Sunday, June 3, 2018

MAKAN DAN BUDIDAYA CACING DAN JANGKRIK

MAKAN DAN BUDIDAYA
CACING DAN JANGKRIK

Untuk memenuhi tugas matakuliah
“Kajian Fiqih Kontemporer”

Dosen Pembimbing :
Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag
Oleh :
LUCKY ANDRIYANTOKO (16771007)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018

KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga pada kesempatan ini penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah tentang Memakan dan Membudidayakan Cacing dan Jangkrik ini sebaik mungkin sehingga diharapkan dapat memenuhi tugas Matakuliah Fiqih Kontemporer.
Dalam penyusunan makalah ini penulis tidak luput dari berbagai kelemahan dan keterbatasan, oleh karena itu dan diharapkan dapat bimbingan dan saran-saran yang membangun dari ibu dosen pembimbing, para pembaca sekalian agar penulis dapat lebih baik lagi. Namun walaupun demikian, mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan kita informasi dan manfaat khususnya dalam bidang Fiqih Kontemporer.
Akhir kata, semoga Makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan kita dalam bidang Fiqih, dan juga semoga dapat memberikan kita motivasi untuk mengkaji dan membangun berbagai keilmuan Fiqih Kontemporer yang lebih tajam dan baik. Aamiin

Malang, 16 Maret 2018
Penulis,

Lucky Andriyantoko
DAFTAR ISI

COVER................................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................
A.    Latar Belakang Masalah................................................................................. ........... 1
B.     Rumusan Masalah.......................................................................................... ........... 2
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................... ........... 3
A.    Deskripsi Masalah.......................................................................................... ........... 3
B.     Pendapat dan Hujjah para Ulama’................................................................. ........... 6
C.     Analisis Pendapat Ulama’.............................................................................. ........... 14
D.    Pendapat yang dipilih dan Hujjah yang digunakan....................................... ........... 15
BAB III PENUTUP................................................................................................. ........... 17
A.    Kesimpulan................................................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................. ........... 20

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dunia ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat. Penelitian demi penelitian terus dilakukan, dan penemuan-penemuan baru pun ditemukan. Hal-hal yang  dahulu dianggap tidak berguna, nampak sepele, bahkan mungkin menjijikkan, kini berubah menjadi sesuatu yang bernilai ekonomis dan diperlukan. 
Sesuai dengan kemajuan zaman dan meningkatnya kebutuhan kehidupan manusia, otak manusia nampaknya terus berinovasi dan berkreasi untuk menemukan hal-hal baru dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Adanya krisis moneter membawa hikmah dan berkah. Bukan saja menyadarkan manusia akan kelemahan dan kekerdilannya di tengah himpitan dan gempuran badai kehidupan, di hadapan sang Khaliq, tetapi juga memaksa manusia untuk memeras otaknya agar dapat survive dalam percaturan hidup dan kehidupan ini.
Belakangan ini marak bisnis ternak cacing dan jangkrik seiring dengan meningkatnya permintaan di pasar terutama untuk pengobatan, kosmetik dan pakan ikan. Menurut data Pusat Inkubator Bisnis Inkopin (PIBI) Jawa Barat menunjukkan bahwa setiap tiga bulan industri farmasi, kosmetik dan pakan ikan di wilayah Jawa Barat memerlukan 12.8 ton. Sementara untuk kebutuhan ekspor ke Korea Selatan, sedikitnya 35.000 ton perbulan. Menurut Jawa Pos permintaan negara Thailand lebih dari 120 ton perbulan. Sedangkan hasil ternak jangkrik biasanya untuk konsumsi makanan burung piaraan. Pertanyaan yang timbul mengingat bahwa media hidup cacing ternak adalah kotoran sapi perah yang dicampur dengan tanah dan sayuran serta limbah atau sampah restoran sedangkan pakan ternak jangkrik adalah sayur-sayuran.
Pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimanakah hukum halal-haramnya cacing dan jangkrik? Dapatkah cacing dan jangkrik dijadikan sebagai objek bisnis? Bolehkah kita mengkonsumsi cacing untuk obat seperti dalam ramuan shin she yang menggunakan cacing kering untuk mengobati sakit tipes?. Dari berbagai pertanyaan diatas pemakalah mencoba memaparkannya pada sub pembahasan selanjutnya sehingga bisa memnjawab berbagai macam persoalan diatas, maka dari itu pemakalah membuat sebuah rumusan masalah yang akan dipaparkan dibawah ini.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1.    Bagaimanakah Deskripsi tentang cacing dan jangkrik ?
2.    Bagaimanakah pendapat ulama dan hujjahnya tentang makan dan budidaya cacing dan jangkrik ?
3.    Bagaimana analisis pendapat ulama tentang makan dan budidaya cacing dan jangkrik ?
4.    Pendapat ulama mana yang dipilih dan hujjah yang digunakan ?



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Deskripsi Masalah
1.      Deskripsi Cacing dan Jangkrik
Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta, Family terpenting dari kelas ini yaitu Megascilicidae dan Lumbricidae. Cacing tanah bukanlah hewan yang asing bagi masyarakat kita, terutama bagi masyarakat pedesaan. Namun hewan ini mempunyai potensi yang sangat menakjubkan bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia.
Jenis - jenis yang paling banyak dikembangkan oleh beberapa manusia berasal dari family Megascolicidae dan Lumbricidae dengan genus Lumbricus, Eiseinia, heretima, Perionyx, Diplocardi dan Lidrillus. Beberapa jenis cacing tanah yang kini banyak diternakan antara lain :
Pheretima, Periony dan Lumbricus. Ketiga jenis cacing tanah ini menyukai bahan organik yang berasal dari pupuk kandang dan sisa-sisa tumbuhan.[1] Cacing tanah jenis Lumbricus mempunyai bentuk tubuh pipih. Jumlah segmen yang dimiliki sekitar 90 - 195 dan klitelum yang terletak pada segmen 27 - 32. Biasanya jenis ini masih kalah bersaing dengan jenis yang lain sehingga tubuhnya lebih kecil. Tetapi bila diternakkan akan menjadi besar tubuhnya bahkan bisa menyamai atau melebihi jenis lain.
Cacing tanah jenis Pheretima segmennya mencapai 95-150 segmen. Klitelumnya terletak pada segmen 14-16. Tubuhnya berbentuk gilik panjang dan silindris berwarna merah keunguan. Cacing tanah yang termasuk jenis Pheretima antara lain cacing merah, cacing koot dan cacing kalung. Cacing tanah jenis Perionyx berbentuk gilig berwarna ungu tua sampai merah kecokelatan dengan jumlah segmen 75-165 dan klitelumnya terletak pada segmen 13 dan 17. Cacing ini biasanya agak manja sehingga dalam pemeliharaannya diperlukan perhatian yang lebih serius. Cacing jenis Lumbricus Rubellus memiliki keunggulan lebih dibanding kedua jenis yang lain di atas, karena produktivitasnya tinggi (penambahan berat badan, produksi telur/anakan dan produksi bekas cacing serta tidak banyak bergerak).
Dalam bidang pertanian, cacing menghancurkan bahan organik sehingga memperbaiki aerasi dan struktur tanah. Akibatnya lahan menjadi subur dan penyerapan nutrisi oleh tanaman menjadi baik. Keberadaan cacing tanah akan meningkatkan populasi mikroba yang menguntungkan tanaman. Selain itu juga cacing tanah dapat digunakan sebagai:
1.      Bahan pakan ternak. Berkat kandungan protein, lemak dan mineralnya yang tinggi, cacing tanah dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak seperti unggas, ikan, udang dan kodok.
2.      Bahan baku obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional cacing tanah dipercaya dapat meredakan demam, menurunkan tekanan darah, menyembuhkan bronchitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.
3.      Bahan baku kosmetik. Cacing dapat diolah untuk digunakan sebagai pelembab kulit dan bahan baku pembuatan lipstik.
4.      Makanan manusia. Cacing merupakan sumber protein yang berpotensi untuk dimasukkan sebagai bahan makanan manusia seperti halnya daging sapi atau ayam.
Sedangkan Binatang lain yang banyak dibudidayakan adalah jangkrik. Serangga yang di malam hari sering memamerkan kebolehan suaranya yang  nyaring, penuh irama, dan indah yang oleh karenanya disebut "Sharikh al-Lail" itu, kini ternyata sangat diperlukan untuk pakan burung-burung piaraan.[2]
Cengkerik atau jangkrik (Gryllidae) adalah serangga yang berkerabat dekat dengan belalang, memiliki tubuh rata dan antena panjang. Jangkrik adalah omnivora, dikenal dengan suaranya yang hanya dihasilkan oleh cengkerik jantan. Suara ini digunakan untuk menarik betina dan menolak jantan lainnya. Suara cengkerik ini semakin keras dengan naiknya suhu sekitar. [3]
Pada saat belum banyak taman burung dan pencinta yang gandrung memeliharanya, burung-burung bebas mencari makanan sendiri sesuai dengan seleranya. Setelah banyak taman burung dan banyak pencinta binatang menjadikan burung sebagai piaraan kesayangannya, kini burung-burung itu telah menjadi makhluk yang manja, bak raja dan ratu yang tinggal di istana indah, menyanyi dan bersukaria, dengan memaksa para pencintanya menjadi pelayan setianya. Mau tidak mau, mereka harus menyediakan menu makanan yang lezat dan cukup untuk keperluan hidup kesehariannya.
Di antara jenis serangga yang disajikan sebagai menu istimewa bangsa burung tersebut adalah jangkrik. Bahkan ada burung tertentu yang  apabila tidak diberi makanan jangkrik, suaranya parau, tidak bagus, tetapi begitu diberi makanan jangkrik, langsung berkicau dan manggung/bersuara nyaring dan indah.[4] Nampaknya kenyaringan suara jangkrik yang dimakannya itu langsung mempengaruhi kicau dan suara si burung tersebut.  
Kondisi tersebut mau tidak mau mendorong manusia untuk memeras otaknya, agar dengan cara mudah bisa mendapatkan jangkrik yang cukup untuk memenuhi kebutuhan makanan burung-burung piaraan kesayangannya. Dari sini muncullah budidaya jangkrik. Dengan demikian, jangkrik yang tadinya hanya dapat dinikmati suaranya, kini telah menjadi sesuatu yang berharga yang membuka lapangan kerja dan peluang usaha.

B.     Pendapat dan Hujjah Para Ulama’
1.      Hukum Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik menurut Para Ulama’
Imam  Syafi'i dalam ar-Risalah menegaskan bahwa tak satu pun permasalahan kehidupan yang dihadapi oleh umat Islam kecuali hal itu ada solusinya (dapat diketahui status hukumnya) dalam al-Quran  al-Karim (ada yang langsung / manshush  dan ada yang tidak langsung / ghairu manshush / maskut 'anhu).[5] Hal yang sama berlaku pada sunnah sejalan dengan penegasan Rasulullah SAW :
اَلاَ وَاِنِّى اُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
"Ketahuilah, aku diberi kitab suci al-Qur'an, dan sunnah yang kedudukannya sama dengan al-Qur'an".[6]
Dari penegasan Imam Syafi'i tersebut muncullah teori dalam kajian Ushul Fiqh bahwa kasus hukum  (kasus yang ingin diketahui hukumnya) yang dihadapi oleh umat manusia itu dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a.       Kasus yang ingin diketahui hukumnya itu telah manshush (ditegaskan hukumnya secara langsung, tegas, dan jelas) oleh teks al-Qur'an atau as-Sunnah. 
b.      Kasus yang ingin diketahui hukumnya itu Ghairu manshush / maskut 'anhu (belum atau tidak ditegaskan hukumnya) oleh al-Qur'-an atau as-Sunnah.[7]
Untuk kasus pertama berlaku prinsip “La Majala Lahu lil-Ijitihad” (tidak berlaku dan tidak diperlukan ijtihad); sementara itu untuk mengetahui status hukum kasus kedua berlaku prinsip “La-hu Majal li-Ijtihad” (berlaku dan diperlukan ijtihad).[8]
Menurut penulis, masalah makan dan budidaya cacing dan jangkrik termasuk kategori ghairu manshush / maskut 'anhu yang untuk mengetahui status hukumnya diperlukan ijtihad. Dengan demikian masalahnya adalah ijtihadi. Menurut penulis, pemecahan terhadap masalah ini dapat ditempuh lewat tiga pendekatan sebagai berikut :
1.      Lewat pendekatan kaidah yang dipedomani oleh jumhur fuqaha :
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ
"Pada dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat  adalah mubah/halal".[9]
2.      Lewat pendekatan maslahah mursalah/istishlah.[10]
3.      Lewat pendekatan maqasid syari'ah (tujuan hukum Islam).[11]
Dari ketiga pendekatan diatas, penulis memaparkannya secara singkat dan jelas dalam pemaparan dibawah ini :
1.        Pendekatan Kaidah al-Ashlu fi al-Manafi' al-Ibahah.      
Budidaya cacing dan jangkrik merupakan kasus baru, hukumnya belum/tidak ditegaskan, bahkan belum disinggung sama sekali oleh al-Qur'an dan as-Sunnah. Dengan demikian masalah tersebut termasuk katagori maskut 'anhu. Jumhur fuqaha' berpendapat bahwa untuk menyelesaikan masalah yang maskut 'anhu hendaklah berpedoman pada kaidah :
اَلاَصْلُ فِى الْمَنَا فِعِ اَلاِبَاحَةُ
"Pada dasarnya segala sesuatu yang bermanfaat adalah boleh/halal".
 Kaidah diatas besumber dari :
هُوَ الَّذِىْ خَلَقَ لَكُمْ مَا فِى الاَرْضِ جَمِيْعًا
"Allah-lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu sekalian".(al-Baqarah : 29).[12]
   وَسَخَّرَلَكُمْ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ جَمِيْعًا مِنْهُ
"Allah menundukkan untukmu semua yang ada di langit dan di bumi (sebagai rahmat) dari-Nya". (al-Jasiyah : 13).
اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِى السَّمَوَاتِ وَمَا فِى الاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً
"Tidakkah kamu memperhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu ni'mat-Nya lahir dan batin". (Q.S. Luqman : 20)
Wajah istidlal / metode pengambilan dalil ketiga ayat di atas ialah, bahwa   semua yang ada di muka bumi dan di langit itu diciptakan oleh Allah SWT untuk kepentingan umat manusia. Ini berarti semuanya itu halal bagi umat manusia,    kecuali bila membahayakan atau ada nashsh yang menyatakan keharamannya. 
مَااَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَاحَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَاسَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ فَاَقْبَلُوْا مِنَ اللهِ عَافِيَتَهُ فَاِنَّ اللهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
"Apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya (al-Qur'an) adalah halal, apa-apa yang diharamkan-Nya, hukumnya haram, dan apa-apa yang Allah diamkan/tidak dijelaskan hukumnya, dimaafkan. Untuk itu terimalah pemaafan-Nya, sebab Allah tidak pernah lupa tentang sesutu apa pun". (HR. Imam al-Hakim).
اِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَحَرَّمَ اّشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا وَسَكَتَ عَنْ اَشْيَاءَ رَحْمَةً بِكُمْ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا
"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu semua sia-siakan, dalam menentukan beberapa ketentuan,    janganlah kamu langgar, mengharamkan beberapa keharaman, janganlah kamu rusak. Dan Allah tidak menjelaskan hukum beberapa hal karena sayang kepadamu, janganlah kamu cari-cari hukumnya." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Wajah istidlal kedua hadis di atas ialah bahwa ada beberapa hal yang     sengaja tidak dijelaskan hukumnya oleh Allah. Tidak dinyata-kan halal dan tidak  pula dinyatakan haram. Hal ini bukan karena Allah lupa (sebab Allah memang tidak pernah lupa), tetapi karena kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Ini menunjukkan bahwa sesuatu yang tidak ditegaskan halal atau haram itu, hukumnya adalah halal. Tentu selama hal itu bermanfaat, tidak membahayakan.
Budidaya cacing dan jangkrik dalam rangka  menciptakan lapangan kerja  baru, mengatasi pengangguran, dan memecahkan masalah PHK jelas sangat bermanfaat. Oleh karena itu termasuk maskut 'anhu maka sesuai dengan keumuman ayat dan hadits di atas, dan sejalan dengan kaidah al-Ashlu fi al-Manfi' al-Ibahah, menurut pemahaman penulis budidaya cacing dan jangkrik tersebut hukumnya jelas mubah /halal.
2.        Pendekatan maslahah mursalah/istislah.
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa maslahah mursalah adalah :
   مَالَمْ يَشْهَدْ لَهُ مِنَ الشَّرْعِ بِالْـبُطْلاَنِ وَلاَ بِالاِعْتِبَارِ نَصٌّ مُعَيَّنٌ
"Maslahat/kemaslahatan yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu dari syara', yang membatalkan atau membenarkannya."[13]
Dalam menanggapi masalah yang tidak ada penegasan hukumnya di dalam al-Qur'an, as-Sunnah, dan ijma' serta tidak dapat diselesaikan lewat qiyas, al-Ghazali selaku tokoh Ushuliyyin madzhab Syafi'i, Imam Malik dan mayoritas ashab-nya, Mayoritas mazhab Hanbali berpendapat bahwa masalah semacam itu dapat diselesaikan melalui metodologi istishlah atau berdasarkan maslahah mursalah.
Budidaya cacing dan jangkrik jelas merupakan maslahah mursalah, yaitu  suatu maslahat/kemaslahatan yang tidak ada dalil tertentu baik dari al-Qur'an maupun as-Sunnah yang membenarkan atau yang membatalkannya. Bukankah hal tersebut - seperti telah disinggung di atas bahwa budidaya cacing dan jangkrik dapat membuka lapangan kerja, mengatasi pengangguran akibat PHK, dan menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia? Hasil budidayanya, yaitu cacing dapat dimanfaatkan  untuk menyuburkan tanah, mengatasi masalah sampah, bahan obat-obatan dan kosmetika, yang juga bernilai ekonomis. Mengenai jangkrik, dapat dimanfaatkan untuk makanan burung yang juga bisa mendatangkan peluang usaha. Bahkan ada beberapa restoran yang menghidangkan menu jangkrik.
Berdasarkan analisis ini jelas budidaya cacing dan jangkrik untuk keperluan sebagaimana telah disebutkan di atas dapat dibenarkan (mubah/halal).
3.        Pendekatan Maqasid Syari'ah.
Ulama telah konsensus bahwa tujuan pokok pen-syari'at-an /penetapan   hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan. Atas dasar ini maka muncullah suatu prinsip yang populer di kalangan fuqaha' dan ushuliyyin :
اَيْنَمَا كَانَتِ  الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ حُكْمُ اللهِ
"Di mana ada maslahat, di sanalah hukum Allah" 
Artinya, maslahat yang tidak bertentangan dengan  prinsip-prinsip hukum Islam dapat dijadikan pertimbangan penetapan hukum Islam.[14]
Sebagaimana telah disebutkan di atas, budidaya cacing dan jangkrik jelas merupakan maslahat. Dan maslahat ini tidak berlawanan dengan prinsip-prinsip umum tujuan pensyari'atan hukum Islam. Menurut penulis, justru amat sejalan. Sebagaimana diketahui, tujuan umum pensyari'atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan/bencana (جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَفْعُ الْمَفَاسِدِ/اَلْمَضَارِّ). Hal ini direalisasikan dengan memelihara lima hal yang menjadi kebutuhan primer hidup dan kehidupan manusia ( اَلْمُحَافَظَةُ عَلَى الضَّرُوْرِيَّاتِ الْخَمْسِ ), yaitu agama, akal, jiwa, harta, dan kehormatan/keturunan.
Menurut penulis, budidaya cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber ma'isyah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia adalah maslahat/kemaslahatan yang berhubungan dengan upaya memelihara harta yang juga amat bersinggungan dengan kebutuhan primer yang lain, yakni agama, jiwa, akal, dan kehormatan/keturunan.  Sebab dengan budidaya itu diharapkan dapat diperoleh sumber penghasilan/ uang. Dengan uang yang memadai diharapkan akan tercukupi kebutuhan hidup seseorang dengan baik. Dengan tercukupi kebutuhan hidupnya dengan baik, akan sehat fisiknya, terpelihara jiwanya, sehat akalnya, terpelihara kehormatan/keturunannya, dan agamanya. Bukankah didalam al-Qur'an pada surat An-Nisa’ ayat 6 telah menegaskan bahwa uang/harta merupakan tulang punggung kehidupan?. Bukankah Rasulullah telah menegaskan dalam hadits riwayat Abu Nu’aim yang diceritakan dari sahabat Anas Bin Malik bahwa Rosulullah SAW pernah berkata “kefakiran dapat berdampak pada kekufuran.
      Atas dasar ini maka lewat pendekatan maqasid syari'ah, budidaya cacing dan jangkrik sebagai upaya mencari sumber penghidupan, menurut penulis hukumnya jelas mubah/halal. Bahkan bisa menjadi wajib bila tidak ada lapangan kerja lain selain itu. Sementara itu ia dituntut harus memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya,  Mim Babi Ma La Yatimmu al-Wajib Illa Bih fahuwa Wajib. Bukankah pelaksanaan ibadah amat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, berupa papan, pangan, dan sandang?
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa status hukum budidaya cacing dan jangkrik dengan tujuan sebagaimana telah disebutkan di atas, baik lewat pendekatan kaidah al-Aslu fi al-Mana-fi' al-Ibahah, maslahah mursalah, maupun maqasid syari'ah adalah mubah/halal.
Demikian juga berdasarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-139/MUI/IV/2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik bahwa membudidayakan cacing dan jangkrik hukumnya adalah mubah atau boleh.

C.    Analisis Pendapat Ulama’
Penulis akan memaparkan sebuah analisis terhadap pendapat Ulama’ tentang makan dan budidaya cacing dan jangkrik berikut ini :
1.      Hukum yang berkaitan dengan cacing.
a.         Cacing adalah salah satu jenis hewan yang masuk kedalam kategori al-Hasyarãt (Hewan kecil yang ada dibumi baik yang melata atau yang terbang).
b.        Membenarkan adanya pendapat ulama (Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan al-Auza’i) yang menghalalkan memakan cacing sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan; dan pendapat ulama yang mengharamkan memakannya.
c.         Membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan hukum Islam.
d.        Membudidayakan cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, untuk pakan burung misalnya, tidak untuk dimakan atau dijual, hukumnya boleh (mubah).
2.      Hukum yang berkaitan dengan jangkrik
a.         Jangkrik adalah binatang serangga yang sejenis dengan belalang.
b.        Membudidayakan jangkrik untuk diambil manfaatnya, untuk obat/kosmetik misalnya, untuk dimakan atau dijual, hukumnya adalah boleh (mubah, halal), sepanjang tidak menimbulkan bahaya (mudarat).

D.    Pendapat yang dipilih dan Hujjah yang digunakan
Dari pemaparan diatas yang menjelaskan secara ringkas tentang hukum makan dan budidaya cacing dan jangkrik, penulis memilih pendapat yang telah dikeluarkan oleh MUI tentang cacing dan jangkrik bahwa berdasarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-139/MUI/IV/2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik bahwa membudidayakan cacing dan jangkrik hukumnya adalah mubah atau boleh.
Meskipun memakan dan membudidayakan cacing maupun jangkrik itu mubah, sebaiknya kita berhati-hati dalam pemanfaatannya sehingga tidak sampai menyebabkan bahan tersebut memberi mudharat bagi penggunanya. Masih banyak jenis makanan lain yang lebih sehat dan aman untuk dikonsumsi, sehingga sebaiknya kita menghindari mengkonsumsi cacing dan jangkrik.
















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1.      Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Adapun jenis-jenis daric acing tanah itu ada tiga : Pheretima, Periony, Lumbricus. Ketiga jenis cacing tanah ini menyukai bahan organik yang berasal dari pupuk kandang dan sisa-sisa makanan manusia dan tumbuh-tumbuhan. Adapun manfaat membudidayakan cacing adalah  sebagai Bahan pakan ternak, Bahan baku obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit, Bahan baku kosmetik, dan juga sebagai Bahan Makanan Manusia. Sedangkan Cengkerik atau Jangkrik (Gryllidae) adalah serangga yang berkerabat dekat dengan belalang, memiliki tubuh rata dan antena panjang. Jangkrik adalah omnivora, dikenal dengan suaranya yang hanya dihasilkan oleh cengkerik jantan. Suara ini digunakan untuk menarik betina dan menolak jantan lainnya. Suara cengkerik ini semakin keras dengan naiknya suhu sekitar. Adapun kegunaan Jangkrik adalah bisa digunakan sebagai Bahan Pakan Ternak, Bahan baku obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit, Bahan baku kosmetik, dan Bahan Makanan Manusia

2.      Terdapat perbedaan Pendapat dan Hujjah para Ulama diatas tentang makan dan budidaya cacing dan jangkrik, ada yang menyatakan tidak boleh apabila terdapat mudharat bagi yang memakan dan membudidayakan keduanya, dan ada juga para ulama berpendapat bahwa makan dan budidaya cacing dan jangkrik itu mubah/halal. Bahkan Para ulama diatas juga berbeda dalam hal pendekatan yang digunakan untuk mengetahui status suatu hukum tentang cacing dan jangkrik.
3.      Analisis terhadap pendapat Ulama’ tentang makan dan budidaya cacing dan jangkrik berikut ini :
a.    Hukum yang berkaitan dengan cacing.
1)   Cacing adalah salah satu jenis hewan yang masuk kedalam kategori al-Hasyarãt (Hewan kecil yang ada dibumi baik yang melata atau yang terbang).
2)   Membenarkan adanya pendapat ulama (Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan al-Auza’i) yang menghalalkan memakan cacing sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan; dan pendapat ulama yang mengharamkan memakannya.
3)   Membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, tidak bertentangan dengan hukum Islam.
4)   Membudidayakan cacing untuk diambil sendiri manfaatnya, untuk pakan burung misalnya, tidak untuk dimakan atau dijual, hukumnya boleh (mubah).
b.    Hukum yang berkaitan dengan jangkrik
1)   Jangkrik adalah binatang serangga yang sejenis dengan belalang.
2)   Membudidayakan jangkrik untuk diambil manfaatnya, untuk obat/kosmetik misalnya, untuk dimakan atau dijual, hukumnya adalah boleh (mubah, halal), sepanjang tidak menimbulkan bahaya (mudarat).
4.      Penulis memilih pendapat yang telah dikeluarkan oleh MUI tentang cacing dan jangkrik bahwa berdasarkan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-139/MUI/IV/2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik bahwa membudidayakan cacing dan jangkrik hukumnya adalah mubah atau boleh. Meskipun memakan dan membudidayakan cacing maupun jangkrik itu mubah, sebaiknya kita berhati-hati dalam pemanfaatannya sehingga tidak sampai menyebabkan bahan tersebut memberi mudharat bagi penggunanya. Masih banyak jenis makanan lain yang lebih sehat dan aman untuk dikonsumsi, sehingga sebaiknya kita menghindari mengkonsumsi cacing dan jangkrik.










DAFTAR PUSTAKA

Abu Dawud. (1955). Sunan Abi Dawud, Juz IV. Beirut : Dar al-Fikri.
Al Amidi. (1985). al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Juz IV. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Al Asnawi. (1982). Nihayah as-Sul fi Syarh Minhaj al Wusul. Beirut : ‘Alam al Kutub.
Ar-Razi. (1988). al-Mashhul fi ‘Ilm al-Ushul, Juz II. Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Asy-Syafi’i. (1947). Ar-Risalah. al-Qahirah : al-Babi al-Halabi.
Departemen Agama Republik Indonesia. (1989). Al-Qur'an dan Terjemahnya. Semarang : Toha Putra.
Dyah Habib & Ali Akipin. (1999). Tabloid Peluang No. 41 Tahun I/20-26 Agustus 1999.
Onny Untung. (1999). Majalah Trubus No. 357, Edisi Agustus 1999.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor Kep-139/MUI/IV/2000 tentang Makan dan Budidaya Cacing dan Jangkrik yang ditetapkan pada tanggal 18 April 2000


[1] . Onny Untung, Majalah Trubus No.357, Edisi Agustus 1999, hal. 2
[2] . Dyah Habib & Ali Akipin, Tabloid Peluang, No. 41/Tahun I/20-26 Agustus 1999, hal. 6-9
[3] . Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Cengkerik hari selasa, tanggal 27 maret 2018. Pukul 05.40 WIB
[4] . Dyah Habib & Ali Akipin, Tabloid Peluang, No. 41/Tahun I/20-26 Agustus 1999, hal. 6-9
[5] . Asy-Syafi'i, ar-Risalah, (al-Qahirah: al-Babi al-Halabi, 1947), hal. 20
[6] . Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1955), juz  IV, hal. 279
[7] . Ar-Razi, al-Mahshul fi 'Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1988), juz II, hal. 39, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Imiyah, 1985), juz IV, hal. 164, Abd al-Wahhab al-Khallaf, Mashadir at-Tasyri' fi Ma la Nashsha Fih, (Damsyiq: Dar al-Qalam, t.th.), hal. 8 - 10.
[8] Ar-Razi, al-Mahshul fi 'Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1988), juz II, hal. 39, al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Imiyah, 1985), juz IV, hal. 164, Abd al-Wahhab al-Khallaf, Mashadir at-Tasyri' fi Ma la Nashsha Fih, (Damsyiq: Dar al-Qalam, t.th.), hal. 8 - 10.

[9] . Al-Asnawi, Nihayah as-Sul fi Syarh  Minhaj al-Wusul, (Beirut: 'Alam al-Kutub, 1982), juz IV, hal. 352
[10] . Al-Ghazali, al-Mustasfa min 'Im al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), juz I, hal. 286-287, Asy-Syatibi, al-I'tisham, (Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1957), juz II, hal. 113-115, al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), juz I, hal. 16
[11] . Abdullah Darraz, Syarh Jalil 'ala al-Muwafaqat, (Beirut: Dar al-Malayiin, 1987), juz I, hal. 5-6
[12] Departemen Agama Republik Indonesia, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra,  1989), hal. 13
[13] . Al-Ghazali, op. cit., (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), juz I, hal. 286
[14] . Yusuf al-Qardlawi, al-Ijtihad al-Mu'ashir, (Bairut: Dar at-Tauzi' wa-an-Nasyr al-Islami, 1994), hal. 68.

1 comment: