafsiran atas dasar pengalaman eksperimental
penafsir. Studi fenomenologi bertujuan untuk menggali
kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya, sementara
fenomena itu sendiri adalah peristiwa/pengalaman yang masuk ke dalam kesadaran
subjek.[32] Kesadaran ini
sepertinya diaplikasikan oleh Hasan Hanafi ketika merefleksikan sosok,
karakter, dan landasan penafsir yang ideal. Menurutnya, penafsir
tidak boleh berhenti pada batas komentator atau retoris. Penafsir harus
melampaui keduanya dengan menjelma sebagai penafsir yang reformis. Selain itu,
kesadaran tersebut juga berimplikasi pada pandangannya mengenai asbab
al-nuzul sebagai berita mengenai peristiwa yang mengitari turunnya
Al-Qur’an yang dapat membantu penafsir tradisional untuk memahami ayat dengan
tepat. Akan tetapi, informasi tersebut perlu dipahami dalam kerangka bahwa
peristiwa tersebut merupakan pengalaman hidup yang dialami sahabat. Artinya, asbab
al-nuzul dalam pengertian tradisional tersebut berubah menjadi situasi
kemanusiaan empiris.[33]
Pemikiran lain yang berpengaruh
dalam penyusunan kerangka hermeneutika Al-Qur’an yang bercorak sosial tersebut
adalah Marxisme. Namun demikian, tanpa Marxisme sekalipun Hasan Hanafi cukup
memiliki referensi revolusioner dalam gerakan pemikiran Islam, terutama yang
diinspirasi oleh Al-Afgani dan Sayyid Qutb. Akan tetapi, penguasaannya pada
pemikiran Marx dan perkenalannya pada beragam bentuk teologi pembebasan yang
bercorak kiri sangat membantu Hanafi secara metodologis dalam menganalisis
berbagai kontradiksi dalam realitas umat Islam saat ini.
Dalam Marxisme klasik dikenal
dengan filsafat dialektika dan materialisme historis. Jika filsafat dialektika
lebih tepat dianggap sebagai epistemologi pemikiran Marx, materialisme historis
adalah dilsafat dan teori Marx tentang sejarah. Hanafi memang tidak menggunakan
teori materialisme sejarah Marx. Akan tetapi, sebagaimana layaknya pemikir
Marxis dan neo-Marxis berlakangan, Hanafi banyak meminjam instrumen dalam
Marxisme, terutama metode dialektika, dalam menajamkan kritik terhadap realitas
dan pengujian teks pada realitas. Hanafi, misalnya, curiga terhadap klaim
hermeneutika objektif yang di belakangnya mungkin saja bersembunyi kepentingan
kelas tertentu. Teks dan penafsiran juga selalu dilihat memiliki struktur ganda
yang merefleksikan struktur ganda dalam masyarakat dalam pengertian Marxisme.
Demikian pula pandangannya bahwa hermeneutika tidak boleh berarti teori semata,
tapi lebih sebagai kontinum dari kritik sejarah, penafsiran, hingga praksis,
merupakan elaborasi lebih lanjut pemikiran Marxisme ke dalam hermeneutika
Al-Qur’an yang bercorak pembebasan.[34]
Hermeneutika, yang disamakan oleh Hasan Hanafi
dengan tafsir, bukan hanya teori interpretasi teks, melainkan sebagai
ilmu yang menerangkan wahyu Tuhan dari tingkat kata ke dunia, menerangkan
bagaimana proses wahyu dari huruf ke realitas, atau dari logos ke
praktis, dan selanjutnya transformasi wahyu dari pikiran Tuhan menjadi
kehidupan nyata.[35] Ia mengkritik
model tafsir konvensional, dan juga tafsir kontemporer, yang ia anggap tidak melek
realitas. Terutama sekali, ia mengkritik Al-Azhar yang masih menggunakan metode yang
memiliki gap antara teks ilahi dengan wacana atau realitas manusiawi.
Sebagai hasilnya, ia menekankan sisi realitas dalam hermeneutikanya. Ia
menyatakan bahwa sebelum mengaplikasikan sebuah teori penafsiran, seseorang
harus merefleksikan terlebih dahulu pengalaman yang hidup pada kesadaran
pribadi atau jamaah yang menyebabkan suatu ayat diturunkan. Menurutnya, sebuah
ayat bukanlah pendapat, orientasi, atau makna abstrak, melainkan sebuah jawaban
terhadap kegelisahan, kesulitan, dan penderitaan individu-individu yang
diresponnya. Pada sisi lain, ia juga menegaskan bahwa dalam penafsiran, upaya
untuk kembali kepada sumber (Al-Qur’an) akan menemukan kebuntuan, sehingga alternatifnya
adalah kembali kepada. Dengan model ini, ia mencita-citakan tafsir yang
memperbaiki manusia atau yang ia sebut sebagai tafsir reformis, dan penafsir
yang reformer/mushlih.
Hermeneutika
pembebasan Al-Qur’an dari Hasan Hanafi cenderung unik. Hal ini karena Hanafi
menerima baik asumsi teoretik hermeneutika Al-Qur’an yang bercorak filosofis,
maupun yang sifatnya metodis. Bahkan dalam kadar yang relatif minim,
hermeneutika pembebasan dari Hanafi mencirikan pula kecenderungan metodologis
dari hermeneutika kritis, varian lain dari mazhab pemikiran dalam hermeneutika.
Terhadap hermeneutika metodis, Hasan Hanafi menginginkan hermeneutika
pembebasan yang ia ajukan sebagai ilmu pengetahuan yang rasional, formal,
objektif fan universal. Dalam hal ini, ia mengandaikan seorang interpreter yang
“memulai pekerjaannya dengan tabula rasa, tidak boleh ada yang lain,
selain analisis linguistiknya,” sebuah pendirian yang mirip dengan analisis
struktur internal menurut Abu Zayd.
Akan tetapi,
belakangan, warna hermeneutika filosofis menjadi lebih dominan dalam bangunan
pemikirannya. Ia menyatakan bahwa tidak ada hermeneutika yang absolut, universal,
dan objektif. Hermeneutika selalu bersifat sosial dan praksis. Sebagai bentuk
eksplisit dalam langkah model filosofis ini, ia menekankan pentingnya penafsir
untuk menentukan terlebih dahulu kepentingan apa yang ia bawa sebelum
menafsirkan; kepentingan yang direfleksikan dari kegelisahan yang dirasakan
ketika memperhatikan permasalahan yang melanda umat. Dalam pengertian yang terakhir ini, Hasan Hanafi juga cenderung mencurigai tendensi kekuasaan dan
dominasi di balik teks dan penafsiran. Dengan konstruk, posisi, dan dinamika
hermeneutika Hasan Hanafi di atas, dapat dilihat ciri khas serta posisi
terminologi hermeneutika yang ia sebut dengan Hermeneutika Pembebasan di antara
teori-teori para hermeneutika lainnya.[36]
3.
Langkah Metodis Penafsiran Al-Qur’an
dan Aplikasinya
Mengenai kritik eiditis, proses pemahaman
terhadap teks, dalam pandangan Hanafi, bukanlah monopoli atau wewenang suatu
lembaga atau agama melainkan ditentukan atas aturan-aturan tata bahasa dan
situasi kesejarahan yang menyebabkan munculnya teks.[37] Di sini, ada
tiga tahap analisis: pertama, analisis bahasa, kedua, analisis
konteks sejarah, dan ketiga, generalisasi, yaitu mengangkat makna dari
situasi ”saat” dan situasi sejarahnya agar dapat menimbulkan situasi-situasi
lain. Hanafi ingin memperoleh makna baru dari penafsiran untuk menyikapi
berbagai kasus spesifik dalam kehidupan masyarakat.
Selanjutnya, generalisasi pada tahap eidetis
membuka jalan bagi kritik praksis yang menjadi tujuan hermeneutika aksiomatik.
Hermeneutika
pembebasan Al-Qur’an
yang memang merupakan cara baca Al-Qur’an dengan maksud-maksud praksis menaruh perhatian besar pada
transformasi masyarakat. Sebagai langkah praktis dari ketiga metode di atas, dan juga sebagai
implikasi dari ciri khas tafsir beliau yang praksis, Hassan Hanafi telah
merumuskan langkah-langkah interpretasi sebagai berikut:
a. Komitmen politik sosial. Mufassir memiliki keprihatinan dan kepedulian atas kondisi
kontemporernya karena baginya, mufassir adalah
revolusioner, reformis, dan aktor sosial.
b.
Mencari
sesuatu. Mufassir memiliki
“keberpihakan” berupa kesadaran untuk mencari solusi atas berbagai persoalan
yang dihadapi. Di sinilah, Hanafi melihat asbab al-nuzul lebih pada realitas
sosial masyarakat saat Al-Qur’an diturunkan.[38]
c.
Sinopsis
ayat-ayat yang terkait pada satu tema. Semua ayat yang terkait pada tema
tertentu dikumpulkan secara seksama, dibaca, dipahami berkali-kali hingga
orientasi umum ayat menjadi nyata. Ia menegaskan bahwa penafsiran tidak
berangkat dari ayat sebagaimana tafsir tahlili, tapi dari kosa kata Al-Qur’an.
d.
Klasifikasi
bentuk-bentuk linguistik, meliputi kata kerja dan kata benda, kata kerja-waktu,
kata sifat kepemilikan, dan lain-lain.
e.
Membangun
struktur makna yang tepat sesuai dengan sasaran yang dituju yang berangkat dari
makna menuju objek. Keduanya adalah satu kesatuan. Makna adalah objek yang
subjektif, sedang objek adalah subjek yang objektif.
f.
Analisis
situasi faktual. Setelah membangun tema sebagai struktur yang ideal, penafsir
beralih pada realitas faktual seperti kemiskinan, HAM, penindasan, dan
lain-lain.
g.
Membandingkan
yang ideal dengan yang riil. Struktur ideal dideduksikan dengan menggunakan
analisis isi terhadap teks dengan situasi faktual yang diinduksikan dengan
menggunakan statistik dan ilmu-ilmu sosial. Di sini, penafsir berada di antara
teks dan realitas.
h.
Deskripsi
model-model aksi. Sekali ditemukan kesenjangan antara dunia ideal dengan riil,
maka aksi sosial menjadi langkah berikutnya. Transformasi dari teks ke
tindakan, teori ke praktik, dan pemahaman ke perubahan.
Untuk lebih jelasnya
bagaimana Hanafi melakukan praktik atas langkah-langkah metodisnya, berikut
akan dipaparkan contoh penafsiran Hanafi tentang ayat-ayat yang terkait dengan
masalah tanah. Penafsiran Hanafi terkait tanah ini tak lepas dari peristiwa
pengambilalihan/pendudukan tanah yang terjadi pada masa pemerintahan Anwar
Sadat yang pro-Barat dan berkolaborasi dengan Israel.[39]
Sinopsis ayat diperlihatkan dengan usahanya mengumpulkan beberapa ayat yang
relevan (Q.S. 29: 56, 2: 17, 3:109, 5:40, 5:120, 7:158, 9:116, 39:63, dan
lain-lain). Proses klasifikasi linguistik terlihat pada deskripsinya
bahwa al-ardh disebut 462 kali, 454 kali sebagai kata benda berdiri
sendiri, 8 kali dihubungkan dengan kata ganti kepunyaan, dan hanya sekali yang
dihubungkan dengan orang pertama yang dalam hal ini adalah Tuhan (Al-Ankabut: 56). Ini
mengindikasikan bahwa tanah bukanlah ”objek kepemilikan”. Tanah ada dalam
kategori ‘ada’ (makhluk), bukan kepunyaan. Hanya sekali kata al-ardh
dihubungkan kepada orang pertama.Ia digunakan dalam hubungan Tuhan, yang
berarti bahwa Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah.
Melalui analisis
struktur makna, ia menyimpulkan lima orientasi makna dari kata al-ardh. (1)
Tuhan adalah satu-satunya pemilik tanah dan ahli waris tanah. Di sini, al-ardh
berarti bumi, seluruh tanah. Jadi, tak ada seorang pun yang bisa menuntut bahwa
tanah adalah miliknya. (2) al-ardh sebagai tanah alam
yang subur dan indah. Agrikultur (pertanian) adalah gambaran kreativitas dalam
kehidupan manusia. Tanah menjadi tempat tinggal seluruh makhluk hidup. Tanah juga
merupakan tanah konflik, sebuah medan perang, sebuah tanah imigrasi dan
pengasingan, tanah percobaan dan daya tarik. Jadi, al-ardh adalah di
mana sejarah manusia bertempat. (3) Tanah adalah tempat aksi bagi manusia
sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. (4) Alam patuh dan taat pada
manusia sebagaimana ia patuh pada dan taat pada Tuhan. Warisan tanah bukanlah
penyerahan untuk selamanya.Tanah adalah untuk dilindungi, bukan dirusak atau
dikotori. (5) Sebuah perjanjian universal ditawarkan pada setiap individu;
perjanjian moral, bukan material, unilateral atau sepihak.
Kemudian dengan analisis situasi faktual, maka
makna yang cocok dan dibutuhkan untuk kasus ini adalah tanah merupakan milik
Tuhan, bukan untuk diperebutkan oleh manusia, apalagi melibatkan unsur
penindasan. Hasan Hanafi membedakan makna ideal dengan makna riil bahwa
makna ideal adalah tanah diartikan sebagai tanah alam, tanah hijau, dan
keindahan, sementara untuk makna riil, ia menegaskan bahwa Tuhan satu-satunya
pemilik dan ahli waris tanah.[40]
Dengan
menggunakan basis langkah interpretasi Hasan Hanafi di atas, maka penafsirannya
dapat diidentifikasi bahwa komitmen
politik sosial Hanafi sebagai penafsir tidak bisa dilepaskan dari kegelisahannya
terhadap kasus penempatan tanah tersebut. Keberpihakan penafsir juga terlihat dari
usahanya untuk menjelaskan bahwa penempatan tanah tersebut adalah usaha yang
menindas.
D. Hermeneutika Al-Quran Fazlur Rahman
1.
Biografi
Fazlur Rahman
Fazlur Rahman
lahir di Hazara -kini menjadi bagian dari Pakistan- pada 21 September 1919.
Situasi ketika ia dilahirkan memberi pengaruh bagi perkembangan pemikirannya di
kemudian hari. Perdebatan publik di antara berbagai golongan Muslim yang
terjadi sebelum kelahirannya mewarnai kehidupan sosial negerinya.[41]
Perdebatan ini mulai menanjak ketika Pakistan dinyatakan berpisah dari India
dan menjadi sebuah negara yang berdaulat dan merdeka pada tanggal 14 Agustus
1947.[42]
Di tengah perdebatan inilah yang menjadi pemicu baginya untuk mendalami
seluk-beluk keilmuan Islam dan menguasai berbagai arus metodologi pemikiran.
Rahman lahir
dan dibesarkan dari keluarga yang mementingkan pendidikan. Ayahnya, Maulana
Syahab al-Din adalah seorang ulama tradisional yang bermazhab Hanafi.[43]
Meskipun ayahnya seorang tradisionalis, namun ia tak seperti kebanyakan ulama
di zamannya yang menentang dan menganggap pendidikan modern dapat meracuni
keimanan dan moral. Menurutnya, Islam harus menghadapi realitas kehidupan
modern, tidak hanya sebagai sebuah tantangan (challenge) tetapi juga
merupakan kesempatan (opportunity).[44]
Keyakinan sang ayah inilah yang kelak dipatrikan pada Fazlur Rahman.
Sekolah modern
dimasukinya di Lahore tahun 1933. Pendidikan tingginya ditempuh di Punjab
University jurusan Bahasa Arab, dan selesai dengan gelar BA tahun 1940. Gelar
Master untuk jurusan ketimuran juga diraihnya di universitas yang sama tahun
1942.[45]
Menyadari bahwa mutu pendidikan di India saat itu masih rendah, Rahman
memutuskan untuk memperdalam ilmunya di Inggris.[46]
Pada tahun 1946, ia masuk Oxford University dan kemudian menyandang gelar
doktor di bidang sastra pada tahun 1950.
Setamat dari
Oxford University, Rahman tidak langsung pulang ke Pakistan, selama beberapa
tahun, ia memilih mengajar di Eropa. Hingga tiga tahun kemudian, semangat
patriotik kenegaraannya mengalahkan segalanya. Hal itu karena, setelah
pemerintahan Pakistan bergulir di tangan Ayyub Khan yang berpikiran modern,
Rahman terpanggil untuk membenahi negeri asalnya dan rela meninggalkan karier
akademiknya demi sebuah tantangan yang menghadang di negeri sendiri. Ia lalu
ditunjuk menjadi direktur Pusat Lembaga Riset Islam selama satu periode
(1961-1968).[47]
Di masa ini, ia tercatat memprakarsai terbitnya Journal of Islamic Studies,
tempat ia menampungkan gagasan-gagasannya.
Rahman bekerja
sangat serius, langkah yang diambilnya adalah strategi ganda, yakni mengangkat
orang tamatan madrasah yang memiliki pengetahuan bahasa inggris dan memberikan
pelatihan teknik-teknik riset modern juga mengirim beberapa orang ke luar
negeri untuk memperoleh pelatihan dan gelar dalam kajian-kajian Islam. Akan
tetapi, usaha ini tidak berlangsung lama. Penunjukan dirinya sebagai direktur
sebenarnya tidak direstui oleh kalangan ulama tradisionalis. Karenanya, wajar
bila selama kepemimpinannya lembaga riset kerap menuai kecaman dan serangan
dari kaum tradisionalis dan fundamentalis. Puncaknya meletus ketika dua bab
pertama dari bukunya, Islam, dipublikasikan Fikr-u-Nazr. Masalah
sentralnya adalah seputar hakikat wahyu Al-Qur’an. Rahman menulis bahwa
“Al-Qur’an secara keseluruhannya adalah Kalam Allah, dan dalam pengertian
biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad”.[48]
Fenomena
tersebut memaksa Rahman untuk kembali meninggalkan tanah kelahirannya. Ia
melihat negaranya belum siap menyediakan lingkungan akademik yang bebas dan
bertanggung jawab. Pada tahun 1970 Rahman berangkat ke Chicago, dan langsung
dinobatkan menjadi guru besar untuk pemikiran Islam di Universitas Chicago.
Universitas tersebut merupakan tempatnya menelurkan banyak karyanya. Tempat ini
pula yang menjadi tempat persinggahan terakhirnya, hingga wafatnya pada 26 Juli
1988. Selama 8 tahun terakhirnya, selain mengajar di Universitas Chicago, ia
kerap diminta memberikan kuliah di universitas lain. Rahman menjadi Muslim
pertama penerima medali Giorgio Levi della Vida, yang melambangkan
puncak prestasidalam bidang studi peradaban Islam dari UCLA.
Adapun
karya-karya Fazlur Rahman yang diaplikasikan dalam bentuk buku adalah sebagai
berikut: Avicenna’s Psychology (1952), Prophecy in Islam Philosophy
and Orthodoxy (1958), Islamic Metodology in History (1965), Islami
(1966), The Philosophy of Mulla Sandra (1975), Major Themes of
The Qur’an (1980), Islam and Modernity: Tranformasi of Intellectual
Tradision (1982), Health and Medicine in Islam Tradition; Change and
Identity (1987), Revival and Reform in Islam (2000). Dalam bentuk
jurnal ilmiah, karyanya tersebar dibanyak jurnal, baik jurnal local (Pakistan)
maupun internasional, serta dimuat dalam banyak buku. Jurnal-jurnal yang memuat
tulisannya adalah Islamic Studies, The Muslim World dan Studia Islamica. Sedangkan
buku-buku suntingan terkemuka yang memuat karyanya antara lain: Theology and
Law in Islam yang diedit oleh G.E. von Grunebaum; The Encyclopedia of
Relegion yang diedit oleh Richard C. Martin, Islam Past Influence and
Present Challenge yang diedit oleh Alford T. Welch dan P. Cachia, dan lain
sebagainya.[49]
2.
Respon Rahman
terhadap Gerakan-gerakan Pembaharuan
Kehadiran
Rahman dalam daftar nama-nama pemikiran Islam membawa sesuatu yang baru
terhadap pemikiran Islam. Meskipun sebenarnya pembaharuan dalam Islam telah
dilakukan oleh beberapa pemikir Islam sebelum Rahman, namun pembaharuan yang
mereka dengungkan masih dalam taraf yang sangat dangkal, bukan tidak mungkin
penafsiran mereka masih berbentuk tekstual, sehingga kemunculannya banyak
mempunyai kelemahan-kelemahan serta tidak mampu menyelesaikan
persoalan-persoalan umat kekinian. Seperti pembaharuan yang berkembang pada
abad pertengahan, mereka mendesakkan pembebasan ijtihad (kebebasan
berpikir) dan menyingkirkan segala bentuk taqlid kepada ulama-ulama abad
pertengahan dengan mengambil posisi dari yang keras sejauh mereka menerima
Al-Qur’an dan hadis sebagai sumber materi agama. Bahkan menolak qiyas,
metode alasan analogis, untuk menafsirkan Al-Qur’an dan sunnah. Implikasinya
mereka terjebak dalam penafsiran menurut yang tertulis dalam Al-Qur’an dan
sunnah.[50] Fenomena
tersebut sebagai salah satu alasan yang membuat kegelisahan Rahman untuk
mendefinisikan kembali Islam dalam konteks modernitas dalam gerakan
neo-modernisme[51]
Islam.
Pembaharuan-pembahruan
dalam Islam terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan paradigma
yang mempengaruhinya. Secara umum Rahman mempetakan gerakan pembaharuan dalam
Islam kepada empat kelompok gerakan, yaitu: revivalisme
pra-modernis, modernisme klasik,
neo-revivalisme dan neo-modernisme.
Kelompok neo-modernisme inilah Rahman
berdiri, bahkan mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. [52]
Kelompok neo-modernisme, munculnya gerakan ini
tidak terlepas dari pengaruh pemikiran neo-revivalisme,
namun kelompok ini tidak menjaga jarak dengan Barat, hanya saja mereka
mengembangkan sikap kritis terhadapnya secara objektif. Oleh karena kehampaan
metodologi yang mengakibatkan tidak konsisten dalam menganalisis, akhirnya
kelompok ini mengembangkan sebuah analisis yang tepat dan logis untuk mengkaji
Al-Qur’an Karenanya, dalam konteks ini, Rahman mencanangkan suatu penyusunan
metodologi yang tepat dan logis untuk mengkaji Al-Qur’an, yaitu hermeneutika
Al-Qur’an- sebuah metode yang mengkaji Al-Qur’an secara komprehensif dan mampu
menjawab persoalan-persoalan umat di zaman sekarang.[53]
Metodologi ini diharapkan dapat melakukan rekonstruksi sistematis atas Islam
namun tetap berpegang pada akar-akar spiritualnya.
3.
Al-Qur’an
dalam Perspektif Rahman
Sebelum membicarakan
tentang hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, menarik untuk dieksplorasi konsep
Rahman tentang Al-Qur’an. Konsep Rahman tentang Al-Qur’an, sebagaimana yang
dapat disimpulkan dalam bukunya Islam, adalah:
Al-Qur’an secara keseluruhan adalah kata-kata (kalam)
Allah, dan dalam pengertian biasa, juga keseluruhannya merupakan kata-kata
Muhammad. Jadi, Al-Qur’an murni kata-kata Ilahi, namun tentu saja, ia sama-sama
secara intim berkaitan dengan personalitas paling dalam Nabi Muhammad yang
hubungannya dengan kata-kata (kalam) Ilahi itu tidak dapat dipahami secara
mekanis seperti hubungan sebuah rekaman. Kata-kata (kalam) Ilahi mengalir
melalui hati Nabi.[54]
Definisi
Rahman di atas, mengasumsikan bahwa pola hubungan atau model pewahyuan yang
dibangun antara Al-Qur’an (sebagai sebuah teks; The Text), Allah adalah
pengarang (The Author) dan Muhammad (The Reader and the author).
Pengasumsian Muhammad sebagai penerima sekaligus pembicara ini menegaskan bahwa
secara psikologi Muhammad berpartisipasi baik mental maupun intelektual dalam
penerimaan wahyu itu. Oleh karena itu, Al-Qur’an harus dipahami dalam konteks
yang tepat yakni perjuangan Nabi dan latar belakang dari perjuangan tersebut.[55]
4.
Gagasan
Hermeneutika dalam Menginterpretasikan al-Qur’an
Gagasan untuk
menjadikan Al-Qur’an universalitas dan fleksibilitas, Al-Qur’an tidak bisa
dipahami secara atomistik, melainkan harus sebagai kesatupaduan yang terjalin
sehingga menghasilkan suatu weltanschauung yang pasti. Pemahaman seperti
ini yang tidak didapatkan dalam penafsiran-penafsiran klasik, mereka terlalu
asyik bermain dengan kata-kata yang menyebabkan mereka terjebak dalam
penafsiran literal-tekstual. Bagi Rahman fenomena ini terjadi dikarenakan
ketidaktepatan dan ketidaksempurnaan alat-alat yang disebabkan kegersangan
metode penafsiran.
Untuk
mengantisipasi persoalan tersebut, Rahman menawarkan suatu metode yang logis,
kritis, dan komprehensif, yaitu hermeneutika doble movement (gerak ganda
interpretasi).[56]
Metode ini memberikan pemahaman yang sistematis dan kontekstualis, sehingga
menghasilkan suatu penafsiran yang tidak atomistik, literalis dan tekstualis,
melainkan penafsiran yang mampu menjawab persoalan-persoalan kekinian.
Persoalan
mengapa harus mengetahui masa Al-Qur’an diturunkan, sedangkan masa dahulu
dengan masa sekarang tidak mempunyai kesamaan, Rahman mengatakan: Al-Qur’an
adalah respon Ilahi melalui pikiran dan ingatan Nabi, kepada situasi
moral-sosial masyarakat Arab pada masa Nabi.[57]
Artinya, signifikansi pemahaman setting-social Arab pada masa Al-Qur’an
diturunkan disebabkan adanya proses dialektika antara Al-Qur’an dengan
realitas, baik itu dalam bentuk tahmil (menerima dan melanjutkan), tahrim
(melarang keberadaannya), dan taghiyyur (menerima dan merekonstruksi
tradisi).[58]
Adapun mekanisme
hermeneutika doble movement yang ditawarkan Fazlur Rahman dalam
menginterpretasi Al-Qur’an adalah:
a.
Gerak Pertama
Gerakan
pertama, yakni dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, terdiri dari
dua langkah:
Langkah
Pertama, merupakan tahap pemahaman arti atau makna dari suatu pernyataan
dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an
tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik
dalam sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro
dalam batasan-batasan masyarakat agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga bahkan
mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat turunnya Islam dan
khususnya di Makkah akan dilakukan. Jadi, langkah pertama dari gerakan yang
pertama adalah memahami makna Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan di samping
dalam batas-batas ajaran yang khusus yang merupakan respon terhadap
situasi-situasi khusus.
Langkah Kedua,
menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik itu dan menyatakan sebagai
pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat
“disaring” dari teks-teks spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis
dan ratio-legis (illat hukum) yang sering dinyatakan. Sesungguhnya
langkah pertama itu -pemahaman teks spesifik- sendiri mengimplikasikan langkah
kedua dan akan mengantar ke arah itu.[59]
b.
Gerak Kedua
Gerakan kedua
merupakan proses yang berangkat dari pandangan umum ke pandangan khusus yang
harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang, yakni yang umum harus diwujudkan
dalam konteks sosio-historis konkret sekarang. Ini sekali lagi memerlukan
kajian teliti terhadap situasi sekarang dan analisis terhadap berbagai unsur
komponen sehingga sejauh yang diperlukan, dan sehingga kita bisa menentukan
prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an. Dengan
demikian, metodologi yang diintrodusir oleh Rahman adalah metode berpikir yang
bersifat reflektif, mondar-mandir antara deduksi dan induksi secara timbal
balik.
Jika dicermati
teori double movement Fazlur
Rahman, tampaknya mencoba mendialektikakan text, author, dan reader.
Sebagai author, Rahman tidak memaksa teks berbicara sesuai dengan
keinginan author, melainkan membiarkan teks berbicara sendiri. Untuk
mengajak teks berbicara, Rahman menelaah historisitas teks. Historis yang
dimaksudkan disini bukanlah semata-mata asbab al-nuzul sebagaimana yang
dipahami oleh ulama konvensional, yaitu peristiwa yang menyebabkan Al-Qur’an
diturunkan[60],
melainkan lebih luas dari itu, yaitu setting-sosial masyarakat Arab dimana
Al-Qur’an diturunkan atau lebih tepat disebut qira’ah al-tarikhiyyah.
Tujuan
menelaah histories teks di sini yaitu untuk mencari nilai-nilai universal,
dalam bahasa Rahman menyebutnya dengan ideal
moral, sebab ideal moral berlaku
sepanjang masa dan tidak berubah-ubah. Dalam hal ini, Rahman membedakan antara
ideal moral dengan legal spesifik. Ideal moral adalah tujuan dasar moral yang
dipesankan Al-Qur’an. Sedangkan legal spesifik ketentuan hukum yang diterapkan
secara khusus. Ideal moral lebih patut diterapkan ketimbang ketentuan legal
spesifik. Sebab, ideal moral bersifat universal. Al-Qur’an dipandang elastis
dan fleksibel. Sedangkan legal spesifik lebih bersifat particular.[61]
Selain teori doble
movement, Rahman juga menggunakan teori lain dalam menginterpretasikan
Al-Qur’an, khususnya ayat-ayat metafisika. Metode tersebut adalah metode
sintetis-logis. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rahman sendiri:
Kecuali dalam penggarapan beberapa tema
penting semisal aneka ragam komunitas agama, kemungkinan dan aktualitas
mu’jizat, serta jihad, yang kesemuanya menunjukkan evolusi melalui Al-Qur’an,
prosedur yang digunakan dalam mensintetis-kan tema-tema, lebih bersifat logis
ketimbang kronologis.[62]
5.
Melacak Akar
Teori Double Movement
Jika
dicermati, teori doble movement
yang diusulkan Rahman merupakan perpaduan antara tradisionalis Muslim dengan
hermeneutika Barat Kontemporer. Ini menunjukkan, Fazlur Rahman dalam membangun
teori doble movement tidak terlepas dari pengaruh atau minimal memiliki
horizon yang sama dengan kedua pemikiran tersebut.
Sebagai sebuah
teori dan sistem interpretasi, hermeneutika jelas sangat diperlukan dalam
memahami Al-Qur’an, yakni dalam rangka memberi makna dan memproduksi makna
sehingga teks menjadi hidup dalam konteks apa pun. Terkait dengan hermeneutika
ini, paling tidak ada dua aliran utama, yakni aliran objektivis dan aliran
subjektivis. Dalam hal ini, Rahman dapat dikategorikan sebagai pemikir aliran
objektivis. Ia tampaknya terpengaruh oleh hermeneutika model Emelio Betti yang
masih mengakui original meaning (makna otentik), ketimbang hermeneutika
Hans-Georg Gadamer (penganut aliran subjektivis) yang sudah tidak percaya lagi
pada original meaning.[63]
Meskipun
Fazlur Rahman sealiran dengan Betti yang masih percaya pada makna objektif dan
juga masih mengakui adanya original meaning, namun ada perbedaan
mengenai konsep the original meaning
antara Betti dan Rahman. Jika Betti berkeyakinan bahwa makna asli suatu teks
terletak pada akal pengarang, di mana dalam proses interpretasinya, teks harus
dibawa kepada pikiran pengarang,[64] maka
tidak demikian halnya dengan Rahman yang menganggap makna asli teks dapat
dipahami melalui konteks sejarah ketika teks itu ditulis atau diturunkan.[65]
Menurut
Rahman, Al-Qur’an adalah
respon Tuhan terhadap realitas yang muncul sehingga setiap ayat yang turun
bukanlah kalimat yang berdiri sendiri, melainkan ia terkait dengan konteks
sosio-historis, budaya, dan problem yang dihadapi saat itu. Dengan kata lain,
Al-Qur’an dan asal-usul komunitas Islam muncul dalam sinaran sejarah dan
berhadapan dengan latar belakang sosio-historis.[66]
Langkah
pertama dari gerakan ganda adalah upaya sungguh-sungguh memahami konteks mikro
dan makro di saat Al-Qur’an diturunkan. Setelah itu, mufassir mencoba menangkap
makna asli (original meaning) dari ayat Al-Qur’an dalam konteks
sosio-historis era kenabian. Dari situ maka akan ditemukan ajaran universal
Al-Qur’an yang melandasi berbagai perintah normatif Al-Qur’an. Kedua,
melakukan generalisasi jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya
sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan moral-sosial yang disaring
dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historisdan ratio
legis yang sering dinyatakan.[67]
6.
Hermeneutika Al-Qur’an dan Persoalan Kontemporer
Gagasan
hermeneutika Al-Qur’an Rahman
merupakan suatu tawaran yang menarik, ketika kita mencoba mencermati dan
mengaitkannya dengan persoalan kontemporer. Sebagai contohnya adalah ayat yang
membicarakan tentang poligami.
QS. An-Nisa’
(4): 3
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz wr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz wr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷r& 4 y7Ï9ºs #oT÷r& wr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Ayat tersebut
turun sebagai respon terhadap perilaku para wali dari anak-anak yatim, baik
laki-laki maupun perempuan yang sering menyelewengkan harta kekayaan mereka.[68]
Kemudian Al-Qur’an menyerukan
agar mereka (para wali) tidak menyelewengkan harta itu, dan mereka boleh
mengawini (perempuan yatim) sampai empat orang di antara mereka, asalkan mereka
dapat berlaku adil. Seruan ini juga didukung oleh QS. An-Nisa’ (4): 127.[69]
Pernyataan di atas
dengan melihat asbab al-nuzul-nya menunjukkan bahwa masalah ini muncul
dalam konteks perempuan-perempuan
yatim. Tapi kemudian Al-Qur’an memperingatkan bahwa “betapapun mereka (para
wali) itu berupaya (berkeinginan mengawini sampai empat), namun kalian, kata
Allah, tidak akan dapat berlaku adil kepada perempuan-perempuan tersebut.”
(QS. An-Nisa’ (4): 129).
Pandangan-pandangan
Al-Qur’an di atas,
menurut Fazlur Rahman terdapat distingsi (antara aspek legal dan ajaran moral
Al-Qur’an), yaitu: izin untuk beristri empat orang, dan keharusan untuk berlaku
adil kepada mereka. Berdasarkan atas distingsi ini, Rahman kemudian
berkesimpulan bahwa:
Yang benar nampaknya bahwa
diizinkan poligami adalah pada taraf legal, sementara sanksi-sanksi yang
diberikan kepadanya pada hakekatnya adalah sebuah cita-cita moral yang mana
masyarakat diharapkan bergerak kearahnya, karena tidak mungkin untuk
menghapuskan poligami secara legal sekaligus.[70]
Dari alasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa, kebolehan berpoligami pada dasarnya lahir sebagai jawaban
bagi wali yang tidak berlaku adil bagi anak yatim, baik laki-laki maupun
perempuan. Dan Al-Qur’an membolehkan
mereka (para wali) mengawini perempuan yatim itu dijadikan istri sampai batas
empat orang. Tujuan Al-Qur’an di sini adalah untuk menguatkan bagian-bagian
masyarakat yang lemah (seperti orang-orang miskin, anak yatim kaum wanita, budak-budak,
dan orang yang terjerat hutang)[71]
sehingga tercipta sebuah tatanan masyarakat yang etis dan legaliter. Karena
sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan perempuan yatim, dan kebutuhan
berpoligami dengan syarat berleku adil tidak mungkin (mustahil), maka proses
poligami ke monogami ini membutuhkan pentahapan-pentahapn perubahan legislasi
Islam seperti fenomena yang sama terjadi dalam kasus perbudakan. Jadi monogami
lebih kontekstual dalam legislasi Islam.[72]
E. Kesimpulan
Harus diakui bahwa hermeneutika memang
menawarkan sesuatu yang sangat menarik dalam wacana penafsiran kitab suci. Pola penafsiran yang ditawarkannya di satu
sisi mengungkap asumsi-asumsi metodologis yang manusiawi karena tidak hanya
memperhatikan isi teks, tetapi juga mempertimbangkan keberadaan konteks yang
melingkup teks tersebut, baik konteks psikologis maupun konteks sosial. Di sisi
lain, hermeneutika membuka jalan bagi upaya kontekstualisasi kitab suci
sehingga dapat berdialog dan operasional-fungsional dalam berbagai ruang dan
waktu yang berbeda, sebagaimana yang diidamkan dan dipegangi secara apologis
oleh banyak kalangan umat
beragama terhadap kitab sucinya masing-masing.
Meskipun wacana hermeneutika sendiri harus
dikatakan sangat plural dan beragam, baik dari aspek tokoh-tokohnya maupun dari
segi pola-pola aplikasinya, tetapi secara umum hermeneutika tidak pernah
melepaskan diri dari ketiga komponen pokoknya, yaitu teks, konteks dan
kontekstualisasi yang diidealkan beroperasi secara sinergis dalam memahami,
menafsirkan sekaligus melakukan produksi mana baru sesuai dengan realitas ruang
dan waktu kontekstual, khususnya ketika diaplikasikan sebagai media untuk
memahami kita suci. Selain
sumbangan pemahaman yang komprehensif dengan menimbang dimensi konteks dan
secara aktif melakukan kontekstualisasi, hermeneutika menyumbangkan sebuah
kesadaran yang sangat vital dalam kehidupan sosial manusia, yaitu kesadaran
yang akan pluralitas. Kesadaran bahwa realitas kehidupan tidak pernah tunggal
dan satu dimensi, namun senantiasa multidimensi dapat dikatakan merupakan
kesadaran yang sangat diperlukan di era globalisasi informasi saat ini. Tidak
ada orang yang bisa hidup tanpa berinteraksi dan bersinggungan dengan yang
lain. Ketidakmampuan untuk mengapresiasi dan mengakui yang lain hanya akan
membawa seseorang terasing dari realitas hidupnya sendiri. Di titik inilah
hermeneutika menemukan relevansinya dengan tawarannya untuk menimbang
pluralitas dalam konteks dan progresifitas dalam kontekstualisasi ketika
seseorang melakukan aktifitas pemahaman dan penafsiran.
[1] Dalam literatur Islam
klasik, Hermes tidak lain adalah Nabi Idris yang sering disebut penemu tulisan,
memiliki kemampuan teknologi, kedokteran, astrologi, sihir, dan lain-lain.
Sementara dalam mitologi Mesir kuno, kaum Yahudi mengenalnya sebagai dewa toth,
atau Nabi Musa. Lihat Ilham B. Saenong, Hermeneutika
Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi, (Jakarta:
Teraju, 2002), hlm. 46.
[3] Sibawaihi, Hermeneutika Al-Qur’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta:
Jalasutra, 2007), hlm. 6-7.
[6] Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan
Kritis Al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abu Zayd, (Jakarta: Teraju,
2003), hlm. 15-16.
[8] Al-Adab, No.
5, Thn. 9, (Oktober 1964), h. 310-11; artikel ini pada awalnya tidak
mencantumkan nama penulisnya, namun pada Al-Adab, No. 8, Thn. 9 (Januari
1965), editor mengoreksi bahwa penulis artikel itu adalah Nasr Hamid Abu Zayd.
Keterangan ini penulis ambil dari Moch. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan
Kritis Al-Qur’an, hlm.
16-17.
[9] Al-Adab, No. 7 (1964), h. 406-8 dalam Moch.Nur
Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an, hlm. 17.
[12] Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan, (Yogyakarta:
eLSAQ Press, 2003), hlm. 93.
[13] Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Nass wa Al-Sultah wa Al-Haqiqah,
(Beirut: Al-Markaz Al-Saqafi Al-Arabi, 2000), hlm. 150-151.
[16] Nasr Hamid Abu Zayd, Al-Qur’an, Hermeneutik dan Kekuasaan, Terj. Dede Iswadi, dkk,
(Bandung: Korpus, 2003), hlm. 96.
[21] Moh. Nurhakim, Islam,
Tradisi, dan Reformasi: “Pragmatisme” Agama dalam Pemikiran Hasan Hanafi, (Jawa Timur: Bayu Media Publishing,
2003), hlm. 19
[22] Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, hlm. 70.
[23] Achmad Khudori Sholeh, “Mencermati Hermenutika Humanistik Hasan
Hanafi” dalam M. Alfatih Suryadilaga, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Alquran dan
Hadis,Vol. 11, No. 1, Januari 2010, hlm. 42.
[24] Abad Badruzzaman, Kiri Islam Hasan Hanafi: Menggugat Kemapanan
Agama dan Politik, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), hlm. 42.
[31] Metafisika teks di sini
adalah masalah-masalah eskatologis dan metafsis, sekaligus mencakup
masalah-masalah klasik mengenai Al-Qur’an.
[32] Peter Connoly,
Aneka Pendekatan Studi Agama, Terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm.
110.
[33] Hasan Hanafi, Al-Turats wa Al-Tajdid, Terj. Yudian W. Asmin,
(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2001), hlm. 8.
[37] Very
Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, (Jakarta:
P3M, 2004), hlm. 32.
[38] Ahmad Baedowi, “Tafsir Tematik Menurut Hasan Hanafi” dalam M.
Alfatih Suryadilaga, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Alquran dan Hadis, Vol. 10, No. 1, Januari 2009, hlm. 43.
[39] Kazuo Shimogaki, Kiri Islam: Antara Modernisme dan
Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikran Hassan Hanafi, Terj. M. Imam Aziz & M. Jadul Maula, (Yogjakarta:
LKiS, 2003), hlm. 96.
[40] Muhammad Aji Nugroho, Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hanafi (Dari
Teks ke Aksi; Merekomendasikna Tafsir Tematik/Maudhui), Artikel Ilmiah,
(Salatiga: IAIN Salatiga, 2013), hlm. 17-18.
[41] Ada tiga kubu yang berseteru: kaum modernis,
kaum tradisionalis, dan kaum funamentalis. Kaum modernis merumuskan konsep
kenegaraan Islam dalam bingkai term ideologi modern, kaum tradisionalis
menawarkan konsep kenegaraan yang didasarkan atas teori-teori politik
tradisionalis Islam: khalifah dan imamah, sedangkan kaum fundamentais
mengusulkan konsep kenegaraan “kerajaan Tuhan”.
[43] Sebuah mazhab Sunni yang lebih rasionalis
dibanding mazhab lain (Syafi’i, Maliki, dan Hanbali).
[46] Keputusan yang dinilai berani, sebab terdapat
anggapan bahwa sangat aneh jika seorang Muslim belajar Islam di Eropa. Kalaupun berhasil, orang tersebut sangat sulit
diterima kembali oleh masyarakatnya, tak jarang juga mereka mengalami
penindasan.
[51] Neomodernis adalah penamaan aliran/gerakan. Istilah ini
secara sederhana dapat diartikan dengan “paham modernisme baru”, Neomodernisme
digunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikir Islam yang muncul
dalam dekade terakhir yang berusaha menjembatani bahkan mengatasi pemikiran
tradisionalisme dan modernisme. Artinya, jika modernisme sangat perhatian
terhadap rasionalisme, modernisme mencoba mengambil apa yang ditinggal oleh
gerakan modernisme. di samping kemunculan Neomodernis karena tuntutan zaman
yang kurang mendapat antisipasi oleh pemikiran keislaman yang sudah mapan
secara historis. Lihat Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme
Islam di Indonesia,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hlm. 15-16.
[56] Adapun yang dimaksud gerakan ganda adalah:
dimulai dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’anditurunkan dan kembali lagi ke
masa kini. Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernitas: Transformation of an
Intellectual Tradition, (Chicago and London: University Press, 1982), hlm.
6.
[58] Ali Shodiqin, Antropologi Al-Qur’an: Model
Dialektika Wahyu dan Realitas, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), hlm.
116-117.
[60] Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarqani, Manahil Al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an,
(Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, 2003), hlm. 63.
[62] Fazlur Rahman, Major Themes of The
al-Qur’an, (Chicago: Minneapolis-Bibliotheca Islamica, 1980), hlm. xi.
[64] Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, Terj. Ahmad Sahidah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 465.
[68]
Abdul Fatah Abdul Ghani Al-Qadhi,
Asbab al-Nuzul ‘an al Shahabah wa al-Mufassirin (Mesir: Dar al-Salam,
2005), hlm. 64.
[69] Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para
wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim
yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untk mereka,
sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandah
lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara
adil, dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan. Maka sesungguhnya Allah maha
Mengetahuinya. (QS. An-Nisa’ (4): 127).
No comments:
Post a Comment