PANDANGAN
HUBUNGAN SAINS & ISLAM
(Konflik,
Indenpensi, Dialog, & Integrasi)
Kunainah
Afroyim
A.
Pendahuluan
Pertanyaan
tentang apa yang dimaksud dengan pengetahuan, atau ‘ilm, dalam pendangan
Islam telah muncul sejak masa-masa awal islam. Beberapa sarjana telah
mendefinisikan istilah tersebut secara spesifik pada ilmu-ilmu keislaman. Akan
tetapi, menurut pendapat banyak sarjana Muslim, istilah tersebut digunakan
dalam Al-Qur’an dalam pengertian umum dan mencakup spektrum sains yang luas.
Kajian kajian
modern mengenai sejarah sains menunjukan bahwa penelitian saintifik di Dunia
Islam terus berlanjut hingga abad ke-16 M. Namun, buku-buku sejarah tentang
peradaban Islam terus-menerus mengulangi dan memperluas teori dominan yang
mengatakan bahwa konsolidasi pandangan dunia Islam sejak abad ke-11 telah
menyebabkan stagnasi sains-sains rasional. Teori ini bahkan mengusmsikan adanya
kontradiksi esensial antara sains dan Islam, dan merupakan bagian dari
pandangan lazim dalam historiografi pasca-Pencerahan yang menentang sains dan
agama pada umumnya dalam peradaban-peradaban pasca-Abad Pertengahan. [1]
Diskusi
mengenai keterkaitan antara sains dan agama memang sejak mula sangat menarik
karena setiap pendapat akan ditanya mengenai hakekat keterkaitan tersebut.
Apakah alam dan iman, iptek dan agama, harus menjadi tesis-antitesis?
Masing-masing memiliki prinsip dan pembenaran sendiri. Yang pasti adalah,
perbedaan pendapat, tesis-antitesis ini, menuntut penengahan debat. Diperlukan
satu pemahaman untuk hakekat kemanusiaan yang lebih tinggai dalam kehidupan
ini. Juga menyangkut harkat dan martabat dan integritas manusia sebagai
khalifah di bumi ini.
Pada sisi lainnya, kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi tidaklah dapat menjawab semua hal. Memang sains tidak dimaksudkan
seperti itu. Hal yang membuat sains begitu berharga adalah karena sains membuat
kita belajar tentang diri kita sendiri (Leksono. 2001). Oleh karenanya
diperlukan kearifan dan kerendahan hati untuk dapat memahami dan melakukan
interpretasi maupun implementasi teknologi dan ilmu pengetahuan manusia. Albert
Einstein berkata dalam salah satu pidatonya bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh,
agama tanpa ilmu pengetahuan buta. Pergulatan Einstein dengan sains membawanya
menemukan Tuhan. (Rakhmat. 2003).
Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan
manusia diilhami dari tumbuhnya sikap pencerahan rasional manusia sebagai
masyarakat modern, dan dikenal sebagai sikap rasionalime. Dengan pandangan
rasionalisme, semua tuntunan haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara
argumentatif (Suseno. 1992).[2]
Sains dan agama sering kali di pandang
bermusuhan dalam pertempuran hidup-mati. Pembela-pembela dari kedua kubu secara
agresif terus melancarkan perang, terutama dalam isu evolusi. Namuun, konflik
ini sebenernya bisa dielakan jika saja sains dan agama bersifat independen
masing-masing menempati domain yang terpisah pada jarak yang aman satu sama
lain. Lazim dikatakan bahwa sains menelusuri hubungan sebab-akibat
antarperistiwa, sedangkan agama mencari makna dan tujuan hidup. Dua pencarian
ini menawarkan perspekif yang saling melengkapi tentang dunia masing-masing
berdiri sendiri, terpisah, dan tidak terlibat hubungan konflik.
Namun berbeda orang kini berupaya mencari
kemitraan yang konstruktif antara keduanya. Mereka mendapati bahwa sains telah
memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia jawab sediri. Menapa harus
ada alam semesta? Mengapa jagat raya memiliki keteraturan (order)?
Apakah alam merupakan buatan Sang Perancang yang cerdas? Beberapa orang
menyadari keterbatasan disiplin mereka dan tidak mengklaim telah mengantongi
seluruh jawaban. Mereka berprinsip bahwa kita dapat belajar satu sama lain.
Beberapa teolog berupaya merumuskan kembali gagasan-gagasan tradisional tentang
Tuhan dan manusia dengan mempertimbangkan temuan-temuan sains sembari tetap
berpegang pada ajran utama agama mereka.[3]
Dalam
pandnagan islam, kriteria keterpujian suatu bidang ilmu adalah kebergunaannya,
dan ini berarti bidng ilmu tersebut mampu membawa manusia kepada Tuhan. Bidang
ilmu apa pun yang memiliki ciri semacam ini adalah terpuji, dan usaha untuk
memperolehnya adalah sebentuk ibadah. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara
ilmu-ilmu yang
Oleh karena
demikian, maka penulis mencoba mengkaji tentang pandangan hubungan sains dan
Islam, yakni dari sisi pandangan konflik, indenpendensi, dialaog, dan
integrasi.
B.
Pembahasan
1.
Paradigma Ilmu
Paradigma dalam bahasa Inggris disebut paradigm
dan bahasa Perancis paradigme, ia berasal dari bahasa Latin ”para”
dan “deigma”. Para berarti di sisi, di samping dan deigma berarti contoh, pola, model.
Sedangkan deigma dalam bentuk kata kerja deiknynai berarti
menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu. Dengan begitu, secara epistimologis,
paradigma berarti disisi model, disamping pola atau disisi contoh. Paradigma
berarti pula sesuatu yang menampakkan pola, model atau contoh. Paradigma juga
sinonim dengan guiding principle, basic point of view atau dasar
perspektif ilmu, gugusan pikir, model, pola, kadang ada pula yang menyebutnya
konteks. Secara terminologi, paradigma berarti jalinan ide dasar beserta asumsi
dengan variabel-variabel idenya (Zumri, 2009:12)
Istilah paradigm pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun (1962) dan
kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Paradigma menurut Thomas
S. Kuhn (dalam Surajiyo, 2007) adalah suatu asumsi dasar dan asumsi teoretis
yang umum (merupakan suatu sumber nilai), sehingga menjadi suatu sumber hukum,
metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga sangat menentukan
sifat, ciri, serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Scott mengartikan paradigma Kuhn sebagai :
a. an achievement, a new, accepted way of
solving a problem which then is used as a model of future work;
b. a set of shared values, the methods,
standard and generalizations shared by those trained to carry on the scientific
work modeled on that paradigm.[4]
Apa yang di
maksud paradigma oleh Khun. Khun mengemukaan konsep paradigma sebagai berikut :
“A paradigm is
a fundamental image of the subject matter within a science. It serves to difeny
what should be studied, what question should be asked, how they should be asked
and what reles should be followed in interpeating the answer obatained. The
paradigms is the broadest unit of consensus withon a science and serves to
differenciate one scientific community (or subcommunit) from another. It
subsumes, defines, and interrelates the eemplars, theories, methods and
instrument, that exist within it”
(paradigma
adalah pandangan dasar tentang pokok bahasan ilmu. Mendefinisikan apa yang
harus diteliti dan dibahas, pertanyaannya apa yang harus dimunculkan, bagaimana
merumuskan pertanyaan, dan aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam
menginterprestasikan jawabannya. Paradigma adalah konsensus terluas dengan
komunitas lainnya. Paradigma berikatan dengan pendefinisian, eksemplar ilmiah,
teori, metode, serta instrumen yang tercakup di dalamnya).
Secara umum
khun mengartikan paradigma sebagai : beberapa contph praktik ilmiah aktual yang
diterima seperti : hukum, teori, aplikasi dan instrumen yang diterima aktual
yang diterima bersama, sehingga merupakan model yang dijadikan sebagai sumber
dan tradisi-tradisi yang mantap dalam riset-riset ilmiah khusus. Paradigma
berarti “pola”, “model” atau “skema” dan “pemahaman” aspek-aspek tertentu ihwal
realitas (kenyataan) yang dikaji.
khun
menggunakan pengertian paradigma dengan dua puluh satu pengertian yang
berbeda-beda. Masterman (1970) membantu kita untuk memahami pengertian
paradigma khun tersebut dengan mereduksi kedua puluh satu konsep khun itu pada
tiga tipe paradigma. Tipe paradigma itu antara lain [5]:
-
paradigma metafisik (metaphysical
paradigm)
-
paradigma sosiologis (sociologcal
paradigm)
-
paradigma konstruk (construct
paradigm)
2.
Dinamika ilmu
barat
Zaman yunani
kuno berlangsung kira-kira dari abad ke 6 S.M. hingga awal abad pertengahan,
atau antara 600 tahun S.M. hingga tahun 200 SM. Zaman ini dianggap sebagai
cikal bakal filssafat yang ada sekarang. Pada zaman ini mitos-mitos yang
berkembang dalam masyarakat digantikan dengan logos (baca:rasio) setelah mitos-mitos
tersebut tidak dapat lagi menjawab dan memecahkan problema-problema kosmologis.
Pada tahap ini bangsa Yunani mulai berfikir sedalam-dalamnya tentang berbagai
fenomena alam yang begitu beragam, meninggalkan mitos-mitos untuk kemudian
terus meneliti berdasarkan reasoning power.
Contoh yang
paling populer dalam hal ini adalah mengenai persepsi orang-orang yunani
terhadap pelangi. Dalam masyarakat tradisional Yunani, pelangi dianggap sebagai
dewi yang bertugas sebagai pesuruh dewa dewa lain. Tetapi bagi mereka yang
sudah berfikir maju, pelangi adalah awan sebagaimana yang dikatakan oleh
Xenophanes, atau pantulan matahari yang ada dalam awan seperti yang dikatakan
oleh pytagoras (499-420 SM). Demikianlah apa yang menjadi perhatian para ahli
pikir Miletos, sebuah kota di Yunani, pertama kali adalah alam (problema
kosmologis).[6]
Pemikiran
filsafat banyak di pengaruhi oleh lingkungan dan alam. Oleh karena itu, baik di
Barat maupun di Timur, terutama di India dan Cina, kecendeerungan berfikirnya
seputar masaah moral dan agama. Pembagian secara periodisasi filsafat di Cina
terdiri atas Zaman kuno, zaman pembaruan, zaman neokonfusionisme, dan zaman
modern. Di India, periodesasi filsafat terbagi atas periode weda, biracarita,
sutra-sutra, dan sekolatik. Dalam filsafat India, yang penting adalah bagaimana
manusia bisa berteman dengan dunia, bukan untuk menguasai dunia. Adapun
filsafat islam hanya terdiri dari dua priode, yaiu priode mutakalimin dan
filsafat Islam.
Jadi
perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi pada saat ini tidaklah berlangsung
secara tiba-tiba, tetapi berlangsung secara bertahap. Hal ini karena untuk
memahami sejarah perkembangan pemikiran Islam, kita harus mengetahui terlebih
dahulu sejarah perkembangan ilmu, kita harus mengetahui terlebih dahulu sejarah
perkembangan pemikiran filsafat sebelumnya. Berikut ini adalah uraian tentang
periodisasi filsafat di Barat.
1)
Zaman Pra-Yunani Kuno (Zaman Batu)
Pada Abad ke-6 SM, di Yunani mulai berkembang
pemikiran filsafat dan pendekatan yang sama sekali berlainan, yaitu dengan
perdebatan dan berfikir. Pada saat itu, untuk mencari jawaban rasional tentang
problem alam semesta, tidak lagi menggunakan mitos.
2)
Zaman Pra-Yunani Kuno (Zaman Batu)
a.
Zaman Keemasan Yunani
Zaman Yunani klasik di pandang sebagai zaman
keemasan filsafat karena pada masa in orang memiliki kebebasan untuk
mengungkapkan ide atau pendapatnya. Yunani pada masa itu dianggap sebagai
gudang ilmu karena Yunani pada masa itu dianggap sebagai gudang ilmu karena
Yunani tidak lagi memercayai mitos-mitos.
b.
Masa Helinistis Romawi
Pada masaini
muncul beberapa airan, yaitu sebagai berikut :
-
Stoisisme, menurut paham
ini, jagat raya ditentukan oleh kuasa-kuasa yang disebut logos. Oleh karena
itu, segala kejadian berdasarkan ketepatan yang tidak dapat diubah.
-
Epikurisme, berpendapat
bahwa segala-galanya terdiri atas atom-atom,
-
Skeptisisme, berpendapat bahwa
bidang teoritis manusia tidak sanggup mencapai kebenaran.
-
Eklektisisme, suatu
kecendrungan umum yang mengambil berbagai unsur filsafat dari aliran-aliran
lain tanpa berhasil mencapai suatu pemikiran yang sungguh-sungguh.
-
Neoplatoisme, yaitu paham
yang ingin menghidupkan kembali filsafat Plato.
3)
Zaman Abad Pertengahan
Pada abad
pertengahan terjadi dua periode, yaitu :
a.
Periode patriakis ; mengalami dua
tahap, yaitu :
-
Penemuan agama kristen
-
Filsafat Agustinus ; yang terkenal
pada masa patristik
b.
Periode skolastik ; terbagi tiga
tahap, yaitu :
-
Periode awal, ditandai dengan
pembentukan metode yang lahir kaena hubungan yang rapat antara agama dan
filsafat;
-
Periode puncak, ditandai oleh keadaan
yang dipengaruhi pemikiran Aristoteles dan kedatangan alhi filsafat Arab dan
Yahudi ;
-
Periode akhir, ditandai dengan
pemikiran kefilsafatan yang berkembang ke arah nominalisme.
4)
Zaman Renainsans
Zaman ini merupakan zaman peralihan ketika
kebudayaan abad pertengahan mulai berubah menjadi kebudayaan modern. Manusia
pada zaman ini adalah manusia yang merindukan pemikiran yang bebas. Manusia
ingin mencapai kemajuan atas hasil usaha sendiri, tidak didasarkan atas campur
tangan ilahi.
5)
Zaman Modern
Zaman modern ditandai dengan berbagai penemuan
ilmiah , perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern sudah dirintis sejak
zaman renaisans.
6)
Zaman Kontemporer (Abad ke-20)
Fisikawan termasyhur Albert Einstein
memercayai kekekalan materi. Dengan kata lain, ia tidak mengakui adanya
penciptaan alam. Zaman kontemporer in ditandai dengan penemuan teknologi
canggih.[7]
3.
Bentuk
hubungan sains & islam
Sains dan
Islam merupakan dua bidang ilmu pengetahuan yang sedang hangat-hangatnya di
perbincangkan. Sains dan Islam merupakan bidang ilmu pengetahuan yang memiliki
cara pandang yang berbeda dalam menyikapi kehidupan zaman ini. Namun disamping
perbedaan tersebut masih ada hubungan timbal-balik yang sangat dasyat diantara
sains dan Islam, apabila dikeduanya diintegrasikan dengan pola baik.
Hubungan
antara sains dan agama kini menjadi pertimbangan penting dikalangan pemikir,
dan pembentukan kuliah-kuliah akademik tentang sains dan Islam merupakan petunjuk
kuat tentang hal tersebut.
Karena alam
dipandang sebagai wahyu ilahi, maka ia merupakan sumber untuk memperoleh
pengetahuan tentang kebijaksanaan Tuhan. Para ilmuan Muslim dengan teguh
meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan tercermin dengan cara yag tak terhingga
banyaknya dalam ciptaan-Nya.[8]
Jauh dari menungkapkan makhluk manusia sebagaiproduk kebetulan dari kekuatan
fisik buta, sains menyarankan bahwa eksistensi kesadaran makhluk hidup
merupakan sisi fundamental dari alam semesta. Saya percaya bahwa wujud
kita telah tercatat di dalam hukum-hukum alam dengan cara yang dalam dan penuh
makna. Saya juga tidak memandang sains sebagai suatu aktivitas yang terasing.
Sains adalah sebuah pencarian mulia yang memperkaya dan membantu kita membuat
pengertian tentang dunia dengan cara yang objektif dan metodis. Ia tidak
menolak makna di balik eksistensi. Sebaliknya, sebagaimana telah saya tegaskan,
fakta bahwa sains bekerja dan bekerja dengan begitu baik, memperlihatkan
sesuatu yang sangat signifikan mengenai organisasi kosmos. Upaya apapun untuk
memahami hakikat realitas dan tempat makhluk manusia dalamalam semesta harus
berawal dari landasan ilmiah yang baik. Tentu saja, sains bukan satu-satunya
skema pemikiran untuk membangkitkan perhatian kita. Agama bahkan tumbuh subur
dalam apa yang kita sebut sebagai zaman ilmiah. Tetapi, sebagaimana Einstein
sekali waktu mengingatkan, agama tanpa sains lumpuh. [9]
Dalam
pandangan Islam, sains dan agama memiliki dasar metafisika yang sama, dan
tujuan pengetahuan yang diwahyukan maupun pengetahuan yang diupayakan adalah
mengungkapkan ayat-ayat Tuhan dan sifat-sifat-Nya kepada umat manusia. Jadi
kita bisa mempertimbangkan kegiatan ilmiah sebagai bagian dari kewajiban agama,
dengan catatan bahwa ia memiliki metode dan bahasanya sendiri. Kita yakini
bahwa ini konsistensi yang dituduhkan kepada sains dan agama, seperti yang
ditudingkan oleh sebagian orang dimasa lampau ataupun di masa kita sekarang
ini, adalah karena diabaikannya keterbatasan sains oleh sebagian ilmuwan, atau
karena campur tangan yang tak semestinya dari para otoritas agama dalam
persoalan saintifik. Demikian juga barat, beberapa orang ilmuwan terkemuka
memandang kegiatan ilmiah sebagai bagian dari pengalaman beragama.[10]
Dalam kata-kata Charles Townes[11].
Pemenagan hadiah Nobel dalam bidang Fisika[12]
:
saya tidak
membedakan sains dan agama, tetapi memandang penjelajahan alam semesta sebagai
bagian dalam pengalaman religius.
Metafisika
yang sebenarnya adalah sebuah dan harus diberi nama metafisik dalam bentuk
tunggal, merupakan sains/ilmu tentang Wujud Absolut, dan menurut hematnya, ilmu
tentang relatif. Metafisika bukanlah ilmu yang tepat dan pasti sebagaimana
matematika, dengan kejelasan dan kepastian yang sama ; tetapi, metafisika
adalah ilmu yang hanya dapat dicapai melalui instuisi intelektual, bukan
sekedar melalui rasionalisai[13]
Akan tetpai,
Al-Qur’an memperingatkan kepada kita bahwa kajian tentang alam hanya bisa
membawa kita dari penciptaan kepada sang Pencipta jika kita telah memiliki
modal iman kepada Tuhan, sebagaimana firmanya : Yunus ; 101[14]
È@è% (#rãÝàR$# #s$tB Îû ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 $tBur ÓÍ_øóè? àM»tFy$# âäY9$#ur `tã 7Qöqs% w tbqãZÏB÷sã ÇÊÉÊÈ
Katakanlah:
"Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat
tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang
yang tidak beriman".
Hubungan
antara sains dan agama kini menjadi pertimbangan penting dikalangan pemikir,
dan pembentukan kuliah-kuliah akademik tentang sains dan agama merupakan
pentunjuk kuat tentang hal itu.
Dengan secara eksplisit
(tegas/terus terang) membatasi definisi “agama” sebagai sebuah keyakinan akan
Tuhan yang dijumpai dalam keyakinan-keyaninan “profetik” (yudaisme.
Kekeristenan, Islam) serta implisit membatasi cakupan sains pada kajian
ilmu-ilmu alam (natural sciences), Haught menawarkan sebuah tipologi
perjumpaan sains dan agama. Tipologi yang akan terus menjadi acuan paragigmatik
karakter masing-masing pemandu kita.
Namun tidak
seperti Barbour yang membagi perjumaan tersebut ke dalam Konflik,
independensi, dialog, dan integrasi.
a.
Konflik
Menurut mazhab
konflik, sains modern memiliki relasi negatif terhadap agama, dan penerimaan
atas yang satu secara niscaya merupakan penolakan atas yang lain. Perspektif
ini didukung oleh sejumlah ilmuwan dan sekelompok kalangan ber-agama.
Menurut Jonh
F. Haught dalam bukunya “perjumpaan sains dan Agama”, banyak pemikir sangat
yakin bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dengan sains. Menurut
mereka, kalau Anda seorang ilmuan, sulitlah membayangkan bagaimana Anda secara
jujur juga bisa serentak saleh-beriman, setidak-tidaknya dalam penertian
percaya akan Tuhan. Alasan utama mereka menarik kesimpulan ini ialah bahwa
agama jelas-jelas tidak dapat membuktian kebenaran ajaran-ajarannya dengan
tegas, pada hal sains bisa melakukan hal itu. Agama mencoba bersikap diam-diam
dan tidak mau semua teorinya berdasarkan “pengalaman”. Agama tidak bisa
melakukan hal tersebut dengan cara yang bisa memuaskan pihak yang netral, klaim
kaum skeptik ; karena itu, mesti ada sesuatu “pertentangan” antara cara-cara
pemahaman ilmiah dan pemahaman keagamaan.[15]
Menurut Ian G.
Barbour dalam bukunya “Juru bicara Tuhan” , contoh pandangan konflik yaitu
ketika pengadilan terhadap galileo pada tahun 1633. Galileo mengajukan teori
Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar dalam orbit mengelilingi
matahari (heliosentris), dan menolak tori Ptolemaeus bahwa matahari dan planet
berputar mengelilingi bumi (geosentris).
Salah satu
sebab digelarnya pengadilan atas galileo adalah otoritas ilmiah Aristoteles
yang mendukung astronomi Ptolemaeus telah diterima secara luas di Eropa sejak
abad ke-12. Sebab yang lain adalah otoritas kitab suci yang meyakini bumi
sebagai pusat alam semesta. Di atas semua itu, sebab yang terpenting adalah
tantangan-tantangan Galileo terhadap otoritas gereja.
Pandangan
konflik mengemuka pada abad ke-19 melalui dua buku berpengaruh, yakni history
of the Conflict between Religion and Science karya A.D. White. Beberapa
sejarahwan mutakhir menunjukan bahwa bukti yang mereka sodorkan sangat selektif
dan pandangan-pandangan alternatif tentang hubungan sains dengan agama telah
dianut scara luas selama berabad-abad.
Kini, potret
populer, “perang sains melawan agama” dipertajam oleh media karena kontroversi
antara materialisme ilmiah dan literalisme biblikal jauh lebih
diminati khalayak daripada posisi moderat.[16]
Adapun
penjelasan tentang kontrovesi tersebut adalah :
·
Materialisme Ilmiah
Hal ini memandang materi sebagai
realitas-dasar alam semesta. Materialisme ini merupakan sebentuk metafisik (sehimpunan
klaim tentang karakteristik dan penyusun dasar realitas). Matterialisme ilmiah
(scientific materialisme) juga meyakini metode ilmiah sebagai
satu-satunya metode pengetahuan yang shahih. Ini merupakan sebentuk epistemologi
(sehimpunan klaim tentang hakikat dan pemerolehan pengetahuan). Dua paham
ini saling berkaitan : Jika maujud sejati adalah apa yang ditangani sains,
sains adalah satu-satunya jalan pengetahuan yang absah.
·
Litealisme biblikal
Jenis konflik yang sangat berbeda
muncul dari tafsiran harfiah atas Alkitab. Pada abad ke-20, gereja Katolik Roma
dan alirah utama Protestan berkeyakinan bahwa kitab suci merupakan kesaksian
manusia atas wahyu yang terjadi dalam kehidupan nabi-nabi, khususnya kehidupan
dan pengikut Yesus. Sejumlah kalangan tradisionalis dan penginjil Yesus.
Sejumlah kalangan tradisionalis dan penginjil menekankan sentralitas Yesus
tanpa menekankan kemaksuman (infallibility) Alkitab. Namun, gereja
fundamentalis dan sebagian besar denomisasi historis di Amerika Serikat
(terutama kaum Baptis Selatan) tetap berpendapat bahwa kitab suci sama sekali
bebas dari kesalahan (maksum).
b.
Independensi
Adapun alasan
utama pemikir yang meyakini bahwa agama tidak akan pernah bisa didamaikan dngan
sains adalah sebagai berikut :
-
Menurut mereka agama jelas-jelas
tidak dapat membuktikan kebenaran ajaran-ajarannya dengan tegas, padahal sains
dapat melakukan itu.
-
Agama mencoba bersifat diam-diam
dan tidak mau memberi petunjuk kongrit tentang keberadaan Tuhan, sementara
dipihak lain sains mau menguji semua hipotesis dan semua teorinya berdasarkan
pengalaman.[17]
Jika kita
lihat dari kontek permasalahan yang telah di sebutkan oleh John F Haught dalam
bukunya tersebut layaknya kita harus menggunakan teori independensinya Ian G
barbour. Menurut Ian G barbour stu cara untuk menghindari konflik antara sains
dan agama adalah dengan memisahkan dua bidang itu dalam dua kawasan yang
berbeda. Keduanya dapat dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah, domain
yang dirujuk, dan metode yang digunakan. Ini merupakan jenis-jenis
pembedaan yang tegas, tetapi secara keseluruhan mereka membangun independensi
dan otonomi dalam kedua bidang ini. Jika ada dua wilayah hukum, sains dan agama
pastilah cenderung mementingkan dirinya sendiri dan tidak menyampuri yang lain.
Setiap mode penelitiannya bersifat seleksi dan mempunyai keterbatasannya
sendiri. Pemisahan wilayah ini tidak hanya dimotivasi oleh kehendak untuk
menghindari konflik yang tidak perlu, tetapi juga keinginan untuk mengakui
perbedaan karakter dari setiap area kehidupan dan pemikir ini. Kita akan
memeriksa terlebih dahulu sains dan agama sebagai dua domain yang terpisah kemudian
meninjau perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.[18]
·
Dua Domain yang Terpisah
Banyak kaum Kristen Protestan dan konservatif
dewasa ini memberikan peran religius terpentong kepada kitab suci tanpa
menekankan literalisme biblikal atau membela sains penciptaan. Mereka
menekankan kematian Kristus Sang Penebus dan Konversi orang-orang beriman dalam
menerima Kristus sebagai Penyelamat pribadi. Mereka menyadari daya-ubah kitab
suci yang tidak mengancam atau mendukung sains modern. Bagi mereka, sains dan
agama merupakan dua aspek kehidupan manusia yang betul-betul terpisah.
Sebgaimana dikutip oleh Ian G.
Barbour, Karl Bath dan pengikutnya , menyataka beberapa hal tentang pandangan
independensi, yakni menurut mereka Tuhan adalah transendensi yang berbeda dari
yang lain dan tidak dapat diltahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan
agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia
sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa
keterlibatan unsur teologi.[19],
demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya
berbeda,. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia, sedangkan
teoloi berdasarkan wahyu ilahi.
·
Dua Bahasa dan Dua Fungsi yang
berbeda
Jalan lain untuk memisahkan sains dan agama
adalah dengan menafsirkan sains dan agama sebagai sua bahasa yang tidak saling
berkaitan karena fungsi masing-masing benar-benar berbeda. Di kalangan filosof
era 1950-an, kaum positivis logis menetapkan pernyataan keilmuan (scientific
statement) sebagai norma bagi semua pernyatan kognitif (cognitive
assertion) dan menolak pernyataan apa pun yang tidak berlandaskan
verifikasi empiris.
Jika sains dan
agama benar-benar independen, kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari,
tetapi memupus kemungkinan terjadinya konflik bisa dihindari, tetapi memupus
kemungkinan terjadinya dialog konstruktif dan pengayaan di antara keduanya.
Kita menghayati kehidupan bukan sebagai bagian-bagian yang saling lepas. Kita
merasakan hidup sebagai keutuhan dan saling terkait meskipun kita membangun
berbagai disiplin untuk mempelajari aspek-aspeknya yang berbeda.
Ada juga
landasan biblikal yang meyakini bahwa Tuhan adalah Penguasa Kehidupan dan
Penguasa Alam alih-alih sebagai Tuhan bagi dunia “religus” yang unik.
Artikulasi theology of nature yang mendukung kepedulian lingkungan juga
sangat mengemuka dewasa ini. Saya berargumen bahwa tidak ada satu pun pilihan yang
telah disebutkan sebelumnya yang memadai untuk menangani masalah ini.
c.
Dialog
Dialog
memotret hubungan yang lebih konstruktif antara sains dan agama daripada
pandangan Konflik dan Independensi. Namun, Dialog tidak menawarkan kesatuan
konseptual sebagaimana yang diajukan pendukung Integrasi. Dialog mungkin muncul
dengan mempertimbangkan pra-anggapan dalam upaya ilmiah ; atau meng-eksplorasi
kesejajaran metode antara sains dan agama ; atau meng-analisiskan konsep
dalam satu bidang dengan konsep dalam bidang lain. Dalam membandingkan
sains dan agama, Dialog menekankan kemiripan dalam pra-anggapan, metode, dan
konsep. Sebaliknya, Independensi menekankan perbedaan yang ada.
Para sejarah
meneliti kepana sains modern lahir di Barat Judeo-Kristiani di antara seluruh
kebudayaan dunia. Masalah ini bisa dijawab dengan menyatakan bahwa doktrin
penciptaan telah merangsang kegiatan ilmiah. Pemikir yunani ataupun
biblikal menegaskan bahwa dunia in teratur dan dapat dipahami. Akan tetapi,
orang Yunani berpendapat bahwa keteraturan merupakan keniscayaan dan dengan
demikian, orang dapat menurunkan struktur alam semesta dari prinsip pertama.
Pemikiran blibikalberkeyakinan bahwa Tuhan menciptakan bentuk dan materi yang
berarti bahwa dunia tidak hadir sebagaimana sekarang dan bahwa detail-detail
keteraturannya dapat diketahui hanya melalui pengamatan. Lebih jauh lagi, meski
alamini riil dan baik dalam pandangan Alkitab, ia tidak dengan sendirinya
berwatak ilahiah sebagaimana dianut oleh banyak kebudayaan kuno, dan oleh karena
itu, manusia diperbolehkan untuk bereksperimen dengan alam.
Pendukung
materialisme ilmiah umumnya menganggap sains bersifat objek. Teori sains
diuji dengan kriteria yang tegas dan kesesuainnya dengan data yang bebas-teori.
Data sains tidak dipengaruhi oleh kecendurungan individu atau budaya.
Sebaliknya agama tampak sangat subjektif dan dipengaruhi oleh asums individu
dan budaya. Sains menuntut pengamatan yang berjarak dan penalaran yang logis,
sedangkan agama menuntut keterlibatan personal dalam tradisi tertentu dan
seperangkat praktik.
Akan tetapi beberapa ahli sejarah,
filosf sains dan teolog mempertanyakan pembedaan yang tajam ini. Mereka
berargumen bahwa sains tidaklah soebjektif dan agama tidaklah sesubjektif
sebagaimana yang diduga. Ada perbedassn titi tekan antara kedua bidang ini,
tetapi perbedaan ini tidaklah mutlak. Data ilmiah bersifat sarat-teori dan
tidak bebas teori. Asumsi teoritis mengalami pemilahan, pelaporan, dan
penafsiran terhadap apa yang dianggap logis, tetapi dari tindakan imajinasi
kreatif yang didalamnya analogi dan model sering berperan
penting. Model-model konseptual membantu kita membayangkan hal-hal yang tidak
bisa diamati secara langsung, terutama di alam yang sangat besar (astronomi)
dan sangat kecil (fisika kuantum).[20]
d.
Integrasi
Dengan
kekosongan sains Islam di era modern, para saintis muslim dihadapkan pada
kondisi yang dilematis dalam merespons sains modern. Pada satu sisi, masyarakat
muslim sangat membutuhkan sains modern untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan
masalah hidupnya, sedang di sisi lain mereka dihadapkan pada berbagai elemen,
unsur dan nilai-nilai barat yang melekat didalamnya. Beberbagai elemen tersebut
merupakan agen pendukung pandangan dunia barat yang sekuler dan tidak selaras
bahkan paradoks dengan pandangan dunia Islam.[21]
Beberapa
penulis menyuruh perumusn ulang gagasan-gagasan teologi tradisonal yang lebih
ekstensif dan sistematis daripada yang dilakukan oleh pendukung Dialog. Ada
tiga versi berbeda dalam integrasi. Dalam natural theology, terdapat
klaim bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari (atau didukung oleh) bukti
tentang desain alam, yang tentangnya alam membuat kita semakin menyadarinya.
Dalam thelogy of nature, sumber utama teologi terletak di luar sains,
tetapi teori-teori ilmiah bisa berdampak kuat atas perumusan ulang
doktrin-doktrin tertentu, terutama doktrin tentang penciptaan dan sifat-dasar
manusia. Dalam sintesis sistematis , sains ataupun agama memberikan kontribusi
pada pembangunan metafisika inklusif, seperti filsafat proses.
·
Natural Theology
Terdapat beberapa contoh natural
theology dari abad-abad lalu. Thomas Aquinas berpebdapat bahwa beberapa
sifat Tuhan dapat diketahui hanya dari wahyu dalam kitab suci, tetapi
eksistensi Tuhan itu sendiri dapat diketahui hanya dari nalar. Salah satu
bentuk argumen kosmolis menegaskan bahwa setiap peristiwa harus
mempunyai sebab sehingga kita harus mengakui sebab pertama jika hendak
menghindari siklus yang tak berkunjung pangkal. Bentuk argumen yang lain
mengatakan bahwa seluruh rantai sebab-sebab natural (terbatas atau tidak
terbatas) bersifat kontingen dan bisa jadi sebelumnya tidak demikian. Ia
bergantung pada suatu wujud yang mengada secara niscaya. Argumen teologis (dari
telos, bahasa yunani, berarti tujuan) aquinas berangkat dari
keturunan dan intelijibilitas sebagai ciri umum alam semesta, tetapi menunjukan
bukti tentang desain alam.
·
Theology of Nature
Theology ini tidak berangkat dari sains
sebagaimana natural theology . alih-alih, ia berangkat dari tradisi
keagamaan berdasarkan pengalaman keagamaan dan wahyu historis. Akan tetapi, ia
berpendapat bahwa beberapa doktrin tradisional harus dirumuskan ulang dalam
sinaran sains terkini. Disini, sains dan agama dipandang sebagai sumber ide-ide
yang relatif ondependen, tetapi bertumpang-tindih dalam bidang minatnya. Secara
khusus, doktrin tentang penciptaan dan sifat-dasar manusia dipengaruhi oleh
temuan-temuan sains. Jika kepercayaan keagamaan hendak diselaraskan dengan penetahuan
ilmiah, kita mesti melakukan penyesuaian dan modifikasi yang lebih besar
daripada yang dilakukan oleh pendukung tesis dialog. Yang mengatakan bahwa
teolog harus mengambil bentangan-luas sains yang telah diterima secara luas.[22]
Kembali ke
ungkapan Einstein bahwa “Tuhan memng rumit tapi tidak Jahat”, kita mendapat
petunjuk kearah aspek lain yang menarik dari tatanan alam. Einstein bermaksud
bahwa untuk memperoleh pemahaman tentang alam orang harus menggunakan
ketrampilan matematis, wawasan fisika dn kecerdasan mental seluas mungkin.[23]
Mengapa Tuhan
membentangkan Diri-Nya ke ddalam rangkaian-rangkaian yang begitu tak terhingga?
Mengapa Dia tidak merenungi wujud yang dmiliki-Nya tanpa perlu menyusahkan
Diri-Nya dengan urusan makhluk yang begitu terbatas bila di bandingkan dengan
Diri-Nya? Dia mengajarkannya dengan begitu baik. Dahulu Plato dengan intuisi
seorang jenius berkata, bahwa hal itu merupakan keharusan, sebab Tuhan adalah
baik. Namun ketika membicarakan kebaikan Tuhan, kita harus mencampur adukkanya
dengan tingkah laku moral manusia. Kebaikan yang ada pada Tuhan mengandung
adanya kemurahan hati, berkah dan pemberian anugerah. Kehendak sepenuhnya
milik-Nya, namun dengan penuh kemarahmatan Dia membetangkan kehendak itu dan
menciptakan makhluk lain dengan di berkahi satu porsi yang terbatas dari
kehendaknya yang tak terbatas.[24]
C.
Kesimpulan
Setelah
membaca paparan di atas agaknya penulis menyimpulkan bahwa antara sains dan
islam itu adalah seuatu hubungan antara ilmu yang tidak dapat di pisahkan
sebab, agama adalah ilmu yang menyatakan tentang sebuah wujud keTuhanan yang
kita percayai melalui Tahuhid, sedangkan Sains adalah ilmu yang mempelajari
tentang kejaidan alam semesta, dimana setiap seuatu yang di ciptakan pasti
mempunyai alasan dan ada yang menciptakan, seperti sebuah contoh, kenapa sebuah
rumah itu di bangun, pasti ada alasan untuk membangun rumah tersebut dan ada
pula yang mencptakan rumah tersebut.
Dengan
mempelajari sains yang mempunyai bukti nyata bahwa adanya penciptaan alam yang
nyata maka itu semuan ada kaitanya dengan Tuhan, seperti yang telah di
ungkapkan H.G. sarwar dalam bukunya Filsaft Al-Qur’an mana kala Tuhan
berfirman kepada “sesuatu”, “Jadilah.!” Dan iya pun “Jadi”. Apakah sesuatu itu
sisi luar Tuhan atau sebagai bagian dari diri-Nya? Pada pokok masalah ini
Al-Qur’an sangat jelas bahwa segala sesuatu, baik mental maupun material,
merupakan bagian dari Tuhan.
[1] S.N.Haq, Muzzafar Iqbal, “Tuhan, Alam,
manusia (prespektif Sains dan Agama)” Yogyakarta : Mizan, hal : 213
[5] Akhyar yusuf Lubis “Filsafat Ilmu(klasik
hingga konteporer)” Jakarta,
Grafindo persada, 2015, hal : 165-166
[6] Zainuddin ,”Filsafat Ilmu (Perspektif
Pemikiran Islam)” Yogyakarta, Naila pustaka, 2011, hal : 17
[9] Paul Davies, “Membaca Pikiran TUHAN (The Mind
of God)”, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012, hal : 4-5
[11] Charles Hard Townes (lahir di Greenville,
Carolina Selatan, Amerika Serikat, 28 Juli 1915 – meninggal di Berkeley,
California, Amerika Serikat, 27 Januari 2015 pada usia 99 tahun) ia adalah ilmuwan
Amerika serikat.
Ia belajar d Universitas Furman di kota itu.
Setelah mengambil pascasarjana di Universitas Duke dan Institut Teknologi
California, 1939-1947. Ia bekerja di Laboratorium Bell untuk merancang pembom
yang dikendalikan radar, lalu ia bekerja di Universitas Columbia di Jurusan
Fisika.
Pada tahun 1964, Townes dan 2 pionir Uni
soviet, Alexander mikhailovich Prokhorov dan Nikolai Gennadiyevich Basov
menerima penghargaan Nobel dalam Fisika.
[12] Penghargaan Nobel dianugrahkan setiap Tahun
kepada mereka yang telah melakukan penelitian yang luar biasa, menemukan teknik
atau peralatan yang baru atau telah melakukan kontribusi luar biasa ke
masyarakat . Hal ini saat ini dianggap sebagai penghargaan tertinggi bagi
mereka yang mempunyai jasa besar terhadap dunia. Pernghargaan Nobel pertama
kali diberikan berdasarkan wasiat Alfred Nobel, seorang indrustrialis Swedia,
dan seorang penemu dinamit. Dia menandatangani wasiat tersebut di
Swedish-Norwegian Club di Paris pada tanggal 27 November 1895. Hal ini
dilakukan karena ia terkejut melihat hasil penemuannya justru di manfaatkan
untuk tujuan-tujuan yang merusak, dan dia menginginkan agar penghargaan Nobel
diberikan kepadamereka yang berjasa besar terhadap kemanusiaan.
[16] Ian G. Barbour , “Juru Bicara Tuhan
(antara sains dan Agama)”, Bandung : Mizan, 2002, hal : 47-61
[17] John F. Haught, “Perjumpaan Sains dan
Agama ; dari konflik ke dialog,” Bandung : Mizan, 2004, hal : 2
[19] Istilah Teologi ini biasa disebut dengan
Usuluddin, sedang ajaran dasar agamanya di sebut ‘Aqoid atau ‘Aqidah , dan ada pula yang menyebutnya dengan Tauhid.
Selain itu dalam Al-Qur’an ada yang menyebut teologi sebagai ilmu Al-kalam,
dimana kalau kalam yang dimaksud itu adalah Firman Tuhan , maka itu berarti
ilmu tentang Al-Qur’an , sedangkan kalau yang dimaksud kalam Lkalam adalah
kata-kata manusia, itu berarti ilmu tentang “olah kata”.
[23] Paul Davies “Membaca pikiran Tuhan (the
Mind of God)” Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal : 341-342
No comments:
Post a Comment