JARINGAN ULAMA TIMUR TENGAH DAN KEPULAUAN NUSANTARA ABAD KE XVII &
XVIII
Revisi Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas UAS
“Sejarah Peradaban Islam”
Dosen Pengampu:
Dr. H. M. Hadi Masruri, Lc., M. A
Oleh
Adelina Sari Pohan (16771004)
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UIN MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
JARINGAN ULAMA TIMUR TENGAH DAN KEPULAUAN NUSANTARA
ABAD KE XVII DAN XVIII
Oleh
Adelina Sari Pohan
16771004
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A. Pendahuluan
Transmisi gagasan-gagasan pembaruan
merupakan bidang kajian Islam yang cukup terlantar, berbeda dengan banyaknya
kajian tentang transmisi ilmu pengetahuan misalnya dari yunani kepada kaum
muslim dan selanjutnya kepada Eropa modern, tidak terdapat kajian komprehensif
tentang transmisi gagasan-gagasan keagamaan-khususnya gagasan-gagasan
pembaharuan dari pusat-pusat keilmuan Islam ke bagian-bagian lain dunia muslim,
tentu saja terdapat sejumlah studi tentang transmisi Hadis dari satu generasi
ke generasi berikutnya pada masa awal Islam melalui isnad mata rantai transmisi yang berkesinambungan.
Kajian tentang transmisi dan penyebaran
gagasan pembaharuan Islam khususnya pada masa menjelang ekspansi kekeasaan
Eropa dalam abad ke 17 dan 18 penting karena beberapa alasan, sejarah sosial
intelektual Islam pada periode ini sangat sedikit dikaji, kebanyakan perhatian
diberikan kepada sejarah politik muslim karena terjadinya kemerosotan
entitas-entitas politik muslim, periode ini sering disebut sebagai masa gelap
dalam sejarah muslim. Bertentangan dengan pandangan yang banyak dipegangi bahwa
abad ke 17 dan ke 18 merupakan salah satu masa yang paling dinamis dalam
sejarah sosial-intelektual kaum muslim.
Sumber dinamika Islam dalam abad ke 17
dan ke 18 adalah jaringan ulama, yang terutama berpusat di Makkah dan Madinah,
posisi penting kedua kota suci ini khususnya dalam kaitan ibadah haji,
mendorong sejumlah besar guru (ulama) dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah
datang dan bermukiman di sana yang pada gilirannya menciptakan semacam jaringan
keilmuan yang menghasilkan wacana keilmuan yang unik. Sebagian besar mereka
yang terlibat dalam jaringan ulama ini, berasal dari berbagai dunia muslim
membawa berbagai tradisi keilmuan ke Makkah dan Madinah, terdapat usaha-usaha
sadar di antara ulama dalam jaringan untuk membarui dan merevitalisasi
ajaran-ajaran Islam, tema pokok pembaharuan mereka adalah rekonstruksi sosio
moral masyarakat-masyarakat muslim. Karena hubungan-hubungan ekstensif dalam
jaringan ulama, semangat pembaharuan tadi segera menemukan berbagai ekspresinya
di banyak bagian dunia muslim.
Pengembangan gagasan pembaharuan dan
transmisinya melalui jaringan ulama melibatkan proses-proses yang amat
kompleks, terdapat saling-silang hubungan di antara banyak ulama dalam
jaringan, sebagai hasil proses keilmuan mereka, khususnya dalam bidang hadis
dan tasawuf. Kajian atas kompleksitas hubungan dan atas kitab-kitab dan
karya-karya yang dihasilkan dalam jaringan ulama akan mengungkapkan banyak hal
tentang bagaimana gagasan pembaharuan Islam dan Transmisikan dari pusat-pusat
jaringan ke berbagai bagian dunia muslim.
Memahami proses-proses transmisi gagasan
pembaharuan itu menjadi semakin penting dalam hubungannya dengan perjalanan
Islam di Nusantara, karena kawasan ini secara geografis terletak pada pinggiran
dunia muslim, terdapat kekeliruan yang menganggap hubungan antara Islam di
Nusantara dengan Timur Tengah lebih bersifat politis ketimbang keagamaan,
setidaknya sejak abad ke 17 hubungan diantara kedua wilayah muslim ini umumnya
bersifat keagamaan dan keilmuan, meski juga terdapat hubungan politik antara
beberapa kerajaan muslim Nusantara misalnya dengan Dinasti Ustmani. Jika
hubungan keagamaan dan keilmuan ini dalam masa belakangan mendorong munculnya
semacam kesadaran politik, khususnya vis a vis imperialisme Eropa, itu
merupakan kosekuensi dari meningkatnya kesadaran tentang identitas Islam.
Hubungan antara kaum muslim dikawasan
Melayu-Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa-masa awal Islam,
para pedagang Muslim dari Arab, Persia dan anak benua India yang mendatangi
kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang tetapi dalam batas tertentu juga
menyebarkan Islam kepada penduduk setempat. Penetrasi Islam di masa lebih
belakangan tampaknya lebih dilakukan para guru pengembara sufi yang sejak akhir
abad ke 12 datang dalam jumlah yang semakin banyak ke Nusantara. Tatkala
hubungan Ukonomi, Politik, Sosial-Keagamaan antar negara-negara Muslim di
Nusantara dengan Timur Tengah semakin meningkat sejak abad ke 14-15, maka kian
banyak pulalah penuntut ilmu dan jamaah haji dari dunia Melayu-Indonesia yang
berkesempatan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di sepanjang rute
perjalanan Haji. Ini mendorong munculnya komunitas yang oleh sumber-sumber Arab
disebut ashbab al-jawiyyin (saudara
kita orang jawi) di Haramayn istilah jawi meskipun berasal dari kata Jawa,
merujuk kepada setiap orang yang berasal dari Nusantara.
Murid-murid Jawi di Haramayn merupakan
inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam di antara kaum muslim
Melayu-Indonesia, kajian atas sejarah kehidupan, keilmuan dan karya-karya yang
mereka hasilkan menjelaskan tidah hanya sifat hubungan keagamaan dan
intelektual di anatara kaum Muslim Nusantara dan Timur Tengah, tetapi juga
perkembangan Islam semasa di dunia Melayu-Indonesia. Kehidupan dan pengalaman
mereka menyajikan gambaran yang amat menarik tentang berbagai jaringan
intelektual-keagamaan yang terdapat di antara mereka dengan ulama Timur Tengah.
Terdapat sejumlah murid Jawi yang
menjadi subjek kajian inti yang terlibat dalam jaringan ulama pada abad ke 17
dan ke 18 setelah menuntut ilmu di Timur Tengah, khususnya di Makkah dan
Madinah sebagian besar mereka kembali ke Nusantara, disinilah mereka menjadi
transmiter utama tradisi intelektual keagamaan, tradisi Islam dari pusat-pusat
keilmuan Islam di Timur Tengah ke Nusantara.
Kecenderungan intelektual-keagamaan
paling mencolok yang muncul dari jaringan ulama adalah harmonisasi antara
syariat dan tasawuf, tasawuf yang telah diperbaharui sehingga menjadi lebih
sesuai dengan tuntutan syariat ini sering disebut dengan neo-sufisme.
Rekonsiliasi dan harmonisasi antara syariat dan tasawuf telah ditekankan sejak
masa lebih awal oleh tokoh-tokoh semacam al-Ghazali dan al-Qusyairi, tetapi
rekonsiliasi itu mencapi momentumnya terutama melalui jaringan ulama. Para
tokoh jaringan ulama percaya hanya dengan komitmen total kepada syariat, maka
kecenderungan sufisme awal yang ekstravagen dan eksesif dapat dikontrol.
Kebanyakan ulama dalam jaringan
mempunyai komitmen kepada pembaharuan Islam, tidak terdapat keseragaman di
antara mereka dalam hal metode dan pendekatan untuk mencapai tujuan ini,
kebanyakan mereka memilih pendekatan damai dan evolusioner, tetapi sebagian kecil
yang paling terkenal diantara mereka adalah Muhammad b. Abd Al-Wahhab di
Semenanjung Arabia dan Ustman b Fudi di Afrika Barat lebih menyenangi
pendekatan dan cara-cara radikal yang pada gilirannya juga di tempuh sementara
ulama atau gerakan pembaru Nusantara, semacam gerakan Padri di Minangkabau.
Sejauh ini tidak terdapat kajian komprehensif tentang jaringan ulama Timur
Tengah dan Nusantara, meski terdapat kajian-kajian penting tentang beberapa
tokoh ulama Melayu-Indonesia pada abad ke 17 dan 18, tetapi tak banyak upaya
yang dilakukan untuk mengkaji secara kritis tentang sumber-sumber pemikiran
mereka dan khususnya tentang bagaimana gagasan dan pemikiran Islam mereka
transmisikan dari jaringan ulama yang ada dan tentang bagaimana gagasan yang
mereka transmisikan itu mempengaruhi perjalanan historis Islam di Nusantara.
Beberapa tulisan Voll membahas tentang
jaringan ulama yang berpusat di Makkah dan Madinah, dan hubungan-hubungan
mereka dengan bagian-bagian lain dunia muslim, tetapi Voll membahas terutama
tentang kebangkitan jaringan itu di antara di antara ulama Timur Tengah dan
anak Benua India, dia hanya sekedar menyebut keterlibatan ulama
Melayu-Indonesia seperti Abd Al-Ra’uf Al-Sinkili dan Muhammad Yusuf
Al-Maqassari dalam jaringan ulama Internasional tersebut.
Jhons dalam beberapa tulisan juga
membahas hubungan-hubungan tersebut, khususnya antara Al-Sinkili dan Ibrahim
Al-Kurani, tetapi dia tidak melakukan usaha membahas lebih lanjut jaringan
keilmuan Al-Sinkili dengan ulama lain di Haramayn.
Kajian ini terdiri dari beberapa masalah
pokok yaitu pertama, bagaimana jaringan keilmuan terbentuk di antara ulama
Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia, bagaimana sifat dan
karakteristik jaringan tersebut, apakah ajaran atau tendensi intelektual yang
berkembang dalam jaringan. Kedua, apa peran ulama Melayu-Indonesia dalam
Transmisi itu ? ketiga, apa dampak lebih jauh dari jaringan ulama terhadap
perjalanan Islam di Nusantara.
Pendeknya kajian ini berusaha
menjelaskan sejumlah masalah penting pertama, tentang jaringan ulama global
dengan referensi khusus kepada ulama Melayu-Indonesia beserta
kecenderungan-kecenderungan intelektual mereka dalam abad ke 17 dan 18. Kajian
ini merupakan pembahasan tentang peranan jaringan ulama dalam transmisi
gagasan-gagasan pembaruan ke Nusantara dan sekaligus pelacakan awal tentang
sumber-sumber pembaruan awal dalam sejarah Islam di Nusantara.
A. Pembahasan
1. Terbentuknya
jaringan ulama Timur Tengah dengan murid-murid Melayu-Indonesia
Hubungan antara kaum muslimin di kawasan
Melayu Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin sejak masa awal Islam, para
pedagang Muslim dari Arab, Persia dan Anak Benua India yang mendatangi
kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang tetapi dalam batas tertentu juga
menyebarkan Islam kepada penduduk setempat yang dilakukan oleh pengembara sufi
yang sejak akhir abad ke 12 datang dalam jumlah yang semakin banyak. Imbasnya
kemakmuran kerajaan muslim mendorong segmen-segmen tertentu dalam masyarakat
Melayu-Indonesia melakukan perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di
Timur Tengah di sepanjang rute perjalanan Haji, hal ini memunculkan komunitas
yang oleh sumber-sumber Arab disebut Ashhab
Al-Jawiyyin (saudara kita orang jawi) di Haramayn, istilah Jawi meskipun
berasal dari kata “Jawa” merujuk kepada setiap orang yang berasal dari
Nusantara.[1]
Murid-murid Jawi di Haramayn merupakan
inti utama tradisi intelektual dan keilmuan Islam di antara kaum muslim
Melayu-Indonesia, kajian atas sejarah kehidupan, keilmuan dan karya-karya yang
mereka hasilkan menjelaskan tidah hanya sifat hubungan keagamaan dan
intelektual di antara kaum Muslim Nusantara dan Timur Tengah, tetapi juga
perkembangan Islam semasa di dunia Melayu-Indonesia, disini mereka menjadi transmitter utama tradisi keagamaan
tradisi Islam dari pusat keilmuan Islam di Timur Tengah.
Sepanjang menyangkut perkembangan Islam
khususnya pada abad ke 17 neo-sufisme merupakan wacana dominan dalam jaringan
ulama Nusantara dengan Timur Tengah khususnya Makkah-Madinah menyaksikan
perkembangan pemikiran Islam neo-sufisme, sehingga sebagai wilayah yang
terlibat dalam proses transmisi keilmuan Arab dari Timur Tengah, Indonesia
menampakkan kecenderungan Islamnya yang neo-sufisme.[2]
Dari waktu ke waktu ajaran neo-sufisme
di Indonesia cenderung menguat, bahkan dalam konteks sejarah ajaran salah satu
jenis tarekat yakni tarekat Syattariyyah, sifat neo-sufisme ini diterjemahkan
menjadi penolakan terhadap doktrin wahdatul
wujud (kesatuan wujud) yang sebelumnya menjadi substansi tasawuf. Hanya
saja meskipun telah menjadi pembaharuan atas jenis dan sifat tasawuf dalam
gerakan neo-sufisme, satu hal masih dipegang teguh oleh para pengamal ajaran
neo-sufisme adalah berkaitan dengan organisasi tarekat, ada kecenderungan bahwa
para sufi yang terlibat dalam propoganda neo-sufisme mamanfaatkan organisasi
tarekat untuk menciptakan jaringan internasional yang dapat menghubungkan satu
ulama sufi dan ulama sufi lain dan juga satu wilayah Islam dengan wilayah Islam
lain.[3]
Karakteristik yang
berkembang dalam jaringan ulama
Jaringan ulama menjadi semakin ekstensif
dalam abad ke 17, dan jelas terdapat hubungan di antara ulama masa lebih awal
dengan mereka yang terlibat dalam abad ke 17 tetapi, hubungan-hubungan yang
terdapat dalam jaringan abad ke 17 jelas jauh lebih kompleks. Saling-silang
hubungan baik melalui studi hadist dan afiliasi tarekat luar biasa rumit,
meskipun demikian hubungan-hubungan itu bisa dilacak, sampai ke masa modern
sekalipun.
Saling-silang hubungan ulama yang
terlibat dalam jaringan menciptakan komunitas-komunitas intelektual
internasional yang saling berkaitan satu sama lain. Hubungan-hubungan diantara
mereka pada umumnya tercipta dalam kaitan dengan upaya pencarian ilmu melalui
lembaga-lembaga pendidikan, seperti masjid, madrasah, dan ribath. Karena itu
kaitan dasar di antara mereka bersifat akademis, koneksi di antara mereka satu
sama lain mengambil bentuk hubungan guru dengan murid “hubungan vertikal”,
hubungan akademis ini juga mencakup bentuk-bentuk lain guru dengan guru, atau
murid dengan murid, yang keduanya dapat pula disebut “hubungan horizontal”.
Bentuk-bentuk hubungan ini tidaklah secara ketat dan formal diorganisasi dalam
struktur hirarkies, mobilitas guru-guru dan murid-murid yang relatif tinggi
memungkinkan pertumbuhan jaringan ulama sehingga mengatasi batas-batas wilayah
perbatasan etnis dan kecenderungan-kecenderungan keagamaan dalam hal mazhab dan
sebagainya.[4]
Meski hubungan antara ulama ini agaknya
kelihatan cukup formal, khususnya jika di pandang dari dunia akademis modern
minat bersama dalam membangkitkan kembali kejayaan ummah merangsang kerjasama,
yang pada gilirannya menghasilkan hubungan-hubungan antar pribadi yang erat ini
dipelihara dalam berbagai cara khususnya setelah ulama atau murid-murid yang
terlibat dalam jaringan kembali ke negeri masing-masing atau mengembara ke
tempat-tempat lain, kebutuhan membina dan memelihara tali hubungan lebih kuat
dengan ulama dan murid-murid jebolan Haramayn menghadapi persoalan-persoalan di
negeri masing-masing dan karenanya memerlukan saran, bimbingan, pendapat dan
kolega-kolega dan guru-guru mereka di Haramayn, ini membantu menjelaskan
kontuniutas hubungan-hubungan keilmuan dalam jaringan.
Lebih jauh dua sarana terpenting yang membuat
hubungan relatif solid adalah isnad hadis dan silsilah tarekat. Voll
menyimpulkan keduanya memainkan peran krusial dalam menghubungkan ulama yang
terlibat dalam jaringan, yang berpusat di Haramayn pada abad ke 18. Kesimpulan
yang sama juga berlaku untuk periode abad ke 17, guru-guru dan murid-murid asal
Afrika Utara dan Mesir, misalnya membawa tradisi studi hadis di wilayah mereka
ke Haramayn. Haramayn sendiri sejak masa awal Islam terkenal sebagai pusat
penting studi Hadis, kedatangan ulama dari tempat-tempat lain amat membantu
dalam membangkitkan kembali posisi dominan Haramayndalam studi Hadist.
Interaksi dan hubungan-hubungan diantara berbagai tradisi keilmuan ini, pada
gilirannya menciptakan suatu tradisi baru yang unik.
Sedangkan silsilah-silsilah tarekat,
secata tradisional merupakan sarana penting dalam menciptakan hubungan-hubungan
lebih erat di antara ulama, ini disebabkan sifat daar kehidupan dan pola-pola
hubungan struktural di dalam tarekat itu sendiri. Murid-murid dalam jaringan
mistis, secara defenisi, harus tunduk kepada ajaran, perintah dan keinginan
syaikh tarekat, baik yang langsng bertemu dengan mereka maupun yang tidak
langsung, hanya bertemu di dalam silsilah. Kenyataan ini menciptakan ikatan
yang amat kuat di antara mereka yang terlibat di daam tarekat dan mengamalkan
tasawuf, Voll menyatakan jenis ikatan semacam ini membentuk hubungan lebih
personal dan afiliasi bersama, yang membantu terciptanya rasa kohesi lebih
besar dalam kelompok-kelompok ulama.
Semakin pentingnya jalan esotoris di
Haramayn, akibat kedatangan tarekat-tarekat yang dibawa, misalnya ulama asal
India, menghasilkan interaksi, rapprochement,
dan rekonsiliasi lebih intens di antara ulama sufi dengan ulama fiqh yang
menekankan jalan eksoteris. Dengan demikian ini tidak hanya menghasilkan
hubungan-hubungan lebih erat, tetapi tak kurang pentingnya juga menghilangkan
atau setidaknya mengurangi dikotomi di antara mereka yang disebut ulama sufi
dan ulama fiqh, seperti telah kita lihat hampir semua ulama yang menjadi inti jaringan
adalah ahli syari’ah dan tasawuf
sekaligus.
Keterlibatan ulama asal India dalam
jaringan jelas membantu perluasan jaringan ulama, tidak kurang pentingnya
mereka memperluas ranah pengaruh tarekat, khususnya Syathariyah dan
Naqsyabandiyah, yang sebelumnya terutama diasosiasikan sebagai Tasawuf anak
Benua India dan nyaris tak dikenal di Haramayn, tetapi perlu dicatat dengan
memasuki Haramayn yang sekali lagi bangkit sebagai pusat studi Hadist atau
jalan eksoteris umumnya tarekat-tarekat mengalami semacam reorientasi.[5]
Meski terdapat hubungan erat di antara
ulama dalam jaringan, juga ada keragaman di antara mereka, beragam satu sama
lain bukan hanya dalam hal tempat asal dan etnisitas, tetapi juga dalam hal
mazhab dan afiliasi tarekat. Sementara seorang guru merupakan pengikut mazhab
Hanafi, muridnya bisa jadi adalah penganut Syafi’i, sementara seorang guru
adalah Sufi Sathariyah, muridnya bisa jadi mengikuti tarekat Naqsyabandiyah.
Meski ada perbedaan-perbedaan semacam ini, ulama dalam jaringan memiliki
kecenderungan umum ke arah reformisme Islam.
Berdasarkan wacana di atas maka dapat
disimpulkan bahwa karakteristik dasar jaringan ulama ini tidaklah secara ketat
dan formal di organisasi dalam struktur hirarkis, mobilitas guru dan murid yang
relatif tinggi memungkinkan pertumbuhan jaringan ulama sehingga mengatasi
batas-batas wilayah perbedaan asal etnis dan kecenderungan-kecenderungan
keagamaan dalam hal mazhab. Namun yang menonjol dua sarana penting yang membuat
hubungan relatif solid adalah isnad hadis dan silsilah tarekat, dalam
pengkajian keilmuan, mereka duduk dalam majlis yang dikenal dengan ribath
membahas tentang keilmuan.
Tendensi intelektual
yang berkembang dalam jaringan ulama Timur Tengah
Ulama terkemuka dalam jaringan sebelum
menetap di Haramayn atau tempat-tempat lainnya, telah menjadi ulama pengembara
(peripatetic scholars)[6]
yang berkelana dari satu pusat pengajaran ilmu-ilmu Islam ke pusat lain, sambil
belajar dan mengaji dari berbagai guru yang memiliki tradisi-tradisi keilmuan
mereka masing-masing, jadi mereka dipengaruhi bukan hanya oleh satu guru
melainkan oleh banyak guru mereka dihadapkan pada dan menyerap berbagai jalan
pemikiran dan kecenderungan-kecenderungan intelektual. Mengingat hal ini setiap
usaha untuk menyingkap isi atau ajaran-ajaran yang dikembangkan dan disebarkan
oleh jaringan ulama itu tidaklah mudah.
Dalam pengertian tertentu Haramayn adalah
sebuah “panci pelebur” (melting pot)
berbagai tradisi “kecil” islam sama-sama lebur untuk membentuk suatu sintesis
baru yang sangat condong pada tradisi besar (great tradisition). Kita telah mengamati sebelumnya bagaimana para
ulama dari Anak Benua India misalnya membawa tradisi-tradisi mistis mereka ke
Haramayn, sementara para ulama dari Mesir dan Afrika Utara datang dengan muatan
ilmu-ilmu hadist tradisi-tradisi ini berinteraksi satu dengan yang lainnya, dan
dengan tradisi yang telah mapan di Haramayn sendiri, apa yang dihasilkan dari
interaksi tradisi-tradisi ini.
Harus diingat sejak awal bahwa apa yang
dinamakan sintesis baru tidak sepenuhnya merupakan perkembangan baru dalam
sejarah tradisi-tradisi sosial dan intelektual Islam, meski demikian sintesis
baru itu memiliki beberapa ciri khas jika dibandingkan dengan tradisi
sebelumnya dan dalam banyak hal ia juga mengandung beberapa unsur kesinambungan
dengan tradisi-tradisi sebelumnya. Langkah kembali pada sikap ortodiksi Sunni
yang mencapai momentum setelah abad ke 12 tampaknya mencapai kulminasi pada
masa yang sedang dibahas, hal ini dapat
dilihat tidak hanya dalam kandungan intelektual dari jaringan ulama melainkan
juga dalam aspek-aspek organisasional mereka, atau lebih tepatnya keterkaitan
dikalangan para ulama, jadi semangat kebangkitan kembali yang mengilhami
pendirian madrasah-madrasah dimana-mana di Timur Tengah setelah berdirinya
Madrasah Nizhamiyah pada 459/1066 terus berkembang dengan berbagai cara.
Ciri paling menonjol dari jaringan ulama
adalah bahwa saling pendekatan antara para ulama yang berorientasi pada syariat
(lebih khusus lagi para fuqaha) dan para sufi mencapai puncaknya, konflik yang
berlangsung lama antara kedua kelompok cendekiawan muslim ini tampaknya telah
banyak berkurang sikap saling pendekatan atau rekonsiliasi di antara mereka
yang diajarkan gigih oleh ulama seperti al-Qusyairi dan al Ghazali beberapa
abad sebelumnya banyak dijalankan para
ulama kita. Ebagian besar mereka adalah ahl al-asyari’ah (fukaha) dan ahl
al-haqiqah (sufi) sekaligus jadi sebagaimana telah kita lihat sebelumnya mereka
menguasai tidak hanya seluk beluk syariat tetapi juga haqiqah (realitas mistis
atau ilahiah).[7]
Sikap saling pendekatan antara syariat
dan tasawuf (sufisme) dan masuknya para ulama ke dalam tarekat mengakibatkan
timbulnya Neo-Sufisme. Ada banyak pembahasan mengenai makna dan penggunaan
istilah Neo-Sufisme yang diciptakan oleh Fazlur Rahman, menurut Rahman,
neo-Sufisme adalah tasawuf yang telah diperbaharui yang terutama dilecuti dari
ciri dan kandungan ekstatik dan metafisiknya, dan digantikan dengan kandungan
yang tidak lain dari dalil-dalil ortodoksi Islam, lebih jauh dia menjelaskan
tasawuf baru ini menekankan dan memperbaharui faktor-faktor moral asli dan
kontrol diri yang puritan dalam tasawuf dengan mengorbankan ciri-ciri
berlebihan dari tasawuf popular yang menyimpang, pusat perhatian neo-Sufisme
adalah rekonstruksi sosio-moral dari masyarakat muslim, ini berbeda dengan
tasawuf sebelumnya yang terutama menekankan individu dan bukan masyarakat.
Akibatnya Rahman menyimpulkan karakter keseluruhan neo-Sufisme tak lain lagi
adalah puritan dan aktivis.
Pada masa awal Islam, tasawuf merupakan
salah satu bentuk ungkapan keberagamaan seseorang yang sifatnya sangat pribadi,
seseorang yang masuk kedalam dunia tasawuf bermaksud menegaskan hubungan
spriritual dirinya sebagai hamba dengan Tuhannya yang disembah. Hubungan antara
‘abid dan ma’bud ini yang lebih menekankan aspek batin, umumnya dipahami
berbeda dengan hubungan antara ‘abid dengan ma’bud yang diatur melalui
doktrin-doktrin fiqih dan lebih bersifat lahir, karena wataknya sangat personal,
para sufi periode awal tidak bergabung dalam sebuah wadah yang kemudian disebut
tarekat. Tokoh-tokoh sufi seperti Zunnun al-Misri, Rabiah al-Adawiyah,
al-Hallaj tidak dihubungkan dengan tarekat tertentu.[8]
Tarekat secara kelembagaan tidak dikenal
dalam Islam hingga abad ke-8 atau abad ke 14 M, artinya sebagai organisasi
dalam dunia tasawuf tarekat bisa dianggap sebagai hal baru yang tidak pernah
dijumpai dalam Islam periode awal. Tarekat pada masa awal sifatnya sangat
personal, aspek yang menonjol dari sifat tasawuf pada masa awal-awal Islam
adalah ungkapan-ungkapan yang menunjukkan cinta kasih dengan Tuhan bahkan
ungkapan-ungkapan yang menunjukkan penyatuan atau peleburan diri sang sufi
dengan Rabb nya (wahdatul wujud),
tentu saja ajaran-ajaran seperti ini hanya dapat dipahami oleh sang sufi
sendiri. Bagi orang awam yang lebih menekankan aspek lahir (syar’iyyah) ajaran sufi sering kali
disalahtafsirkan, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik keagamaan.
Dalam perkembangan berikutnya muncul
kecenderungan untuk mengkritik model tasawuf yang demikian, tokoh-tokoh seperti
al-Ghazali dan al-Qushairi termasuk yang terdepan dalam melakukan reformulasi
ajaran tasawuf. Mereka menekankan rekonsiliasi antara ajaran tasawuf dan ajaran
syari’at, mereka mengakui bahwa bertasawuf itu penting dan dengan al-Haqq.
Namun bertasawuf tidak serta merta boleh meninggalkan ritual ibadah syar’iyyah.[9]
Kecenderungan rekonsiliatif ini terus
berkembang seiring perkembangan ajaran tasawuf ke berbagai wilayah di dunia
Islam termasuk Indonesia, pada gilirannya kecenderungan tasawuf demikian
semakin menjadi mainstreamdi dunia Islam secara keseluruhan dan disebut
kemudian dengan neo-sufisme, dalam konteks Islam Indonesia, isu penting yang
berkembang sejak awal proses islamisasi adalah sufisme di setiap wilayah mana
Islam berkembang baik level kerajaan maupun masyarakat, sufisme senantiasa
mewarnai secara keseluruhan gambaran Islam yang muncul.[10]
Al-Qusyasyi (tokoh jaringan ulama
Haramayn) mengakui perbedaan-perbedaan tertentu diantara kedua “jalan” itu
sesungguhnya jalan atau cara termasuk diantara makna-makna dari syariat dan
tarekat (thariqah), karena keduanya
berasal dari sumber yang sama yaitu al-Qur’an dan Hadis. Pada dasarnya kaum
muslim dapat mencapai tahap-tahap tertentu haqiqah
sementara mereka mengabaikan doktrin-doktrin syari’at yang ditetapkan al-Qur’an
dan Hadis, tetapi mereka tidak dapat merasakan rahmat Tuhan yang sejati, karena
seorang sufi perlu melewati jalan mistis dengan tuntunan syari’at. Al-Hawawi
bercerita ketika dia (al-Qusyasyi) berbicara tentang haqiqah, dia selalu mendukungnya dengan ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi.
Lebih lanjut dengan pandangan yang
jernih mengenai hubungan yang layak antara syariat dan tasawuf menjelaskan
bahwa tidak akan ada maqam atau ahwal
(tahap-tahap dalam perjalanan mistis) yang sejati tanpa bekal yang cukup akan
pengetahuan secukupnya dan perbuatan baik seperti yang diajarkan al-Qur’an dan
Hadis, pengetahuan saja tidak cukup, pasti tidak akan ada perjalanan mistis
sejati bagi mereka yang tidak memenuhi ibadah majib seperti shalat, puasa,
zakat dan perbuatan-perbuatan baik lainnya yang dianjurkan.
Para tokoh dalam jaringan ulama
bersepakat, sama sekali mustahil bagi para sufi mencapai tujuan spiritual
mereka tanpa mematuhi sepenuhnya doktrin ortodoks Islam, mereka tentu saja
mengakui adanya manifestasi dan praktik yang menyimpang dari tasawuf yang
sebenarnya terutama pada tingkat massa tetapi hal itu terutama disebabkan
kurangnya pemahaman atas ajaran-ajaran tasawuf yang murni. Karena itu tasawuf
sendiri tidak boleh dianggap bertanggungjawab atas semua bid’ah dan khurafat
yang terdapat dikalangan masyarakat muslim. Keberadaan sufi bukanlah bahaya
yang mematikan yang harus kita ambil aturan dalam sejarah, karena setiap muslim
yang baik mengetahui bahwa seseorang dengan kegiatan intelektualnya dapat
mencapai pemahaman yang lebih dalam mengenai dunia dan Tuhannya.[11]
Kecenderungan yang mencolok dari
jaringan ulama ini adalah tekanannya penggunaan akal bahkan juga aktifisme,
berulang kali mereka mendorong kaum muslim agar sepenuhnya menjalankan
tugas-tugas duniawi mereka untuk menopang hidup dengan jalan mengajar,
berdagang, bertani. Menurut pendapat al-Qusyasyi seorang sufi sejati bukanlah
orang yang mengasingkan dirinya dari masyarakat melainkan menganjurkan kebaikan
dan melarang kejahatan, mengulurkan tangan membantu yang tertindas, sakit, dan
yang miskin, lebih lanjut lagi seorang sufi sejati hendaknya orang yang dapat
bekerjasama timbal-balik (ta’awun)
dengan orang-orang muslim lainnya demi kebaikan masyarakat. Dengan demikian
tidaklah benar tuduhan kaum modernis bahwa tasawuf mendorong kepasifan dan
penarikan diri dari permasalahan duniawi hanya didasarkan terutama pada
ketidaktahuan pengertian tentang keseluruhan ajaran tasawuf.[12]
Semangat pembaharuan dari jaringan ulama
jelas terpusat pada rekonstruksi sosio moral dan dan intelektual atas
masyarakat muslim, beberapa bukti menunjukkan terjadinya diskusi diantara para
ulama mengenai kemunduran masyarakat muslim baik secara sosial, politik maupun
keagamaan, mereka jelas memahami bahwa masyarakat mereka memerlukan
revitalisasi. Menurut mereka jalan yang masuk akal untuk mencapai tujuan itu
adalah dengan mengembangkan pemahaman lebih berimbang atas setiap aspek Islam,
menekankan seluruh ajarannya secara holistik seperti dalam bidang humum dan
mistis, intelektual dan praktikal, serta sosial dan individual. Dengan demikian
sebagaimana yang telah kita lihat, tak seorangpun diantara para ulama kita
menolak tasawuf atau mengesampingkan pentingnya syari’at, tekanan mereka jelas
bernada pembaruan, purifikasionis, dan aktivis. Pendeknya para ulama berusaha
melahirkan perubahan-perubahan dalam masyarakat dengan upaya mereka sendiri dan
bukan menunggu campur tangan eskatologis, tidak ada bukti yang menyarankan
bahwa ada diantara para ulama itu yang mengikuti gagasan, seperti
milenarianisme (paham tentang pembaharuan seribu tahun) atau Mahdisme,
sesungguhnya mereka menentang gagasan-gagasan tersebut dengan gigih.
Timbul pertanyaan apa pengaruh dari
semua perubahan doktrinal dalam tasawuf itu terhadap aspek organisasional
tarekat ?
Ciri yang paling mencolok dari
tarekat-tarekat pada periode pembahasan adalah bahwa mereka ternyata
diorganisasi secara longgar, tidak ada batasan-batasan jelas diantara berbagai
tarekat yang jumlahnya cukup banyak itu baik dalam doktrin-doktrin maupun
praktik-praktik (peribadatan dan upacara) atau “keanggotaan” mereka. Para
syeikh dan murid-murid sufi tidak harus setia pada suatu tarekat saja, mereka
bisa menjadi pemimpin dan murid dari sejumlah tarekat, lebih jauh lagi mereka
dapat berhubungan bukan hanya dengan tarekat-tarekat tertentu yang berasal dari
atau yang kebanyakan berkembang di satu wilayah tertentu dunia Islam, tetapi
juga dengan tarekat yang datang dari wilayah-wilayah lain.
Ahmad Al-Qusyasyi merupakan contoh bagus
untuk menopang argumen ini, sebagaimana dikatakannya dalam riwayatnya, dia
berafiliasi dengan hampir selusin tarekat: Syathariyyah, Chisytiyah, Firdawsiyah,
Kubarawiyah, yang semua itu diterima dari Ahmad Al-Syinnawi, dan masih banyak
lagi yang lainnya. Meskipun afiliasi dengan banyak tarekat dipraktekkan secara
luas, begitu seorang menyatakan kesetiannya pada seorang syeikh tertentu, dia
dituntut mamatuhi aturan-aturannya, kesetiaan pada sang syeikh akan menuntunnya
kepada makna sejati dalam mistis.
Dengan demikian aturan-aturan syariat
menajadi norma-norma baku bagi para murid yang ingin diterima menjadi anggota
tarekat diantara syarat-syarat paling penting untuk diterima sebagai murid
adalah kedewasaan yang membuat mereka layak bertanggungjawab menjalankan
seluruh rukun Islam, dengan syarat-syarat yang begitu ketat keanggotaan tarekat
menjadi sangat terbatas. Meskipun keanggotaan dalam tarekat sangat terbatas,
para murid di Haramayn sama sekali tidak bisa dikatakan homogen, para sufi dan
murid di Haramayn sangat heterogen dalam banyak hal, para sufi Haramayn secara
geografis berasal dari berbagai bagian dunia Islam, secara religius mereka juga
berpegang pada mazhab-mazhab yang berlainan, dan secara sosial mereka menempati
kedudukan yang berbeda-beda dalam masyarakat dari guru, pedagang, hingga
penguasa.
Aspek organisasional lainnya dari
tarekat-tarekat menyangkut pusat aktivitas mereka, para sufi Haramayn terpusat
di masjid-masjid suci, rumah atau ribath para guru kemudian menjalankan
upacara-upacara sufistik mereka disana, dan para ulama yang telah menetap di
Haramayn mempunyai rumah sendiri yang terkadang juga memiliki perpustakaan
besar, maka dari itu para ulama sufi kebanyakan tinggal da rumah daripada
tinggal di ribath, ribath-ribath ini biasanya dipimpin seorang kepala
administrator yang telah ditunjuk bukan
seorang syeikh sufi.[13]
2. Peran ulama
Melayu-Indonesia dalam transmisi kandungan intelektual jaringan ulama ke
Nusantara
Para ulama Melayu-Indonesia menjalin
hubungan erat dengan tokoh-tokoh penting dalam jaringan ulama Haramayn pada
abad ke 18 memainkan peranan bukan hanya mempertahankan momentum pembaharuan di
Nusantara (yang sebelumnya di rintis oleh ulama seperti Ar-Raniri, Al-Sinkili
dan Al-Maqassari) tetapi lebih penting meneruskan bendera pembaharuan kepada
generasi ulama Melayu Indonesia sesudahnya, tema sentral pemikirannya adalah
keselarasan aspek-aspek hukum dan mistis Islam. Keselarasan itu juga merupakan
tema sentral Al-Palimbani dan rekan-rekannya, sementara Dawud al-Fatani
merupakan contoh baik dari seorang ulama yang berhasil dalam usahanya
mendamaikan aspek hukum dan aspek mistik Islam.[14]
3. Dampak lebih
jauh dari jaringan ulama terhadap perjalanan Islam di Nusantara
Pada
tahun-tahun terakhir abad ke 18 tanda-tanda yang lebih jelas dari pembaharuan
keagamaan muncul dikalangan masyarakat minangkabau. Misalnya diantara
surau-surau syatariyyah ada usaha sadar untuk menghidupkan kembali
ajaran-ajaran Al-Sinkili terutama menyangkut pentingnya syari’at dalam praktik
tasawuf. Islam masuk Minangkabau pada masa kerajaan samudra Pasai kemudian
masuk ke pedalaman dibawa oleh Syeh Syamsuddin, imigran-imigran Aceh berhasil
mengislamkan penduduk pedalaman bangkahulu.
Gerakan awal pembaruan pemikiran Islam
modern di Minangkabau menjelma menjadi gerakan padri, yang dipelopori dan
dipimpin langsung oleh putra-putra daerah ini yang pulang haji di awal abad ke
19, melakukan pemurnian Islam menurut ide, pola, dan cara yang dilakukan kaum
Wahabiyah di Arabia.[15]
KESIMPULAN
Penyebaran pembaharuan Islam ke wilayah
Melayu-Indonesia pada abad ke 17 dan 18, para ulama Melayu-Indonesia yang
terlibat dalam jaringan ulama kosmopolitan yang berpusat di Makkah dan Madinah
memainkan peanan menentukan dalam menyiarkan gagasan-gagasan pembaruan baik
melalui pengajaran maupun karya tulis. Menyangkut pembaharuan ini Islam di
wilayah pembahuruan Melayu-Indonesia pada abad ke 17 bukan semata islam
beroriantasi pada tasawuf, melainkan Islam juga berorientasi pada syariat, ini
merupakan perubahan besar dalam sejarah Islam di Nusantara, sebab pada
abad-abad sebelumnya Islam mistislah yang dominan. Setelah belajar di pusat
jaringan di Timur Tengah para ulama Melayu-Indonesia sejak paruh ke 2 abad ke
17 dan seterusnya melakukan usaha-usaha yang dijalankan dengan sadar bahkan
secara serentak untuk menjalankan neo-sufieme di Nusantara.
Neo-sufisme berbeda dari jenis tasawuf
sebelumnya yang sebagian besarnya merupakan semacam penafsiran
mistiko-filosofis terhadap Islam, sementara mempertahankan doktrin-doktrin
mistisme filosofis tertentu, yang sangat penting bagi setiap jenis tasawuf,
neo-sufisme memberikan tekanan lebih besar pada kesetiaan dan kepatuhan total
dari para penganutnya kepada syari’at. Lebih jauh lagi berbeda dengan jenis
tasawuf sebelumnya yang cenderung mendorong para sufi bersikap pasif,
neo-sufisme menganjurkan aktivisme, keterlibatan dalam permasalahan duniawi
dianggap sebagai salah satu langkah penting menuju pemenuhan cita-cita mistis.
Bangkitnya neo-sufisme, tak diragukan
lagi terutama merupakan hasil usaha jaringan ulama yang semakin berjaya sejak
menjelang akhir abad ke 16, jaringan ulama yang terpusat terutama di Haramayn
timbul sebagai akibat interaksi berbagai tradisi pengetahuan dan keilmuan Islam
dari Afrika Utara, Mesir, Irak, Yaman, India dan Haramayn itu sendiri.
Jaringan ulama itu sendiri mencakup
hubungan-hubungan yang rumit diantara para ulama dari berbagai bagian dunia
muslim, karena kedudukannya yang utama dalam Islam, Makkah dan Madinah semakin
banyak menarik minat para ulama sejak abad ke 15, pada saat yang sama
madrasah-madrasah dan ribath-ribath juga tumbuh dalam jumlah besar di kedua
kota tersebut. Madrasah dan ribath-ribath tersebut sangat besar sumbangannya
dalam kebangkitan pengetahuan dan keilmuan Islam di Haramayn. Banyak tokoh yang
memainkan peran penting dalam jaringan ulama, mula-mula datang ke Haramayn
untuk menjalankan ibadah haji atau mengajar, atau dua-duanya, sebagian diantara
mereka kemudian menetap disana dan mencurahkan tenaga mereka belajar dan menulis,
bersama dengan para murid-murid yang berasal dari berbagai tempat. Kemudian
membentuk komunitas kosmopolitan di Haramayn.
Dua ciri paling penting dari wacana
ilmiah dalam jaringan adalah telaah hadis dan tarekat, melalui telaah-telaah
hadis para guru dan murid-murid dalam jaringan ulama menjadi terkait satu sama
lainnya, tidak kalah penting para ulama ini mengambil dari telaah-telaah hadis
inspirasi dan wawasan mengenai cara memimpin masyarakat muslim mengenai
rekonstruksi sosio-moral, ini pada gilirannya mendorong para tokoh dalam
jaringan ulama untuk mendapatkan apresiasi yang lebih baik menyangkut hubungan
yang seimbang antara syari’at dan tasawuf. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan
terciptanya beberapa perubahan doktrinal dalam tarekat atau tasawuf pada
umumnya tekanan lebih difokuskan kepada penyucian pikiran dan perilaku moral
melalui kepatuhan penuh kepada syariat dan bukan hanya pada penjelajahan
mistiko-filosofi.
Penyebaran pembaruan Islam di Nusantara
sepanjang abad ke 17 dan 18 tidak lantas bahwa tradisi kecil Islam di bagian
dunia Islam ini menjadi sepenuhnya sesuai dengan tradisi besar, berbagai bentuk
keyakinan dan praktik-praktif yang tidak sesuai Islami terus mencengkram segmen
tertentu kaum muslim dan ini merupakan alasan penting bagi kelanjutan
pembaharuan periode sekanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII, Jakarta: Kencana, 2007
Fathurrahman, Tanbih Al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud:
Kasus Abdurrauf Singkil di Aceh abad 17, Bandung: Mizan, 1999
Azyumardi Azra, Jaringan Global dan Lokal Islam Nusantara,
Bandung: Mizan, 2007
Saifullah, Sejarah Kabudayaan
Islam di Asia Tenggara, Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010
Sayyid
Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
Martin Van Bruinessan, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat,
jogjakarta: Gading Publishing, 2012
Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi
Akar Tasawuf di Indonesia, Jakarta: Pustaka Ilman, 2009
Rizal Sukma & Clara
Joewono, Gerakan Pemikiran Islam
Indonesia Kontemporer, Yogyakarta: Kanisius: 2006
[1] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 19
[2] Martin Van Bruinessan, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat,
jogjakarta: Gading Publishing, 2012, h, 225
[3] Alwi Shihab, Antara Tasawuf Sunni dan Tasawuf Falsafi
Akar Tasawuf di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ilman, 2009, h. 1
[6] Saifullah, Sejarah Kabudayaan
Islam di Asia Tenggara, (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 13
[7]
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 119
[8] Rizal Sukma & Clara Joewono,
Gerakan Pemikiran Islam Indonesia
Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius: 2006), h. 248
[14] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVIII, h. 335-339
No comments:
Post a Comment