Sunday, June 3, 2018

ANALISIS KRITIS UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL 2003 (UU SISDIKNAS 2003)

ANALISIS KRITIS
UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL 2003
(UU SISDIKNAS 2003)

Oleh : Muhammad Yazid
BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang Masalah
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[1] Dalam rangka melaksanakan undang-undang 1945 tersebut, maka dalam hal ini Indonesia membangun sebuah sistem pendidikan Nasional untuk menjadi acuan dalam mengembangkan penddikan secara nasional.
Namun seiring berjalannya waktu, dalam beberapa dekade ini Indonesia sudah mengalami beberapa perubahan dan pengembangan sitem pendidikan. Dalam sejarahnya Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550), Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang- undang Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550), dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361), serta Undang-undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 80) dan Undang-undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81), yang kemudian disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan perkembangan pendidikan nasional sebagai satu sistem yang disebut dengan Undang-undang sistem pendidikan Nasional 1989.
Namun seiring dengan berjalannya waktu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan dengan UU sisdiknas 2003.
Beberapa perubahan sistem pendidikan Indonesia ini adalah karena tuntutan zaman dan
perkembangan pendidikan di Indonesia. Sehingga perlu dirubah dan disempurnakan agar sesuai
2
dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Education must sift in to the future tense, artinya pendidikan harus berorientasi pada perubahan masa depan. Hal ini yang mendasari untuk pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat Indonesia. Sehingga pendidikan di Indonesia mampu mengikuti perkembangan zaman. Agar tercapai tujuan itu maka dibentuklah Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Namun ketidaksesuaian antara pasal demi pasal yang ada di dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat menunjukkan indikasi tidak tercapainya asas keadilan. Kebijakan politik ekonomi pendidikan yang diamanatkan undang-undang itu belum seluruhnya bisa dipenuhi oleh pemerintah.[2] [3] [4] Seharusnya DPR yang merupakan lembaga yang memiliki kewenangan dalam pembuatan Undang Undang, haruslah membuat Undang Undang yang sesuai dengan tujuan nasional Indonesia yang tercantum dalam Undang Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, penulis tertarik mengambil masalah yang berjudul “Analisis Kritis Undang-Undang No 20 Tahun 2003 "
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah pengaruh Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 terhadap independensi pendidikan?
2.      Bagaimanakah problem substansif dari Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003?
3.      Apakah penerapan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 sudah sesuai dengan tujuan pendidikan?
C.     Tujuan
Penyususnan makalah ini sebagaimana 3 rumusan masalah di atas adalah untuk mengungkap fakta tentang:
1.   Pengaruh Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 terhadap independensi pendidikan di Indonesia.
2.   Menganalisa substansif dari Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
3.   Tingkat keberhasilan penerapan Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 jika diukur dengan parameter tujuan pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 memiliki 22 BAB dan 77 Pasal. Berbeda dengan UU Sisdiknas 1989 hanya memiliki 20 BAB dan 59 Pasal. yang keseluruhan isi dari undang-undang tersebut mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Pendidikan juga menjamin kelangsungan hidup suatu bangsa, sebab melalui pendidikanlah akan diwariskan nilai-nilai luhur yang dimiliki suatu bangsa. Karena itu pendidikan tidak hanya berfungsi untuk how to know, dan how to do tetapi yang amat penting adalah how to be, bagaimana supaya how to beterwujud maka diperlukan transfer budaya dan kultur.[5]
Begitu pentingnya masalah pendidikan, maka perlunya adanya regulasi yang jelas dan baku mengenai pendidikan tersebut, sebagai dasar hukum dalam sistem pendidikan nasional. Ada beberapa catatan dari kronologisnya menunjukkan keseriusan dan kesungguhan para pendiri negara ini untuk membenahi pendidikan. Catatan tersebut adalah sebagai berikut :[6]
1.       Tahun 1946 membentuk panitia penyelidik pendidikan dan pengajaran.
2.       Tahun 1947, kongres pendidikan di Solo
3.       Tahun 1948, membentuk panitia pembentukan rancangan undang-undang peendidikan.
4.      Tahun 1949 kongres pendidkan II di Yogjakarta.
5.      Tahun 1950, lahirnya UU No. 4 tahun 1950 tentang Dasar Pendidikan dan Pengajaran (UUPP).
6.      Tahun 1954 lahirnya UU No. 12 tahun 1954 tentang berlakunya UU No. 4 tahun 1950.
7.      Tahun 1961, lahirnya Undang-undang tentang Perguruan Tinggi
8.      Tahun 1965, lahirnya majelis pendidikan nasional.
9.      Tahun 1989 lahirnya undang-undang tentang sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) UU NO. 2 TAHUN 1989.
10.    Tahun 1990 lahirnya PP No. 27, 28, 29, 30 tahun 1990.
11.    Tahun 1991 lahirnya PP No. 72, 73 tahun 1991.
12.    Tahun 1992 lahirnya PP No. 38, 39
13.    Tahun 1993 lahirnya PP No. 60, 61.
14.    Tahun 2003 lahirnya undang-undang tentang sistem pendidikan nasional yaitu UU No. 20 tahun 2003 pengganti dari UU No. 2 tahun 1989.
Sesuai dengan pasal 31 ayat 2 UUD 1945 mengamanahkan bahwa pendidikan yang dimaksud harus diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah “ sebagai suatu sistem pendidikan nasional”.
A.      Dampak Sisdiknas no 20 terhadap Independensi Pendidikan
Menurut Henry Giroux dan Aronowitz, Pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural functionalisme’ justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Hal ini tercermin dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 1 yakni, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Sedangkan pendidikan menurut Muhammad athiyah Al-Abrosy yang dikutib oleh Ramayulis, pendidikan islam adalah usaha mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan berbahagia mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya,
teratur pikirannya, halus perasaanya, mahir dalam pekerjaanya, manis tutur katanya baik dengan 1
lisan ataupun tulisan.
Jika kita menyimak definisi pendidikan yang tercantum dalam UU SISDIKNAS, dan ketika dikomparasikan dengan definisi dari ahli pendidikan Islam, maka secara tidak langsung mengartikan bahwa pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat.Dengan keyakinan seperti itu tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi. Hal ini sesuai dengan paradigma liberal memisahkan masalah masyarakat yakni persoalan ekonomi dan politik dengan proses pendidikan yang ada.
Begitu pula yang tercantum dalam Pasal 3 yang berbunyi, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokrati s serta bertanggung jawab.
Dalam tataran konsep pendidikan dan idealisme pemerintah memang seperti yang dipaparkan di atas, akan tetapi realitasnya, independensi pendidikan di Indonesia sering terganggu oleh kepentingan oknum atau pemerintah itu sendiri. Entah sadar atau tidak sadar, terencana ataupun tidak terencana, namun faktalah yang membuktikannya.
Seperti halnya berita yang dilansir oleh Antara yang isi berita tersebut adalah, Wakil Ketua I Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Budiharjo mengatakan kepentingan politik praktis seharusnya tidak masuk ke dunia pendidikan apalagi sampai menjadi soal dalam ujian nasional (UN). "KPAI menyayangkan adanya soal tentang Gubernur DKI Joko Widodo dalam soal UN.Apalagi diduga soal itu ada kepentingan politik praktis," kata Budiharjo di Jakarta, Selasa.Budi mengatakan soal mengenai tokoh tertentu dalam UN tidak menjadi masalah asalkan komprehensif dan tidak tunggal.Banyak tokoh dalam sejarah Indonesia yang layak masuk dalam soal UN. Masalahnya, kata Budi, soal dalam UN bahasa Indonesia yang diujikan Senin (14/4) hanya mencantumkan tokohJokowi, tidak ada tokoh lain."Kalau walikota atau gubernur terbaik [7]
kan Indonesia juga tidak hanya satu. Apalagi momennya juga setelah pemilihan legislatif
8
menjelang pemilihan presiden," tuturnya.
Ini adalah contoh kecil dari busungnya pendidikan di Indonesia, kerikil-kerikil kecil yang mengganggu perputaran roda system pendidikan Indonesia.Masih banyak - terutama di daerah- daerah.Seperti upaya menodai pendidikan melalui intervensi pendidikan seperti proyek berbau politis, ancaman-ancaman terhadap civitas pendidikan, atau maneuver-manuver politik melalui organisasi profesi pendidik. Jika persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, maka UU Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 hanya sebatas tulisan tanpa makna. Dan biaya yang dianggarkan dalam proses legislasi UURI no 20 tahun 2003, yang tentunya bermilyar menjadi mubadzir. Dan tujuan pendidikan nasional tidak tercapai disebabkan kepentingan sesaat dan kepentingan para penguasa.
B.       Analisis substansif dari Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 adalah produk hukum dalam bidang pendidikan yang disusun atas dasar penyempurnaan dari Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989. UU No. 20 Tahun 2003 ini disahkan di Jakarta pada 8 Juli 2003 oleh Presiden Republik Indonesia yakni Ibu Megawati Soekarnoputri. UU No. 20 Tahun 2003 ini mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU No. 20 Tahun 2003 ini terdiri dari 22 BAB, 77 Pasal dan 252 Ayat. Dalam peraturan ini secara teknis peraturan ini sudah mencakup tiga kaedah hukum sebuah peraturan, diantaranya, yakni gebod (perintah atau suruhan), mogen (kebolehan), dan verbod (larangan).[8] [9]
Dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini, tiga kaedah hukum yang ada, sebagaimana dapat dilihat pada pemaparan dari ayat ke ayat dalam sebuah pasal. Dimana diantaranya untuk contoh dari ayat yang memuat unsur kaedah hukum berupa gebod (perintah atau suruhan) adalah pada pasal 7 ayat 2 yang berbunyi “Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.”. Selanjutnya unsur kaedah hukum berupa mogen (kebolehan) dapat dilihat dari pasal 23 ayat 1 yang berbunyi “Pada universitas, institut, dan sekolah tinggi dapat diangkat guru besar atau profesor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.Dan yang terakhir untuk pasal yang memuat kaedah hukum berupa verbod (larangan) dapat dilihat dari pasal 21 ayat 2 yang berbunyi “Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang bukan perguruan tinggi dilarang memberikan gelar akademik, profesi, atau vokasi”. Berikutnya marilah kita bahan substansi dari UU RI no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas tersebut.
UU No. 20 Tahun 2003 sebagai produk sebuah perundang-undangan dalam mengatur sistem pendidikan nasional tersusun atas tiga kelompok bagian.Ketiga kelompok bagian tersebut terdiri daripada pendahuluan, batang tubuh, dan penutup.Berikut penjabaran atas tiga kelompok bagian daripada UU NO.20 Tahun 2003 tersebut.
Bagian pendahuluan daripada UU No. 20 Tahun 2003 ini memuat bagian konsideran beserta definisi-definisi mengenai makna-makna daripada kata-kata yang terdapat dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini. Dalam bagian pendahuluan tepatnya untuk konsideran ini UU No. 20 Tahun 2003 ditetapkan berdasarkan berbagai aspek pertimbangan, antara lain: pembukaan Undang- Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang mengamanatkan bahwa Pemerintahan Negara Indonesia berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, isi daripada UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa Pemerintah perlu untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dianggap tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan UUD Tahun 1945 serta dengan mengingat Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat (1), Pasal 31, dan Pasal 32 UUD Tahun 1945.[10]
Dalam bagian batang tubuh ini kami membaginya beradasarkan bidang garapan Administrasi Pendidikan, antara lain:
Dalam BAB V pasal 12 ayat 1 sampai 4 dijelaskan bahwa peserta didik memiliki hak dan kewajiban, antara lain berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya, mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan minat dan bakat serta
kemampuannya, bagi yang orangtuanya tidak mampu peserta didik mendapat bantuan biaya. Selanjutnya peserta didik berkewajiban menjaga norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan hasil pendidikan. Disini juga dijelaskan bahwa warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah NKRI.
Implementasi pasal 12 ini pernah menuai konra pada tahun 2015 yaitu masih banyak siswa yang belum mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan yang dianutnya.Terutana siswa muslim yang bersekolah di yayasan bukan yayasan islam. Sebagai data autentik, berikut penulis cuplikan berita yang di orbitkan oleh kantor berita antara Jawa Timur yang judul beritanya adalah, “Pelajar Kritik Pengajaran Agama di Sekolah Non-Muslim”Kamis, 2 Mei 2013 14:47 WIB- Sekitar 100 pelajar baik SMP, SMA ataupun SMK di Kota Blitar, Jawa Timur, unjuk rasa di kantor DPRD setempat, mengkritik penerapan pendidikan agama di sejumlah sekolah non- Muslim."Terdapat beberapa yayasan yang tidak memasukkan kurikulum pendidikan di sekolahnya," kata koordinator aksi Ahmad Mustofa ditemui saat unjuk rasa, Kamis.Sejumlah sekolah yang dikritik itu di antaranya SMK Katolik Santo Yusuf Blitar, Yayasan Yohanes Gabriel Kota Blitar, yang tercatat sebagai penyelenggara sekolah Katholik mulai dari TK, SD, SMP dan SLTA (SMA/SMK), SD-SMP Yos Sudarso Blitar, sampai SDK Santa Maria Blitar, dan sejumlah sekolah lain Saat unjuk rasa, massa yang merupakan pelajar itu membawa berbagai macam spanduk yang isinya tentang pentingnya pendidikan agama. Mereka juga membawa spanduk tentang ketentuan sekolah yang telah menyalahi aturan pemerintah.Mereka sempat ditemui oleh Komisi I DPRD Kota Bltar.Komisi yang membawahi bidang pendidikan itu berjanji segera menyelesaikan masalah ini, sehingga sistem pendidikan pun bisa berjalan dengan lancar.Anggota Komisi I DPRD Kota Blitar Supriyono mengatakan masalah ini memang perlu ditegaskan. DPRD juga akan memanggil sekolah terkait serta instansi terkait untuk mencari jalan keluar dari masalah itu.[11] [12]
Namun kejadian tersebut sudah teratasi dan tidak terdengar lagi seperti yang lansir dalam nu-online bahwa tahun ini kabar tentang diskriminasi layanan pendidikan agama dan intoleransi di sekolah tak segaduh tahun sebelumnya. Dua tahun silam, masyarakat dikagetkan dengan ramainya pemberitaan di media massa soal penolakan sejumlah lembaga pendidikan
Katolik di Kota Blitar, Jawa Timur, untuk memberikan pelajaran agama non-Katolik kepada siswa beragama lain.
Dalam BAB XI pasal 39 sampai pasal 44 dijelaskan bahwa tugas pendidik pada intinya adalah melaksanakan pembelajaran dan tenaga kependidikan bertugas dalam kegiatan administrasi.Selanjutnya dijelaskan pula mengenai hak dan kewajiban dari pendidik dan tenaga kependidikan.Pendidik dan tenaga kependidikan disini ditempatkan berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal melihat dari kebutuhan daerah dimana disini pemerintah memfasilitasi segala keperluan dari pendidik dan tenaga kependidikan.Selain itu dalam hal ini dipaparkan juga mengenai ketentuan kualifikasi, promosi, penghargaan, dan sertifikasi.Pengembangan pendidik dan tenaga pendidik dalam hal ini harus mampu dikembangkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Dalam menginterpretasikan pasal 39 inilah menurut penulis terjadi bias.Pada item tenaga pendidik pada intinya adalah melaksanakan pembelajaran dan tenaga kependidikan bertugas dalam kegiatan administrasi sebenarnya sudah jelas dan proporsional. Namun pada kenyataanya sering tenaga pendidik justru terjebak pada wilayah penyelesaian tugas admnistratif.Yang tentulah sangat mengganggu tugas utama sebagai pendidik.
Kenyataan di lapangan ternyata masih jauh dari idealnya implementasi pasal ini, yaitu masih kurangnya tenaga kependidikan yang memenuhi standart baik secara kuantitas maupun bahkan kualitasnya. Terutama disekolah swasta. Sebagaimana contoh di SMPI Ar- Rofi’iyyah Kraksaan Probolinggo. Bahwa di sana masih ada fakta tentang ketidaksesuain tugas yang dilakukan tenaga kependidikan seperti mengisi kekosongan guru. Realitas ini menunjukan ketidak idealan dalam pelaksanaan pelayanan pendidikan. Padahal lembaga pendidikan dihadapkan pada tuntutan pelayanan prima dan harus mampu menyiapkan output yang handal, sehingga siap dan berani dihadapkan pada tantangan MEA atau pasar bebas. Yang mana dalam era tersebut nantinya banyak tenaga kerja luar negeri bidang apapun termasuk guru, yang masuk dalam bursa kerja Indonesia, gelomba arus tenaga kerja luar negeri pada era masyarakat MEA arusnya sangat besar, sehingga generasi muda Indonesia jika tidak siap berkompetisi dengan tenaga dari luar negeri, maka mereka harus siap menjadi penonton dan terlindas di negeri sendiri.
Realiatas kekurangan tenaga kependidikan ini diperumit lagi dengan tidak diperbolehkanya sekolah negeri mengangkat pegawai tidak tetap secara resmi, atau diperbolehkan akan tetapi ada kendala dalam persoalan mencari sumber dana dalam penggajian pegawai tidak tetap tersebut. Disebabkan sumber pendanaan dari sekolah adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Sedangkan dana BOS tidak diperbolehkan untuk dialokasikan kepada penggajian pegawai. Ditambah lagi dengan problem kebijakan pemerintah daerah yang melarang sekolah untuk menarik pembayaran partisipasi dari wali murid (iuran komite) yaitu dengan program sekolah gratis.
Untuk mengatasi persoalan kekurangn tenaga kependidikan ini, jika menunggu pengangkatan CPNS masih terlalu lama atau terhalanf persoalan birokrasi, maka pemerintah pusat maupun daerah dapat mengangkat tenaga kontrak bukan honorer. Larangan mengankat tenaga honorer dalam Surat Menteri Dalam Negeri Nomor : 814.1/169/SJ Tanggal 10 Januari 2013 Perihal Penegasan Larangan Pengangkatan Tenaga Honorer. Dapat dicari jalan kekuarnya dengan mengangkat Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK) atau dapat diistilahkan dengan tenaga kontrak. Bagi pemerintah daerah yang memiliki APBD lebih dari anggaran pengeluaran daerah atau mengalami surplus, maka bisa mengangkat tenaga kependidikan bahkan tenaga pendidik dika keufrangan tenaga pendidikan, direkrut tenaga untuk mengutup kekurangan tenaga tersebut melalui PPPK, dengan gaji diambilkan dari APBD.
Namun jika pemerintah daerah tidak mampu membayar PPPK tersebut melalui APBD, maka sekolah dapat meminta rekomendasi dari pemerintah daerah agar diberi kewenangan untuk mencari sumber dana selain dana BOS dan DAK, yang digunakan menggaji PPPK tersebut. Penggalian dana tambahan dapat melalui iuran komite sekolah atau dari sumber dana yang lain. Seperti dana CSR dari perusahaan baik BUMN maupun perusahaan swasta. Pemerintah bisa mendorong perusahaan untuk mengalokasikan CSR nya ke dunia pendidikan dengan lebih maksimal. Terutama lembaga pendidikan yang masih sangat membutuhan bantuan pendanaan.
Dalam BAB XII pasal 45 yang terdiri dari 2 ayat dijelaskan bahwa setiap satuan pendidikan wajib menyediakan sarana dan prasarana yang mendukung keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.Selanjutnya ketentuan yang berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana ini diatur dalam peraturan menteri pendidikan nasional republik indonesia nomor 24 tahun 2007 tentang standar sarana dan prasarana untuk SD/MI, SMP/MTS, DAN SMA/MA. Dalam menyelenggarakan pendidikan Setidaknya ada 31 ketentuan yang harus dipatuhi dalam mempersiapkan sarana dan prasarana. Berikut ini 31 hal terkait dengan sarana prasarana sekaligus penjelasanya yaitu:
1)      Sarana adalah perlengkapan pembelajaran yang dapat dipindah-pindah.
2)       Prasarana adalah fasilitas dasar untuk menjalankan fungsi sekolah/ madrasah.
3)       Perabot adalah sarana pengisi ruang.
4)       Peralatan pendidikan adalah sarana yang dapat secara langsung digunakan untuk pembelajaran.
5)       Media pendidikan adalah peralatan pendidikan yang digunakan untuk membantu komunikasi dalam pembelajaran.
6)       Buku adalah karya tulis yang diterbitkan sebagai sumber belajar.
7)       Buku teks pelajaran adalah buku pelajaran yang menjadi pegangan siswa dan guru untuk setiap mata pelajaran.
8)       Buku pengayaan adalah buku untuk memperkaya pengetahuan siswa dan guru.
9)       Buku referensi adalah rujukan untuk mencari informasi atau data tertentu.
10)     Sumber belajar lainnya adalah sumber informasi dalam bentuk selain buku meliputi jurnal, majalah, surat kabar, poster, situs (website), dan compact disk.
11)     Bahan habis pakai adalah barang yang digunakan dan habis dalam waktu relatif singkat.
12)     Perlengkapan lain adalah alat mesin kantor dan peralatan tambahan yang digunakan untuk mendukung fungsi sekolah/madrasah.
13)     Teknologi informasi dan komunikasi adalah satuan perangkat keras dan lunak yang berkaitan dengan akses dan pengelolaan informasi dan komunikasi.
14)     Lahan adalah bidang permukaan tanah yang di atasnya terdapat prasarana sekolah/madrasah meliputi bangunan, lahan praktik, lahan untuk prasarana penunjang, dan lahan pertamanan.
15)     Bangunan adalah gedung yang digunakan untuk menjalankan fungsi sekolah/ madrasah.
16)     Ruang kelas adalah ruang untuk pembelajaran teori dan praktik yang tidak memerlukan peralatan khusus. [13]
17)     Ruang perpustakaan adalah ruang untuk menyimpan dan memperoleh informasi dari berbagai jenis bahan pustaka.
18)     Ruang laboratorium adalah ruang untuk pembelajaran secara praktik yang memerlukan peralatan khusus.
19)     Ruang pimpinan adalah ruang untuk melakukan kegiatan pengelolaan sekolah/madrasah.
20)     Ruang guru adalah ruang untuk guru bekerja di luar kelas, beristirahat dan menerima tamu.
21)     Ruang tata usaha adalah ruang untuk pengelolaan administrasi sekolah/ madrasah.
22)     Ruang konseling adalah ruang untuk siswa mendapatkan layanan konseling dari konselor berkaitan dengan pengembangan pribadi, sosial, belajar, dan karir.
23)     Ruang UKS adalah ruang untuk menangani siswa yang mengalami gangguan kesehatan dini dan ringan di sekolah/madrasah.
24)     Tempat beribadah adalah tempat warga sekolah/madrasah melakukan ibadah yang diwajibkan oleh agama masing-masing pada waktu sekolah/ madrasah.
25)     Ruang organisasi kesiswaan adalah ruang untuk melakukan kegiatan kesekretariatan pengelolaan organisasi siswa.
26)     Jamban adalah tempat buang air besar dan/atau kecil.
27)     Gudang adalah tempat menyimpan peralatan pembelajaran di luar kelas, peralatan sekolah/madrasah yang tidak/belum berfungsi, dan arsip sekolah/ madrasah.
28)     Ruang sirkulasi adalah ruang penghubung antar bagian bangunan sekolah/ madrasah.
29)     Tempat berolahraga adalah ruang terbuka atau tertutup yang dilengkapi dengan sarana untuk melakukan pendidikan jasmani dan olah raga.
30)     Tempat bermain adalah tempat terbuka atau tertutup untuk siswa dapat melakukan kegiatan bebas.
31)     Rombongan belajar adalah kelompok siswa yang terdaftar pada satu satuan kelas.
Dari 31 standart yang harus dipenuhi untuk melengkapi sara dan prasara sekolah tersebut harus
benar-benar dilaksanakan dengan secermat mungkin dan sebaik-baiknya agar memenuhi
idialisme lembaga pendidikan.


Masih banyak persoalan sarana dan prasaramna yang dialami oleh lembaga pendidikan di Indonesia seperti bertita yang kami wawancara dengan salah satu guru di MI-Al Hasaniyah Gading Probolinggo[14] berikut ini:
Kita tahu sendiri pendidikan di indonesia itu sangat minim sekali terutama dalam sarana dan prasarana , seperti hal nya sarana prasarana pendidikan di sekolah rusak di berbagai di indonesia dan banyak memprihatinkan terutama di daerah terpencil . Dalam hal ini fasilitas kegiatan belajar mengajar itu sungguh jauh dari tidak layaknya pembelajaran.seperti halnya fasilitas yang tidak memadai yaitu gedung kelas bocor,bangku sekolah rusak maupun tidak mencukupi.
Pemerintah hanya fokus untuk bantuan sarana-prasana untuk daerah perkotaan saja. Tidak merata hingga ke pinggiran seperti sekolah kami ini. Akhirnya yang terjadi adalah sebuah ketimpangan yaitu sekolah yang di kota atau pinggiran kota yang awalnya sudah maju akan semakin maju dan kita yang di desa semakin tertinggal.
Dalam memenuhi sarana prasarana pendidikan yang standard, jika menunggu dana dari pemerintah memang lama dan agak sulit. Maka lembaga pendidikan harus pandai-pandainya mencari sumber pendapatan lain yang dibenarkaan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah. Pada umumnya penggalian dana yang dialokasikan kepada sarana prasarana ini diambilkan dari iuran para wali murid atau dana komite, namun jika lembaga pendidikan yang kebetulan berada di tengah-tengah daerah tertinggal atau masyarakat yang kurang mampu, maka situasi tersebut juga menjadi kendala tersendiri.
Sebenarnya ada beberapa jalur arternatif untuk menggali dana tambahan untuk melengkapi sarana prasarana, yang selain diambilkan dari dana komite. Yaitu dana tersebut bisa digali melalui lembaga-lembaga swasta yang peduli terhadap pendidikan yang tentunya danya non profit, yang tidak mengikat sehingga lembaga tidak terjebak ke dalam politik atau hal-hal yang menjadi kendala independensi pendidikan.
Dalam BAB XIII pasal 46 sampai pasal 49 dijelaskan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggungjawab terhadap pendanaan pendidikan dalam hal menyediakan sumber pendanaan pendidikan dengan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan serta pengarahannya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pengelolaan dana pendidikan, dan pengalokasian dana pendidikan minimal sebesar 20 % dari APBN, 20 % APBD dan hibah yang dialokasikan untuk dana penyelenggaraan pendidikan.
Jika dianalisa melalui realisasi pemerintah pusat, maka pelaksanaan perundangan dana pendidikan 20 % disimpulkan sudah terealisasi dan telah tepat sasaran sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah.[15] Namun realitas ini akan berbeda jika dianalisis pelaksanaan di daerah atau dilapangan yaitu adanya pemotongan alokasi dana tersebut sepertihalnya yang dikatakan oleh Mendikbud Muhajir Efendi pada 16 januari 2017 yang lalu ia mengatakan:[16]
“Soalnya yang terjadi di lapangan banyak daerah yang mendapatkan transferan dana berupa Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus dari pemerintah pusat ke daerah,memasukan bantuan itu menjadi 20 persen anggaran pendidikan. Padahal, seharusnya anggaran 20 persen itu harus berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah murni, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. "Bantuan pusat tidak boleh dihitung bagian dari 20 persen itu. Harus dipisahkan," ujarnya.
Namun, bantuan dari pemerintah pusat bisa dimasukan ke postur anggaran daerah yang memang dalam keadaan darurat. "Daerah mana yang memang mengaku alokasinya rendah memang bisa. Tapi, kalau semuanya mengaku rendah tidak ada satu pun yang mengalokasikan, itu akan bikin repot kami," ujarnya.
Pelaksanaan penerapan dana pendidikan di daerah-daerah harus dipantau dan diawasi semaksimal mungkin. Karena tidak jarang pemerintah daerah memanfaatkan pengalokasian dana pendidikan dan lembaga pendidikan ini untuk pencitraan figure politikus atsu kampanye terselubung. Perbuatan dholim ini tidak hanya berdampak pada terseretnya lembaga pendidikan ke dalam politik praktis, yang lebih berbahaya lagi adalah, pembelajaran politik yang tidak baik kepada generasi muda penerus bangsa. Generasi muda diajari maneuver politik yang kotor dan menghalalkan segala cara tanpa mempertimbangkan etika dan syariat agama.
Pemerintah pusat harus bertindak tegas dan merespon persoalan ini dengan serius, atau jika tidak ada peraturan yang mengarahkan pemerintah daerah dalam kasus ini, maka perlu diterbitkan perundang-undangan yang mengatur etika berpolitik para elite politik. Jika rakyat kecil melanggar hal kecil saja masuk bui apalagi ada pemerintah daerah yang melanggar etika berpolitik, mereka justru mendapat dukungan penuh dan dielu-elu bagaikan seorang pahlawan.
Dalam BAB X pasal 36 sampai 38 dijelaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan potensi daerah dan peserta didik.Dalam kurikulum ini harus memuat nilai-nilai khusus yang telah disepakati dalam menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional.Selanjutnya dalam struktur kurikulum pada pendidikan dasar, menengah, bahkan tinggi ini harus memuat beberapa muatan wajib berupa matapelajaran yang harus disampaikan dalam penyelenggaraan kegitan pendidikan yang dilaksanakan pada jenjang-jenjang tersebut.Lebih lanjut lagi, bahwa kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi itu sendiri dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studinya.
Pada struktur kurikulum UU no 20 tahun 2003, ada mata pelajaran yang menurut analisa penulis, pada konteks tertentu justru tidak sesuai dengan karakteristik satuan pendidikan.Penulis ambil contoh pelajaran seni budaya bagi siswa SMK rumpun teknologi dan rekayasa.
Pelajaran seni budaya bagi para calon teknokrat jika harus mendalami bahkan harus mempraktikan pelajaran tersebut, akan bertolak belakang dengan karakteristik teknokrat dan tipologi bakat siswa SMK rumpun teknologi dengan kapasitas kecerdasan kinestetik logisnya. Jika mereka diajak menari atau membuata patung dan lain sebagainya, maka menurut pengamatan penulis pada tataran aplikatif, banyak menimbulkan problem. Dikecualikan siswa yang memang masuk pada SMK rumpun Pariwisata, mereka memang diambil dari input yang memiliki keinginan dan bakat dalam hal seni dan budaya. Sebagai bahan pertimbangan berikut kami paparkan sitem kurikulum sekolah di UU no 20,
Pasal 37
1)      Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:
a.      pendidikan agama;
b.      pendidikan kewarganegaraan;
c.       bahasa;
d.      matematika;
e.       ilmu pengetahuan alam;
f.       ilmu pengetahuan sosial;
g.      seni dan budaya;
h.      pendidikan jasmani dan olahraga;
i.        keterampilan/kejuruan; dan
j.        muatan lokal.
2)       Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a.      pendidikan agama;
b.      pendidikan kewarganegaraan; dan
c.       bahasa.
3)       Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dalam BAB XV pasal 54 sampai pasal 56 dijelaskan bahwa hubungan sekolah dan masyarakat dalam hal ini salah satunya berupa peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Melihat terdapatnya hubungan sekolah dan masyarakat maka dalam hal ini perlu adanya penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. Konsep ini sangat bagus dalam upaya membentuk system pendidikan yang membangun.
Namun perkembangan lingkungan masyarakat dewasa ini kurang begitu mendudkang dalam menciptakan iklim pendidikan yang diharapkan dan ideal. Banyak ditemui kegiatan-kegiatan atau kebiasaan baru atau lama di dalam masyarakat yang kontra produktif dan menghambat keberhasilan usaha pendidikan. Bagaimanapun juga keberhasilan pendidikan tidak bisa dibebankan kepada lembaga pendidikan formal saja, harus ada peran serta dari seluruh elemen masyarakat, terutama wali murid.
Solusi yang dapat diterapkan dalam upaya memciptakan system pendidikan di Indonesia sehingga ada sinergi antara lembaga formal dan masyarakat adalah:
a)       Membuat peratuaran dimasyarakat tentang jam wajib belajar
b)      Mendirikan lembaga pendidikan non formal yang dimasyarakat yang berbasis kebutuhan local guna mendukung keberhasilan pendidikan.
c)       Ada sinergi antara tokoh masyarakat, ulama dan umarok dalam memotifasi dan menciptakan lingkungan yang edukatif.
d)      Ada ketegasan dari fihak yang berwenang untuk berkomitmen dalam memberantas hiburan yang tidak mendidik.
Bagian penutup dalam UU No. 20 Tahun 2003 ini terdiri daripada ketentuan pidana dalam BAB XX pasal 67 sampai pasal 71, ketentuan peralihan dalam BAB XXI pasal 72 sampai pasal 74, dan ketentuan penutup dalam pasal 75 sampai pasal 77.Ketentuan pidana berisi mengenai beberapa tindakan pidana baik berupa kurungan maupun denda terhadap segala tindakan yang melanggar peraturan mengenai penyelenggaraan pendidikan dari berbagai kegiatannya. Selanjutnya dalam ketentuan peralihan diatur mengenai pemberlakuan penyelenggaraan pendidikan yang pada saat undang-undang ini diberlakukan belum berbentuk badan hukum pendidikan, waktu perijinan selambat-lambatnya 2 tahun bagi satuan pendidikan formal yang telah berjalan namun belum memiliki ijin, dan pemberlakuan peraturan pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 selama tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini. Kemudian yang terakhir dalam bagian penutup ini dipaparkan mengenai peraturan perundang- undangan yang tidak berlaku lagi setelah UU ini diterbitkan.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 telah bertahan untuk saat ini kurang lebih selama 12 tahun.Angka tersebut merupakan angka yang cukup matang untuk terlaksananya suatu kualitas pendidikan yang semakin tinggi dan bermutu.Namun pada akhir-akhir ini aturan yang terdapat dalam Undang-Undang tersebut banyak yang kurang atau bahkan tidak sesuai lagi dengan perkembangan negara Indonesia saat ini.
Sejatinya posisi Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 sangatlah strategis.Sebab salah satu alat kebijakan pemerintah yang terindependensi dengan kebijakan-kebijakan publik lainnya adalah perencanaan pendidikan. Proses perencanaan pendidikan di Indonesia diarahkan pada relevansi, efesiensi, dan efektivitas, namun optimalisasi kinerja manajemen pendidikannya belum berjalan sesuai dengan harapan.
Pendapat H. A. R Tilaar bahwa:“Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menggarisbawahi perlunya komitmen pemerintah terhadap pendidikan namun dalam APBN/ APBD justru dikalahkan oleh suatu peraturan pemerintah. Kurangnya komitmen pemerintah pusat dan daerah untuk menjadikan pendidikan sebagai titik tolak reformasi masyarakat dan bangsa Indonesia menuju masyarakat yang cerdas dan demokratis
17
sebenarnya telah tampak di dalam ketiadaan arah pengembangan pendidikan nasional.”
Pendapat dari H. A. R Tilaar di atas telah menggambarkan keberadaan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 ini kurang bisa mempertahankan peraturan yang telah dimuat didalamnya untuk kondisi pendidikan di lapangan pada saat ini. Pemerintah yang semula berkomitemen untuk pendidikan, dewasa ini komitmen mereka telah memudar hingga tidak memikirkan pengembangan pendidikan nasional. Hal tersebut merupakan sebuah pemikiran kritis dan membutuhkan kebijakan-kebijakan daripada perbaikan sebuah Peraturan Perundang- Undangan.
Sebagai salah satu subsistem di dalam sistem negara/pemerintahan, keterkaitan pendidikan dengan subsistem lainnya bahkan saling membutuhkan, saling berketergantungan, dan saling melengkapi.Setidaknya ada dua realiatas yang bias disampaikan penulis terkait dengan problematika dalam penerapan UU no 20 than 2003.
1. Berlangsungnya sistem ekonomi kapitalis di tengah-tengah kehidupan telah membentuk paradigma pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan sebagai bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yang harus disertai dengan adanya sejumlah pengorbanan ekonomis (biaya) oleh rakyat kepada negara. Pendidikan dijadikan sebagai jasa komoditas, yang dapat diakses oleh masyarakat (para pemilik modal) yang memiliki dana dalam jumlah besar saja ralitas ini adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Veithzal Rivai dan Sylviana Murni. [17] [18]
Hal ini terlihat dalam UU Sisdiknas N0. 20 Tahun 2003 pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) bahwa: 1) Penyelenggara dana/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. 2) Badan hukum pendidikan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik. 3) Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Sedangkan dalam pasal 54 disebutkan pula 1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. 2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Berdasarkan pasal-pasal di atas, terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara ke masyarakat dengan mekanisme Badan Hukum Pendidikan (BHP), yaitu adanya mekanisme Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada tingkat SD-SMA dan otonomi pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Dengan demikian, sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Yang patut kita antisipasi dalam konteks ini adalah, ketika ada lembaga pendidikan menentukan tariff pendidikan setinggi-tingginya tanpa memperhatikan dan mempertahankan mutu.
2.        Berlangsungnya kehidupan sosial yang berlandaskan sekularisme telah menyuburkan paradigm hidonisme (hura-hura), permisivisme (serba boleh), materialistic (money oriented), dan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Motif untuk menyelenggarakan dan mengenyam pendidikan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, saat ini lebih kepada tujuan untuk mendapatkan hasil-hasil materi ataupun keterampilan hidup belaka (yang tidak dikaitkan dengan tujuan membentuk kepribadian (akhlak) yang utuh berdasarkan pandangan syari'at Islam).[19]
Hal ini dapat dilihat dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 3 yang menunjukkan paradigma pendidikan nasional. Dalam bab IV menjelaskan tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yang membedakan antara pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Selain itu dapat pula dilihat dalam regulasi derivatnya seperti PP tentang SNP No. 19 tahun 2005, UU Wajib Belajar dan UU BHP.
Dalam paradigma materialistik pun indikator keberhasilan belajar murid setelah menempuh proses pendidikan dari suatu jenjang pendidikan saat ini adalah dengan perlakuan yang sama secara nasional pemerintah mengukurnya berdasarkan perolehan angka Ujian Nasional (UN) yang dahulu disebut sebagai Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Indikator itu pun saat ini hanya pada tiga mata pelajaran saja, Matematika/Ekonomi, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, yang ketiganya tersebut berbasis pada aspek kognitif (pengetahuan). Pemerintah (Mendiknas) menilai bahwa UN sangat tepat untuk dijadikan sebagai alat ukur standar pendidikan, dan hasil UN sangat riil untuk dijadikan alat meningkatkan mutu pendidikan. Di sisi lain, aspek pembentukan kepribadian (akhlak) yang utuh dalam diri murid, tidak pernah menjadi indikator keberhasilan murid dalam menempuh suatu proses pendidikan, sekalipun dalam sekolah yang berbasis agama (lihat standar kompotensi dan kelulusan murid dalam PP No. 19 tahun 2005).
Padahal Fenomena pergaulan bebas di kalangan remaja (pelajar) yang menjerumuskan pelajar pada seks bebas, terlibat narkotika, perilaku sarkasme/kekerasan, dan berbagai tindakan kriminal lainnya semakin meluas dan merajalela.namun standar kelulusan secara nasional bagi murid, belum juga melibatkan assessment (penilaian) terhadap aspek kepribadian (pola pikir dan prilaku) yang telah terbentuk dalam individu murid berdasarkan hasil pendidikan (akhlak) di sekolahnya. Begitu jugaassessment atau penilaian yang mengarah pada tingkat spiritual danketerampilan yang dimiliki murid yang kelak menjadi modal dalam menempuh kehidupan di dalam masyarakat, juga belum tersentuh.


1.      Terjadi kekeliruan dalam interpretasi dan aplikasi Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, yang berdampak pada adanya upaya hegemoni pemerintah ataupun fihak lain terhadap pendidikan dan lembaga pendidikan.
2.      Secara umum substansi Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 sudah mengatur dan mengarahkan pendidikan sesuai dengan definisi dan asas pendidikan itu sendiri. Dan aada beberapa item undang-undang yang perlu kajian ulang dengan menyesuaikan konteks pendidikan dan realitas perkembangan obyek pendidikan.
3.      Implementasi Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 selama kurang lebih 12 tahun pada dunia pendidikan Indonesia belum mencapai titik pencapaian yang maksimal. Masih sangat memerlukan upaya-upaya redefinisi ulang terhadap Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, sehingga undang-undang tersebut dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya..


DAFTAR PUSTAKA
/j atim.antaranews.com/lihat/berita/109506/pelajar-kritik-pengajaran-agama-di-sekolah-non- muslim
Cortese, Anthony D. (2003) "The critical role of higher education in creating a sustainable future." Planning for higher education 31.3: 15-22.
Erwiningsih, Winahyu. (2009)"Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara atas Tanah Menurut UUD 1945." JurnalHukum IUS QUIA IUSTUM 16.
H Haidar Putra Daulay, M. A. ( 2014) Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kencana,.
H Haidar Putra Daulay, M. A. (2014) Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kencana,.
Indonesia, Presiden Republik. (2003)"Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional."
Indonesia, PRESIDEN REPUBLIK. Peraturan Pemerintah RI nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Cipta Jaya, (2005).
nasional.tempo.co/read/840026/mendikbud-daerah-jangan-kurangi-dana-pendidikan-20-persen Ramayulis. (2002) Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia,.
Siregar, Maragustam. (2010) "Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam)".
Sudiarto, Bambang. (2018) "SUMBER BAHASA HUKUM INDODNESIA." Socio Justisia 1.1.
Tilaar, Henry Alexis Rudolf. (1998) Beberapa agenda reformasipendidikan nasional dalam perspektif abad 21. IndonesiaTera,.
Veithzal, Rivai, and Sylviana Murni. (2009) "Education Management Analisis Teori dan Praktik." Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.



[1] Indonesia, Presiden Republik. "Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional." (2003).
[2] H Haidar Putra Daulay, M. A. Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kencana, 2014.
[3] Cortese, Anthony D. "The critical role of higher education in creating a sustainable future." Planning for higher education 31.3 (2003): 15-22.
[4] Erwiningsih, Winahyu. "Pelaksanaan Pengaturan Hak Menguasai Negara atas Tanah Menurut UUD 1945." Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM 16 (2009).
[5] Tilaar, Henry Alexis Rudolf. Beberapa agenda reformasipendidikan nasional dalam perspektif abad 21. IndonesiaTera, 1998.
[6] H Haidar Putra Daulay, M. A. Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kencana, 2014.
[7] Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam. Kalam Mulia, 2002.
[9] Sudiarto, Bambang. "SUMBER BAHASA HUKUM INDODNESIA." Socio Justisia 1.1 (2018).
[10] Indonesia, Presiden Republik. "Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional." (2003).
[11]          /jatim.antaranews.com/lihat/berita/109506/pelajar-kritik-pengajaran-agama-di-sekolah-non-muslim
[13] Indonesia, PRESIDEN REPUBLIK. Peraturan Pemerintah RI nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Cipta Jaya, 2005.
[14] Wawancara ini dilakukan ketika penulis sedang melakasanakan diklat terpadu ansor yang kebetulan sekolah tersebut menjadi tuan rumah.
[15]          UU Sisdiknas op-cit.
[16]          nasional.tempo.co/read/840026/mendikbud-daerah-jangan-kurangi-dana-pendidikan-20-persen
[17] Tilaar, Henry Alexis Rudolf. Op-cit
[18] Veithzal, Rivai, and Sylviana Murni. "Education Management Analisis Teori dan Praktik." Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada(2009).
[19] Siregar, Maragustam. "Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam)." (2010).

No comments:

Post a Comment