DIMENSI
EPISTEMOLOGI TRADISI PEMIKIRAN ISLAM
“EPISTEMOLOGI
BAYANI”
Revisi Makalah
Diajukan
untuk memenuhi tugas
Ulangan akhir
semester (UAS)
“Filsafat
Ilmu”
Dosen
Pengampu:
Ahmad
Barizi, Dr. H. M.Ag.
Disusun
Oleh :
Luluk
Susanti
(16771021)
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA
MALIK IBRAHIM
MALANG
2017
DIMENSI
EPISTEMOLOGI TRADISI PEMIKIRAN ISLAM
“EPISTEMOLOGI
BAYANI”
Oleh:
LULUK
SUSANTI (16771021)
Mahasiswa
Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A.
Pendahuluan
Filsafat merupakan
sebuah disiplin ilmu yang terkait dengan perihal kebijaksanaan. Kebijaksanaan
nerupakan titik ideal dalam kehidupan manusia, ia ia dapat menjadikan manusia
untuk bersikap dan bertindak atas dasar pertimbangan kemanusiaan yang tinggi,
bukan asal bertindak sebagaimana yang biasa dilakukan manusia. Kebijaksanaan
tidaklah dapat dicapai dengan jalan biasa, ia memerlukan langkah-langkah
tertentu.[1]
Proses helenisme (pertemuan antara budaya Yunani-Roma
dengan Arab-Islam, menurut Watt),[2] terjadi dalam dua
gelombang. Pertama, pertemuan dalam bentuk pemikiran, yakni pemikiran
filsafat Yunani masuk dan berpengaruh pada pemikiran Arab-Islam yang dimulai
lewat proses penterjemahan-penterjemahan yang terjadi selama dua abad antara
tahun 750-950 M. Kedua, pertemuan dalam bentuk kontak senjata, yakni
dalam perang Salib yang disusul oleh serbuan tentara Hulagu Khan ke Baghdad
yang menutup sejarah panjang Dinasti Bani Abbas, terjadi antara tahun 1095-1258
M.
Dalam helenisme gelombang pertama, banyak sesuatu yang
baru yang diperoleh dan mengubah pemikiran pemikiran Arab-Islam. Akan tetapi,
hal itu bukan berarti bahwa pemikiran Rasional Arab-Islam bersumber pada
filsafat Yunani. Menurut beberapa penulis, seperti Oliver Leaman, Louis Gardet,
Qadir, dan Al-Jabiri,[3] pemikiran Rasional
Arab-Islam (filsafat) tidak bersumber atau diimport dari filsafat Yunani
tetapi benar-benar berdasar pada ajaran-ajaran pokok Islam sendiri yaitu
al-Qur’an dan al-Sunnah. Meski demikian, diakui bahwa rasionalosme tersebut
kemudian menjadi lebih berkembang pesat setelah bertemu dengan logika-logika
Yunani lewat penterjemahan-penterjemahan yang dilakukan.
Menurut Al-Jabiri,[4] ada tiga perbedaan
mendasar antara pola piker Arab-Islam dengan pola piker Yunani. Dalam tradisi
Arab, apa yang dimaksud (aql) adalah lebih merupakan tindakan atau
penjelasan bagaimana seseorang harus berbuat, yang dalam epistimologi Islam
disebut “bayani”. Kamus istilah Arab sendiri mengartikan “akal” sebagai
“suluk” dan “akhlak”, yakni jalan dan perilaku. Sementara itu, dalam tradisi
Yunani, akal lebih merupakan pemikiran yang berkaitan dengan upaya mencari
sebab dari sesuatu yang dalam epistemology Islam dikenal sebagai “burhani”.[5]
Perbedaan pola piker diatas disebabkan adanya
perbedaan pijakan yang digunakan. Dalam pola pikir Arab-Islam, pijakan utama
adalah kata dan bahasa, sementara pikir Yunani berpijak pada makna dan logika. Dalam perdebatan yang terkenal antara Abu
Sa’id al-Syirafi (893-979 M) yang ahli bahasa dan penganut metode bayani Arab
dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M) yang ahli logika Yunani dan penganut
burhani,[6]
terlihat jelas perbedaan tersebut. Menurut al-Syirafi, kata atau bahasa muncul
lebih dahulu dari pada makna, setidaknya secara bersamaan,[7]
dan setiap kata atau bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya masyarakat
masing-masing. Sebaliknya, menurut Abu Bisyr Matta, prinsip-prinsip logika ada
lebih dahulu dala pikiran kemudia keluar dan menyatu dalam bahasa, karena itu
sistem logika berlaku umum terhadap seluruh bahasa yang ada, tidak hanya bahasa
tertentu.[8]
Lebih jelas tentang perbedaan kedua
faham diatas bisa digambarkan dalam konsepsi berikut. Dalam bayani Arab-Islam,
prinsip kerja intelektual dimulai dari (1) kata-kata atau penyebutan yang
merupakan lambang sesuatu, (2) adanya makna yang menjelaskan maksud kata dan
lambang-lambang penyebutan, (3) adanya benda-benda alam yang diberi nama atau
sesuatu yang harus dilakukan berdasarkan kata dan lambang yang disebutkan.
Jelasnya, dalam prinsip pemikiran Arab-Islam benda-benda atau perilaku
merupakan objek dan perwujudan dari makna yang ada dalam pikiran, dan makna
dalam pikiran tidak lain adalah perwujudan atau penjelasan dari kata-kata atau
kalimat yang diucapkan. Sebaliknya, burhani Yunani didasarkan pada benda-benda
eksternal yang ditangkap oleh indera. Prinsip kerjanya adalah (1) adanya
benda-benda alam yang diindera, (2) terjadinya gambaran atau persepsi dalam
pikiran, (3) pengungkapan atas gambaran yang ada dalam pikiran tersebut lewat
bahasa atau kata.[9]
Dengan begitu, dalam burhani, kata atau bahasa pada hakikatnya tidak adalah
copian dari susunan makna yang ada dalam pikiran, dan susunan makna yang ada
dalam pikiran tidak lain adalah copian dari benda-benda yang ada dalam alam
semesta.
Dengan adanya perbedaan yang tajam
antara pola pikir Yunani dengan Arab Islam seperti diatas, maka bisa dipastikan
bahwa masuknya pemikiran yunani kedalam alam pikir Arab-Islam menimbulkan
reaksi yang cukup keras. Masuknya sistem berfikir logis atau burhani : tasawuf
dan tashdiq,[10]
menjadi persoalan tersendiri bagi para sarjana muslim periode awal masih
dihadapkan pada persoalan kata dan makna secara anomali.
Dalam khazanah
filsafat islam, dikenal ada tiga buah metodologi pemikiran yaitu bayani,
irfani dan burhani. Bayani adalah sebuah model metodolgi berfikir
yang didasarkan atas teks. Teks sucilah yang mempunyai otoritas penuh untuk
memberikan arah dan arti kebenaran, sedang rasio hanya berfungsi sebagai
pengawal bagi teramankannya teks tersebut. Irfani adalah adalah model metodologi
berfikir yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung (direct
experience) atas realitas spiritual keagamaan. Karena itu, berbeda dengan
sasarn bidik bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik irfani adalah aspek
esoteric atau bagian batin teks, dan karena itu, rasio digunakan untuk
menjelaskan pengalaman-pengalaman spiritual tersebut. Burhani adalah model
metodologi berfikir yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman,
melainkan atas keruntutan logika. Pada tahap tertentu, keberadaan teks suci dan
pengalaman spiritual bahkan hanya diterima jika sesuai dengan aturan logis.
Ketiga model
epistimologi dalam filsafat islam, dalam sejarahnya telah menunjukkan
keberhasilannya masing-masing. Nalar bayani telah membesarkan disiplin fiqh
(hukum) dan teologi, irfani telah menghasilkan teori-teori besar dalam sufisme
disamping kelebihannya untuk dapat memahami orang lain, dan burhani telah
menyampaikan filsafat islam dalam puncak pencapaian.
Bayani adalah
metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali
lewat inferensi (istidlal). Secara langsung artinya memahami teks sebagai
pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara
tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu
tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio
bias bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada
teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali
disandarkan pada teks.[11]
B.
Perkembangan
Epistimologi Bayani
Epistimologi
berasal dari bahasa yunani, yang terdiri dari dua kata yaitu episteme dan
logos. Episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang berarti pikiran, teori
atau ilmu. Jadi, epistemology berarti pikiran atau teori tentang pengetahuan
atau ilmu pengetahuan. Istilah lain juga biasa digunakan yaitu teori
pengetahuan atau filsafat pengetahuan.[12]
Kajian filsafat
untuk menjawab hubungan, sebab akibat, bagaimana, dan mengapa sesuatu itu bisa
terjadi. Bagaimana cara menyusun pengetahuan yang benar. Aspek epistimologi
adalah kebenaran fakta atau kebenaran dari sudut pandang mengapa dan bagaimana
fakta itu benar yang dapat diverifikasi atau dibuktikan kembali kebenarannya.
Basis atau landasan bagi estimologi ilmu adalah “metode ilmiah” dengan
hasil kajian berupa teori, prinsip, hokum ilmu pengetahuan.[13]
Epistimologi juga
disebut teori pengetahuan atau kajian tentang justifikasi kebenaran
pengetahuan. Epistimologi pengetahuan berisi teori, struktur ilmu dan metode
ilmu.
Kajian pokok
epistemology adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan: bidang,
batas jangkauan pengetahuan.[14] Dengan kata lain,
kajian tentang epistemology sangat erat kaitannya dengan bagaimana cara
memperoleh ilmu pengetahuan, mengolah, menganalisis, dan membentuk suatu teori,
postulat, dan paradigm tertentu.[15]
Dari kata-kata
bahasa Arab, bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-jabiri,
berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus lisanul arab , suatu
kamus karya Ibnu Mandzur dan dianggap sebagai karya pertama yang belum
tercemari pengertian lain, tentang kata kata ini memberikan arti sebagai al-fashl
wa infishal (memisahkan dan terpisah) dan
ad-dhuhur wa al-idzhar (jelas dan penjelasan). Makna al-fashl
wa al-idzhar dalam kaitannya dengan metodologi, sedangkan infishal wa
dzuhur berkaitan dengan visi (ru’y) dari metode bayani.
Sementara, secara
terminology, bayan mempunyai dua arti: (1) sebagai aturan-aturan penafsiran
wacana (qawanin tafsir al-khithabi), (2) syarat-syarat memproduksi
wacana (syurut intaj al-khithab)/ berbeda dengan makna etimologi yang
telah ada sejak peradaban islam, makna-makna terminologis ini baru lahir
belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin). Antara lain ditandai
dengan lahirnya al-asybah wa al-nazhair fi al-Qur’an al-Karim karya
Muqatil ibn Sulaiman (w. 767 M) dan Ma’ani al-Qur’an Ibn Ziyad al-Fara’
(w. 823 M) yang keduanya sama-sama berusaha menjelaskan makna atas kata-kata
dan ibarat-ibarat yang ada dalam al-Qur’an.
Pengertian tentang
bayani tersebut kemudian berkembang
sejalan dengan dengan perkembangan
pemikiran islam. Begitu pula aturan-aturan metode yang ada didalamnya. Pada
masa Syafi’I (767-820 M) yang dianggap sebagai peletak dasar yurisprudensi
Islam, bayani berarti nama yang mencakup makna-makna yang mengandung persoalan
pokok (ushul) dan yang berkembang hingga ke cabang (furu’).
Sedang dari metodologi, Imam Syafi’I membagi bayan ini dalam lima bagian
dan tingkatan:
1.
Bayan yang
tidak butuh penjelasan, berkenaan dengan sesuatu yang telah dijelaskan Tuhan
dalam al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhluk-Nya.
2.
Bayan yang
beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
3.
Bayan yang
keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah,
4.
Bayan
sunnah, sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dala al-Qur’an.
5.
Bayan
Ijtihad, yang dilakukan dengan qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam
al-Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut Imam Syafi’I kemudian
mengatakan bahwa yang pokok (ushul) ada tiga yakni al-Qur’an, Sunnah dan
qiyas, kemudian ditambah ijma’.
Al-Jahizh (w. 868
M) yang datang berikutnya mengkritik konsep bayan Imam syafi’I diatas.
Menurutnya, apa yang dilakukan Syafi’I baru pada tahap bagaimana memahami teks,
belum pada tahap bagaimana memberikan pemahaman pemahaman pada pendengar atas
pemahaman yang diperoleh. Padahal, menurutnya inilah yang terpenting dari
proses bayani. Karena itu, sesuai dengan asumsinya bahwa bayan adalah
syarat-syarat untuk memproduksi wacana (syurut intaj al-khitab) dan
bukan sekedar aturan-aturan penasiran wacana (qawanin tafsir al-khithabi),
Jahiz menetapkan syarat-syarat bagi bayani:
1.
Syarat
kefashihan ucapan.
2.
Seleksi
huruf dan lafadz, sehingga apa yang disampaikan bias menjadi tepat guna.
3.
Adanya
keterbukaan makna, yakni bahwa makna harus bias diungkap dengan salah satu dari
lima penjelas, yakni lafadz, isyarat, tulisan, keyakinan dan nisbah.
4.
Adanya
kesesuaian antara kata dan makna.
5.
Adanya
kekuatan kalimat untuk memaksa lawan mengakui kebenaran yang disampaikan dan
mengakui kelemahan serta kesalahan konsepnya sendiri.[16]
Sampai disini,
bayani telah berkembang jauh. Ia tidak lagi sebagai sekedar penjelas atas
kata-kata sulit dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode bagaimana memahami sebuah teks (nash),
membuat kesimpulan dan keputusan atasnya, kemudian memberikan uraian secara
sistematis atas pemahaman tersebut kepada pendengar, bahkan telah ditarik
sebagai alat untuk memenangkan
perdebatan. Namun, apa yang ditetapkan al-Jahizh dalam rangka memberikan uraian
pada pendengar tersebut, pada masa berikutnya, dianggap kurang tepat dan
sistematis. Menurut Ibn Wahab, bayani bukan diarahkan untuk mendidik pendengar
tetapi sebuah metode untuk membangun konsep diatas dasar ashul-furu’ caranya
dengan menggunakan paduan pola yang dipakai ulama fiqh dan kalam (teologi).[17]
Paduan antara
metode fiqh yang eksplanatoris dan teologi yang dialektik dalam rangka
membangun epistemology bayani baru ini sangat penting, akrena menurutnya apa
yang perlu penjelasan (bayan) tidak hanya teks suci tetapi mecakup empat
hal: (1) Wajud materi yang mengandung aksiden dan substansi, (2) Rahasia hati
yang memberi keputusan bahwa sesuatu itu benar-salah dan subhat, saat terjadi
proses perenungan, (3) Teks suci dan ucapan yang mengandung banyak dimensi
teks-teks yang mengandung banyak dimensi, (4) Teks-teks yang merupakan
representasi pemikiran dan konsep. Dari empat macam objek ini, Ibn Wahab menawarkan
empat macam bayani, (1) bayan al-I’tibar untuk menjelaskan sesuatu yang
berkaitan materi, (2) bayan al-I’tiqad berkaitan dengan hati (qalb),
(3) bayan al-ibarah berkaitan dengan teks dan bahasa arab, (4) bayan
al-kitab berkaitan dengan konsep-konsep tertulis. [18]
Pada periode
terakhir muncul al-Syatibi (w.1388 M). sampai sejauh ini, menurutnya bayani
belum bisa mmeberikan pengetahuan yang pasti (Qath’i) tapi baru derajat
dugaan (dzan), sehingga tidak bias dipertanggung jawabkan secara
rasional. Dua teori dalam bayani, istinbat dan qiyas, yang
dikembangkan bayani hanya berpijak pada sesuatu yang masih bersifat dugaan.
Padahal, penetapan hokum tidak bisa didasarkan pada sesuatu yang bersifat
dugaan.[19]
Karena itu Syatibi
lantas menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani yaitu: al-istintaj,
al-istiqra’ dan maqashid al-syari’. Al-istintaj sama dengan
silogisme, menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului, berbeda
dengan qiyas bayani yang dilakukan
dengan cara menyandarkan furu pada ashal, yang oleh Syatibi dianggap tidak
menghasilkan pengetahuan baru. Pengetahuan bayani harus dihasilkan melalui
proses silogisme ini, sebab menurut al-Syatibi, semua dalil syara’ telah
mengandung dua premis, Nadzariyah (teoritis) dan Naqliyah(transmisif).
Nadzariyah berbasis pada indera, rasio, penelitian dan penalaran,
sementara naqliyah berbasis pada proses transmisif (naql/khabar). Nadzariyah
merujuk pada tahqiq al-manath al-hukm (uji empiris suatu sebab
hukum) dalam setiap kasus, sedang Naqliyah merujuk pada hokum itu
sendiri dan mencakup pada semua kasus yang sejenis, sehingga ia merupakan
kelaziman yang tidak terbantahkan dan suatu yang mesti diterima. Nadzariyah
merupakan premis minor sedang naqliyah menjadi premis mayor.[20]
Istiqra’ adalah penelitian terhadap teks-teks yang setema kemudian diambil
tema pokoknya, tidak berbeda dengan thematic induction, sedang maqashid
al-syar’iyah berarti bahwa diturunkannya syari’ah ini mempunyai
tujuan-tujuan tertentu, yang menurut al-Syatibi terbagi menjadi tiga macam: (1)
dlaruriyah atau primer, (2) hajiyah atau sekunder, (3) tahsiniyah
atau tersier.[21]
Pada tahap ini, metode
telah lebih sempurna dan sistematis, dimana proses pengambilan hokum atau
pengetahuan tidak sekedar meng-qiyas-kan fuur’ pada ashl tetapi
juga lewat proses silogisme seperti dalam filsafat.
C.
Sumber
Pengetahuan
Meski menggunakan
metode rasional filsafat seperti digagas Syatibi, epistimologi bayani tetap
berpijak pada teks (nash). Dalam ushul fiqh, yang dimaksud nash
sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-Qur’an dan hadist.[22]
#x»yd ×b$ut/ Ĩ$¨Y=Ïj9
Yèdur ×psàÏãöqtBur
úüÉ)GßJù=Ïj9 ÇÊÌÑÈ
Artinya: al-Qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh
manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa (QS. Ali
Imran: 138).
Ini berbeda dari
dengan pengetahuan burhani yang mendasarkan diri pada rasio dan irfani yang
pada intuisi. Karena itu, epistimologi bayani menaruh perhatian besar dan
teliti pada proses transmisi teks dari generasi ke generasi.[23] Ini penting bagi
bayani, karena sebagai sumber pengetahuan benar tidaknya tranmisi teks
menentukan benar salahnya ketentuan hokum yang diambil. Jika transmisi teks bis
dipertanggung jawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar
hokum. Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, maka kebenaran teks tidak bias
dipertanggung jawabkan dan itu berarti ia tidak bias dijadikan landasan hukum.
Karena itu,
mengapa pada masa tadwin (kodifikasi), khususnya kodifikasi hadist, para
ilmuwan begitu ketat dalam menyeleksi sebuah teks yang diterima. Bukhori
misalnya, menggaris syarat yang tegas bagi diterimanya senuah teks sebuah teks
hadist: (1) perawi harus memenuhi tingkat criteria yang paling tinggi dalam hal
watak pribadi, keilmuwan dan standart akademis, (2) harus ada informasi positif
tentang para perawi yang menerangkan bahwa mereka saling bertemu muka dan para
murid belajar langsung pada gurunya. Dari upaya-upaya seleksi tersebut kemudian
lahir ilmu-ilmu tertentu untuk mendeteksi dan memastikan keaslian teks, seperti
al-jarh wa ta’dil, mustholah al-hadist, rijal al-hadist dan seterusnya.[24]
Selanjutnya,
tentang nash al-Qur’an, meski sebagai sumber utama, tetapi ia tidak selalu
memberikan ketentuan pasti. Dari segi penunjukan hukumnya (dilalah al-hukum),
nash al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian yaitu qath’I dan dzanni. Nash
yang Qath’I dilalah adalah
nash-nash yang menunjukkan adanya makna yang dapat difahami dengan pemahaman
tertentu, atau nash yang tidak mungkin menerima tafsir atau takwil, atau sebuah
teks yang tidak mempunyai arti lain kecuali arti yang satu itu itu. Dalam
konsep Imam Syafi’I, ini yang disebut bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut.
Nash yang dzanni dilalah adalah nash-nash yang menunjukkan atas makna
tapi masih memungkinkan adanya takwil, atau diubah dari makna asalnya menjadi
makna yang lain.[25]
Kenyataan tersebut
juga terjadi pada al-Sunnah bahkan lebih luas. Jika dalam al-Qur’an konsep qath’I
dan dzanni hanya berkaitan dengan dilalah-nya, dalam a-Sunnah
berlaku pada riwayat dan dilalah-nya. Dari segi riwayat berarti bahwa
teks hadist tersebut diyakini benar-benar dari Nabi atau tidak, atau bahkan,
atau bahwa aspek ini akan menentukan sah tidaknya proses transmisi teks hadist,
yang dari sana kemudian muncul berbagai macam kualitas hadist, seperti: mutawatir,
ahad, shahih hasn, gharib, ma’ruf, maqtu’ dan seterusnya. Dari sinilah dilalah
berarti bahwa makna teks hadist tersebut telah memebrikan makna yang pasti
atau masih bias ditakwil.
D.
Lafadz
dan Makna, Ushul dan Furu’
Berdasarkan
kenyataan bahwa bayani berkaitan dengan teks dan hubungannya dengan realitas,
maka persoalan pokok yang ada didalamnya adalah sekitar masalah lafadz makna,
dan ushul furu’. Menurut al-Jabiri sebagaimana dikutib oleh Khudori
Sholeh, persoalan lafadz makna mengandung dua aspek yaitu teoritis dan praktis.
Dari sisi teori muncul tiga persoalan: (1) tentang makna suatu kata, apakah
didasarkan atas konteksnya atau makna aslinya (tauqif), (2) tentang
analogi bahasa, (3) soal pemaknaan al-asma’ al-syari’ah, seperti kata
shalat, shiyam, zakat dan lainnya.[26]
Pada masalah
pertama, pemberian makna atas sebuah kata muncul akibat adanya perbedaan antara
kaum rasionalis dengan ahli hadist, antara muktazilah dengan Ahli Sunnah. Menurut
Muktazilah yang rasionalis, suatu kata harus diberi makna berdasarkan konteks
dan istilahnya, sementara Ahli Sunnah suatu kata harus dimaknai sesuai dengan
makna asalnya. Sebab menurut Ahlu Sunnah, bahasa atau kata pada awalnya berasal
dari Tuhan yang diberikan kepada Rasul-Nya untuk disebarkan kepada umatnya,
sedang bagu Muktazilah, suatu lafadz pada dasarnya mutlak. Karena itu bagi Ahlu
Sunnah, kata perkata dari sebuah teks harus tetap dijaga seperti aslinya, sebab
perubahan redaksi teks berarti perubahan makna.[27]
Ini sesuai dengan
asumsi dasar pengetahuan Arab bahwa makna dan system berpikir lahir dari kata
(teks) bukan teks yang lahir dari makna dan system berpikir. Ilmu nahwu
(gramatika Arab) yang lahir dari asumsi ini bertugas menjaga teks dari
kemungkinan terjadinya penimpangan makna. Pada perkembngan selanjutnya,
diskursus nahwu bukan lagi sekedar berisi kaidah-kaidah bahasa yang mengatur
ucapan dan tulisan secara benar tetapi sekaligus berisi aturan-aturan berpikir,
yang kemudian melahirkan pengetahuan yang bayani.
Masalah kedua,
tentang analogi bahasa, seperti kata nabitz (perasan gandum) dengan khamr
(perasan anggur), sariq (pencuri benda) dengan nabasy (pencuri
mayat di kubur). Disini Ulama sepakat bahwa analogi diperbolehkan tapi hanya
dari sisi logika bahasanya, bukan lafadz atau redaksinya. Sebab
masing-masing bahasa mempunyai istilah sendiri yang mempunyai kedalaman makna
yang berbeda, sehingga jika dianalogikan akan bias merusak bahasa yang ada
diantaranya.
Masalah ketiga,
pemaknaan atas asma’ al-syari’ah. Menurut al-Baqilani sebagaimana yang
dikutib oleh Khudori Soleh, karena al-Qur’an diturunkan dalam tradisi dan
bahasa arab, maka ia harus dimaknai sesuai dengan kebudayaan arab, tidak bias
didekati dengan budaya dan bahasa lain. Sebaliknya, menurut Muktazilah pada
beberapa hal tertentu, ia bisa dimaknai dengan pengertian lain, sebab al-Qur’an
sendiri tidak jarang menggunakan istilah arab tetapi dengan makna tersendiri
yang berbeda dengan makna asalnya.[28]
Adapun tentang hubugan
kata-makna dalam tataran praktis, ia berkaitan dengan penafsiran atas wacana (khithab)
syara’. Ulama fiqh banyak mengembangkan masalah ini, baik dari aspek
kedudukan sebuah kata, penggunaan,
tingkat kejelasan maupun metodenya.
Selanjutnya
menurut Jabir mengenai Ushul-Furu’, disini tidak menunjukkan pada
dasar-dasar hokum fiqh, seperti al-Qur’an, Sunnah, ijma’ dan qiyas, tetapi pada
pengertian umum bahwa ia adalah pangkal (asas) dari proses pengalian
pengetahuan. Ushul adalah ujung rantai dari hubungan timbal baik dengan furu’.
Dari sini Jabiri kemudian melihat tiga macam posisi dan peran ashul dalam
hubungannya dengan furu’. Pertama, Ushul sebagai sumber pengetahuan yang
cara mendapatkannya dengan Istinbat. Berbeda dengan Istintaj (deduksi)
yang dilakukan berdasarkan proposisi yang ada, istinbat menggali untuk mendapat
sesuatu yang sama sekali baru, sehingga nash berkedudukan sebagai sumber
pengetahuan, sebagaimana bumi yang mengeluarkan air dari perutnya. Kedua,
Ushul sebagai sandaran bagi pengetahuan yang lain, yang cara penggunaannya
dengan qiyas, baik dengan qiyas illat seperti yang dipakai ahli fiqh
atau qiyas dalalah seperti yang digunakan kaum teolog. Ketiga, Ushul sebagai
pangkal dari proses pembentukan pengetahuan yang caranya dengan menggunakan
kaidah-kaidah ushul fiqh.
E.
Cara
Mendapatkan Pengetahuan
Untuk mendapat pengetahuan,
epistimologi bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi
(lafadz) teks dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab, seperti nahwu
dan sharaf sebagai analisa. Kedua, menggunakan metode qiyas
(analogi) dan inilah prinsip utama epistimologi bayani. Dalam kajian ushul
al-fiqh, qiyas diartikan sebagai memberikan keputusan hokum suatu masalah
berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam teks, karena
adanya kesamaan illah. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan
melakukan qiyas: (1) adanya al-ashl, yakni nash suci yang
memberikan hokum dan dipakai sebagai hokum, (2) al-far, sesuatu yang
tidak ada hukumnya dalam nash, (3) hokum ashl, ketetapan hokum yang
diberikan oleh ashl, (4) illah, keadaan tertentu yang dipakai
sebagai dasar penetapan hokum ashl.
Contoh qiyas
adalah soal hokum meminum arak dari kurma. Arak dari perasaan kurma disebut far
(cabang) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash, dan ia akan
diqiyaskan pada khamr. Khamr adalah ashl (pokok) sebab terdapat
dalam teks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (illah) karena
memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan khamr,
yakni sama-sama memabukkan.
Menurut jabiri,
metode qiyas sebagai cara mendapatkan pengetahuan dalam epistimologi bayani
tersebut digunakan dalam tiga aspek:
1.
Qiyas dalam kaitannya dengan status dan derajat hokum yang ada pada ashl
maupun furu’,
Bagian ini
mencakup tiga hal; (a) qiyas jali yaitu dimana far mempunyai
persoalan hokum yang kuat dibanding ashl, (b) qiyas fi makna al-nash yaitu
dimana ashl dan far mempunyai derajat hokum yang sama, (c) qiyas
al-khafi yaitu dimana illat ashl tidak diketahui secara jelas dan
hanya menurut perkiraan mujtahid. Contoh qiyas jali adalah seperti hokum
memukul orang tua (far). Masalah ini tidak ada hukumnya dalam nash,
sedangkan yang ada adalah larangan berkata “Ah” (ashl). Perbuatan
memukul lebih berat hukumnya disbanding berkata “Ah”[29]
2.
Yang
berkaitan dengan illat yang ada pada ashl dan far, atau
yang menunjukkan kearah situ (qiyas bi I’tibar bina al-hukm ala dzikr
al-illah au bi I’tibar dzikr ma yadull alaiha).
Bagian ini
meliputi dua hal yaitu: (a) qiyas al-illat yakni menetapka illat yang
ada ashl kepada far, (b) qiyas al-dilalah yakni menetapkan
petunjuk (dilalah) yang ada pada ashl kepada far, bukan illah-nya.
3.
Qiyas
berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan antara ashl dan
far (qiyas bi I’tibar quwwah “al-jami” bain ashl wa al-far fayumkin
tashnifuh) yang oleh al-Ghazali dibagi dalam empat tingkatan: (1) adanya
perubahan hokum baru, (2) keserasian, (3) keserupaan (syibh), (4) manjauhkan
(thard).
Menurut Abd Jabbar, seorang pemikir aliran Muktazilah,
metode qiyas bayani diatas tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks
tetapi juga bias dikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan
persoaln-persoalan non fisik (ghaib). Disini ada empat cara:
1.
Berdasarkan
kesamaan petunjuk (dilalah) yang ada (al-istidlal bi al-syahid ala
al-ghaib li isytirakihima fi al-dilalah). Contohnya untuk mengetahui bahwa
Tuhan Maha Berkehendak. Kehendak Tuhan (ghaib) diqiyaskan pada kondisi empiric
manusia (syahid). Hasilnya ketika dalam realitas empiric manusia mempunyai
kehendak dan tindakan berarti Tuhan juga demikian.
2.
Berdasarkan
kesamaan illah (istidlal bi al-syahid ala al-ghaib li isytirakihima fi
al-illah). Contohnya, Tuhan tidak mungkin berlaku jahat karena
pengetahuan-Nya tentang hal tersebut. Ini didasarkan atas kenyataan yang
terjadi pada manusia, yaitu ketika manusia tidak akan berbuat jahat karena
mengetahui tentang kejelekan sikap tersebut, berarti Tuhan juga demikian.
3.
Berdasarkan
kesamaan yang berlaku pada tempat illah (istidlal bi al-syahid ala al-ghaib li
isytirakihima fima yajri majra al-illah).
4.
Berdasarkan
pemahaman bahwa yang ghaib mempunyai derajat yang lebih disbanding yang empiric
(istidlal bi al-syahid ala al-ghaib li kaun al- hukm fi al-ghaib ablagh minh
fi al-syahid). Contohnya. Ketika mengetahui nahwa kita (syahid) harus
berlaku baik karena hal tersebut adalah kebaikan, maka apalagi Tuhan Yang Maha
Mengetahui bahwa sesuatu adalah baik.
F.
Penutup
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam khazanah filsafat islam, dikenal ada tiga
buah metodologi pemikiran yaitu bayani, irfani dan burhani. Epistimologi
Bayani adalah sebuah model metodolgi berfikir yang didasarkan atas teks.
2. Meski menggunakan metode rasional filsafat
seperti digagas Syatibi, epistimologi bayani tetap berpijak pada teks (nash).
Dalam ushul fiqh, yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani
adalah al-Qur’an dan hadist
3. Bahwa bayani berkaitan dengan teks dan
hubungannya dengan realitas, maka persoalan pokok yang ada didalamnya adalah
sekitar masalah lafadz makna, dan ushul furu’.
4. Untuk mendapat pengetahuan, epistimologi bayani
menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafadz) teks
dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab, seperti nahwu dan sharaf
sebagai analisa. Kedua, menggunakan metode qiyas (analogi)
dan inilah prinsip utama epistimologi bayani.
Daftar Pustaka
Al-Jabiri, Muhammad Abed. 2014. Takwin al-Aql
al-Arabi, ter. Imam Khoiri. Yogyakarta: IRCHISOD
Al-Jabiri, Muhammad Abed. 1991. Bunyah al-aql al-arabi. Beirut:
al-Markaz al-Tsaqafi al-arabi
Azami, M. Mustafa. 1996. Metodologi Kritik Hadist,
ter. Yamin. Bandung: Pustaka Hidayah,
Bakhtiar, Amsal. 1997. Filsafat Islam.Ciputat:
PT Logos Wacana Ilmu
Bakker. 1986. Sejarah
Filsafat Dalam Islam. Yogyakarta: Kanisius
Hendrik Rapar, Jan. 2002. pengantar filsafat. Yogyakarta:
Kanisius
Idri. 2015. Epistemologi, Ilmu Pengetahuan, Ilmu
Hadist, dan Ilmu Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group
In’am Esha, Muhammad. 2016. Menuju Pemikiran
Filsafat. Malang: UIN-Maliki Press
Leaman, Oliver. 1989. Pengantar Filsafat Islam, ter. HM. Amin Abdullah . Jakarta: Rajawali Press
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. 2015. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. 2015. Filsafat
ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Soleh, Khudori. 2004. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Supriyanto, Stefanus. 2003. Filsafat Ilmu. Jakarta:
Prestasi Pustaka Publisher
Susanto. 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian Dalam
Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis. Jakarta: PT Bumi Aksara
Wahab Khallaf, Abdul. 1996. Ilmu Ushul Fqh, ter.
Masdar Helmi. Bandung: Pustaka Hidayah
Watt, W. Montgomery. 1987. Pmikiran Teologi dan
Filsafat Islam, ter. Umar Basalim. Jakarta: P3M
[1] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015), h. 1
[2] W. Montgomery Watt, Pmikiran
Teologi dan Filsafat Islam, ter. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1987), h.
54 & 114
[3] Oliver Leaman, Pengantar
Filsafat Islam, ter. HM. Amin Abdullah (Jakarta: Rajawali Press, 1989), h.
8. Muhammad Abed Al-Jabiri, Takwin al-Aql al-Arabi, ter. Imam Khoiri,
(Yogyakarta: IRCHISOD, 2014), h. 54
[7] Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah al-aql al-arabi, (Beirut:
al-Markaz al-Tsaqafi al-arabi, 1991), h. 421
[8] Muhammad Abed Al-Jabiri, Takwin
al-Aql al-Arabi, ter. Imam Khoiri. (Yogyakarta: IRCHISOD, 2014), h.
29-39
[9] Muhammad Abed Al-Jabiri, Bunyah
al-aql al-arabi, (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-arabi, 1991), h. 421
[11] Al-Jabiri, Bunyah al-aql al-arabi, (Beirut:
al-Markaz al-Tsaqafi al-arabi, 1991), h. 38
[12] Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), h.
136
[13] Stefanus Supriyanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prestasi
Pustaka Publisher, 2013), h. 31-32
[14] Jan Hendrik Rapar, pengantar filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), h. 38
[15] Idri, Epistemologi: ilmu pengetahuan, ilmu hadist dan ilmu hokum
islam, (Jakarta: PrenadaMedia Group, 2015), h. 3
[16] Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Mazrkaz al-Tsaqafi
al- Arabi, 1991), 20-30
[17] Ibid 32. Ibnu Wahab, nama lengkapnya Abu Husain Ishaq Ibn Ibrahim
Ibn Sulaiman Ibn Wahhab al-Katib. Identitas lainnya tidak diketahui. Namun yang
pasti kitab Al-Burhan fi Wujuh al-Bayan, karya Ibnu Wahab yang digunakan
sebagai referensi dalam tulisan ini, selesai ditulis tahun 946 M. artinya ia
seankatan dengan filosof terkenal muslim, Al-Farabi. Karena itu gagasannya
bahwa metode bayan harus dilakukan dengan menggunakan paduan antara pola fiqih
dan teologi ini, menurut al-jabiri dipengaruhi oleh adanya usaha untuk meredam
ketegangan antara fiqh dan dan filsafat yang terjadi saat itu.
[18] Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Mazrkaz al-Tsaqafi
al- Arabi, 1991), h. 34. Dengan konsep paduan antara metode teologi dan fiqh
ini berarti metode pemikiran filsafat telah masuk dalam system bayani. Bahkan
juga persoalan yang mestinya menjadi garapan metode irfani (gnostik) yakni soal
hati.
[19] Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Mazrkaz al-Tsaqafi
al- Arabi, 1991), h. 538
[20] Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut: al-Mazrkaz al-Tsaqafi
al- Arabi, 1991), h. 539
[21] Ibid 540
[22] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fqh, ter. Masdar Helmi,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 143
[23] Muhammad In’am Esha, Menuju Pemikiran Filsafat, (Malang: UIN
Maliki Press, 2016), h. 107
[24] M. Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadist, ter. Yamin, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 143
[25] Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fqh, ter. Masdar Helmi, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1996), h. 62-63
[26] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), h. 183-184
[27] Ibid, 184
[28] Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), h. 185
[29] Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Fiqh,ter. Masdar Helmi, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), h.
127
No comments:
Post a Comment