Integralisme Ilmu dalam Islam: Sejarah Perkembangan Ilmu
Makalah
Diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu Studi Intergrasi Islam dan Sains’’
Dosen Pembimbing:
Dr. Ahmad Barizi, M.A
Pemakalah :
Nurhikmah ( 16771031)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2017
STUDI INTEGRASI SAINS DAN ISLAM
(FILSAFAT ILMU)
Integralisme Ilmu dalam Islam: Sejarah Perkembangan Ilmu
Oleh: Nurhikmah
A.
Dasar Pemikiran
Ilmu pengetahuan
berkembang seiring dengan perkembangan kebudayaan manusia yang berlangsung
secara bertahap, evolutif. Sejarah perkembangan ilmu itu sendiri merupakan
suatu tahapan yang terjadi secara periodic.setiap periode menampilkan ciri khas
tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Sejarah perkembangan ilmu dalam
umat manusia ditengarai tidaklah terpusat di satutempat tertentu.
Penemuan-penemuan empiric yang kelak melahirkan temuan-temuan ilmiah itu justru
menyebar dari Babylonia, Mesir, Cina, India, Yunani, baru ke daratan Eropa. Oleh
karena itu, kalau manusia sekarang melihat Eropa sebagai gudang ilmu
pengetahuan, maka pendapat yang demikian itu sangat ahistoris.
Wacana
persoalan epistemologI ilmu agama dan ilmu umum, merupakan wacana yang selalu menarik perhatian
kalangan intelektual. Paradigma yang mengakar di masyarakat luas adalah antara
agama dan ilmu merupakan dua entitas yang berbeda. Di lain pihak, para ilmuwan
lain beranggapan bahwa antara sains dan agama adalah dua hal yang tak
terpisahkan.
Dikotomi ilmu
ke dalam ilmu agama dan non-agama sebenarnya bukan hal yang baru. Islam telah
mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam.[1]
Ilmu
pengetahuan dalam Islam memiliki corak dan karakteristik tersendiri yang
berbeda dengan ilmu-ilmu yang dikembangkan di Barat, baik landasan, sumber,
sarana dan metodologinya. Dalam epistemology Islam, ilmu tidak dipisahkan
demikian ketat dan eksklusif, menjadi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sekuler.
Ilmu-ilmu tersebut tidak boleh dipandang secara terpisah dan dikotomis karena
ilmu-ilmu tersebut memiliki basis ontologIyang sama.[2] Dari
pendapat kedua ini kemudian lahirlah sebuah wacana integrasi keilmuan antara sains
dan agama. Eksistensi ilmu pengetahuan ini tentunya tidak bisa terlepas dari
sejarah perkembangannya, dimana dalam pertumbuhan ilmu pengetahuan itu sendiri
terdapat proses yang panjang yang tidak bisa lepas dari ragam pengaruh dalam
dinamika sosial, budaya,dan politik yang berkembang pada saat itu.
Maka dari itu,
untuk memahami sejarah perkembangan ilmu pengetahuan secara mudah, di sini telah
dilakukan elaborasi dan klasifikasi atau pembagian secara garis besar. Berikut
adalah uraian singkat dari masing-masing periode atau sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan dari masa ke masa. Jika pengetahuan lahir sejak manusia pertama
diciptakan, maka perkembangannya sejak jaman purba. Secara garis besar, Amsal
Bakhtiar membagi periodeisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi
empat periode: pada zaman Yunani Kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans
dan modern, dan pada zaman kontemporer.[3]
B.
Pembahasan
1.
Sejarah Perkembangan Ilmu
Sejarah
perkembangan ilmu menampakkan sumbangsih besar dunia Timur bagi kemajuan ilmu
pengetahuan hingga seperti sekarang ini. Banyak penemuan yang terjadi di dunia
Timur yang baru dikembangkan belakangan di dunia Barat. Namun perkembangan
pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu pada peradaban Yunani. Oleh karena
itu periodesasi perkembangan ilmu yang disusun di sini dimulai dari peradaban Yunani,
Kemudian diakhiri pada penemuan-penemuan pada zaman kontemporer. kesemuanya itu
merupakanrangkaian panjang sejarah peradaban umat manusia, yang dengan
kemampuan akal pikirnya selalu melangkah maju. Adapun perkembangan ilmu dapat
diidentifikasikan ke dalam beberapa periode seperti berikut ini:[4]
a.
Periode Yunani
Yunani Kuno
adalah tempat bersejarah di mana sebuah bangsa memiliki peradaban. Oleh
karenanya Yunani kuno sangat identik dengan filsafat yang merupakan induk dari
ilmu pengetahuan. Padahal filsafat dalam pengertian yang sederhana sudah
berkembang jauh sebelum para filosof klasik Yunani menekuni dan
mengembangkannya. Filsafat di tangan mereka menjadi sesuatu yang sangat
berharga bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada generasi-generasi setelahnya.
Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa
hingga sekarang menurut Bertrand Russel, diantara semua sejarah, tak ada yang
begitu mencengangkan atau begitu sulit diterangkan selain lahirnya peradaban
Yunani secara mendadak memang banyak unsur peradaban yang telah ada ribuan
tahun di Mesir dan Meopotamis, namun unsur-unsur tertentu belum utuh sapai
kemudian bangsa Yunani lah yang menyempurnakannya.[5]
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam
sejarah peradaban manusia Karena pada waktu ini terjadi perubahan pola pikir
manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Pola pikir mitosentris adalah
pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena
alam, seperti gempa bumi dan pelangi. Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam
biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya.[6]
Pada masa peradaban Yunani, manusia sangat kental dengan
unsur-unsur mistis dan sangat percaya pada dongeng dan takhayul. Namun ketika
filsafat diperkenalkan, mereka mampu membedakan seusatu yang riil dengan
sesuatu yang hanya sekedar ilusi. Pola pikir mereka berubah. Fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai
aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas. Perubahan pola
pikir ini bukanlah suatu hal yang sederhana, sebab berimplikasi pada perubahan
berfikir manusia yang dulunya menganggap alam adalah sesuatu yang menakutkan
dan perlu dijauhi berubah pandangan menjadi alam adalah adalah suatu hal yang
perlu didekati dan di eksploitasi. Pola pikir manusia yang sebelumnya pasif
dalam menghadapi fenomena alam kini menjadi proaktif dan kreatif. Alam
dijadikan objek penelitian dan pengkajian. Dari kajian inilah kemudian ilmu
berkembang dari rahim filsafat. Karena itu periode perkembangan filsafat Yunani
merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia.[7]
Karena manusia selalu berhadapan dengan alam yang begitu luas dan
penuh misteri, timbul rasa ingin tahu yang menimbulkan beragam pertanyaan dan
pikiran mereka tentang asal mula keberadaan alam itu sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pikiran mereka inilah yang kemudian
menjadi perhatian besar oleh para filosof-filosof Yunani. Pada mulanya para
filosof Yunani hanya mengkaji tentang alam saja, kemudian berkembang menjadi
tidak hanya mengkaji alam akan tetapi juga mengkaji tentang manusia dan
perilakunya.
Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah
Thales (624-546 M). ia digelari bapak Filsafat karena dialah orang yang
mula-mula berfilsafat dan mempertanyakan asal usul alam semesta.[8]
Pertanyaan ini dijawab dengan menggunakan pendekatan rasional, bukan lagi
dengan pendekatan mitos atau kepercayaan. Ia mengatakan asal alam adalah air
karena air unsur penting bagi setiap makhluk hidup.[9]
Setelah Thales muncul filosof-filosof lainnya, yaitu adalah :
1.
Anaximandros (510-540 SM),
Ia mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, tidak
terbatas dan meliputi segalanya. Ia tidak setuju dengan pemikiran Thales yang
mengatakan unsur alam adalah air, sebab baginya unsur alam harus mencakup
segalaanya dan diatas segalanya, bukan salah satu unsur-unsur yang ada.
2.
Heraklitos (540-480 SM),
ungkapan yang terkenal dari Heraklitos dalam menggambarkan perubahan alam
adalah panta rhei uden menei (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu
pun yang tinggal menetap). Heraklitos menggangap bahwa alam selalu mengalami
perubahan. Kehidupan kosmos adalah sesuatu yang bersifat dinamis.
3.
Phytagoras (540-480 SM), baginya tidak ada satupun di alam ini yang
terlepas dari bilangan. Semua realitas dapat diukur dengan bilangan, karena itu
ia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi
ukuran.
Namun, para
filosof setelah kaum Sofis tidak setuju dengan pandangan tersebut, seperti
Socrates, Plato (429-347 SM), Aristoteles (384-322 SM)[10]
b.
Periode Islam
Sejak awal kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang
begitu besar kepada ilmu. Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah
masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada
masalah-masalah keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penerjemahan
besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di
lapangan ilmiah lainnya. Pengalihan pengetahuan ilmiah dari Filsafat Yunani ke
dunia Islam, dan penyerapan serta pengintegrasian pengetahuan itu oleh umat
Islam, merupakan sebuah catatan sejarah yang unik. Dalam perjalanan ilmu dan
juga filsafat di dunia Islam, pada dasarnya terdapat upaya rekonsiliasi dalam
arti mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan keagamaan dalam Islam yang
seringkali menimbulkan benturan-benturan.
Pada masa kejayaan Islam, ilmu berkembang sangat maju dan
pesat. Kemajuan ini membawa Islam pada masa keemasannya, di mana pada saat yang
sama wilayah-wilayah yang jauh di luar kekuasaan Islam masih berada pada masa
kegelapan (Dark Age). Dalam sejarah Islam, kita mengenal nama-nama
seperti Al-Mansur (754-775 M), Harun
Al-Rasyid (786-809 M), dan Al-Ma’mun (813-833 M), yang memberikan perhatian
teramat besar bagi perkembangan ilmu di dunia Islam. Pada masa pemerintahan
Al-Mansur(754-775 M) , misalnya, proses
penerjemahan karya-karya filosof Yunani ke dalam bahasa Arab berjalan dengan
pesat. Pada masa Harun Al-Rasyid (786-809 M), proses penerjemahan itu juga masih terus
berlangsung. Harun memerintahkan Yuhana Ibn Masawayh, seorang dokter Istana,
untuk menerjemahkan buku-buku kuno mengenai kedokteran. Di masa itu juga
diterjemahkan karya-karya dalam bidang astronomi, seperti Siddhanta;
sebuah risalah India yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibn Ibrahim al-Fazari.
Perkembangan ilmu selanjutnya berada pada masa Al-Ma’mun (813-833 M). Ia adalah
seorang pengikut Mu’tazilah . ia telah
berjasa besar dalam mengembangkan ilmu di dunia Islam dengan membangun Bait
al-Hikmah, yang terdiri dari sebuah perpustakaan, observatorium, dan
departemen penerjemahan. Orang terpenting, di Bait al-Hunain, seorang murid
Masawyh, yang telah berjasa menerjemahkaan buku-buku Plato, Aristoteles,
Galaneus, Appilonuis, dan Archimedes.[11]
c.
Periode Renaisans
Dari abad 8 M sampai 15 M Eropa belajar dari tradisi keilmuan Islam
Andalusia. Pada abad 8 M Eropa masih jahiliyah, masih dogmatic, 99% masih buta
aksara. Raja Eropa masih ada yang buta huruf. Pada abad 8 M telah berdiri
Universitas Islam di Cordova, telah dijumpai lebih 800 public schools.
Para pejabat di Cordova telah memiliki perpustakaan pribadi. Ilmuwan Eropa
selama 6 abad menimba ilmu di Andalusia. Pada abad 15 M Eropa, dimulai di
Italia tahun 1350, mulai menerjemahkkan buku-buku ilmu pengetahuan berbahasa
Arab ke bahasa Eropa. Dan era itu ditandai sebagai Era Renaissans (Eropa);
era kebangkitan dari dogmatism Katholik menjadi era rasionalitas Yunani. Dari
situ Nampak manipulasi Barat, tanpa menyebut Islam.[12]
Michelet, sejarahwan terkenal, adalah orang pertama yang
menggunakan istilah renaisans. Para sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini
untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa,
dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. [13]
Renaisans
merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung
arti bagi perkembangan ilmu. Zaman yang menyaksikan dilancarkannya tantangan
gerakan reformasi terhadap keesaan dan supremasi gereja Katolik Roma, bersamaan
dengan berkembangnya Humanisme.
Pada zaman renaisans
ini manusia Barat mulai berpikir secara baru,secara berangsur-angsur melepaskan
diri dari otoritas kekuasaan gereja yang selama ini telah membelenggu kebebasan
dalam mengemukakan kebenaran filsafat dan ilmu. Dalam sejarahnya, pada masa ini
dikenal dengan dikotomi ilmu dan agama muncul. Hal ini berawal dari perlawanan
masyarakat Barat terhadap dominasi gereja terhadap sosio-religius dan
sosio-intelektual di Eropa. Pada masa ini, gereja menetapkan bahwa penentu
kebenaran ilmiah adalah bersandar dari ajaran yang ada di dalamnya Kristen.
Pengadilan inquisi yang dialami oleh Copernicus, Bruno dan Galileo
tentang pendapat mereka yang bertentangan dengan gereja telah mempengaruhi
proses perkembangan berpikir masyarakat Eropa yang pada dasarnya ingin terbebas
dari nilai-nilai di bidang keilmuan.[14] Pertentangan terjadi karena gerja membuat
teori-teori pengetahuan yang tidak sesuai dengan pemikiran para ilmuan sehingga
temuan ilmiah yang bertentangan dengan gereja harus dibatalkan karena tidak
sesuai dengan supremasi gereja. Karena merasa tertekan akhirnya para ilmuwan
melawan kebijakan gereja dengan mengadakan koalisi untuk menumbangkan dominasi
gereja dan muncullah reinaissance kemudian yang dari nya lah melahirkan
sekularisasi dan dari sekularisasi ini lahirlah dikotomi ilmu. Dengan kejadian
otoritas gereja yang demikian,para ilmuwan menjadi tidak lagi percaya pada
agama. Mereka menganggap bahwa agama telah membelenggu kemajuan ilmu
pengetahuan dan tidak mendukung pertumbuhan ilmu serta menghambat cara pikir
mereka.[15]
2.
Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Naquib Al-Attas
adalah pemikir Muslim terkeuka dan pembaru pemikiran Islam. Sosoknya sebagai
pemikir dan pembaru di dunia Islam tercermin dari gagasan perlunya Islamisasi
ilmu pengetahuan kontemprer.[16]
Ide-ide dan tulisan-tulisan
Al-Attas dalam disiplin filsafat Islam yang menyentuh berbagai disiplin ilmu
agama, pendidikan, dan sains termasuk di antara yang terbaik dan paling kreatif
falam khazanah pemikiran Islam kontemporer. dia adalah orang pertama di Dunia
Islam kontemporer yang mendifinisakn, mengkonseptualisasikan, dan menjabarkan
arti, lingkup, dan muatan pendidikan Islam, ide dan metode islamisasi ilmu
pengetahuan kontemporer, hakikat dan pendirian universitas Islam, serta
formulasi dan sistematisasi metafisika Islam dan filsafat sains dalam bentuk
yang sangat sistematis dan filosofis.
Al-Attas
mengatakan bahwa Islamisasi pengetahuan adalah sebagai proses pembebasan atau
pemerdekaan. Sebab ia melibatkan pembebasan roh manusia yang mempunyai pengaruh
atas jasmaninya dan proses ini menimbulkan keharmonisan dan kedamaian dalam
dirinya,sebagai fitrahnya.[17]
Ia menekankan bahwa yang pertama-tama harus mengalami Islamisasi adalah ilmu
pengetahuan atau ilmu masa kini atau kontemporer.[18]
Strategi Naquib
Al-Attas sendiri tentang islamisasi pengetahuan lebih menitikberatkan pada
pengenalan kembali istilah dan konsep kunci Arab-Islam dalam bahasa-bahasa umat
Islam modern sebagai upaya mengislamkan
kembali dan melawan derasnya arus sekularisasi pikiran umat Islam
Gagasan islamisasi ilmu pengetahuan itu Naquib Al-Attas kemudian di
populerkan oleh seorang direktur Lembaga Pengkajian Islam Internasional, Ismail
Raji Al-Faruqi[19]
dengan karya popular nya, Islamisation of Knowledge,1982. [20] Menurut
al-Faruqi umat Islam berada dalam keadaan lemah. Kemerosotan muslim dewasa
telah menjadikan Islam berada pada zaman kemunduran. Kondisi yang demikian
telah ikut andil penyebab terjadinya kebodohan. Zaman kemunduran umat Islam
dalam berbagai bidang kehidupan telah menempatkan umat Islam berada di anak
tangga bangsa-bangsa terbawah. Dalam kondisi seperti ini masyarakat muslim
melihat kemajuan Baart sebagai sesuatu yang mengagumkan. Hal ini menyebabkan
sebagian kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi
dengan jalan westernisasi.persoalan westernisasi akhirnya telah merembes ke
persoalan bidang akademik.
Sebagaimana yang terungkap dalam bukunya
itu,bahwa gagasan islamisasi tersebut Nampak sebagai respon seorang intelektual
Muslim terhadap efek negatif yang ditimbulkan dari ilmu pengetahuan modern
Barat yang sekuler. Sebelum merumuskan gagasan islamisasi itu, Al-Faruqi
memulainya dengan memperlihatkan, betapa dunia Islam saat ini dalam kondisi
yang sangat memprihatinkan pun politik yang disebutnya sebagai malaise-malaise
itu. Secara global ada lima program kerja yang dirumuskan Al-Faruqi, yakni:
a)
Penguasaan disiplin ilmu modern
b)
Penguasaan khazanah Islam
c)
Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
d)
Pencarian sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu modern
e)
Penguasaan
khazanah ilmu-ilmu keislaman
|
Penguasaan
disiplin ilmu-ilmu modern Barat
|
Survei
disiplin ilmu
|
Menentukan
relevansi Islam untuk disiplin ilmu-ilmu modern
modern
|
Perumusan
dan penulisan kembali disiplin buku-buku teks/ajar
|
Survei
terhadap masalah umat Islam
|
Survei
terhadap masalah umata manusia
|
Penilaian
terhadap ilmu-ilmu
|
Penilaian
terhadap khazanah ilmu keislaman
|
Analisis
dan sintesis khazanah ilmu islam dengan ilmu modern
|
Sosialisasi
ilmu pengetahuan yang sudah di Islamisasi
|
Analisis
terhadap khazanah keislaman
|
Gambar 1. Langkah Islamisasi
Ilmu Al-Faruqi dalam bagan
3.
Respon terhadap Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Sejak pertengahan 70-an, isu mengenai islamisasi ilmu pengetahuan
telah menjadi agenda intelektual yang memberikan harapan besar pada kebangkitan
Islam dan menjadi salah satu topic yang sangat kontroversial. Ia memberikan
inspirasi kepada intelektual dan aktivis Muslim di seluruh dunia sekaligus
mengundang reaksi keras.[22]
Upaya
Islamisasi dianggap merupakan agenda besar guna mendekatkan kembali ilmu
pengetahuan dengan Islam. Namun, wacana tersebut menyulut perdebatan yang
serius antara dua alur mainstream; pro dan kontra. Salah satu reasoning yang
biasa diajukan oleh para penyangga Islamisasi Ilmu bahwa kebenaran wahyu
bersifat mutlak, sedangkan kebenaran rasio bersifat relatif sehingga rasio
harus tunduk pada wahyu. Pernyataan ini seakan-akan mengandaikan wahyu yang
termaktub dalam al-Qur’an dapat mengungkapkan dirinya sendiri sehingga manusia
hanyalah sebagai agen pasif yang begitu saja menerima pengetahuan darinya. Jamak
diketahui, Islamisasi Ilmu selalu mengobarkan semangat kembali ke al-Qur’an dan
hadis dan dengan meletakkannya sebagai sumber pengetahuan. Alasannya, selain
sebagai pedoman hidup kaum Muslim, di dalamnya juga banyak ditemukan banyak
ayat yang berbicara tentang fenomena alam dan kemanusiaan. Dengan demikian,
al-Qur’an benar-benar menyediakan dirinya sebagai muara dari segala ilmu
pengetahuan. Atau setidaknya, Islamisasi Pengetahuan meletakkan al-Qur’an
sebagai konsep dasar (baca: inspirasi) yang dikembangkan melalui riset ilmiah.
Sebaliknya,
mereka yang menolaknya berargumen bahwa ilmu pengetahuan bersifat obyektif, dan
karenanya selalu netral, seperti dalam konsep netralitas etik. Gugatan dari
kelompok yang menolak Islamisasi Ilmu itu menyodorkan persoalan seperti
bagaimana memberi label matematika yang Islam. Adakah perbedaan arkeologi Islam
dan arkeologi non-Islam?[23]26 Pertanyaan-pertanyaan problematik
Seperti
ini tampaknya menjadi landasan kritik terhadap gagasan “Islamisasi
Pengetahuan”. Menyikapi hal ini, Fazlur Rahman berpendapat bahwa pengetahuan
tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu pengetahuan,
masalahnya hanya dalam menyalahgunakan. Bagi Fazlur Rahman, ilmu pengetahuan
memiliki dua kualitas, seperti “Pisau bermata dua” yang harus digunakan dengan
penuh kehati-hatian dan bertanggungjawab, sekaligus sangat penting
menggunakannya secara benar ketika memperolehnya.27
Pada umumnya
para pengkritik Islamisasi Ilmu berpendapat bahwa sains adalah mengkaji
fakta-fakta objektif dan independen dari manusia di mana budaya dan agama harus
dipisahkan dari nilai-nilai. Abdus Salam, misalnya mengatakan hanya ada satu
sains universal, problem-problemnya dan bentuk-bentuknya adalah internasional
dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam, sebagaimana tidak ada sains Hindu,
sains Yahudi, atau sains Kristen.28
Mengikuti Abdus Salam, Pervez Hoodbhoy, juga menyatakan bahwa tidak ada sains
Islam tentang dunia fisik, dan usaha untuk menciptakan sains Islam merupakan
pekerjaan sia-sia, sebagaimana telah diungkap Sir Syed Ahmed Khan, bahwa tujuan
agama lebih pada usaha meningkatkan moralitas ketimbang menjelaskan fakta-fakta
sains.29 Kritik terhadap Islamisasi Pengetahuan
juga diajukan oleh Abdul Karim Soroush. Abdul Karim Soroush juga mengajukan
kritik terhadap konsep Islamisasi Ilmu. Ia menyimpulkan bahwa Islamisasi Ilmu
pengetahuan adalah tidak logis atau tidak mungkin (the impossibility or
illogicality of Islamization of knowledge). Alasannya, realitas bukan
Islami atau tidak Islami. Kebenaran yang ada di dalamnya juga bukan ditentukan
apakah ini Islami atau tidak Islami. Oleh sebab itu, sains sebagai proposisi
yang benar, bukan Islami atau tidak Islami.
Sayyed Hossein Nasr misalanya, salah
seorang cendikiawan Muslim kontemporer yang sangat termasyur. meskipun sangat
sadar akan bahaya sekularisme dan modernisme, Nasr tidak pernah mendefinisikan
konsep tradisionalisme secaraekspresif dalam pengertian yang sangat luas dengan
mengikuti alur filsafat perennial. Namun, dia belum banyak memikirkan islamisasi
sebagai program kependidikan dan filosofis yang terencana. Dalam karyanya,
Traditional Islam in the Modern World (1987), dia memberikan komentar mengenai
berbagai usaha pengislamisasian kembali system pendidikan Islam, dan islamisasi
berbagai disiplin ilmu, dan disitu dia menyebutkan usaha-usaha kelompoknya yang
cenderung tradisionalis dan fundamentalis.
Muhsin Mahdi, seorang sejarahwan
filsafat Islam terkenal dan ahli histtoriografi dari Harvard, membahas isu ini
secara tidak langsung dengan merujuk pada usaha-usaha umat Islam terdahulu,
bukan sebagai islamisasi, melainkan sebagai harmonisasi antara ilmu agama dan
nonagama atau ilmu rasional. Ia beranggapan bahwa ide kontemporer mengenai ilmu
Islam adalah suatu usaha untuk mengaplikasikan formulasi filsafat khas Kristen
neo-Thomist ke dalam Islam, yang tidak dapat dibenarkan karena, tidak seperti
Kristen Katholik, Islam tidak memilik apa yang disebut sebagai induk dari
segala ilmu yang merupakan pokok dari seluruh dikursus dan aktivtas filsafat
dan keilmuan.
Semua yang menentang islamisasi ilmu
pengetahuan sependapat bahwa ilmu, yang merupakan studi mengenai fakta-fakta,
adalah objektif, bebas dari masyarakat, kultur atau agama, dan harus dipisahkan
dari nilai sesungguhnya, realitas itu tidaklah islami atau nonislami. Abdus
Salam berpendapat bahwa, disana hanya ada satu ilmu universal yang
problem-problem dan modalitasnya adalah internasional dan tidak ada sesuatu
yang dinamakan ilmu Islam, seperti juga tidak ada ilmu Hindu, ilmu Yahudi, atau
ilmu Kristen.[24]
4.
Urgensi Integrasi Sains dan Islam
Dikotomi ilmu ke dalam ilmu agama
dan non-agama, sebenarnya bukan hal yang baru. Islam telah mempunyai tradisi
dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam. Tetapi, dikotomi tersebut tidak
menimbulkan terlalu banyak problem dalam system pendidikan Islan, hingga system
pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke Dunia Islam melalui imperialism. Hal
ini terjadi karena, sekalipun dikotomi ilmu-ilmu agama dan non-agama itu telah
dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali dan Ibn
Khaldun, ia tidak mengingkari, tetapi mengakui validitas dan status ilmiah
masing-masing kelompok keilmuan tersebut. Berbeda dengan dikotomi yang dikenal
di Dunia Islam, sain modern Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu
keagamaan. Ketika berbicara tentang hal-hal gaib, ilmu agama tidak bisa
dipandang ilmiah karena sebuah ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila
objek-objeknya bersifat empiris. [25]
Padahal ilmu-ilmu agama tentu tidak bisa menghindari dari membicarakan hal-hal
yang gaib, seperti Tuhan, malaikat dan sebagainya sebagai pembicaraan pokok
mereka.[26]
Ilmu-ilmu sekuler yang diperkenalkan ke Dunia Islam oleh Barat mengakibatkan
munculnya dikotomi yang sangat ketat antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini
juga akhirnya mempengaruhi system pendidikan di sekolah-sekolah bahkan
perguruan tinggi. Sebagaimana, keilmuan yang dikembangkan oleh lembaga
pesantren yang terfokus pada ilmu-ilmu agama, dan sekolah-sekolah umum yang
hanya terfokus pada ilmu-ilmu umum, dimana jatah waktu untuk mata pelajaran
ilmu agama hanya sedikit.
Kiranya anggapan sebagian masyarakat
bahwa ilmu terdiri dari dua bagian antara ilmu agama dan ilmu umum sampai
sekarang masih menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Perbedan ini terjadi
karena, selain sumber dan medan garapan berbeda, juga adalah perbedaan titik
tolak. Jika ilmu agama (revealed knowledge) berangkat dari sebuah
kepercayaan, maka ilmu umum (scientific knowledge) berangkat dari
keraguan.[27]
Bahkan lebih ironis lagi dikatakan bahwa agama itu bukan ilmu, artinya wacana
agama adalah sesuatu yang lepas dari wacana ilmiah karena hanya berbicara
tentang makna, tidak berbicara tentang fakta yang empiris. Dan ilmu-ilmu umum
yang dikatakan sekuler dianggap bid’ah yang haram untuk dipelajari karena
berasal dari orang-orang kafir.
Mewabahnya arus dikotomisasi agama
dan Sains ini yang kemudian berimplikasi pada kemunduran keilmuan Islam lah
yang menjadi titik awal munculnya gagasan Integrasi sain dan Islam dalam dunia
keilmuan.
Sekalipun persoalan yang mendasar
bukanlah terletak pada dikotomi dan integrasi, melainkan pada bagaimana
menanamkan pemahaman holistic terhadap ajaran agama yang universal dan
kosmopolit. Karena itu dalam ilmu sebenarnya tidak mengenal dikotomi dan
disentegrasi, melainkan spesialisasi-spesialisasi yang berkembang semakin
cepat,kompetitif,dan berkualitas. Al-Qur’an sebagai kitab rujukan umat Islam
sebenarnya tidak mengenal dikotomi. Al-Qur’an justru menginstruksikan kaum
beriman untuk senantiasa ber-tafakkur dan ber-tasyakkur.[28]
Pendidikan memiliki peran sebagai
pemasok utama manusia-manusia skilled, manusia yang tidak hanya unggul dalam
segi keilmuan namun juga cemerlang dalam hal spiritual. Karena itu, paradigma
suprematif di atas perlu di (de/re) konstruksi bila tidak ingin system
pendidikan Islam mengalami ketertinggalan.
C.
Kesimpulan
Eksistensi ilmu pengetahuan ini
tentunya tidak bisa terlepas dari sejarah perkembangannya, dimana dalam
pertumbuhan ilmu pengetahuan itu sendiri terdapat proses yang panjang yang tidak
bisa lepas dari ragam pengaruh dalam dinamika sosial, budaya,dan politik yang
berkembang pada saat itu
Jika pengetahuan lahir sejak manusia
pertama diciptakan, maka perkembangannya sejak jaman purba. Secara garis besar,
Amsal Bakhtiar membagi periodeisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan
menjadi empat periode: pada zaman Yunani Kuno, pada zaman Islam, pada zaman
renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer.
Perkembangan ilmu pengetahuan dari
masa ke masa yang dipengaruhi oleh berbagai factor ini menimbulkan polemik
dalam bidang keilmuan yakni adanya dikotomi ilmu, antara ilmu umum dan ilmu
agama. Yang dimana dari hal inilah muncul sebuah wacana dan gerakan islamisasi
ilmu atau lebih dikenal dengan mengintegrasikan antara ilmu umum dan agama.
Dengan harapan si
Sistem pendidikan Islam tidak lagi
tertinggal jauh. Juga untuk menghapus opini-opini yang berkembang terkait
pengkotakan-pengkotakan ilmu pengetahuan, sebab sejatinya ilmu bukan sekedar
untuk memuaskan rasa ingin tahu namun untuk mengamati dari dekat jejak-jejak
ilahi.
Daftar Pustaka
Kartanegara, Mulyadi ,2005, Integrasi
Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, Jakarta: UIN Jakarta Press.
Abdullah,
M.Amin, dkk, 2004,Integrasi Sains – Islam: Mempertemukan Epistemologi Islam
dan Sains, Yogyakarta: Pilar Religia.
Bakhtiar, Amsal ,2013, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Mustansyir, Rizal, dan Munir, Misnal, 2015,Filsafat Ilmu,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Russell, Bertrand, 2004, Sejarah
Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno
Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Muhadjir, Noeng, 2015,Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2015.
Karim, Abdul, Sejarah Perkembangan Ilmu pengetahuan, jurnal
Vol.2, No.1, Juni 2014.
Zainuddin,2008, Paradigma Pendidikan Terpadu, Malang: UIN
Press.
Ramayulis dan Nizar, Syamsul
,2005, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal Tokoh Pendidikan Islam
di Dunia dan di Indonesia, Ciputat: Quantum Teaching.
Zainuddin,2003,Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Bayumedia
Publishing.
Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003,Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam: Syed M.Naquib al-Attas, Bandung: Mizan.
Barizi, Ahmad, Pendidikan
Integratif: Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan Islam, Malang:
UIN MALIKI Press.
Zainal Abidin Bagir, 2005, Integrasi
Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi Bandung: Mizan
Pervez Hoodbhoy,1996, Ikhtiar
Menegakkan Rasionalitas, ter. Sari Meutia Bandung: Mizan
[1]
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik,(
Jakarta: UIN Jakarta Press,2005) h.9
[2]
M.Amin Abdullah dkk, Integrasi Sains – Islam: Mempertemukan Epistemologi
Islam dan Sains, (Yogyakarta: Pilar Religia ,2004)h.33
[3]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013) h.
27
[5]
Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi
Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004), h.3-4
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung Remaja Rosda Karya, 1992) h.
4
[11]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013)
h.37-46
[12]
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2015 h.222
[13]
Abdul Karim, Sejarah Perkembangan Ilmu pengetahuan, jurnal Vol.2, No.1,
Juni 2014
[15] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam:
Syed M.Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan,2003) H.61
[16] , Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam:
Syed M.Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan,2003) H.15
[17] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam:
Syed M.Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan,2003) H.321
[19] Al-Faruqi dilahirkan di Yaifa (Palestina) pada tanggal 1 Januari
1921 dan meninggal dunia pada tanggal 24
Mei 1986. selama masa hidupnya al-Faruqi telah menulis banyak tulisan, baik di
majalah ilmu maupun popular, dan juga buku. Lebih dari dua puluh buku dalam
berbagai bahasa telah ditulisnya, dan tidak kurang dari seratus artikel telah
dipublikasikan. Seluruh tulisannya pada dasarnya adalah gagasan-gagasan cerah
dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu,yang dikemas dalam
bingkai besar islamisasi ilmu pengetahuan.
Lihat,
Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal
Tokoh Pendidikan Islam di Dunia dan di Indonesia,(Ciputat: Quantum
Teaching,2005)h.107 -210
27Sebagaimana
dikutip Adnin Armas, “Westernisasi dan Islamisasi Ilmu”, dalam Majalah Islamia.
Tahun 01. No. 6/Juli-September 2005, 15.
28Sebagaimana
dikutip Rosnani Hashim, “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer”.
dalam Majalah Islamia, Tahun 01. No. 6/Juli-September 2005, 35.
29Pervez
Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, ter. Sari Meutia (Bandung:
Mizan, 1996), 138.
[24] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam: Syed M.Naquib al-Attas, h.417-419
[25]
Menurut beberapa sejarahwan sains, periode antara 1170-1270 M adalah kulminasi
perdebatan mengenai hakikat dan pembagian ilmu-ilmu di Barat, yang dipicu oleh
terjemahan karya-karya cendikiawan Muslim, khususnya Al-Farabi. Formulasi yang
sangat ambisius dan terkenal mengenai hakikat dan ruang lingkup ilmu pada akhir
Abad Pertengahan adalah karya Robert Kilwardby berjudul De ortu scientiarium
yang terbit pada pertengahan abad ke-13. Dia membagi ilmu ke dalam ilmu manusia
dan ilmu Tuhan. Ilmu Tuhan adalah ilmu mengenai Perjanjian Lama dan Baru,
sedangkan semua ilmu kemanusiaan, baik spekulatif maupun praktis, adalah produk
filsafat. Ilmu modern dianggap berbeda
dari keduanya semenjak abad ke-17. Sejak saat itu, metode ilmiah dibatasi hanya
pada metode yang valid secara empiris dan terbukti melalui eksperimen. Lihat,
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam: Syed M.Naquib
al-Attas, (Bandung: Mizan,2003) H.532
[26]
Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik,(Jakarta:
UIN Jakarta Press,2005), h.20
[27] Ahmad
Barizi, Pendidikan Integratif: Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan Pendidikan
Islam, (Malang: UIN MALIKI Press,2011), h.20
[28]
Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif: Akar Tradisi dan Integrasi Keilmuan
Pendidikan Islam, (Malang: UIN MALIKI Press,2011), h.23
No comments:
Post a Comment