ANALISIS KRITIS
UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL 2003
(UU SISDIKNAS 2003)
Oleh : Muhammad Yazid
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[1]
Dalam rangka melaksanakan undang-undang 1945 tersebut, maka dalam hal ini
Indonesia membangun sebuah sistem pendidikan Nasional untuk menjadi acuan dalam
mengembangkan penddikan secara nasional.
Namun seiring berjalannya
waktu, dalam beberapa dekade ini Indonesia sudah mengalami beberapa perubahan
dan pengembangan sitem pendidikan. Dalam sejarahnya Indonesia sudah mengalami
beberapa kali perubahan yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550),
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang- undang
Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar
Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara
Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550), dan Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor
302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361), serta Undang-undang Nomor 14 PRPS
Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965
Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem
Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81), yang
kemudian disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan pendidikan
nasional sebagai satu sistem yang disebut dengan Undang-undang sistem
pendidikan Nasional 1989.
Namun
seiring dengan berjalannya waktu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu
disempurnakan dengan UU sisdiknas 2003.
Beberapa perubahan sistem pendidikan Indonesia ini
adalah karena tuntutan zaman dan
perkembangan pendidikan di Indonesia. Sehingga perlu dirubah dan
disempurnakan agar sesuai
2
dengan amanat
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Education must sift in to the future tense, artinya pendidikan harus berorientasi pada perubahan masa depan.
Hal ini yang mendasari untuk pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat
Indonesia. Sehingga pendidikan di Indonesia mampu mengikuti perkembangan zaman.
Agar tercapai tujuan itu maka dibentuklah Undang-Undang No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun
ketidaksesuaian antara pasal demi pasal yang ada di dalam UU No 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat
menunjukkan indikasi tidak tercapainya asas keadilan. Kebijakan politik ekonomi
pendidikan yang diamanatkan undang-undang itu belum seluruhnya bisa dipenuhi
oleh pemerintah.[2]
[3]
[4]
Seharusnya DPR yang merupakan lembaga yang memiliki kewenangan dalam pembuatan
Undang Undang, haruslah membuat Undang Undang yang sesuai dengan tujuan
nasional Indonesia yang tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945. Oleh karena
itu, penulis tertarik mengambil masalah yang berjudul “Analisis
Kritis Undang-Undang No 20 Tahun 2003 "
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
pengaruh Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 terhadap independensi
pendidikan?
2.
Bagaimanakah
problem substansif dari Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003?
3.
Apakah
penerapan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 sudah sesuai dengan tujuan
pendidikan?
C.
Tujuan
Penyususnan makalah ini
sebagaimana 3 rumusan masalah di atas adalah untuk mengungkap fakta tentang:
1.
Pengaruh
Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 terhadap independensi pendidikan di
Indonesia.
2.
Menganalisa
substansif dari Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
3.
Tingkat
keberhasilan penerapan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 jika diukur
dengan parameter tujuan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Undang-undang
Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 memiliki 22 BAB dan 77 Pasal. Berbeda
dengan UU Sisdiknas 1989 hanya memiliki 20 BAB dan 59 Pasal. yang keseluruhan
isi dari undang-undang tersebut mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia.
Pendidikan
juga menjamin kelangsungan hidup suatu bangsa, sebab melalui pendidikanlah akan
diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki suatu bangsa. Karena itu pendidikan
tidak hanya berfungsi untuk how to know, dan how to do tetapi yang amat penting
adalah how
to be, bagaimana supaya how
to beterwujud maka diperlukan transfer budaya dan kultur.[5]
Begitu
pentingnya masalah pendidikan, maka perlunya adanya regulasi yang jelas dan
baku mengenai pendidikan tersebut, sebagai dasar hukum dalam sistem pendidikan
nasional. Ada beberapa catatan dari kronologisnya menunjukkan keseriusan dan
kesungguhan para pendiri negara ini untuk membenahi pendidikan. Catatan
tersebut adalah sebagai berikut :[6]
1.
Tahun 1946
membentuk panitia penyelidik pendidikan dan pengajaran.
2.
Tahun
1947, kongres pendidikan di Solo
3.
Tahun
1948, membentuk panitia pembentukan rancangan undang-undang peendidikan.
4.
Tahun 1949
kongres pendidkan II di Yogjakarta.
5.
Tahun
1950, lahirnya UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar Pendidikan dan Pengajaran
(UUPP).
6.
Tahun 1954
lahirnya UU No. 12 tahun 1954 tentang berlakunya UU No. 4 tahun 1950.
7.
Tahun
1961, lahirnya Undang-undang tentang Perguruan Tinggi
8.
Tahun
1965, lahirnya majelis pendidikan nasional.
9.
Tahun 1989
lahirnya undang-undang tentang sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) UU NO. 2
TAHUN 1989.
10.
Tahun 1990
lahirnya PP No. 27, 28, 29, 30 tahun 1990.
11.
Tahun 1991
lahirnya PP No. 72, 73 tahun 1991.
12.
Tahun 1992
lahirnya PP No. 38, 39
13.
Tahun 1993
lahirnya PP No. 60, 61.
14.
Tahun 2003
lahirnya undang-undang tentang sistem pendidikan nasional yaitu UU No. 20 tahun
2003 pengganti dari UU No. 2 tahun 1989.
Sesuai
dengan pasal 31 ayat 2 UUD 1945 mengamanahkan bahwa pendidikan yang dimaksud
harus diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah “ sebagai suatu sistem
pendidikan nasional”.
A.
Dampak
Sisdiknas no 20 terhadap Independensi Pendidikan
Menurut Henry Giroux dan
Aronowitz, Pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural
functionalisme’ justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan
nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk
mensosialisasikan dan mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai
nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Hal ini tercermin dalam
UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 yakni, Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Sedangkan pendidikan
menurut Muhammad athiyah Al-Abrosy yang dikutib oleh Ramayulis, pendidikan
islam adalah usaha mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan
berbahagia mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya,
teratur pikirannya, halus perasaanya, mahir dalam
pekerjaanya, manis tutur katanya baik dengan 1
lisan ataupun tulisan.
Jika
kita menyimak definisi pendidikan yang tercantum dalam UU SISDIKNAS, dan ketika
dikomparasikan dengan definisi dari ahli pendidikan Islam, maka secara tidak
langsung mengartikan bahwa pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan
politik dan ekonomi masyarakat.Dengan keyakinan seperti itu tugas pendidikan
juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Hal ini
sesuai dengan paradigma liberal memisahkan masalah masyarakat yakni persoalan
ekonomi dan politik dengan proses pendidikan yang ada.
Begitu
pula yang tercantum dalam Pasal 3 yang berbunyi, Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrati s serta bertanggung
jawab.
Dalam
tataran konsep pendidikan dan idealisme pemerintah memang seperti yang
dipaparkan di atas, akan tetapi realitasnya, independensi pendidikan di
Indonesia sering terganggu oleh kepentingan oknum atau pemerintah itu sendiri.
Entah sadar atau tidak sadar, terencana ataupun tidak terencana, namun faktalah
yang membuktikannya.
Seperti halnya berita
yang dilansir oleh Antara yang isi berita tersebut adalah, Wakil Ketua I Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Budiharjo mengatakan kepentingan politik
praktis seharusnya tidak masuk ke dunia pendidikan apalagi sampai menjadi soal
dalam ujian nasional (UN). "KPAI menyayangkan adanya soal tentang Gubernur
DKI Joko Widodo dalam soal UN.Apalagi diduga soal itu ada kepentingan politik
praktis," kata Budiharjo di Jakarta, Selasa.Budi mengatakan soal mengenai
tokoh tertentu dalam UN tidak menjadi masalah asalkan komprehensif dan tidak
tunggal.Banyak tokoh dalam sejarah Indonesia yang layak masuk dalam soal UN.
Masalahnya, kata Budi, soal dalam UN bahasa Indonesia yang diujikan Senin
(14/4) hanya mencantumkan tokohJokowi, tidak ada tokoh lain."Kalau
walikota atau gubernur terbaik [7]
kan Indonesia juga tidak hanya satu.
Apalagi momennya juga setelah pemilihan legislatif
8
menjelang
pemilihan presiden," tuturnya.
Ini
adalah contoh kecil dari busungnya pendidikan di Indonesia, kerikil-kerikil kecil
yang mengganggu perputaran roda system pendidikan Indonesia.Masih banyak -
terutama di daerah- daerah.Seperti upaya menodai pendidikan melalui intervensi
pendidikan seperti proyek berbau politis, ancaman-ancaman terhadap civitas
pendidikan, atau maneuver-manuver politik melalui organisasi profesi pendidik.
Jika persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, maka UU Republik Indonesia Nomor
20 tahun 2003 hanya sebatas tulisan tanpa makna. Dan biaya yang dianggarkan
dalam proses legislasi UURI no 20 tahun 2003, yang tentunya bermilyar menjadi
mubadzir. Dan tujuan pendidikan nasional tidak tercapai disebabkan kepentingan
sesaat dan kepentingan para penguasa.
B.
Analisis
substansif dari Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 adalah produk hukum dalam bidang pendidikan yang disusun
atas dasar penyempurnaan dari Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1989. UU No. 20 Tahun 2003 ini disahkan di Jakarta pada 8 Juli
2003 oleh Presiden Republik Indonesia yakni Ibu Megawati Soekarnoputri. UU No.
20 Tahun 2003 ini mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU No. 20 Tahun
2003 ini terdiri dari 22 BAB, 77 Pasal dan 252 Ayat. Dalam peraturan ini secara
teknis peraturan ini sudah mencakup tiga kaedah hukum sebuah peraturan,
diantaranya, yakni gebod
(perintah atau suruhan), mogen
(kebolehan), dan verbod
(larangan).[8]
[9]
Dalam
UU No. 20 Tahun 2003 ini, tiga kaedah hukum yang ada, sebagaimana dapat dilihat
pada pemaparan dari ayat ke ayat dalam sebuah pasal. Dimana diantaranya untuk
contoh dari ayat yang memuat unsur kaedah hukum berupa gebod
(perintah atau suruhan) adalah pada pasal 7 ayat 2 yang berbunyi “Orang tua
dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada
anaknya.”. Selanjutnya unsur kaedah hukum berupa mogen
(kebolehan) dapat dilihat dari pasal 23 ayat 1 yang berbunyi “Pada universitas,
institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.Dan yang terakhir untuk pasal
yang memuat kaedah hukum berupa verbod
(larangan) dapat dilihat dari pasal 21 ayat 2 yang berbunyi “Perseorangan,
organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang
memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi”. Berikutnya marilah kita bahan
substansi dari UU RI no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas tersebut.
UU No. 20 Tahun 2003 sebagai produk sebuah
perundang-undangan dalam mengatur sistem pendidikan nasional tersusun atas tiga
kelompok bagian.Ketiga kelompok bagian tersebut terdiri daripada pendahuluan,
batang tubuh, dan penutup.Berikut penjabaran atas tiga kelompok bagian daripada
UU NO.20 Tahun 2003 tersebut.
Bagian
pendahuluan daripada UU No. 20 Tahun 2003 ini memuat bagian konsideran beserta
definisi-definisi mengenai makna-makna daripada kata-kata yang terdapat dalam
UU No. 20 Tahun 2003 ini. Dalam bagian pendahuluan tepatnya untuk konsideran
ini UU No. 20 Tahun 2003 ditetapkan berdasarkan berbagai aspek pertimbangan,
antara lain: pembukaan Undang- Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945) yang mengamanatkan bahwa Pemerintahan Negara Indonesia berperan dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa, isi daripada UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa
Pemerintah perlu untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dan UU
No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dianggap tidak memadai
lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat
perubahan UUD Tahun 1945 serta dengan mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C
ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD Tahun 1945.[10]
Dalam
bagian batang tubuh ini kami membaginya beradasarkan bidang garapan
Administrasi Pendidikan, antara lain:
Dalam BAB V pasal 12 ayat
1 sampai 4 dijelaskan bahwa peserta didik memiliki hak dan kewajiban, antara
lain berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya,
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan minat dan bakat serta
kemampuannya, bagi yang
orangtuanya tidak mampu peserta didik mendapat bantuan biaya. Selanjutnya
peserta didik berkewajiban menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin
keberlangsungan proses dan hasil pendidikan. Disini juga dijelaskan bahwa warga
negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang
diselenggarakan dalam wilayah NKRI.
Implementasi
pasal 12 ini pernah menuai konra pada tahun 2015 yaitu masih banyak siswa yang
belum mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan yang dianutnya.Terutana siswa
muslim yang bersekolah di yayasan bukan yayasan islam. Sebagai data autentik,
berikut penulis cuplikan berita yang di orbitkan oleh kantor berita antara Jawa
Timur yang judul beritanya adalah, “Pelajar
Kritik Pengajaran Agama di Sekolah Non-Muslim”Kamis, 2 Mei 2013 14:47
WIB- Sekitar 100 pelajar baik SMP, SMA ataupun SMK di Kota Blitar, Jawa Timur,
unjuk rasa di kantor DPRD setempat, mengkritik penerapan pendidikan agama di
sejumlah sekolah non- Muslim."Terdapat beberapa yayasan yang tidak
memasukkan kurikulum pendidikan di sekolahnya," kata koordinator aksi
Ahmad Mustofa ditemui saat unjuk rasa, Kamis.Sejumlah sekolah yang dikritik itu
di antaranya SMK Katolik Santo Yusuf Blitar, Yayasan Yohanes Gabriel Kota
Blitar, yang tercatat sebagai penyelenggara sekolah Katholik mulai dari TK, SD,
SMP dan SLTA (SMA/SMK), SD-SMP Yos Sudarso Blitar, sampai SDK Santa Maria
Blitar, dan sejumlah sekolah lain Saat unjuk rasa, massa yang merupakan pelajar
itu membawa berbagai macam spanduk yang isinya tentang pentingnya pendidikan
agama. Mereka juga membawa spanduk tentang ketentuan sekolah yang telah menyalahi
aturan pemerintah.Mereka sempat ditemui oleh Komisi I DPRD Kota Bltar.Komisi
yang membawahi bidang pendidikan itu berjanji segera menyelesaikan masalah ini,
sehingga sistem pendidikan pun bisa berjalan dengan lancar.Anggota Komisi I
DPRD Kota Blitar Supriyono mengatakan masalah ini memang perlu ditegaskan. DPRD
juga akan memanggil sekolah terkait serta instansi terkait untuk mencari jalan
keluar dari masalah itu.[11]
[12]
Namun kejadian tersebut
sudah teratasi dan tidak terdengar lagi seperti yang lansir dalam nu-online
bahwa tahun ini kabar tentang diskriminasi layanan pendidikan agama dan
intoleransi di sekolah tak segaduh tahun sebelumnya. Dua tahun silam,
masyarakat dikagetkan dengan ramainya pemberitaan di media massa soal penolakan
sejumlah lembaga pendidikan
Katolik di Kota Blitar, Jawa Timur, untuk memberikan pelajaran agama
non-Katolik kepada siswa beragama lain.
Dalam
BAB XI pasal 39 sampai pasal 44 dijelaskan bahwa tugas pendidik pada intinya
adalah melaksanakan pembelajaran dan tenaga kependidikan bertugas dalam
kegiatan administrasi.Selanjutnya dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban
dari pendidik dan tenaga kependidikan.Pendidik dan tenaga kependidikan disini
ditempatkan berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal melihat dari
kebutuhan daerah dimana disini pemerintah memfasilitasi segala keperluan dari
pendidik dan tenaga kependidikan.Selain itu dalam hal ini dipaparkan juga
mengenai ketentuan kualifikasi, promosi, penghargaan, dan
sertifikasi.Pengembangan pendidik dan tenaga pendidik dalam hal ini harus mampu
dikembangkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Dalam
menginterpretasikan pasal 39 inilah menurut penulis terjadi bias.Pada item
tenaga pendidik pada intinya adalah melaksanakan pembelajaran dan tenaga
kependidikan bertugas dalam kegiatan administrasi sebenarnya sudah jelas dan
proporsional. Namun pada kenyataanya sering tenaga pendidik justru terjebak
pada wilayah penyelesaian tugas admnistratif.Yang tentulah sangat mengganggu
tugas utama sebagai pendidik.
Kenyataan di lapangan
ternyata masih jauh dari idealnya implementasi pasal ini, yaitu masih kurangnya
tenaga kependidikan yang memenuhi standart baik secara kuantitas maupun bahkan
kualitasnya. Terutama disekolah swasta. Sebagaimana contoh di SMPI Ar-
Rofi’iyyah Kraksaan Probolinggo. Bahwa di sana masih ada fakta tentang
ketidaksesuain tugas yang dilakukan tenaga kependidikan seperti mengisi
kekosongan guru. Realitas ini menunjukan ketidak idealan dalam pelaksanaan
pelayanan pendidikan. Padahal lembaga pendidikan dihadapkan pada tuntutan
pelayanan prima dan harus mampu menyiapkan output yang handal, sehingga siap
dan berani dihadapkan pada tantangan MEA atau pasar bebas. Yang mana dalam era
tersebut nantinya banyak tenaga kerja luar negeri bidang apapun termasuk guru,
yang masuk dalam bursa kerja Indonesia, gelomba arus tenaga kerja luar negeri
pada era masyarakat MEA arusnya sangat besar, sehingga generasi muda Indonesia
jika tidak siap berkompetisi dengan tenaga dari luar negeri, maka mereka harus
siap menjadi penonton dan terlindas di negeri sendiri.
Realiatas
kekurangan tenaga kependidikan ini diperumit lagi dengan tidak diperbolehkanya
sekolah negeri mengangkat pegawai tidak tetap secara resmi, atau diperbolehkan
akan tetapi ada kendala dalam persoalan mencari sumber dana dalam penggajian
pegawai tidak tetap tersebut. Disebabkan sumber pendanaan dari sekolah adalah
Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sedangkan dana BOS tidak diperbolehkan untuk
dialokasikan kepada penggajian pegawai. Ditambah lagi dengan problem kebijakan
pemerintah daerah yang melarang sekolah untuk menarik pembayaran partisipasi
dari wali murid (iuran komite) yaitu dengan program sekolah gratis.
Untuk mengatasi
persoalan kekurangn tenaga kependidikan ini, jika menunggu pengangkatan CPNS
masih terlalu lama atau terhalanf persoalan birokrasi, maka pemerintah pusat
maupun daerah dapat mengangkat tenaga kontrak bukan honorer. Larangan mengankat
tenaga honorer dalam Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 814.1/169/SJ Tanggal 10
Januari 2013 Perihal Penegasan Larangan Pengangkatan Tenaga Honorer. Dapat
dicari jalan kekuarnya dengan mengangkat Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian
Kerja (PPPK) atau dapat diistilahkan dengan tenaga kontrak. Bagi pemerintah
daerah yang memiliki APBD lebih dari anggaran pengeluaran daerah atau mengalami
surplus, maka bisa mengangkat tenaga kependidikan bahkan tenaga pendidik dika
keufrangan tenaga pendidikan, direkrut tenaga untuk mengutup kekurangan tenaga
tersebut melalui PPPK, dengan gaji diambilkan dari APBD.
Namun
jika pemerintah daerah tidak mampu membayar PPPK tersebut melalui APBD, maka
sekolah dapat meminta rekomendasi dari pemerintah daerah agar diberi kewenangan
untuk mencari sumber dana selain dana BOS dan DAK, yang digunakan menggaji PPPK
tersebut. Penggalian dana tambahan dapat melalui iuran komite sekolah atau dari
sumber dana yang lain. Seperti dana CSR dari perusahaan baik BUMN maupun
perusahaan swasta. Pemerintah bisa mendorong perusahaan untuk mengalokasikan
CSR nya ke dunia pendidikan dengan lebih maksimal. Terutama lembaga pendidikan
yang masih sangat membutuhan bantuan pendanaan.
Dalam
BAB XII pasal 45 yang terdiri dari 2 ayat dijelaskan bahwa setiap satuan
pendidikan wajib menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung keperluan
pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.Selanjutnya
ketentuan yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana ini diatur
dalam peraturan menteri pendidikan nasional republik indonesia nomor 24 tahun
2007 tentang standar sarana dan prasarana untuk SD/MI, SMP/MTS, DAN SMA/MA.
Dalam menyelenggarakan pendidikan Setidaknya ada 31 ketentuan yang harus
dipatuhi dalam mempersiapkan sarana dan prasarana. Berikut ini 31 hal terkait
dengan sarana prasarana sekaligus penjelasanya yaitu:
1)
Sarana
adalah perlengkapan pembelajaran yang dapat dipindah-pindah.
2)
Prasarana
adalah fasilitas dasar untuk menjalankan fungsi sekolah/ madrasah.
3)
Perabot
adalah sarana pengisi ruang.
4)
Peralatan
pendidikan adalah sarana yang dapat secara langsung digunakan untuk
pembelajaran.
5)
Media
pendidikan adalah peralatan pendidikan yang digunakan untuk membantu komunikasi
dalam pembelajaran.
6)
Buku
adalah karya tulis yang diterbitkan sebagai sumber belajar.
7)
Buku teks
pelajaran adalah buku pelajaran yang menjadi pegangan siswa dan guru untuk
setiap mata pelajaran.
8)
Buku
pengayaan adalah buku untuk memperkaya pengetahuan siswa dan guru.
9)
Buku
referensi adalah rujukan untuk mencari informasi atau data tertentu.
10)
Sumber
belajar lainnya adalah sumber informasi dalam bentuk selain buku meliputi
jurnal, majalah, surat kabar, poster, situs (website), dan compact disk.
11)
Bahan
habis pakai adalah barang yang digunakan dan habis dalam waktu relatif singkat.
12)
Perlengkapan
lain adalah alat mesin kantor dan peralatan tambahan yang digunakan untuk
mendukung fungsi sekolah/madrasah.
13)
Teknologi
informasi dan komunikasi adalah satuan perangkat keras dan lunak yang berkaitan
dengan akses dan pengelolaan informasi dan komunikasi.
14)
Lahan
adalah bidang permukaan tanah yang di atasnya terdapat prasarana
sekolah/madrasah meliputi bangunan, lahan praktik, lahan untuk prasarana
penunjang, dan lahan pertamanan.
15)
Bangunan
adalah gedung yang digunakan untuk menjalankan fungsi sekolah/ madrasah.
16)
Ruang
kelas adalah ruang untuk pembelajaran teori dan praktik yang tidak memerlukan
peralatan khusus. [13]
17)
Ruang
perpustakaan adalah ruang untuk menyimpan dan memperoleh informasi dari
berbagai jenis bahan pustaka.
18)
Ruang
laboratorium adalah ruang untuk pembelajaran secara praktik yang memerlukan
peralatan khusus.
19)
Ruang
pimpinan adalah ruang untuk melakukan kegiatan pengelolaan sekolah/madrasah.
20)
Ruang guru
adalah ruang untuk guru bekerja di luar kelas, beristirahat dan menerima tamu.
21)
Ruang tata
usaha adalah ruang untuk pengelolaan administrasi sekolah/ madrasah.
22)
Ruang
konseling adalah ruang untuk siswa mendapatkan layanan konseling dari konselor
berkaitan dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir.
23)
Ruang UKS
adalah ruang untuk menangani siswa yang mengalami gangguan kesehatan dini dan
ringan di sekolah/madrasah.
24)
Tempat
beribadah adalah tempat warga sekolah/madrasah melakukan ibadah yang diwajibkan
oleh agama masing-masing pada waktu sekolah/ madrasah.
25)
Ruang
organisasi kesiswaan adalah ruang untuk melakukan kegiatan kesekretariatan
pengelolaan organisasi siswa.
26)
Jamban
adalah tempat buang air besar dan/atau kecil.
27)
Gudang
adalah tempat menyimpan peralatan pembelajaran di luar kelas, peralatan
sekolah/madrasah yang tidak/belum berfungsi, dan arsip sekolah/ madrasah.
28)
Ruang
sirkulasi adalah ruang penghubung antar bagian bangunan sekolah/ madrasah.
29)
Tempat
berolahraga adalah ruang terbuka atau tertutup yang dilengkapi dengan sarana
untuk melakukan pendidikan jasmani dan olah raga.
30)
Tempat
bermain adalah tempat terbuka atau tertutup untuk siswa dapat melakukan
kegiatan bebas.
31)
Rombongan
belajar adalah kelompok siswa yang terdaftar pada satu satuan kelas.
Dari 31 standart yang
harus dipenuhi untuk melengkapi sara dan prasara sekolah tersebut harus
benar-benar dilaksanakan
dengan secermat mungkin dan sebaik-baiknya agar memenuhi
idialisme lembaga
pendidikan.
Masih banyak persoalan
sarana dan prasaramna yang dialami oleh lembaga pendidikan di Indonesia seperti
bertita yang kami wawancara dengan salah satu guru di MI-Al Hasaniyah Gading
Probolinggo[14]
berikut ini:
Kita tahu sendiri pendidikan di indonesia itu sangat
minim sekali terutama dalam sarana dan prasarana , seperti hal nya sarana
prasarana pendidikan di sekolah rusak di berbagai di indonesia dan banyak
memprihatinkan terutama di daerah terpencil . Dalam hal ini fasilitas kegiatan
belajar mengajar itu sungguh jauh dari tidak layaknya pembelajaran.seperti
halnya fasilitas yang tidak memadai yaitu gedung kelas bocor,bangku sekolah
rusak maupun tidak mencukupi.
Pemerintah hanya fokus untuk bantuan sarana-prasana
untuk daerah perkotaan saja. Tidak merata hingga ke pinggiran seperti sekolah
kami ini. Akhirnya yang terjadi adalah sebuah ketimpangan yaitu sekolah yang di
kota atau pinggiran kota yang awalnya sudah maju akan semakin maju dan kita
yang di desa semakin tertinggal.
Dalam memenuhi sarana prasarana pendidikan yang
standard, jika menunggu dana dari pemerintah memang lama dan agak sulit. Maka
lembaga pendidikan harus pandai-pandainya mencari sumber pendapatan lain yang
dibenarkaan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah. Pada umumnya
penggalian dana yang dialokasikan kepada sarana prasarana ini diambilkan dari
iuran para wali murid atau dana komite, namun jika lembaga pendidikan yang
kebetulan berada di tengah-tengah daerah tertinggal atau masyarakat yang kurang
mampu, maka situasi tersebut juga menjadi kendala tersendiri.
Sebenarnya ada beberapa jalur arternatif untuk menggali dana
tambahan untuk melengkapi sarana prasarana, yang selain diambilkan dari dana
komite. Yaitu dana tersebut bisa digali melalui lembaga-lembaga swasta yang
peduli terhadap pendidikan yang tentunya danya non profit, yang tidak mengikat
sehingga lembaga tidak terjebak ke dalam politik atau hal-hal yang menjadi
kendala independensi pendidikan.
Dalam
BAB XIII pasal 46 sampai pasal 49 dijelaskan bahwa pemerintah, pemerintah
daerah, dan masyarakat bertanggungjawab terhadap pendanaan pendidikan dalam hal
menyediakan sumber pendanaan pendidikan dengan prinsip keadilan, kecukupan, dan
keberlanjutan serta pengarahannya yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, pengelolaan dana pendidikan, dan pengalokasian
dana pendidikan minimal sebesar 20 %
dari APBN, 20 %
APBD dan hibah yang dialokasikan untuk dana penyelenggaraan pendidikan.
Jika
dianalisa melalui realisasi pemerintah pusat, maka pelaksanaan perundangan dana
pendidikan 20 % disimpulkan sudah terealisasi dan telah tepat sasaran sesuai
dengan yang diharapkan oleh pemerintah.[15] Namun realitas ini akan
berbeda jika dianalisis pelaksanaan di daerah atau dilapangan yaitu adanya
pemotongan alokasi dana tersebut sepertihalnya yang dikatakan oleh Mendikbud
Muhajir Efendi pada 16 januari 2017 yang lalu ia mengatakan:[16]
“Soalnya yang terjadi di lapangan banyak daerah yang
mendapatkan transferan dana berupa Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
dari pemerintah pusat ke daerah,memasukan bantuan itu menjadi 20 persen
anggaran pendidikan. Padahal, seharusnya anggaran 20 persen itu harus berasal
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah murni, baik tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota. "Bantuan pusat tidak boleh dihitung bagian dari 20 persen
itu. Harus dipisahkan," ujarnya.
Namun, bantuan dari
pemerintah pusat bisa dimasukan ke postur anggaran daerah yang memang dalam
keadaan darurat. "Daerah mana yang memang mengaku alokasinya rendah memang
bisa. Tapi, kalau semuanya mengaku rendah tidak ada satu pun yang
mengalokasikan, itu akan bikin repot kami," ujarnya.
Pelaksanaan
penerapan dana pendidikan di daerah-daerah harus dipantau dan diawasi
semaksimal mungkin. Karena tidak jarang pemerintah daerah memanfaatkan
pengalokasian dana pendidikan dan lembaga pendidikan ini untuk pencitraan
figure politikus atsu kampanye terselubung. Perbuatan dholim ini tidak hanya
berdampak pada terseretnya lembaga pendidikan ke dalam politik praktis, yang
lebih berbahaya lagi adalah, pembelajaran politik yang tidak baik kepada
generasi muda penerus bangsa. Generasi muda diajari maneuver politik yang kotor
dan menghalalkan segala cara tanpa mempertimbangkan etika dan syariat agama.
Pemerintah
pusat harus bertindak tegas dan merespon persoalan ini dengan serius, atau jika
tidak ada peraturan yang mengarahkan pemerintah daerah dalam kasus ini, maka
perlu diterbitkan perundang-undangan yang mengatur etika berpolitik para elite
politik. Jika rakyat kecil melanggar hal kecil saja masuk bui apalagi ada
pemerintah daerah yang melanggar etika berpolitik, mereka justru mendapat
dukungan penuh dan dielu-elu bagaikan seorang pahlawan.
Dalam
BAB X pasal 36 sampai 38 dijelaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan
dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan
pendidikan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi daerah dan
peserta didik.Dalam kurikulum ini harus memuat nilai-nilai khusus yang telah
disepakati dalam menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional.Selanjutnya
dalam struktur kurikulum pada pendidikan dasar, menengah, bahkan tinggi ini
harus memuat beberapa muatan wajib berupa matapelajaran yang harus disampaikan
dalam penyelenggaraan kegitan pendidikan yang dilaksanakan pada jenjang-jenjang
tersebut.Lebih lanjut lagi, bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum
pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan kerangka
dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan
tinggi itu sendiri dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap
program studinya.
Pada
struktur kurikulum UU no 20 tahun 2003, ada mata pelajaran yang menurut analisa
penulis, pada konteks tertentu justru tidak sesuai dengan karakteristik satuan
pendidikan.Penulis ambil contoh pelajaran seni budaya bagi siswa SMK rumpun
teknologi dan rekayasa.
Pelajaran seni budaya
bagi para calon teknokrat jika harus mendalami bahkan harus mempraktikan
pelajaran tersebut, akan bertolak belakang dengan karakteristik teknokrat dan
tipologi bakat siswa SMK rumpun teknologi dengan kapasitas kecerdasan
kinestetik logisnya. Jika mereka diajak menari atau membuata patung dan lain
sebagainya, maka menurut pengamatan penulis pada tataran aplikatif, banyak
menimbulkan problem. Dikecualikan siswa yang memang masuk pada SMK rumpun
Pariwisata, mereka memang diambil dari input yang memiliki keinginan dan bakat
dalam hal seni dan budaya. Sebagai bahan pertimbangan berikut kami paparkan
sitem kurikulum sekolah di UU no 20,
Pasal 37
1)
Kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a.
pendidikan
agama;
b.
pendidikan
kewarganegaraan;
c.
bahasa;
d.
matematika;
e.
ilmu
pengetahuan alam;
f.
ilmu
pengetahuan sosial;
g.
seni dan
budaya;
h.
pendidikan
jasmani dan olahraga;
i.
keterampilan/kejuruan;
dan
j.
muatan
lokal.
2)
Kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat:
a.
pendidikan
agama;
b.
pendidikan
kewarganegaraan; dan
c.
bahasa.
3)
Ketentuan
mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam
BAB XV pasal 54 sampai pasal 56 dijelaskan bahwa hubungan sekolah dan
masyarakat dalam hal ini salah satunya berupa peran serta masyarakat dalam
pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi
profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Melihat terdapatnya hubungan sekolah
dan masyarakat maka dalam hal ini perlu adanya penyelenggaraan pendidikan
berbasis masyarakat dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan
evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar
nasional pendidikan. Konsep ini sangat bagus dalam upaya membentuk system
pendidikan yang membangun.
Namun
perkembangan lingkungan masyarakat dewasa ini kurang begitu mendudkang dalam
menciptakan iklim pendidikan yang diharapkan dan ideal. Banyak ditemui
kegiatan-kegiatan atau kebiasaan baru atau lama di dalam masyarakat yang kontra
produktif dan menghambat keberhasilan usaha pendidikan. Bagaimanapun juga
keberhasilan pendidikan tidak bisa dibebankan kepada lembaga pendidikan formal
saja, harus ada peran serta dari seluruh elemen masyarakat, terutama wali
murid.
Solusi
yang dapat diterapkan dalam upaya memciptakan system pendidikan di Indonesia
sehingga ada sinergi antara lembaga formal dan masyarakat adalah:
a)
Membuat
peratuaran dimasyarakat tentang jam wajib belajar
b)
Mendirikan
lembaga pendidikan non formal yang dimasyarakat yang berbasis kebutuhan local
guna mendukung keberhasilan pendidikan.
c)
Ada
sinergi antara tokoh masyarakat, ulama dan umarok dalam memotifasi dan
menciptakan lingkungan yang edukatif.
d)
Ada
ketegasan dari fihak yang berwenang untuk berkomitmen dalam memberantas hiburan
yang tidak mendidik.
Bagian
penutup dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini terdiri daripada ketentuan pidana dalam
BAB XX pasal 67 sampai pasal 71, ketentuan peralihan dalam BAB XXI pasal 72
sampai pasal 74, dan ketentuan penutup dalam pasal 75 sampai pasal 77.Ketentuan
pidana berisi mengenai beberapa tindakan pidana baik berupa kurungan maupun
denda terhadap segala tindakan yang melanggar peraturan mengenai
penyelenggaraan pendidikan dari berbagai kegiatannya. Selanjutnya dalam
ketentuan peralihan diatur mengenai pemberlakuan penyelenggaraan pendidikan
yang pada saat undang-undang ini diberlakukan belum berbentuk badan hukum
pendidikan, waktu perijinan selambat-lambatnya 2 tahun bagi satuan pendidikan
formal yang telah berjalan namun belum memiliki ijin, dan pemberlakuan
peraturan pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 selama tidak bertentangan dan belum
diganti berdasarkan undang-undang ini. Kemudian yang terakhir dalam bagian
penutup ini dipaparkan mengenai peraturan perundang- undangan yang tidak
berlaku lagi setelah UU ini diterbitkan.
Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 telah bertahan untuk saat ini kurang lebih selama 12 tahun.Angka
tersebut merupakan angka yang cukup matang untuk terlaksananya suatu kualitas
pendidikan yang semakin tinggi dan bermutu.Namun pada akhir-akhir ini aturan yang
terdapat dalam Undang-Undang tersebut banyak yang kurang atau bahkan tidak
sesuai lagi dengan perkembangan negara Indonesia saat ini.
Sejatinya
posisi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 sangatlah strategis.Sebab salah satu
alat kebijakan pemerintah yang terindependensi dengan kebijakan-kebijakan
publik lainnya adalah perencanaan pendidikan. Proses perencanaan pendidikan di
Indonesia diarahkan pada relevansi, efesiensi, dan efektivitas, namun
optimalisasi kinerja manajemen pendidikannya belum berjalan sesuai dengan
harapan.
Pendapat H. A. R Tilaar
bahwa:“Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
menggarisbawahi perlunya komitmen pemerintah terhadap pendidikan namun dalam
APBN/ APBD justru dikalahkan oleh suatu peraturan pemerintah. Kurangnya
komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan pendidikan sebagai titik
tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas
dan demokratis
17
sebenarnya telah tampak di dalam ketiadaan arah pengembangan
pendidikan nasional.”
Pendapat
dari H. A. R Tilaar di atas telah menggambarkan keberadaan Undang-Undang No. 20
Tahun 2003 ini kurang bisa mempertahankan peraturan yang telah dimuat
didalamnya untuk kondisi pendidikan di lapangan pada saat ini. Pemerintah yang
semula berkomitemen untuk pendidikan, dewasa ini komitmen mereka telah memudar
hingga tidak memikirkan pengembangan pendidikan nasional. Hal tersebut
merupakan sebuah pemikiran kritis dan membutuhkan kebijakan-kebijakan daripada
perbaikan sebuah Peraturan Perundang- Undangan.
Sebagai
salah satu subsistem di dalam sistem negara/pemerintahan, keterkaitan
pendidikan dengan subsistem lainnya bahkan saling membutuhkan, saling
berketergantungan, dan saling melengkapi.Setidaknya ada dua realiatas yang bias
disampaikan penulis terkait dengan problematika dalam penerapan UU no 20 than
2003.
1. Berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di
tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap
penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya
yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh
rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat
diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah
besar saja ralitas ini adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Veithzal Rivai
dan Sylviana Murni. [17]
[18]
Hal
ini terlihat dalam UU Sisdiknas N0. 20 Tahun 2003 pasal 53 tentang Badan Hukum
Pendidikan (BHP) bahwa: 1) Penyelenggara dana/atau satuan pendidikan formal
yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan. 2) Badan hukum pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)
berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 3) Badan hukum
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat
mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan
dalam pasal 54 disebutkan pula 1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan
meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha,
dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu
pelayanan pendidikan. 2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber,
pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan
pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan
nasional saat ini akan dialihkan dari negara ke masyarakat dengan mekanisme
Badan Hukum Pendidikan (BHP), yaitu adanya mekanisme Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS) pada tingkat SD-SMA dan otonomi pendidikan pada tingkat perguruan tinggi.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Dengan demikian, sekolah memiliki
otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Yang patut
kita antisipasi dalam konteks ini adalah, ketika ada lembaga pendidikan
menentukan tariff pendidikan setinggi-tingginya tanpa memperhatikan dan
mempertahankan mutu.
2.
Berlangsungnya
kehidupan sosial yang berlandaskan sekularisme telah menyuburkan paradigm
hidonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh), materialistic (money
oriented), dan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk
menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan, baik oleh pemerintah maupun
masyarakat, saat ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi
ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk
kepribadian (akhlak) yang utuh berdasarkan pandangan syari'at Islam).[19]
Hal
ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 3 yang menunjukkan
paradigma pendidikan nasional. Dalam bab IV menjelaskan tentang jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam
regulasi derivatnya seperti PP tentang SNP No. 19 tahun 2005, UU Wajib Belajar
dan UU BHP.
Dalam
paradigma materialistik pun indikator keberhasilan belajar murid setelah menempuh
proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan
perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan
perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi
Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Indikator itu pun saat ini hanya pada
tiga mata pelajaran saja, Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris,
yang ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah
(Mendiknas) menilai bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur
standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan
mutu pendidikan. Di sisi lain, aspek pembentukan kepribadian (akhlak) yang utuh
dalam diri murid, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan murid dalam menempuh
suatu proses pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat
standar kompotensi dan kelulusan murid dalam PP No. 19 tahun 2005).
Padahal Fenomena
pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang menjerumuskan pelajar pada
seks bebas, terlibat narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan, dan berbagai
tindakan kriminal lainnya semakin meluas dan merajalela.namun standar kelulusan
secara nasional bagi murid, belum juga melibatkan assessment
(penilaian) terhadap aspek kepribadian (pola pikir dan prilaku) yang telah
terbentuk dalam individu murid berdasarkan hasil pendidikan (akhlak) di
sekolahnya. Begitu jugaassessment
atau penilaian yang mengarah pada tingkat spiritual danketerampilan yang
dimiliki murid yang kelak menjadi modal dalam menempuh kehidupan di dalam
masyarakat, juga belum tersentuh.
1.
Terjadi
kekeliruan dalam interpretasi dan aplikasi Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun
2003, yang berdampak pada adanya upaya hegemoni pemerintah ataupun fihak lain
terhadap pendidikan dan lembaga pendidikan.
2.
Secara
umum substansi Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 sudah mengatur dan
mengarahkan pendidikan sesuai dengan definisi dan asas pendidikan itu sendiri.
Dan aada beberapa item undang-undang yang perlu kajian ulang dengan
menyesuaikan konteks pendidikan dan realitas perkembangan obyek pendidikan.
3.
Implementasi
Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 selama kurang lebih 12 tahun pada
dunia pendidikan Indonesia belum mencapai titik pencapaian yang maksimal. Masih
sangat memerlukan upaya-upaya redefinisi ulang terhadap Undang-Undang Sisdiknas
No. 20 tahun 2003, sehingga undang-undang tersebut dapat diterapkan dengan
sebaik-baiknya..
DAFTAR PUSTAKA
/j atim.antaranews.com/lihat/berita/109506/pelajar-kritik-pengajaran-agama-di-sekolah-non-
muslim
Cortese, Anthony D. (2003) "The critical role of higher
education in creating a sustainable future." Planning for higher education 31.3: 15-22.
Erwiningsih, Winahyu. (2009)"Pelaksanaan Pengaturan Hak
Menguasai Negara atas Tanah Menurut UUD 1945." JurnalHukum IUS QUIA IUSTUM 16.
H Haidar Putra Daulay, M. A. ( 2014) Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional di Indonesia. Kencana,.
H Haidar Putra Daulay, M. A. (2014) Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional di Indonesia. Kencana,.
Indonesia, Presiden Republik. (2003)"Undang-undang Republik
Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional."
Indonesia, PRESIDEN REPUBLIK. Peraturan Pemerintah RI nomor 19 tahun
2005 tentang standar nasional pendidikan. Cipta Jaya, (2005).
nasional.tempo.co/read/840026/mendikbud-daerah-jangan-kurangi-dana-pendidikan-20-persen
Ramayulis. (2002) Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia,.
Siregar, Maragustam. (2010) "Mencetak Pembelajar Menjadi Insan
Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam)".
Sudiarto, Bambang. (2018) "SUMBER BAHASA HUKUM
INDODNESIA." Socio Justisia 1.1.
Tilaar, Henry Alexis Rudolf. (1998) Beberapa agenda reformasipendidikan nasional
dalam perspektif abad 21. IndonesiaTera,.
Veithzal, Rivai, and Sylviana Murni. (2009) "Education
Management Analisis Teori dan Praktik." Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
[1] Indonesia, Presiden Republik.
"Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional." (2003).
[2] H Haidar Putra Daulay, M. A. Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional di Indonesia. Kencana, 2014.
[3] Cortese, Anthony D. "The critical role
of higher education in creating a sustainable future." Planning for higher education 31.3 (2003): 15-22.
[4] Erwiningsih, Winahyu. "Pelaksanaan
Pengaturan Hak Menguasai Negara atas Tanah Menurut UUD 1945." Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 16 (2009).
[5] Tilaar, Henry Alexis Rudolf. Beberapa agenda reformasipendidikan nasional
dalam perspektif abad 21. IndonesiaTera, 1998.
[6] H Haidar Putra Daulay, M. A. Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan
nasional di Indonesia. Kencana, 2014.
[10] Indonesia, Presiden Republik.
"Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional." (2003).
[11] /jatim.antaranews.com/lihat/berita/109506/pelajar-kritik-pengajaran-agama-di-sekolah-non-muslim
[13] Indonesia, PRESIDEN REPUBLIK. Peraturan Pemerintah RI nomor 19 tahun 2005
tentang standar nasional pendidikan. Cipta Jaya, 2005.
[14] Wawancara ini dilakukan ketika penulis sedang
melakasanakan diklat terpadu ansor yang kebetulan sekolah tersebut menjadi tuan
rumah.
[16] nasional.tempo.co/read/840026/mendikbud-daerah-jangan-kurangi-dana-pendidikan-20-persen
[18] Veithzal, Rivai, and Sylviana Murni.
"Education Management Analisis Teori dan Praktik." Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada(2009).
[19] Siregar, Maragustam. "Mencetak
Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam)." (2010).
No comments:
Post a Comment