HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, ILMU, DAN
AGAMA DALAM ISLAM
(Prinsip - Prinsip Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, dan Agama dalam Islam)
Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu (Studi Integrasi Islam dan Sains)”
Dosen
Pengampu :
Dr. Ahmad Barizi, M.Ag
Pemakalah
:
LUCKY
ANDRIYANTOKO
(16771007)
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG

MARET 2017
HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT, ILMU, DAN AGAMA DALAM
ISLAM
(Prinsip - Prinsip Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, dan Agama dalam
Islam)
Oleh:
LUCKY
ANDRIYANTOKO (16771007)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A.
Dasar
Pemikiran
Manusia begitu ia
dilahirkan tidak tahu dan tidak mengenal dengan apa-apa yang ada disekitarnya,
bahkan dengan dirinya sendiri. Ketika manusia mulai mengenal dirinya, kemudian
mengenal alam sekitarnya, karena manusia adalah sesuatu yang berpikir, maka ketika
itu dia mulailah ia memikirkan dari mana asal sesuatu, bagaimana sesuatu, untuk
apa sesuatu, kemudian apa manfaatnya sesuatu itu. Sebenarnya pada ketika
manusia telah mulai tahu dari mana asalnya, bagaimana proses terjadinya, siapa
dia, untuk apa dia, pada ketika itu ia telah berfilsafat. Karena filsafat itu
pada intinya adalah berusaha mencari kebenaran tentang segala sesuatu, baik
yang ada maupun yang mungkin ada, dari mana asal sesuatu, bagiamana sesuatu itu
muncul dan untuk apa sesuatu itu ada, dari pemikiran seperti itu, maka
muncullah beraneka macam pandangan, pendapat dan pemikran serta tanggapan, yang
akhirnya menjadi suatu kesepakatan untuk diketahui secara bersama-sama dan
berlaku dilingkunganya. Kesepakatan tentang sesuatu itu dan berlaku untuk umum
serta menjadi kebiasaan pada komunitasnya secara turun temurun hal itulah yang
dinamakan tradisi, dari tradisi itulah berkembang menjadi suatu ilmu. Seperti
kalau mau menanam padi di sawah harus ada air, kemudian harus dipikirkan dari
mana mengambil air, bagaimana menyuplaikan air ke sawah, akhirnya memunculkan
ide untuk membuat kincir air atau membuat saluran air ke sawah (irigasi),
hal-hal yang seperti itulah yang akhirnya menjadi suatu ilmu.
Manakala
seandainya jika disepakati dengan suatu konsep bahwa filsafat adalah induk dari
segala ilmu pengetahuan,[1] maka oleh karena itu setiap metode, objek, dan
sistematika filsafat itu harus mempunyai arti fungsional bagi setiap
pengembangan ilmu pengetahuan yang lainnya. Dengan berdasarkan atas konsep yang
telah dikemukakan dan dipaparkan di atas, maka dengan jelas dapat dipahami
bahwa setiap ilmu pengetahuan yang lain yang bersifat terapan merupakan
pengembangan dari metode dan sistematika yang ada di dalam disiplin filsafat.
Berdasarkan dari
pengertian dan kedudukan filsafat yang telah dikemukakan dan dipaparkan di atas
haruslah disadari dan dipahami bahwa telah terjadi adanya hubungan yang sangat
signifikan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan yang
lainnya, demikian pula halnya terjadi adanya hubungan antara filsafat dengan
agama dan hubungan antara agama dengan ilmu pengetahuan, sehingga terjadi
hubungan yang saling terkait (tasalsul) satu sama lainnya. Maka oleh karena
itulah jika dikatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki
segala sesuatu yang ada (mawjud) dan yang mungkin ada (mumkin al-wujud) serta
sebagai suatu ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat pengetahuan manusia, justeru
karena itu, maka dapat dikatakan bahwa seluruh ilmu pengetahuan itu harus
mempunyai hubungan yang erat secara struktural dan fungsional dengan filsafat.
Sejalan dengan
perkembangan pemikiran manusia, dimana perbincangan dan pembahasan mengenai
ilmu pengetahuan mulai mencari titik perbedaan antara berbagai hal, termasuk
diantaranya mencari persekutuan-persekutuan di dalam penyelidikan keperbedaan
tersebut. Lantas kemudian orang mulai dapat membedakan antara filsafat dengan
ilmu pengetahuan, demikian pula halnya dapat membedakan antara filsafat dengan
agama, dan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Penempatan kedudukan yang
berbeda, demikian pula perbedaan pengertian fungsional dari ketiga masalah yang
telah disebutkan di atas seringkali menimbulkan berbagai macam sikap yang
kurang atau bahkan tidak menguntungkan bagi manusia itu sendiri, karena terjadi
kesalahan pahaman tentang perbedaan itu. Bertitik tolak dari
persoalan-persoalan yang telah dikemukakan dan dipaparkan di atas tadi, maka
dalam makalah ini penulis ingin mencoba untuk membahas bagaimana hubungan
(nisbah) antara filsafat dengan agama, antara agama dengan ilmu pengetahuan dan
antara ilmu pengetahuan dengan filsafat.
B.
Pengertian Filsafat, Ilmu, dan Agama
Kata filsafat
untuk pertama kali diperkenalkan oleh salah seorang filosof Yunani yang sangat
terkenal, Pythagoras.[2] Dimana kata filsafat adalah kata yang berasal
dari bahasa Yunani (Grik), yang terdiri dari dua kata, yaitu kata philos yang
berarti cinta dan kata shopos yang berarti bijaksana. Maka oleh karena itu kata
filsafat kadang kala sering juga diartikan dengan cinta kebijaksanaan.[3] Filsafat juga bisa diartikan sebagai rasa ingin
tahu secara mendalam tentang asal muasal sesuatu, bagaimana sesuatu dan untuk
apa sesuatu.[4] Filsafat bisa juga diartikan dengan cinta
kebenaran, karena inti dari filsafat itu adalah berusaha untuk mencari
kebenaran dari sesuatu.
Menurut
Poedjawijatna, filsafat itu juga dapat dikatakan adalah suatu ilmu yang
berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan
pikiran belaka. Selanjutnya beliau mengkategorikan filasafat itu kedalam
golongan ilmu, maka oleh karena itu filsafat harus bersifat ilmiah, yaitu
menuntut kebenaran, memilki metode, bersistem dan harus berlaku umum.[5]
Filsafat itu objek
materinya memang sama dengan ilmu, akan tetapi filsafat tidak dapat dikatakan
ilmu, karena filsafat objek formanya adalah mencari sebab yang
sedalam-dalamnya, sementara objek forma ilmu adalah mencari sebab segala
sesuatu melalui pengalaman. Jadi jika ada objek di luar pengalaman itu, maka
tidak lagi termasuk kedalam objek ilmu. Ilmu pada hakikatnya adalah inign tahu
dengan segala sesuatu, tetapi tidak secara mendalam.
Filsafat adalah
ingin mengetahui dari mana sesuatu, bagaimana sesuatu dan untuk apa sesuatu,
sementara ilmu hanya ingin tahu bagaimana sesuatu itu. Lain halnya pula
denganagama yaitu berupaya menjelaskan mana yang benar dan mana yang tidak
benar tentang sesuatu itu. Kebenaraan sesuatu dalam agama adalah terletak
apakah ia diwahyukan atau tidak sesuatu itu. Yang diwahyukan itu harus
dipercayai dan harus dita‘ati, dengan demikian agama itu hakikatnya adalah
suatu kepercayaan.
Pengertian
filsafat itu juga dapat dibedakan dari dua segi, yaitu segi yang statis dan
dari segi yang dinamis. Dikatakan dinamis karena dimana pada akhirnya orang
harus mencari kebijaksanaan itu dengan beraneka macam cara dan metode yang
dimiliki dan kemampuan yang ada, dan dikatakan statis karena orang dapat
mencukupkan diri atau merasa cukup untuk sekedar mencintai kebijaksanaan
tersebut. Akan tetapi walaupun demikian, secara terinci dan secara khusus
filsafat itu dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk mencari kebenaran yang
sesungguhnya dari segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada atau mencari
hakikat segala sesuatu yang secara ringkas dapat dikatakan sebagai usaha
mencari kebenaran yang hakiki.
Di dalam khazanah
pemikiran keislaman dimana kata shopos itu disepadankan dengan kata himah,
sehingga filsafat bisa berarti kecintaan kepada hikmah atau di dalam kata kerja
ia bisa berarti cinta hikmah: mencintai himah.[6] Demikian juga halnya arti filsafat di dalam
khazanah pemikiran Islam juga dapat diartikan dengan ilmu yang menyeluruh atau
ilmu yang secara garis besar berbicara mengenai segala sesuatu yang wujud dan
yang mungkin wujud serta juga membicara tentang hukum kausalitas, sebab
akaibat, yang terjadi dari yang wujud itu sehingga mendatangkan keyakinan dan kepercayaan.
Maka oleh karena itu dengan secara ringkas juga dapat dikatakan bahwa filsafat
adalah pengetahuan universal yang membicarakan mengenai segala seuatu yang ada
dan wujud dari yang ada tersebut.[7]
Yang dimaksud dengan yang ada itu adalah sesuatu yang mempunyai zat, termasuk
Tuhan, karena Tuhan adalah zat yang wajib al-wujud di dalam Islam.
Selain itu perlu
juga dikemukakan batasan-batasan filsafat di dalam khazanah pemikiran manusia
pada umumnya. Salah seorang pemikir yang mana buku atau karyanya banyak beredar
dan dibawa oleh mahasiswa filsafat yang berasal Indonesia ke Indonesia sepeti
Louis misalnya, yang menyatakan bahwa filsafat adalah: suatu analisis yang
sangat hati-hati terhadap alasan-alasan yang diajukan mengenai sesuatu masalah
dan penyusunan secara sengaja serta sistematis dari suatu sudut pandang yang
menjadi dasar suatu tindakan.[8]
Menguraikan segala sesuatu dengan secara baik, benar dan mendalam serta lebih
waspada, sehingga menghilang anggapan yang ragu untuk sementara waktu.
Filsafat, dengan
demikian juga bisa diartikan dengan suatu pemikiran analisis, sistematis dan
rasional tentang segala sesuatu yang ada dan mungkin ada dimana pada akhirnya
menjadi dasar tindakan. Berdasarkan pengertian ini maka setiap tindakan manusia
yang dilakukan secara sadar pastilah memiliki suatu landasan pemikiran yang
berkualitas atau bernuansa kefilsafatan, khususnya mengenai yang berkaitan
dengan tindakan tersebut. Filsafat itu bisa juga dikategori masuk kedalam
golongan ilmu, karena filsafat juga menggunakan pikiran sebagaimana halnya
dengan ilmu, hanya saja filsafat berdasarkan pemikiran belaka, berbeda dengan
ilmu yang menggunakan pemikiran atas dasar pengalaman.
Filsafat di dalam
mencari kebenarannya juga harus bersifat ilmiah, yaitu sadar menuntut
kebenaran, memiliki metode, sistematis dan berlaku umum. Filsafat dan ilmu itu
objek materianya adalah sama, yaitu yang ada dan yang mungkin ada, akan tetapi
objek formanya berbeda, kalau ilmu objek formanya adalah mencari sebab yang
sedalam-dalamnya.[9]
Sementara itu objek forma filsafat adalah mencari keteranganketerangan tentang
sesuatu dengan secara rinci dan yang sedalamdalamnya, sampai ke akar-akarnya.[10]
Berdasarkan uraian
yang telah dipaparkan dan diuraikan di atas, di mana secara otonom dapat
disimpulkan bahwa filsafat adalah: suatu kegiatan atau aktifitas pikir manusia
yang bersifat dinamis dan mempergunakan seluruh kemampuan dan kekuatan yang ada
dengan tujuan adalah untuk memahami segala sesuatu yang ada dan yang mungkin
ada agar dengan itu diperoleh suatu inti pandangan tentang dunia dan hidupnya
sebagai dasar pijakan sikap dan tindakan. Kata ilmu adalah kata yang berasal
dari bahasa Arab yang di ambil dari akar kata ‘alima-ya‘limu-‘ilman/ilmun,
yang berarti pengetahuan Pemakaian kata ilmu itu di dalam bahasa Indonesia
dapat disejajarkan dengan istilah science. Science adalah kata yang berasal
dari bahasa Latin: Scio, cire, yang berarti pengetahuan.[11]
Tidak semua pengetahun
dapat dikatakan ilmu, sebab kalau semua pengetahuan dikatakan ilmu tentu banyak
yang bisa dikatakan ilmu, karena pengetahuan itu sifatnya baru dan sebatas
tahu, akan tetapi sebaliknya semua ilmu adalah pengetahuan, akan tetapi yang
dikatakan ilmu adalah pengetahuan yang di susun secara sistematis, memiliki
metode dan berdiri sendiri, tidak memihak kepada sesuatu.
Dikalangan
masyarakat umum Indonesia, dipahami bahwa ilmu itu adalah pengetahuan tentang
segala sesuatu yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang
dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan itu,
dan yang lebih awam lagi mengartikan ilmu itu dengan pengetahuan dan kepandaian
tentang sesuatu persoalan, baik itu persoalan sosial kemasyarakatan maupun
persoalan ekonomi, persoalan agama dan lain-lain sebagainya, seperti soal
pergaulan, soal pertukangan, soal duniawi, soal akhirat, soal lahir, soal
batin, soal dagang, soal adat istiadat, soal pertanian, soal gali sumur dan
lain-lain sebagainya.[12]
Ilmu itu juga
dapat dikatakan dengan sekumpulan pengetahuan yang diperoleh dari
pengalaman-pengalaman yang dilalui atau yang diterima, baik itu pengetahuan
lewat pengalaman mimpi, lewat pengalaman perjalanan, lewat pengalaman spritual,
lewat pengalaman bekerja dan lain-lain sebagainya, kemudian pengetahuan itu disusun
secara sistematis, dengan memiliki metode, kemudian harus bersifat atau berlaku
untuk umum dan tidak boleh memihak kepada sesuatu serta berdiri sendiri atau
otonom. Berkaitan dengan masalah ilmu pengetahuan George Thomas White Patrick
pernah mengatakan bahwa science is the complete and consistent
discreptions of the facts of experience in the simples possible term (Ilmu
adalah sesuatu yang bersifat menyeluruh dan mencakup semua diskripsi/penjelasan
fakta-fakta yang diambil atau diterima dari suatu pengalaman dalam pengertian
yang sangat simpel/sederhana).[13]
Sementara itu
Ashley Montaque merumuskan ilmu pengetahuan itu adalah: Science is a systemazed
knowledge derived from observation, study and experimentation carried on order
to determine the nature or principles of the what being studied (Ilmu adalah
suatu susunan pengetahuan yang diperoleh dari observasi atau pengamatan, studi
dan percobaan yang membawa kepada untuk menentukan sifat-sifat dari
prinsip-prinsip atau dasar-dasar dari apa yang sedang dipelajari).[14]
Pengetahuan yang
benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan hal yang diketaui itu, sesuai
dengan objeknya dan sesuai pula dengan kenyataannya. Sementara itu kebanaran
dalam hal tahu adalah persesuaian antara tahu atau yang diketahui dengan
objeknya. Maka ditemukan ada yang mengatakan bahwa kebenaran itu adalah suatu
objektifitas ( bersikap jujur dan mengemukakan apa adanya). Tahu itu mempunyai
objek, objek tahu itu adalah segala sesuatu yang hendak diketahui oleh
seseorang, baik sesuatu itu ada atau yang mungkin ada. Kalau sesuatu yang tidak
mungkin ada, maka tidak akan menarik untuk mengetahuinya dan akan mengalami
kesulitan, bahkan tidak mungkin untuk mencapainya.[15]
Filsafat dan
keseluruhan ilmu itu bertemu pada satu titik, titik itu adalah semua yang ada
dan yang mungkin ada, yang disebut dengan objek materia, akan tetapi ilmu dan
filsafat tetap berbeda, tidak sama, karena berbeda pada objek formanya. Objek
forma ilmu itu adalah mencari sebab yang sedalam-dalamnya, sedangkan objek
forma filsafat adalah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya. Sementara itu
agama dikategorikan masuk ke dalam bagian dari filsafat, karena agama itu
termasuk kedalam golongan yang ada.[16] Agama itu tidak perlu mengetahui sebab yang
sedalam-dalamnya, akan tetapi yang perlu adalah mencari keterangan yang
sedalam-dalamnya, karena keterangan itulah yang bisa membuat orang jadi tahu,
dari tahu itu pulalah orang akan mau mengerjakan apa yang diperintah oleh agama
dan meninggalkan apa yang dilarang oleh agama, yang disebut dengan taat.
Ilmu ada yang
memiliki objek forma dan ada yang tidak memiliki objek forma. Ilmu yang
memiliki objek forma adalah berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya, ia
tidak akan berhenti pada suatu batas saja. Akan tetapi terus berusaha
semaksimal mungkin dengan kemampuan yang ada untuk menyelami hal yang
sesungguhnya sampai habis-habisan dengan cara atau metode apapun, kemampuan
apapun yang ada padanya, dikarenakan kecenderungan ingin tahu itu.[17]
Berdasarkan dari
beberapa pengertian ilmu pengetahuan yang telah dikemukakan di atas, suatu
pertanyaan agaknya perlu diajukan, yaitu apa isi ilmu (science) itu ? Ilmu
pengetahuan (science) itu mengandung tiga kategori isi, yaitu hipotesa, teori,
dan dalil hukum.[18] Hipotesa terhadap sesuatu itu bisa benar dan
bisa salah, karena sifatnya sementara, belum permanen. Untuk menentu benar atau
salahnya sesuatu adalah melalui teori-teori yang dinagunkan untuk itu, serta
hal itu harus berdasarkan dalil-dalil atau kaidah-kaidah hukum yang berlaku.
Ilmu pengetahuan
itu harus bersifat sistematis yang disusun secara teratur dan berdasarkan
metodologi yang berlaku dan ia juga harus senantiasa berusaha untuk mencapai
yang generalisasi. Di dalam kajian ilmiah, kalau seandainya ada data yang baru
terkumpul sedikit atau belum cukup. Maka ilmuan itu membina hipotesa. Hipotesa
adalah dugaan pemikiran berdasarkan sejumlah data. Hipotesa adalah sesuatu usaha
untuk memberikan arah kepada penelitian dalam menghimpun data.[19]
Ilmu pengetahuan
itu harus memiliki instrumen, paling tidak ada lima instrumen ilmu pengetahuan
yang mungkin dapat digunakan, yaitu: pertama, pengalaman yang
memfungsikan inderawinya sebagai instrumen utama untuk mendapatkan gambaran
atau arti dari sesuatu itu, (pengetahuan perseptual indriyawi), dengan kata
lain pengalaman adalah sensoris yang menentukan kebenaran tentang sesuatu,
pengalaman itu ada yang bersifat objektif, yaitu pengalaman terhadap alam di
luar diri yang berada atau terjadi secara mandiri dan di luar diri dan ada
pengalaman yang bersifat subjektif, yaitu pengalaman milik pribadi, berada di
dalam diri seperti rasa takut, rasa bahagia, rasa enak atau rasa malu dan
lain-lain sebagainya. Pengalaman hanya melalui pengamatan semata-mata,
kebenaran yang dicari itu akan mengalami distorsi (penyimpangan), konsep dan
konstruk akan terungkap dalam rumusan yang berbeda. Kedua, berpikir
(rasio) atau menalar dimana akal atau intelek berfungsi dalam upaya mencapai
kebenaran. Berpikir itu tidak bisa terlepas dari realitas, juga tidak bisa
terlepas dari potensi-potensi yang ada di dalam diri manusia. Berpikir adalah
suatu sistem dan proses kognitif yang kompleks, justeru kekompleksaannya inilah
yang merangsang para pakar untuk terus menelitinya. Ketiga, intuisi
adalah sebagai kejadian eksperensial dan di dalam kalangan ahli psikologi
menggambarkan intuisi itu sebagai kejadian prilaku, yang juga bisa sampai
kepada kebenaran. Keempat, fatwa yaitu pernyataan atau pendapat dari
kalangan para ahli atau pakar (di dalam Islam disebut dengan alim
jamaknya ulama‘) yang ahli atau pakar di bidangnya masing-masing. Kelima,
wahyu yang merupakan sumber ilmu pengetahuan yang memiliki sifat kebenaran yang
mutlak (absolut), akan tetapi keterungkapan kebenarannya itu sangat tergantung
kepada bagaimana manusia itu menganalisis dan menafsirkan makna dan maksud dari
wahyu itu.
Sebagai kesimpulan
dengan rumusan lain bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil dari usaha manusia
dengan kekuatan akal budinya yang berupaya untuk memahami kenyataan, struktur,
pembagian bagianbagian dan hukum-hukum yang berlaku di dalam alam semesta ini,
dan juga untuk memahami apa yang dimaksud dengan menggunakan metode tertentu
yang sistematis.
Barangkali tidak
ada yang paling sulit dan yang paling susah diberi pengertian atau definisi dan
mencari arti selain dari pada kata agama. Karena hal itu cukup beralasan,
paling tidak ada tiga alasan untuk masalah itu, yaitu: pertama, karena
pengalaman agama itu adalah masalah bathini yang berhubungan dengan spritual
dan yang bersifat subjektif, disamping itu juga sangat individualistik. Kedua,
barang kali tidak ada orang yang berbicara begitu bersemangat dan emosional
dari pada membicarakan agama, maka oleh karena itu apabila membahas arti agama
pasti ada emosi yang sangat kuat sekali sehingga sulit untuk memberikan arti
kalimat agama itu. Ketiga, bahwa konsepsi tentang agama akan sangat
dipengaruhi oleh tujuan dari orang yang memberikan pengertian agama itu
sendiri.[20] Di dalam membahas masalah pengertian agama
agaknya ketika membicarakan tentang agama akan berhadapan dengan apa yang
disebut Problem of Ultimate Concern: adalah suatu masalah atau problem
yang menyangkut dengan kepentingan mutlak yang berarti jika seandainya
seseorang membicarakan soal agamanya, maka orang tersebut tentu akan involved
(berbelit-belit) dalam sikap subjektifitas dan sulit mempunyai sikap yang
objektif.[21]
Ada tiga istilah
yang hampir sama di dalam masalah agama ini, yaitu religion adalah kata
yang berasal dari Bahasa Inggris, din kata yang berasal dari Bahasa Arab
dan agama kata yang berasal dari Bahasa Sanskerta, yang mana ketiga istilah
tersebut masing-masing mempunyai riwayat dan sejarah sendiri-sendiri, akan
tetapi di dalam arti teknis terminologi ketiga istilah tersebut mempunyai inti
makna yang sama, yaitu sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan
peribadatan kepada Tuhan yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia lingkungannya.[22]
Akan tetapi betapa
mustahilnya memberikan sebuah definisi yang paling sempurna dan lengkap,
tentang religi, din dan agama, maka di dalam makalah ini penulis
akan mencoba untuk merumuskan sebuah definisi tentang hal tersebut. Agama, religi
dan din pada umumnya dipahami oleh masyarakat adalah salah satu sistem
kredo (kepercayaan/paham) atas adanya yang mutlak, yang mempunyai kekuasaan
melebihi segala-galanya di luar diri manusia atau suatu sistem ritus manusia
kepada sesuatu yang dianggapnya yang mutlak yang memiliki kekuasaan luar biasa
itu, serta suatu sistem normanorma (tata kaidah) yang mengatur tata hubungan
antara manusia dengan sang pencipta (di dalam Islam: Allah Swt, ‘Azza wa
Jalla), hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan
alam lain disekitar/lingkungannya, sesuai dan sejalan dengan tata cara kaidah
keimanan dan peribadatan.
C.
Relasi Filsafat, Agama, dan Ilmu
Filsafat itu kuncinya pada upaya
menemukan kebijakan hidup. Orang yang tahu filsafat, sekaligus menguasai agama,
dan ilmu, seharusnya hidupnya semakin lengkap. Fokus filsafat juga berusaha
menemukan kebenaran, jika dikaitkan dengan agama, tentu pencarian kebenaran
seharusnya ke arah kebenaran transcendental. Kebenaran yang bersifat
abstrak ini, akan diraih melalui penguasaan ilmu yang mantap. [23]
Filsafat dan ilmu akan membangun
pemikiran orang beragama. Beragama yang sekadar ikut-ikutan, tentu kurang
tepat. Beragama yang dilandasi ilmu, akan mempermudah manusia mencapai
kebenaran. Jalan untuk mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran dapat
ditempuh dengan jalan yaitu: ilmu, filsafat dan agama sulit diragukan lagi.
Ketiga jalan ini mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung
yang satu terhadap yang lainnya. Sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah
seorang kawan kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana, “bagaimana caranya
agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar? “, “mudah saja”, jawab filusuf itu,
“ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu”
(Suriasumantri, 2005:19).[24]
Tahu dan tidak tahu itu wilayah keilmuan. Wilayah agama sering berkaitan dengan
proses tahu dan tidak tahu yang sifatnya sulit dibantah. Orang yang membantah
agama, dianggap lemah agamanya. Debat keagamaan dan ilmu, sering berakhir
dengan jalan buntu, karena landasannya berbeda.
Dari ilustrasi ini dapat digambarkan
bahwa pengetahuan di mulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses
dari usaha manusia. Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan
kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki
berbagai pengetahuan dan kebenaran. Adapun sebagaimana dikatakan Salam (1995:5)
beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia, yaitu: (1) Pengetahuan biasa atau common sense, (2) Pengetahuan ilmu atau science, (3) pengetahuan filsafat, (4)
Pengetahuan religi. Keragaman pengetahuan ini, sering berbenturan dengan agama.
Tiap orang yang menguasai pengetahuan, sering kali melemahkan agamanya. Orang
yang agamanya taat, bisa jadi juga sulit menerima kebenaran ilmu. Orang sering
sulit menerima kebenaran ilmu, yang dipertaruhkan dengan agama. [25]
Sedang ilmu pengetahuan sendiri
mempunyai pengertian sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam
satu sistematika mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan
hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga
agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu
pengindraannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental (Anshari, 1979: 157). Filsafat sebagai hasil
daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami
secara radikal dan integral hakikat sarwa yang ada: (a) Hakikat Tuhan; (b)
Hakikat alam semesta; (c) Hakikat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai
konsekuensi daripada pemahamannya tersebut. Filsafat memang lengkap, menyeluruh
ke segala segmen kehidupan.
Hal yang menyebabkan manusia
berfilsafat karena dirangsang oleh ketakjuban, ketidak puasan, hasrat bertanya,
dan keraguan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami manusia
dalam kehidupannya. Untuk itulah dalam berpikir filsafat perlu dipahami
karakteristik yang menyertainya. Pertama,
adalah sifat menyeluruh artinya seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu
hanya dari segi pandang ilmu sendiri, tetapi melihat hakikat ilmu dalam
konstalasi pengetahuan yang lainnya. Kedua,
sifat mendasar artinya bahwa seorang yang berpikir filsafat tidak sekadar
melihat ke atas, tetapi juga mampu membongkar tempat berpijak secara
fundamental. Ketiga, sifat spekulatif
yaitu bahwa untuk dapat mengambil suatu kebenaran kita perlu spekulasi.[26]
Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat
diandalkan yang merupakan titik awal dari perjelajahan pengetahuan.
Penjelajahan ilmu pengetahuan akan mengantarkan manusia pada pemahaman alam
semesta secara total. Pengetahuan sebenarnya juga mempertebal penguasaan agama
seseorang. Namun, jika penguasaan pengetahua manusia itu setengah-setengah,
sering merepotkan orang beragama. Akibatnya, agamanya lemah dan penguasaan
pengetahuannya kurang bermanfaat.
Ilmu pengetahuan dan agama selalu ada
perdebatan kritis yang tiada henti-hentinya. Agama pada umumnya merupakan kredo
(tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak diluar
manusia. Menurut Anshari (1979:158) agama berbeda dengan sains dan filsafat,
karena agama menekankan keterlibatan pribadi. Kemajuan spiritual manusia dapat
diukur dengan tingginya nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada obyek
yang ia sembah. Seseorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak
bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai sumber yang tertinggi bagi kepribadian
dan kebaikan. Agama tak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dari kehidupan
manusia, jika ia merupakan redaksi terhadap keseluruhan wujud manusia terhadap
loyalitasnya yang tertinggi.
Yang unik, menurut Titus (1987:414)
agama harus dapat dirasakan dan dipikirkan: ia harus diyakini, dan dijelaskan
dalam tindakan. Konsep agama harus dipikirkan, menghendaki pemahaman tentang
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan bagian filsafat ilmu yang menuntut
ke arah pencapaian kebenaran. Baik ilmu, filsafat ataupun agama bertujuan
sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Namun,
titik perbedaannya terletak pada sumbernya, ilmu dan filsafat berumur pada
akal, budi, rasio, (reason, nous, vede,
vertand, vernunft) manusia. Sedangkan
agama bersumberkan dari wahyu. Persoalan asal-usul kebenaran inilah yang
menyebabkan perseteruan antara ilmu dan agama.
Ada beberapa kemungkinan hubungan
antara agama dan iptek: (1) Berseberangan atau bertentangan, ketika manusia
sulit memaknai, (2) Bertentangan tapi dapat hidup berdampingan secara damai,
(3) Tidak bertentangan satu sama lain, (4) Saling mendukung satu sama lain,
agama mendasari pengembangan iptek atau iptek mendasari penghayatan agama. Pola
hubungan pertama adalah pola hubungan yang negatif, saling tolak menolak. Apa
yang dianggap benar oleh agama dianggap tidak benar oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi, demikian pula sebaliknya. Dalam pola hubungan seperti ini,
pengembangan iptek akan menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran agama dan
pendalaman agama dapat menjauhkan orang dari keyakinan akan kebenaran ilmu
pengetahuan. Orang yang ingin menekuni ajaran agama akan cenderung untuk
menjauhi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh manusia. Pola
hubungan pertama ini pernah terjadi di zaman Galileo-Galilei. Ketika Galileo
berpendapat bahwa bumi mengitari matahari sedangkan gereja berpendapat bahwa
mataharilah yang mengitari bumi, maka Galileo dipersalahkan dan dikalahkan. Ia
dihukum karena dianggap menyesatkan masyarakat. Pola hubungan kedua adalah
perkembangan dari pola hubungan pertama. Ketika kebenaran iptek yang
bertentangan dengan kebenaran agama makin tidak dapat disangkal sementara
keyakinan akan kebenaran agama masih kuat di hati, jalan satu-satunya adalah
menerima kebenaran keduanya dengan anggapan bahwa masing-masing mempunyai
wilayah kebenaran yang berbeda.[27]
Kebenaran agama dipisahkan sama sekali
dari kebenaran ilmu pengetahuan. Konflik antara agama dan ilmu, apabila terjadi
akan diselesaikan dengan menganggapnya berada pada wilayah yang berbeda. Dalam
pola hubungan seperti ini, pengembangan iptek tidak dikaitkan dengan
penghayatan dan pengalaman agama seseorang karena keduanya berada pada wilayah
yang berbeda. Baik secara individu maupun komunal, pengembangan yang satu tidak
mempengaruhi pengembangan yang lain. Pola hubungan seperti ini dapat terjadi
dalam masyarakat sekuler yang sudah terbiasa untuk memisahkan urusan agama dan
urusan negara/masyarakat. Pola ketiga adalah pola hubungan netral. Dalam pola
hubungan ini, kebenaran ajaran agama tidak bertentangan dengan kebenaran ilmu
pengetahuan tetapi juga tidak saling mempengaruhi. Kendati ajaran agama tidak
bertentangan dengan iptek, ajaran agama tidak dikaitkan dengan iptek sama
sekali. Dalam masyarakat di mana pola hubungan seperti ini terjadi, penghayatan
agama tidak mendorong orang untuk mengembangkan iptek dan pengembangan iptek
tidak mendorong orang untuk mendalami dan menghayati ajaran agama.
Di samping itu, ilmu pengetahuan
mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman
(empiris) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filsafat menghampiri
kebenaran dengan eksplorasi akal budi secara radikal (mengakar), tidak merasa
terikat oleh ikatan apapun. Kecuali, oleh ikatan tantangannya sendiri bernama
logika. Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan agama dan dengan jalan mempertanyakan
berbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci. Dasar kitab suci adalah
keyakinan. Memang ada yang menemukan kebenaran dengan kontemplasi, keheningan,
dan laku batin. Kebenaran yang didasari laku spiritual ini jelas dekat dengan
agama.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah
kebenaran positif, berlaku sampai dengan saat ini. Kebenaran filsafat adalah
kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiri, riset
dan eksperimental). Baik kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-duanya
nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat mutlak (absolut) karena
agama adalah wahyu yang diturunkan Allah. Baik ilmu maupun filsafat dimulai
dengan sikap sanksi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan sikap
percaya atau iman. Kebenaran ilmu boleh ditawar, sedangkan agama sudah solid,
hanya boleh diyakini. Orang yang menolak kebenaran agama dianggap menyimpang.
Variasi dalam agama dianggap keliru. Adapun kebenaran ilmu dan filsafat
dilandasi dengan pemikiran dan boleh saja berbeda atau bervariasi. Jika
demikian, agama dan pemikiran, senantiasa kompromi, tetapi juga sering tidak
pernah bertemu.
D.
Penutup
Sebagai penutup
dari makalah yang sangat sederhana ini, penulis akan mencoba untuk sarikan
beberapa poin penting yang berkaitan dengan hubungan antara filsafat, ilmu
pengetahuan dan agama, yaitu sebagai berikut :
1. Antara filsafat, ilmu
pengetahuan dan agama terdapat titik persamaannya, yaitu mencari kebenaran.
2. Antara filsafat, ilmu
pengetahuan dan agama disamping terdapat persamaan, akan tetapi juga ada
perbedaannya, yaitu dari aspek sumber, metode dan hasil yang ingin dicapai.
3. Antara filsafat, ilmu
pengetahuan dan agama mempunyai titik singgung atau relasi, yaitu saling
isi-mengisi di dalam menjawab persoalan-persoalan yang diajukan oleh manusia.
Disamping itu ketiganya merupakan satu kesatuan bangunan paramida di dalam
mencarikan dan menemukan kebenaran.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. Mukti, Agama, Universitas dan
Pembangunan, (Bandung: Tp, 1971).
Bakar, Osman, Hirarki Ilmu, (Bandung: Mizan,
1997). Departemen Pendidikan Nasional,
Endraswara,
Suwardi, Filsafat Ilmu (Edisi Revisi), (Yogyakarta, CAPS, 2015),
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, ( Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), hlm. 39.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ( Jakarta:
Balai Pustaka, 2001).
Gazalba, Sidi, Sistematika filsafat, ( Jakarta:
Bulan Bintang, 1992),
Madkour, Ibrahim, Aliran dan Teori Filsafat
Islam, terj., (Yogyakarta: Bumi Aksara, 1990).
Montaque, Ashley, The Cultured Man, (New York:
Tp, 1959).
Mulkan, Abdul Munir, Paradigma Intelektual
Muslim, (Yogyakarta: Sipress, 1993),
Natsir, M., Islam dan Kristen di Indonesia,
disusun dan dihimpun oleh: Endang Saifuddin Anshari, (Bandung: Tp, 1969),
Patrick, George Thomas White, Introduction to Philosophy,
(London: Tp, 1968),
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat,
( Jakarta: Pembangunan, 1980).
[2] Mulkan,
Paradigma Intelektual Muslim, hlm. 22.
[5] Poedjawijatna,
Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Hlm : 10
[6] Osman
Bakar, Hirarki Ilmu, (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 102
[7] Mulkan,
Paradigma Intelektual Muslim, hlm. 25
[9] Poedjawijatna,
Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 10
[11] Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 39.
[12] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ( Jakarta :
Balai Pustaka, 2001), hlm. 423
[14] Ashley
Montaque, The Cultured Man, (New York : Tp, 1959), hlm. 289.
[15] Poedjawijatna,
Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 2.
[16] Poedjawijatna,
Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 8-9.
[17] Poedjawijatna,
Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, hlm. 7
[18] Gazalba,
Sistematika Filsafat, hlm. 40
[20] A.
Mukti Ali, Agama, Universitas dan Pembangunan, (Bandung: t.p., 1971), hlm. 4.
Anshari, (Bandung: t.p., 1969), hlm. 227
[22] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hlm. 12.
No comments:
Post a Comment