MAKAN DAN BUDIDAYA
CACING DAN JANGKRIK
Untuk
memenuhi tugas matakuliah
“Kajian
Fiqih Kontemporer”
Dosen
Pembimbing :
Dr.
Hj. Tutik Hamidah, M.Ag
Oleh
:
LUCKY
ANDRIYANTOKO (16771007)
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah yang
telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis
dapat menyelesaikan tugas Makalah tentang Memakan dan Membudidayakan Cacing
dan Jangkrik ini sebaik mungkin sehingga diharapkan dapat memenuhi tugas Matakuliah
Fiqih Kontemporer.
Dalam penyusunan makalah ini
penulis tidak luput dari berbagai kelemahan dan keterbatasan, oleh karena itu dan diharapkan dapat bimbingan dan
saran-saran yang membangun dari ibu dosen pembimbing, para pembaca sekalian
agar penulis dapat lebih
baik lagi. Namun walaupun
demikian, mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan kita informasi dan manfaat khususnya dalam bidang Fiqih
Kontemporer.
Akhir kata, semoga Makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita dalam bidang Fiqih, dan juga semoga dapat memberikan kita motivasi untuk
mengkaji dan membangun berbagai keilmuan Fiqih Kontemporer yang lebih tajam dan baik. Aamiin
Malang, 16 Maret 2018
Penulis,
Lucky Andriyantoko
DAFTAR ISI
COVER................................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
A.
Latar Belakang Masalah................................................................................. ........... 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................................... ........... 2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................... ........... 3
A.
Deskripsi Masalah.......................................................................................... ........... 3
B.
Pendapat dan Hujjah para Ulama’................................................................. ........... 6
C.
Analisis Pendapat Ulama’.............................................................................. ........... 14
D.
Pendapat yang dipilih dan Hujjah yang digunakan....................................... ........... 15
BAB III PENUTUP................................................................................................. ........... 17
A.
Kesimpulan................................................................................................................ 17
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................. ........... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dunia ilmu
pengetahuan berkembang begitu pesat. Penelitian demi penelitian terus
dilakukan, dan penemuan-penemuan baru pun ditemukan. Hal-hal
yang dahulu dianggap tidak berguna, nampak sepele, bahkan mungkin
menjijikkan, kini berubah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis dan
diperlukan.
Sesuai dengan
kemajuan zaman dan meningkatnya kebutuhan kehidupan manusia, otak manusia
nampaknya terus berinovasi dan berkreasi untuk menemukan hal-hal baru dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya krisis moneter membawa
hikmah dan berkah. Bukan saja menyadarkan manusia akan kelemahan dan
kekerdilannya di tengah himpitan dan gempuran badai kehidupan, di hadapan sang Khaliq, tetapi
juga memaksa manusia untuk memeras otaknya agar dapat survive dalam
percaturan hidup dan kehidupan ini.
Belakangan
ini marak bisnis ternak cacing dan jangkrik seiring dengan meningkatnya
permintaan di pasar terutama untuk pengobatan, kosmetik dan pakan ikan. Menurut
data Pusat Inkubator Bisnis Inkopin (PIBI) Jawa Barat menunjukkan bahwa setiap
tiga bulan industri farmasi, kosmetik dan pakan ikan di wilayah Jawa Barat
memerlukan 12.8 ton. Sementara untuk kebutuhan ekspor ke Korea Selatan,
sedikitnya 35.000 ton perbulan. Menurut Jawa Pos permintaan negara Thailand
lebih dari 120 ton perbulan. Sedangkan hasil ternak jangkrik biasanya untuk
konsumsi makanan burung piaraan. Pertanyaan yang timbul mengingat bahwa media
hidup cacing ternak adalah kotoran sapi perah yang dicampur dengan tanah dan
sayuran serta limbah atau sampah restoran sedangkan pakan ternak jangkrik
adalah sayur-sayuran.
Pertanyaan
yang sering muncul adalah bagaimanakah hukum halal-haramnya cacing dan
jangkrik? Dapatkah cacing dan jangkrik dijadikan sebagai objek bisnis? Bolehkah
kita mengkonsumsi cacing untuk obat seperti dalam ramuan shin she yang
menggunakan cacing kering untuk mengobati sakit tipes?. Dari berbagai
pertanyaan diatas pemakalah mencoba memaparkannya pada sub pembahasan
selanjutnya sehingga bisa memnjawab berbagai macam persoalan diatas, maka dari
itu pemakalah membuat sebuah rumusan masalah yang akan dipaparkan dibawah ini.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Deskripsi
tentang cacing dan jangkrik ?
2. Bagaimanakah pendapat
ulama dan hujjahnya tentang makan dan budidaya cacing dan jangkrik ?
3. Bagaimana
analisis pendapat ulama tentang makan dan budidaya cacing dan jangkrik ?
4. Pendapat
ulama mana yang dipilih dan hujjah yang digunakan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Deskripsi
Masalah
1. Deskripsi
Cacing dan Jangkrik
Cacing
tanah termasuk
hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang
(invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta,
Family terpenting dari kelas ini yaitu Megascilicidae dan Lumbricidae. Cacing tanah bukanlah hewan yang asing bagi masyarakat
kita, terutama bagi masyarakat pedesaan. Namun hewan ini mempunyai potensi yang
sangat menakjubkan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia.
Jenis
- jenis yang paling banyak dikembangkan oleh beberapa manusia berasal dari family Megascolicidae dan Lumbricidae dengan
genus Lumbricus, Eiseinia, heretima, Perionyx, Diplocardi dan Lidrillus.
Beberapa jenis cacing tanah yang kini banyak
diternakan antara lain :
Pheretima, Periony dan Lumbricus. Ketiga jenis cacing tanah ini menyukai bahan organik yang berasal dari pupuk kandang dan sisa-sisa tumbuhan.[1] Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90 - 195 dan klitelum yang terletak pada segmen 27 - 32. Biasanya jenis ini masih kalah bersaing dengan jenis yang lain sehingga tubuhnya lebih kecil. Tetapi bila diternakkan akan menjadi besar tubuhnya bahkan bisa menyamai atau melebihi jenis lain.
Pheretima, Periony dan Lumbricus. Ketiga jenis cacing tanah ini menyukai bahan organik yang berasal dari pupuk kandang dan sisa-sisa tumbuhan.[1] Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90 - 195 dan klitelum yang terletak pada segmen 27 - 32. Biasanya jenis ini masih kalah bersaing dengan jenis yang lain sehingga tubuhnya lebih kecil. Tetapi bila diternakkan akan menjadi besar tubuhnya bahkan bisa menyamai atau melebihi jenis lain.
Cacing
tanah jenis Pheretima segmennya mencapai 95-150 segmen.
Klitelumnya terletak pada segmen 14-16. Tubuhnya berbentuk gilik panjang dan
silindris berwarna merah keunguan. Cacing tanah yang termasuk jenis Pheretima antara
lain cacing merah, cacing koot dan cacing kalung. Cacing
tanah jenis Perionyx berbentuk gilig berwarna ungu tua sampai
merah kecokelatan dengan jumlah segmen 75-165 dan klitelumnya terletak pada
segmen 13 dan 17. Cacing ini biasanya agak manja sehingga dalam pemeliharaannya
diperlukan perhatian yang lebih serius. Cacing jenis Lumbricus Rubellus memiliki
keunggulan lebih dibanding kedua jenis yang lain di atas, karena
produktivitasnya tinggi (penambahan berat badan, produksi telur/anakan dan
produksi bekas cacing serta tidak banyak bergerak).
Dalam
bidang pertanian, cacing menghancurkan bahan organik sehingga memperbaiki
aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi
oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan cacing tanah akan meningkatkan populasi
mikroba yang menguntungkan tanaman. Selain itu juga cacing tanah dapat
digunakan sebagai:
1. Bahan pakan
ternak. Berkat
kandungan protein, lemak dan mineralnya yang tinggi, cacing tanah dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak seperti unggas, ikan, udang dan kodok.
2. Bahan baku
obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional cacing tanah dipercaya dapat
meredakan demam, menurunkan tekanan darah, menyembuhkan bronchitis, reumatik
sendi, sakit gigi dan tipus.
3. Bahan baku
kosmetik. Cacing
dapat diolah untuk digunakan sebagai pelembab kulit dan bahan baku pembuatan
lipstik.
4. Makanan
manusia. Cacing
merupakan sumber protein yang berpotensi untuk dimasukkan sebagai bahan makanan
manusia seperti halnya daging sapi atau ayam.
Sedangkan
Binatang lain yang banyak dibudidayakan adalah jangkrik. Serangga yang di
malam hari sering memamerkan kebolehan suaranya yang nyaring, penuh
irama, dan indah yang oleh karenanya disebut "Sharikh
al-Lail" itu, kini ternyata sangat diperlukan untuk pakan
burung-burung piaraan.[2]
Cengkerik atau jangkrik (Gryllidae)
adalah serangga yang
berkerabat dekat dengan belalang,
memiliki tubuh rata dan antena panjang. Jangkrik adalah omnivora, dikenal dengan
suaranya yang hanya dihasilkan oleh cengkerik jantan. Suara ini digunakan untuk
menarik betina dan menolak jantan lainnya. Suara cengkerik ini semakin keras
dengan naiknya suhu sekitar. [3]
Pada
saat belum banyak taman burung dan pencinta yang gandrung memeliharanya, burung-burung
bebas mencari makanan sendiri sesuai dengan seleranya. Setelah banyak taman
burung dan banyak pencinta binatang menjadikan burung sebagai piaraan
kesayangannya, kini burung-burung itu telah menjadi makhluk yang manja,
bak raja dan ratu yang tinggal di istana indah, menyanyi dan bersukaria, dengan
memaksa para pencintanya menjadi pelayan setianya. Mau tidak mau, mereka harus
menyediakan menu makanan yang lezat dan cukup untuk keperluan hidup
kesehariannya.
Di
antara jenis serangga yang disajikan sebagai menu istimewa bangsa burung
tersebut adalah jangkrik. Bahkan ada burung tertentu yang apabila
tidak diberi makanan jangkrik, suaranya parau, tidak bagus, tetapi begitu
diberi makanan jangkrik, langsung berkicau dan manggung/bersuara nyaring dan
indah.[4] Nampaknya
kenyaringan suara jangkrik yang dimakannya itu langsung mempengaruhi kicau dan
suara si burung tersebut.
Kondisi
tersebut mau tidak mau mendorong manusia untuk memeras otaknya, agar dengan
cara mudah bisa mendapatkan jangkrik yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
makanan burung-burung piaraan kesayangannya. Dari sini muncullah budidaya
jangkrik. Dengan demikian, jangkrik yang tadinya hanya dapat dinikmati
suaranya, kini telah menjadi sesuatu yang berharga yang membuka lapangan kerja
dan peluang usaha.
B. Pendapat dan
Hujjah Para Ulama’
1. Hukum Makan
dan Budidaya Cacing dan Jangkrik menurut Para Ulama’
Imam Syafi'i dalam ar-Risalah menegaskan
bahwa tak satu pun permasalahan kehidupan yang dihadapi oleh umat Islam kecuali
hal itu ada solusinya (dapat diketahui status hukumnya) dalam
al-Quran al-Karim (ada yang langsung / manshush dan
ada yang tidak langsung / ghairu manshush / maskut 'anhu).[5] Hal
yang sama berlaku pada sunnah sejalan dengan penegasan Rasulullah SAW :
اَلاَ وَاِنِّى اُوْتِيْتُ الْكِتَابَ
وَمِثْلَهُ مَعَهُ
"Ketahuilah, aku diberi kitab suci al-Qur'an, dan
sunnah yang kedudukannya sama dengan al-Qur'an".[6]
Dari penegasan Imam Syafi'i tersebut muncullah teori
dalam kajian Ushul Fiqh bahwa kasus hukum (kasus yang ingin
diketahui hukumnya) yang dihadapi oleh umat manusia itu dapat diklasifikasikan
menjadi dua yaitu :
a.
Kasus yang ingin diketahui hukumnya itu telah manshush (ditegaskan
hukumnya secara langsung, tegas, dan jelas) oleh teks al-Qur'an atau as-Sunnah.
b.
Kasus yang ingin diketahui hukumnya itu Ghairu
manshush / maskut 'anhu (belum atau tidak ditegaskan hukumnya)
oleh al-Qur'-an atau as-Sunnah.[7]
Untuk kasus pertama berlaku prinsip “La Majala
Lahu lil-Ijitihad” (tidak berlaku dan tidak diperlukan ijtihad);
sementara itu untuk mengetahui status hukum kasus kedua berlaku prinsip “La-hu
Majal li-Ijtihad” (berlaku dan diperlukan ijtihad).[8]
Menurut penulis, masalah makan dan budidaya cacing dan
jangkrik termasuk kategori ghairu manshush / maskut 'anhu yang
untuk mengetahui status hukumnya diperlukan ijtihad. Dengan demikian masalahnya
adalah ijtihadi. Menurut penulis, pemecahan terhadap
masalah ini dapat ditempuh lewat tiga pendekatan sebagai berikut :
1. Lewat
pendekatan kaidah yang dipedomani oleh jumhur fuqaha :
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ
"Pada
dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat adalah mubah/halal".[9]
2. Lewat
pendekatan maslahah mursalah/istishlah.[10]
3. Lewat
pendekatan maqasid syari'ah (tujuan hukum Islam).[11]
Dari ketiga pendekatan diatas, penulis memaparkannya
secara singkat dan jelas dalam pemaparan dibawah ini :
1.
Pendekatan Kaidah al-Ashlu fi al-Manafi'
al-Ibahah.
Budidaya cacing dan jangkrik merupakan kasus baru,
hukumnya belum/tidak ditegaskan, bahkan belum disinggung sama sekali oleh
al-Qur'an dan as-Sunnah. Dengan demikian masalah tersebut termasuk
katagori maskut 'anhu. Jumhur fuqaha' berpendapat bahwa untuk
menyelesaikan masalah yang maskut 'anhu hendaklah berpedoman
pada kaidah :
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ
"Pada dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat
adalah boleh/halal".
Kaidah diatas besumber dari :
هُوَ الَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى الاَرْضِ جَمِيْعًا
وَسَخَّرَلَكُمْ مَا فِى
السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ جَمِيْعًا مِنْهُ
"Allah menundukkan untukmu semua yang ada di langit
dan di bumi (sebagai rahmat) dari-Nya". (al-Jasiyah : 13).
اَلَمْ
تَرَوْا اَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ
نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
"Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah
telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan
menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya lahir dan batin". (Q.S. Luqman : 20)
Wajah istidlal / metode pengambilan dalil ketiga ayat di atas ialah,
bahwa semua yang ada di muka bumi dan di langit itu diciptakan
oleh Allah SWT untuk kepentingan umat manusia. Ini berarti semuanya itu halal
bagi umat manusia, kecuali bila membahayakan atau
ada nashsh yang menyatakan keharamannya.
مَااَحَلَّ
اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَاحَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَاسَكَتَ
عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاَقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَاِنَّ اللهَ لَمْ
يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
"Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya
(al-Qur'an) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan
apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu
terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesutu apa
pun". (HR. Imam
al-Hakim).
اِنَّ
اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ
تَعْتَدُوْهَا وَحَرَّمَ اّشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَسَكَتَ عَنْ اَشْيَاءَ
رَحْمَةً بِكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa
kewajiban, maka janganlah kamu semua sia-siakan, dalam menentukan beberapa
ketentuan, janganlah kamu langgar, mengharamkan beberapa
keharaman, janganlah kamu rusak. Dan Allah tidak menjelaskan hukum beberapa hal
karena sayang kepadamu, janganlah kamu cari-cari hukumnya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Wajah istidlal kedua hadis di atas ialah bahwa ada beberapa hal
yang sengaja tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah.
Tidak dinyata-kan halal dan tidak pula dinyatakan haram. Hal ini bukan
karena Allah lupa (sebab Allah memang tidak pernah lupa), tetapi karena kasih
sayang Allah kepada hamba-Nya. Ini menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak
ditegaskan halal atau haram itu, hukumnya adalah halal. Tentu selama hal itu
bermanfaat, tidak membahayakan.
Budidaya cacing dan jangkrik dalam
rangka menciptakan lapangan kerja baru, mengatasi
pengangguran, dan memecahkan masalah PHK jelas sangat bermanfaat. Oleh karena itu
termasuk maskut 'anhu maka sesuai dengan keumuman ayat dan
hadits di atas, dan sejalan dengan kaidah al-Ashlu fi al-Manfi'
al-Ibahah, menurut pemahaman penulis budidaya cacing dan jangkrik
tersebut hukumnya jelas mubah /halal.
2.
Pendekatan maslahah mursalah/istislah.
Imam
Al-Ghazali menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah :
مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ
مِنَ الشَّرْعِ بِالْـبُطْلاَنِ وَلاَ بِالاِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
"Maslahat/kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh
dalil tertentu dari syara', yang membatalkan atau membenarkannya."[13]
Dalam
menanggapi masalah yang tidak ada penegasan hukumnya di dalam al-Qur'an, as-Sunnah,
dan ijma' serta tidak dapat diselesaikan lewat qiyas, al-Ghazali selaku
tokoh Ushuliyyin madzhab Syafi'i, Imam Malik dan
mayoritas ashab-nya, Mayoritas mazhab Hanbali berpendapat bahwa
masalah semacam itu dapat diselesaikan melalui metodologi istishlah atau
berdasarkan maslahah mursalah.
Budidaya
cacing dan jangkrik jelas merupakan maslahah mursalah, yaitu suatu
maslahat/kemaslahatan yang tidak ada dalil tertentu baik dari al-Qur'an maupun as-Sunnah
yang membenarkan atau yang membatalkannya. Bukankah hal tersebut - seperti
telah disinggung di atas bahwa budidaya cacing dan jangkrik dapat membuka
lapangan kerja, mengatasi pengangguran akibat PHK, dan menghasilkan uang untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia? Hasil budidayanya, yaitu cacing dapat
dimanfaatkan untuk menyuburkan tanah, mengatasi masalah sampah,
bahan obat-obatan dan kosmetika, yang juga bernilai ekonomis. Mengenai
jangkrik, dapat dimanfaatkan untuk makanan burung yang juga bisa
mendatangkan peluang usaha. Bahkan ada beberapa restoran yang menghidangkan
menu jangkrik.
Berdasarkan
analisis ini jelas budidaya cacing dan jangkrik untuk keperluan sebagaimana
telah disebutkan di atas dapat dibenarkan (mubah/halal).
3.
Pendekatan Maqasid Syari'ah.
Ulama
telah konsensus bahwa tujuan pokok pen-syari'at-an
/penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan.
Atas dasar ini maka muncullah suatu prinsip yang populer di kalangan fuqaha' dan ushuliyyin :
اَيْنَمَا كَانَتِ الْمَصْلَحَةُ
فَثَمَّ حُكْمُ اللهِ
"Di mana ada maslahat, di sanalah hukum Allah"
Artinya,
maslahat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam
dapat dijadikan pertimbangan penetapan hukum Islam.[14]
Sebagaimana
telah disebutkan di atas, budidaya cacing dan jangkrik jelas merupakan
maslahat. Dan maslahat ini tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip umum tujuan
pensyari'atan hukum Islam. Menurut penulis, justru amat sejalan. Sebagaimana
diketahui, tujuan umum pensyari'atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan/bencana (جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَفْعُ
الْمَفَاسِدِ/اَلْمَضَارِّ). Hal
ini direalisasikan dengan memelihara lima hal yang menjadi kebutuhan primer
hidup dan kehidupan manusia ( اَلْمُحَافَظَةُ
عَلَى الضَّرُوْرِيَّاتِ الْخَمْسِ ),
yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan kehormatan/keturunan.
Menurut
penulis, budidaya cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber ma'isyah untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah maslahat/kemaslahatan yang berhubungan
dengan upaya memelihara harta yang juga amat bersinggungan dengan kebutuhan
primer yang lain, yakni agama, jiwa, akal, dan
kehormatan/keturunan. Sebab dengan budidaya itu diharapkan dapat
diperoleh sumber penghasilan/ uang. Dengan uang yang memadai diharapkan akan
tercukupi kebutuhan hidup seseorang dengan baik. Dengan tercukupi kebutuhan
hidupnya dengan baik, akan sehat fisiknya, terpelihara jiwanya, sehat akalnya,
terpelihara kehormatan/keturunannya, dan agamanya. Bukankah didalam al-Qur'an
pada surat An-Nisa’ ayat 6 telah menegaskan bahwa uang/harta merupakan tulang
punggung kehidupan?. Bukankah Rasulullah telah menegaskan dalam hadits riwayat
Abu Nu’aim yang diceritakan dari sahabat Anas Bin Malik bahwa Rosulullah SAW
pernah berkata “kefakiran dapat berdampak pada kekufuran.
Atas
dasar ini maka lewat pendekatan maqasid syari'ah, budidaya
cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber penghidupan, menurut penulis
hukumnya jelas mubah/halal. Bahkan bisa menjadi wajib bila tidak ada lapangan
kerja lain selain itu. Sementara itu ia dituntut harus memenuhi kebutuhan hidup
dirinya dan keluarganya, Mim Babi Ma La Yatimmu al-Wajib Illa Bih
fahuwa Wajib. Bukankah pelaksanaan ibadah amat berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, berupa papan, pangan, dan sandang?
Dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa status hukum budidaya cacing dan
jangkrik dengan tujuan sebagaimana telah disebutkan di atas, baik lewat
pendekatan kaidah al-Aslu fi al-Mana-fi' al-Ibahah, maslahah mursalah, maupun maqasid
syari'ah adalah mubah/halal.
Demikian
juga berdasarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor
Kep-139/MUI/IV/2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik bahwa membudidayakan
cacing dan jangkrik hukumnya adalah mubah atau boleh.
C. Analisis
Pendapat Ulama’
Penulis
akan memaparkan sebuah analisis terhadap pendapat Ulama’ tentang makan dan
budidaya cacing dan jangkrik berikut ini :
1. Hukum yang
berkaitan dengan cacing.
a.
Cacing
adalah salah satu jenis hewan yang masuk kedalam kategori al-Hasyarãt (Hewan
kecil yang ada dibumi baik yang melata atau yang terbang).
b.
Membenarkan
adanya pendapat ulama (Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan al-Auza’i) yang
menghalalkan memakan cacing sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan; dan
pendapat ulama yang mengharamkan memakannya.
c.
Membudidayakan
cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
d.
Membudidayakan
cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, untuk pakan burung misalnya, tidak
untuk dimakan atau dijual, hukumnya boleh (mubah).
2. Hukum yang
berkaitan dengan jangkrik
a.
Jangkrik
adalah binatang serangga yang sejenis dengan belalang.
b.
Membudidayakan
jangkrik untuk diambil manfaatnya, untuk obat/kosmetik misalnya, untuk dimakan
atau dijual, hukumnya adalah boleh (mubah, halal), sepanjang tidak menimbulkan bahaya
(mudarat).
D. Pendapat yang
dipilih dan Hujjah yang digunakan
Dari
pemaparan diatas yang menjelaskan secara ringkas tentang hukum makan dan
budidaya cacing dan jangkrik, penulis memilih pendapat yang telah dikeluarkan
oleh MUI tentang cacing dan jangkrik bahwa berdasarkan Keputusan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Nomor Kep-139/MUI/IV/2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan
Jangkrik bahwa membudidayakan cacing dan jangkrik hukumnya adalah mubah atau
boleh.
Meskipun
memakan dan membudidayakan cacing maupun jangkrik itu mubah, sebaiknya kita
berhati-hati dalam pemanfaatannya sehingga tidak sampai menyebabkan bahan
tersebut memberi mudharat bagi penggunanya. Masih banyak jenis makanan lain
yang lebih sehat dan aman untuk dikonsumsi, sehingga sebaiknya kita menghindari
mengkonsumsi cacing dan jangkrik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.
Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena
tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Adapun jenis-jenis daric
acing tanah itu ada tiga : Pheretima, Periony, Lumbricus. Ketiga
jenis cacing tanah ini menyukai bahan organik yang berasal dari pupuk
kandang dan sisa-sisa makanan manusia dan tumbuh-tumbuhan. Adapun manfaat
membudidayakan cacing adalah sebagai Bahan pakan ternak, Bahan baku obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan
penyakit, Bahan baku kosmetik, dan juga sebagai Bahan Makanan Manusia.
Sedangkan Cengkerik atau Jangkrik
(Gryllidae) adalah serangga yang berkerabat dekat
dengan belalang, memiliki tubuh
rata dan antena panjang. Jangkrik adalah omnivora, dikenal dengan suaranya yang
hanya dihasilkan oleh cengkerik jantan. Suara ini digunakan untuk menarik
betina dan menolak jantan lainnya. Suara cengkerik ini semakin keras dengan
naiknya suhu sekitar. Adapun kegunaan
Jangkrik adalah bisa digunakan sebagai Bahan Pakan Ternak, Bahan baku obat dan
bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit, Bahan baku kosmetik, dan Bahan Makanan
Manusia
2. Terdapat
perbedaan Pendapat dan Hujjah para Ulama diatas tentang makan dan budidaya
cacing dan jangkrik, ada yang menyatakan tidak boleh apabila terdapat mudharat
bagi yang memakan dan membudidayakan keduanya, dan ada juga para ulama berpendapat
bahwa makan dan budidaya cacing dan jangkrik itu mubah/halal. Bahkan Para ulama
diatas juga berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan untuk mengetahui status
suatu hukum tentang cacing dan jangkrik.
3. Analisis
terhadap pendapat Ulama’ tentang makan dan budidaya cacing dan jangkrik berikut
ini :
a. Hukum yang
berkaitan dengan cacing.
1) Cacing adalah salah satu jenis
hewan yang masuk kedalam kategori al-Hasyarãt (Hewan kecil yang ada
dibumi baik yang melata atau yang terbang).
2) Membenarkan adanya pendapat ulama
(Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan al-Auza’i) yang menghalalkan memakan cacing
sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan; dan pendapat ulama yang
mengharamkan memakannya.
3) Membudidayakan cacing untuk
diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan hukum Islam.
4) Membudidayakan cacing untuk
diambil sendiri manfaatnya, untuk pakan burung misalnya, tidak untuk dimakan
atau dijual, hukumnya boleh (mubah).
b. Hukum yang
berkaitan dengan jangkrik
1) Jangkrik adalah binatang serangga
yang sejenis dengan belalang.
2) Membudidayakan jangkrik untuk
diambil manfaatnya, untuk obat/kosmetik misalnya, untuk dimakan atau dijual,
hukumnya adalah boleh (mubah, halal), sepanjang tidak menimbulkan bahaya
(mudarat).
4. Penulis
memilih pendapat yang telah dikeluarkan oleh MUI tentang cacing dan jangkrik
bahwa berdasarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor
Kep-139/MUI/IV/2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik bahwa
membudidayakan cacing dan jangkrik hukumnya adalah mubah atau boleh. Meskipun
memakan dan membudidayakan cacing maupun jangkrik itu mubah, sebaiknya kita
berhati-hati dalam pemanfaatannya sehingga tidak sampai menyebabkan bahan
tersebut memberi mudharat bagi penggunanya. Masih banyak jenis makanan lain
yang lebih sehat dan aman untuk dikonsumsi, sehingga sebaiknya kita menghindari
mengkonsumsi cacing dan jangkrik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Dawud. (1955). Sunan Abi Dawud, Juz IV. Beirut
: Dar al-Fikri.
Al Amidi. (1985). al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz
IV. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al Asnawi. (1982). Nihayah as-Sul fi Syarh Minhaj
al Wusul. Beirut : ‘Alam al Kutub.
Ar-Razi. (1988). al-Mashhul fi ‘Ilm al-Ushul, Juz
II. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Asy-Syafi’i. (1947). Ar-Risalah. al-Qahirah
: al-Babi al-Halabi.
Departemen Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an
dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Dyah Habib & Ali Akipin. (1999). Tabloid
Peluang No. 41 Tahun I/20-26 Agustus 1999.
Onny Untung. (1999). Majalah Trubus No. 357,
Edisi Agustus 1999.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-139/MUI/IV/2000
tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik yang ditetapkan pada tanggal 18
April 2000
[3] . Lihat
https://id.wikipedia.org/wiki/Cengkerik hari selasa, tanggal 27 maret 2018.
Pukul 05.40 WIB
[7] . Ar-Razi, al-Mahshul fi 'Ilm al-Ushul,
(Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1988), juz II, hal. 39, al-Amidi, al-Ihkam
fi Ushul al-ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Imiyah, 1985), juz IV,
hal. 164, Abd al-Wahhab al-Khallaf, Mashadir at-Tasyri' fi Ma la
Nashsha Fih, (Damsyiq: Dar al-Qalam, t.th.), hal. 8 - 10.
[8] . Ar-Razi, al-Mahshul fi
'Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1988), juz II, hal. 39,
al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub
al-'Imiyah, 1985), juz IV, hal. 164, Abd al-Wahhab al-Khallaf, Mashadir
at-Tasyri' fi Ma la Nashsha Fih, (Damsyiq: Dar al-Qalam, t.th.), hal.
8 - 10.
[9] . Al-Asnawi, Nihayah
as-Sul fi Syarh Minhaj al-Wusul, (Beirut: 'Alam al-Kutub, 1982),
juz IV, hal. 352
[10] . Al-Ghazali, al-Mustasfa
min 'Im al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), juz I, hal. 286-287,
Asy-Syatibi, al-I'tisham, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1957), juz
II, hal. 113-115, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah, (Beirut:
Dar al-Fikr, 1977), juz I, hal. 16
[11] . Abdullah Darraz, Syarh Jalil 'ala al-Muwafaqat, (Beirut:
Dar al-Malayiin, 1987), juz I, hal. 5-6
[12] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an
dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1989), hal. 13
[14] . Yusuf al-Qardlawi, al-Ijtihad al-Mu'ashir,
(Bairut: Dar at-Tauzi' wa-an-Nasyr al-Islami, 1994), hal. 68.
matur nuwun atas ilmunipun.
ReplyDelete