Nikmatul Ulfa
Mahasiswa Pascasarjana UIN MALIKI MALANG 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan
menurut hukum Islam adalah akad yang
sangat kuat sebagai wujud untuk mentaati
perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah. Esensi yang terkandung
dalam syari’at pernikahan adalah mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Dalam
hal ini tujuannya adalah untuk
menciptakan suatu kehidupan rumah tangga yang mendatangkan kemaslahatan, baik
bagi suami istri, anak-anak, keuarga, maupun masyarakat.
Dalam
pandangan Islam, pernikahan dianggap sah jika terpenuhi syarat dan rukunnya.
Jika salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, maka suatu pernikahan
dianggap batal atau tidak sah. Jumhur
ulama’ menyatakan terdapat empat rukun nikah, ijab dan qabul, calon istri dan
calon suami, beserta wali. Sedangkan saksi dan mahar, keduanya merupakan syarat
dalam akad nikah. Jika demikian itu dipenuhi beserta dengan etika dalam hidup
berumah tangga, niscaya pernikahan senantiasa akan dialiri dengan keberkahan
dan kebahagian yang sakinah mawaddah warrahmah.
Akan tetapi, muncul permasalahan di tengah kehidupan masyarakat, yaitu
pernikahan yang memberi batas waktu tertentu. Pernikahan ini semata-mata hanya
untuk menyalurkan hasrat seksual saja. Dalam Islam dikenal dengan sebutan nikah
mut’ah atau jika Indonesia lebih dikenal dengan sebutan nikah kontrak. Tidak
jarang pernikahan semacam ini dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia.
Terutama masyarakat muslim yang mereka memiliki anggapan bahwa daripada berzina
di luar nikah, maka lebih baik melakukan pernikahan kontrak agar hubungan
mereka menjadi halal walaupun bersifat sementara.
Praktek nikah mut’ah telah dimulai ketika zaman pra-Islam. Kemudian ketika
Islam datang, Rasulullah Saw. sempat menghalalkannya, namun setelah itu beliau
mengharamkannya. Penghalalan terjadi pada tahun penaklukan Makkah. Karena pada
waktu itu para tentara muslim yang belum menikah namun terbatas ekonominya
tidak mampu menahan keinginan biologis yang sudah mendesak. Kemudian Rasulullah
Saw. memperbolehkan mereka untuk nikah mut’ah dengan mahar baju untuk satu
waktu. Kemudian ketika terjadi perang khaibar, Rasulullah Saw. sudah mulai
melarang pernikahan muaqqat atau mut’ah tersebut. Namun ada sebagian kecil
sahabat yang masih membenarkan bahwa nikah mut’ah itu halal.
Hingga kini nikah mut’ah masih terus dilakukan masyarakat di kalangan
Syi’ah, karena mereka beranggapan bahwa nikah mut’ah masih diperbolehkan
berdasarkan dalam al-Qur'an surat An-Nisa’ayat 24. Mereka membolehkan
pernikahan ini karena menganggap bahwa tidak ada mansukh dari Rasulullah Saw.,
justru Umar bin Khattablah yang melarangnya. Sedangkan menurut pandangan
masyarakat Sunni, hukum nikah mut’ah adalah haram. Keharaman ini ditinjau dari
pengategoriannya dalam pernikahan fasad (rusak atau tidak sah) menurut jumhur
ulama fiqh sunni.
Untuk itu, hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk
membahas lebih dalam mengenai perbedaan pendapat terhadap nikah mut’ah yang
masih beredar ditengah kalangan masyarakat untuk dicari titik tengahnya dari
sebuah hukum yang harus dianut oleh kita
semua umat Muslim khususnya. Makalah ini saya ajukan untuk memenuhi tugas mata
kuliah “Fiqih Kontemporer”, dengan harapan semoga makalah ini dapat
bermanfaat dan bisa dijadikan bahan rujukan bagi pembaca.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Nikah Mut’ah?
2. Bagaimana Praktek Nikah Mut’ah ?
3. Bagaimana
Hukum Nikah Mut’ah ?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian dari Nikah Mut’ah.
2. Untuk
Memahami Praktek Nikah Mut’ah.
3. Untuk
Memahami Hukum dari Nikah Mut’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Masalah
1. Pengertian Nikah Mut’ah
Pernikahan berasal dari kata “nikah” dalam bahasa arab نكاح yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, dan
digunakan untuk arti bersetubuh (wathi’). Sedangkan menurut istilah hukum
agama, makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses
pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan Kabul
(pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Kata nikah sendiri sering dipergunakan
untuk arti persetubuhan (coitus).[1]
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Bab I Pasal
I disebutkan bahwa:”Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[2]
Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara kesuluruhan aspeknya
dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial
yang sakral.
Sedangkan secara bahasa mut’ah berasal dari kata مَتَعَ-يَمْتَعُ-مَتْعًا-وَمُتْعَةً yang
bermakna kenikmatan atau
kesenangan.[3]
Dari pengertian tersebut pernikahan mut’ah dapat diartikan sebagai pernikahan
dengan batasan waktu
tertentu. Disebut seperti itu karena laki-laki menikahi perempuan itu
hanya untuk suatu batas waktu tertentu, seperti satu hari, satu bulan, satu
tahun atau batas waktu lainnya sesuai dengan yang disebutkan dalam akad.
Pernikahan ini disebut dengan nikah mut’ah karena laki-laki (suami) ini menikah
dengan maksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja. [4]
2. Praktek Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang memenuhi kriteria sebagai berikut,
yaitu:
a. Sighat (ucapan) ijab dan kabulnya harus memakai lafaz zawwajtuka,
unkihuka atau matta’tuka (saya nikahkan kamu sementara).
b. Tanpa wali.
c. Tanpa saksi.
d. Di dalam akad disebutkan batas
waktu. Batas waktu
ini ditetapkan berdasarkan kesepakatan keduanya (suami dan
isteri). Apabila batas waktu yang disepakati
ini berakhir maka
pernikahan ini dengan sendirinya
berakhir.
e. Di dalam akad harus
disebutkan mahar. Mahar
ini harus disepakati oleh kedua belah pihak.
f. Anak yang dilahirkan dari pernikahan ini kedudukannya sama dengan anak
yang dilahirkan dalam nikah permanen.
g. Tidak ada hak waris-mewarisi antara suami isteri.
h. Pernikahan akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati di
awal tanpa ada talak atau khuluk.
i. Iddahnya dua kali haid bagi yang masih haid dan 45 hari bagi yang
telah putus haid.
j. Tidak ada nafkah ‘iddah.[5]
Kalau diperhatikan ketentuan
di atas maka nikah
mut’ah ini mempunyai
perbedaan yang sangat signifikan dengan
nikah biasa (permanen)
dalam beberapa hal yaitu pemakaian lafaz mut’ah pada akad, syarat pembatasan
waktu, keharusan menyebutkan mahar, dalam hal putusnya
pernikahan hanya dengan sampai batas waktu yang disepakati tanpa ada talak atau
khuluk, suami isteri
tidak saling mewarisi,
dan masa ‘iddahnya hanya dua kali
haid. Disamping itu, masalah tidak perlu wali dan saksi juga merupakan hal lain
yang dipersoalkan oleh pendapat yang mengharuskannya. Hal ini tentu saja sangat
bertentangan dengan kaidah hukum Islam tentang pernikahan pada umumnya.
3. Sejarah Nikah Mut’ah
Salah
satu keistimewaan hukum
Islam adalah penetapan hukumnya
sesuai dengan keadaan
umat yang menjadi sasaran
hukum tersebut. Hal
ini juga berlaku pada
proses penetapan hukum
nikah mut’ah yang tidak
sekaligus diharamkan sejak
awal Islam. Nikah mut’ah yang
merupakan warisan tradisi jahiliyah ini
pada masa awal
Islam pernah dibolehkan
oleh Rasulullah Saw. dalam keadaan tertentu seperti ketika melakukan
perjalanan jauh dan peperangan. Kemudian setelah masa
transisi terlewati dan
iman umat Islam sudah semakin kuat baru diharamkan.
Namun sebelum dilarang secara permanen
tercatat bahwa pernikahan mut’ah ini melewati beberapa kali
perubahan hukum.
Namun
sebelum dilarang secara permanen tercatat bahwa perkawinan mut’ah ini melewati
beberapa kali perubahan hukum. Pelarangan pertama terjadi pada waktu perang
Khaybar kemudian dibolehkan secara terbatas pada waktu penaklukan Mekah (Fath
Makkah/Perang Awthas) dan setelah itu dilarang untuk selamanya.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah kalau
memang tidak atau kurang baik kenapa perkawinan mut’ah ini tidak langsung
dilarang saja? Kenapa mulanya dibolehkan kemudian dilarang kemudian dibolehkan
lagi dan baru kemudian dilarang untuk selamanya?.
Adapun hikmah yang bisa dipetik dari proses
nasikh mansukh ini adalah pembelajaran bagi umat bahwa Islam sangat
memperhatikan kesiapan umat untuk mematuhi suatu aturan yang ditetapkan
terutama menyangkut larangan sehingga aturan itu benar-benar dipatuhi. Masa
awal dakwah Islam adalah masa transisi dari budaya jahiliyah yang permisif pada
budaya Islam yang beradab dan berakhlak mulia. Di zaman jahiliyah perzinaan
tidak dilarang dan merupakan bagian dari kebiasaan pada umumnya masyarakat
sehingga seorang laki-laki bisa saja melakukan hubungan tanpa kawin dengan perempuan
yang diinginkannya. Kemudian Islam datang dengan membawa aturan yang membatasi
kebolehan seseorang bergaul hanya dengan isteri dan budaknya.
Sementara itu dalam waktu bersamaan, untuk
dakwah dan penyiaran Islam, ada kewajiban Muslim untuk pergi berperang yang
membuat mereka jauh dari isterinya dalam waktu yang lama. Hal ini bisa
menyebabkan yang masih lemah imannya kembali pada kebiasaan buruk di zaman
jahiliyyah yaitu berzina dengan perempuan yang mereka temui. Di sisi lain, yang
kuat imannya tetapi sulit membendung nafsu bermaksud untuk mengebiri diri
karena takut jatuh pada perzinaan yang diharamkan.
Untuk
mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh pasukan maka Nabi Saw membolehkan kawin
mut’ah sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari
Ibn Mas’ud:[6]

“Kami pernah
berperang bersama Rasulullah Saw. Sedangkan ister-isteri kami tidak ikut
bersama kami. Kemudian kami bertanya kepada Rasulullah Saw. , apakah boleh kami
melakukan kebiri? Maka Rasulullah Saw. Melarang kami melakukan yang demikian
itu dan memberikan rukhsah kepada kami untuk menikahi perempuan dengan mas
kawinnya baju untuk suatu waktu tertentu.” (H.R. Bukhari
Muslim)
Dari Hadis ini dapat dipahami bahwa kebolehan
kawin mut’ah bukanlah kebolehan longgar yang bisa dimanfaatkan di sembarang
waktu dan oleh setiap orang. Kebolehan ini ada untuk mengatasi problem yang
terjadi pada waktu sulit, dalam hal ini perang misalnya, dan kebolehan ini juga
bukan hukum asal tetapi rukhsah atau keringanan yang dibutuhkan dalam keadaan
sulit seperti dijelaskan oleh Ibn ‘Abbas ketika menjawab pertanyaan seseorang
tentang masalah ini:[7]
Aku
bertanya kepada Ibn ‘Abbâs tentang kawin mut’ah dengan seorang perempuan maka
dia membolehkannya (memberikan rukhsah). Kemudian seorang bekas hamba
(budak)nya bertanya: “Apakah yang demikian itu dalam keadaan terpaksa dan
karena sedikitnya jumlah perempuan atau keadaan sulit lainnya?”, Ibn ‘Abbâs
menjawab: “Ya!”.
Kemudian setelah tahapan transisi ini
terlewati maka Rasulullah Saw. mengharamkan kawin mut’ah ini untuk selamanya
sebagaimana disebutkan dalam Hadis riwayat Bukhari. Dalam Hadis ini dijelaskan:[8]
Dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia pernah
berperang bersama Nabi Saw. pada waktu peperangan penaklukan Mekah (fath
makkah). Kami berada di sana (berperang) selama lima belas hari. Rasulullah
Saw. mengizinkan kami untuk kawin mut’ah dengan perempuan. Kemudian Saburah
berkata:


“Aku tidak
pernah keluar dari Mekah hingga Rasulullah Saw. mengharamkannya”. Dan pada satu
riwayat lain disebutkan bahwa: Sesungguhnya ia pernah bersama Nabi Saw, lalu
Nabi bersabda: “Hai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu
melakukan kawin mut’ah dengan perempuan. Dan sesungguhnya Allah telah
mengharamkan hal (kawin) itu sampai hari kiamat. Karena itu, siapa saja yang
ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan mut’ah hendaklah ia
melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu(mahar) yang telah kamu
berikan kepada mereka”.
(H.R. Bukhari )
Dalam Hadis lain dari Saburah juga disebutkan
bahwa:[9]
“Rasulullah
Saw. menyuruh kami untuk kawin mut’ah pada tahun (waktu) penaklukan (Mekah),
ketika kami masuk kota Mekah kemudian kami tidak keluar dari Mekah hingga Rasul
melarang kami darinya (kawin mut’ah)”.
Dari paparan di atas jelaslah bahwa kawin
mut’ah awalnya dibolehkan kemudian dilarang pada perang Khaybar, kemudian
dibolehkan lagi pada waktu penaklukkan Mekah dan kemudian setelah itu
Rasulullah Saw. melarang untuk selamanya. Inilah pendapat yang dipegang oleh
Imâm Syafi’i, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, beliau berkata: “Tidak
pernah saya mengetahui sesuatu yang dihalalkan Allah Swt. lalu diharamkan-Nya,
lalu dihalalkannya, kemudian diharamkannya lagi kecuali soal mut’ah”.[10]Sementara
yang lain berpendapat kalau demikian berarti terjadi nasakh (pembatalan) hukum
dua kali. Hal seperti itu tidak pernah dikenal dalam syariat.
B. Pendapat Ulama’ dan
Hujjah
Ulama sepakat bahwa nikah mut‘ah pernah
dibolehkan dan menjadi salah satu bentuk pernikahan pada periode awal pembinaan
hukum Islam. Mereka berpendapat bahwa nikah mut‘ah diperbolehkan karena pada
saat itu umat Islam jumlahnya sedikit dan keadaan ekonominya terbatas,
sedangkan tenaganya dikonsentrasikan untuk menghadapi musuh Islam. Kondisi
seperti ini tidak memungkinkan mereka dapat hidup berkeluarga sebagai layaknya
suami istri dan membina anak-anak mereka sebagaimana dikendaki dari sebuah
pernikahan.[11]
Fuqaha kemudian berbeda pendapat dalam dua hal
pokok, yakni Pertama, apakah nikah
mut‘ah itu diperbolehkan untuk seterusnya atau ada larangan yang berlaku untuk selamanya;
Kedua, ulama yang memandang nikah mut‘ah itu dilarang untuk selamanya berbeda
pendapat tentang kapan larangan itu disampaikan Nabi saw.[12]
Mengenai persoalan pertama menurut ulama mazhab
yang empat (Hanafi, Syafi‘iy dan Hanbali) serta jumhur sahabat dan tabi‘in,
kecuali beberapa orang saja, nikah mut‘ah untuk selanjutnya dilarang.[13]
1.
Pendapat yang
Mengharamkan Nikah Mut’ah
Ulama yang
sepakat mengharamkan nikah mut’ah adalah dari golongan Sunny. Argumentasinya
tentang pelarangan nikah mut’ah adalah
Pertama, larangan Nabi
saw. dalam beberapa hadis yang berkualitas shahih. Di antaranya hadis riwayat
Ibn Majah yang berbunyi:

“Diceritakan Muhammad bin Khalaf
al-Asqalani, cerita dar al-Firyabi dari Aban bin Abi Hazim dari Abi Bakar bin
Hafs dari Ibn Umar pernah berkata: Ketika Umar bin al-Khattab memerintah, ia
berkhutbah kepada manusia dan mengatakan: Rasulullah saw. pernah membolehkan
nikah mut‘ah sebanyak tiga kali, setelah itu ia mengharamkannya. “Demi Allah!
Aku tidak mengetahui seorang pun yang melakukan nikah mut‘ah, kecuali
dirajamnya dengan batu.”
Kedua, sebagian
ulama berpendapat bahwa keharaman nikah mut‘ah dalam syariat Islam sudah
merupakan hasil ijma‘.
Ketiga, dilihat dari
tujuannya nikah mut‘ah hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwat, bukan untuk
menjaga kesejahteraan dan kelangsungan keturunan sebagaimana diharapkan dari
pernikahan.
Adapun
mengenai persoalan kedua tentang waktu pengharaman nikah mut‘ah, ulama berbeda
pendapat karena terdapat beberapa hadis yang berbeda satu sama lain. Menurut
hadis riwayat Ali bin Abi Thalib, nikah mut’ah itu diharamkan pada saat perang
Khaibar (7 H/628 M), bersamaan dengan diharamkannya memakan daging himar
(keledai).

“Dan telah
menceritakan kepadaku Abu al-Tahir dan Harmalah bin Yahya keduanya berkata:
telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari
Ibnu Syihab dari al-Hasan dan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib
dari ayahnya bahwa dia pernah mendengar ‘Ali bin Abi Thalib berkata kepada Ibnu
‘Abbas, Pada waktu perang Khaibar, Rasulullah SAW pernah melarang melakukan
nikah mut'ah dan melarang memakan daging keledai jinak”.[14]
Dalam hadis
yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dari al-Rabi‘ bin Saburah, larangan itu
terjadi pada saat haji wada‘, sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Iyas bin Salamah dari ayahnya, Nabi saw. melarang para sahabat pada
hari ketiga setelah Perang Autas, dan masih banyak sekali ulama-ulama yang mengharamkan
nikah mut’ah namun tidak penulis paparkan
seluruhnya didalam makalah ini.
Ulama
Indonesia yang bergabung dalam Majelis Ulama Indonesia melalui Komisi Fatwa[15]
telah mengharamkan nikah mut‘ah dan pelaku nikah mut`ah harus dihadapkan ke
pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku..
Pengharaman ini berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: (1) bahwa nikah
mut'ah akhir-akhir ini mulai banyak dilakukan oleh sementara umat Islam
Indonesia, terutama kalangan pemuda dan mahasiswa; (2) bahwa praktek nikah
mut`ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran, dan keresahan
bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan umat Islam
Indonesia pada umumnya, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi`ah di
Indonesia; (3) bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni
(Ahlus Sunnah wal Jama`ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi`ah secara
umum dan ajarannya tentang nikah mut`ah secara khusus.
MUI
mengharamkan nikah mut‘ah berdasarkan argumentasi dalil-dalil yang dikemukakan
oleh jumhur ulama tentang keharaman nikah mut`ah, antara lain:
a.
Firman Allah
SWT :
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9
tbqÝàÏÿ»ym
ÇÎÈ wÎ)
#n?tã
öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB
ôMs3n=tB
öNåkß]»yJ÷r& öNåk¨XÎ*sù çöxî úüÏBqè=tB ÇÏÈ
"Dan (di antara sifat orang
mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya.
Kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka
(dalam hal ini) tiada tercela" (QS. alMukminun: 5-6).
Ayat ini jelas
mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang
berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan
jalan mut`ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia bukan
jariah,karena akad mut`ah bukan akad nikah, dengan alasan sebagai berikut :
1)
Tidak saling
mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan.
2)
Iddah Mut`ah
tidak seperti iddah nikah biasa.
3)
Dengan akad
nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan
beristeri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut`ah.
4)
Dengan
melakukan mut`ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita yang
diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut`ah itu tidak
menjadikan wanita berstatus sebagai isteri dan tidak pula berstatus jariah.
Oleh karena itu, orang yang melakukan mut`ah termasuk di dalam firman Allah:
Ç`yJsù 4ÓxötGö/$#
uä!#uur y7Ï9ºs y7Í´¯»s9'ré'sù
ãNèd tbrß$yèø9$#
ÇÐÈ
"Barang siapa mencari selain
dari pada itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas" (Q.S.
al-Mukminun7).
b. Nikah
mut`ah bertentangan dengan tujuan persyari`atan akad nikah, yaitu untuk
mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan (lattanasul).
c. Nikah
mut`ah bertentangan dengan peraturan perundangundangan pemerintah/negara
Republik Indonesia (antara lain UU. Perkawinan Nomor 1/1974 dan Kompilasi Hukum
Islam). Padahal, peraturan perundang-undangan itu wajib ditaati kepada
pemerintah (ulil amri), berdasarkan, antara lain:
1)
Firman Allah:
"Hai orang beriman! Taatilah
Allah dan Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu..."(QS. an-Nisa:59)
2)
Kaidah
Fiqhiyah:"Keputusan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan
menghilangkan perbedaan pendapat."
2.
Pendapat yang
Menghalalkan Nikah Mut’ah
Beberapa ulama
lainnnya di kalangan sahabat dan tabi‘in, antara lain Ibn Abbas dan Ibn Mas‘ud memandang sebaliknya, yakni
nikah mut‘ah masih boleh dilakukan. Hal ini didasarkan pada firman Q.S.
al-Nisa‘ (4):24 yang berbunyi:[16]

Dalam salah
satu qiraahnya, mereka menambahkan kalimat ila ajal musamma (sampai bata
waktu tertentu), sehingga ayat tersebut menjadi acuan hukum dalam membolehkan
nikah mut‘ah.
Menurut Ibn
Abbas, nikah mut‘ah diperbolehkan selama dibutuhkan dan dalam situasi darurat
atau terpaksa. Artinya, bukan halal secara mutlak.[17]
Menurut al-Qurthubi, al-Syaukani dan orang yang sependapat dengannya mengatakan
bahwa hampir semua ulama menafsrikan ayat tersebut di atas dengan nikah mut’ah
yang sudah ditetapkan sejak permulaan Islam.[18]
Selain itu,
Ibnu Abbas (paman Nabi saw. dan salah satu penafsir ulung dari kalangan
sahabat), Said bin Zubair, Ibnu Mas‘ud, dan Ubay bin Ka‘ab selalu menambahkan
kalimat ila ajalin musamma (sampai waktu yang ditentukan). Dengan
demikian, ayat Alquran tersebut berbunyi “Famastamta’tum bih minhunna ila
ajalin musamma faatuhunna ujurahunna faridhah.” [19] dan terjemahannya “Maka istri-istri yang
telah kamu nikmati (campuri) dintara mereka sampai batas waktu yang ditentukan,
berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna.” Namun, menurut Quraish
Shihab, perkataan yang ditambahkan oleh Ibnu Abbas tersebut bukanlah lafadz
asli al-Qur‘an, tetapi penjelasan makna.[20]
Selain itu, kaum
Rafidhah Syi'ah membolehkan nikah mut'ah dan menjadikannya sebagai dasar agama
mereka. Pandangan mereka antara lain; (a) nikah mut‘ah sebagai rukun iman,
mereka menyebutkan bahwa Ja'far ash-Shadiq mengatakan, "Bukan termasuk
golongan kami orang yang tidak mengimani adanya al-raja dan tidak menghalalkan
nikah mut'ah," (b) nikah mut'ah merupakan pengganti dari minuman yang
memabukkan. Mereka meriwayatkan dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja'far bahwa
ia berkata, "Sesungguhnya Allah telah menyayangi kamu dengan menjadikan
nikah mut'ah sebagai pengganti bagi kamu dari minuman keras," (c) Mereka
tidak hanya membolehkan saja, bahkan mereka menjatuhkan ancaman yang sangat
keras bagi yang meninggalkannya. Mereka berkata, "Barangsiapa yang meninggal
dunia sedang ia belum melakukan nikah mut'ah maka ia akan datang pada hari
kiamat dalam keadaan terpotong hidungnya," (d) menjanjikan pahala yang
sangat besar bagi pelakunya sehinga mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa yang
melakukan nikah mut'ah empat kali maka derajatnya seperti Rasulullah. Lalu
mereka menisbatkan kedustaan itu kepada Rasulullah saw.
Mereka
menyebutkan riwayat palsu, "Barangsiapa melakukan nikah mut'ah sekali maka
derajatnya seperti derajat Husein. Barangsiapa melakukan nikah mut'ah dua kali
maka derajatnya seperti derajat al-Hasan. Barangsiapa melakukan nikah mut'ah
tiga kali maka derajatnya seperti derajat Ali. Dan barangsiapa melakukan nikah
mut'ah empat kali maka derajatnya seperti derajatku," Menurut mereka boleh
nikah mut'ah dengan gadis perawan tanpa harus minta izin kepada walinya.
Diriwayatkan dari Ziyab bin Abi Halal ia berkata, "Aku mendengar Abu
Abdillah berkata, “Boleh mut'ah dengan gadis selama tidak menyetubuhinya supaya
tidak menimpakan aib atas keluarganya.[21]
Ulama Syi’ah berpendapat bahwa tidak ada
hadits Nabi yang shahih yang mencabut kebolehan itu, dengan arti masih tetap
boleh hukumnya sampai sekarang. Hadits Nabi yang mencabut nikah mut’ah itu yang
dijadikan dalil oleh Ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak diterima keshahihannya
oleh Ulama Syi’ah untuk mencabut hukum yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dan
kebolehan melakukan nikah mut’ah dahulunya sudah merupakan ijma’ ulama dan
telah di yakini bersama kebolehannya, sedangkan adanya dalil yang mencabut
kebolehannya bersifat diragukan. Argumen ini didasarkan pada pendapat ahlul
baith saja, selain ahlul baith pendapatnya tidak diterima.
C. Analisis Pendapat Ulama’
1. Pendapat
yang Mengharamkan
Dilihat
dari perspektif Al-Qur’an
dan Hadits sebagaimana yang telah dikemukakan oleh
para sahabat dan ulama Sunni di atas,
dapat penulis simpulkan bahwa nikah mut’ah memang
telah diharamkan oleh
Rasulullah Saw. Sebab-sebab
pengharamannya telah banyak
diulas berdasarkan dasar hukum
yang jelas karena memang benar-benar dibolehkan pada waktu mendesak saja. Mereka
berpendapat bahwa nikah mut‘ah diperbolehkan karena pada saat itu memang dalam
keadaan perang, sedangkan tenaganya dikonsentrasikan untuk menghadapi musuh
Islam. Dalam benak kita pasti ada pertanyaan, mengapa sampai terjadi perubahan
hukum berkali-kali? Seperti apa kondisi arab pada waktu itu?
Menurut analisis penulis, dilihat dari sosio historinya
memang pada waktu itu semua hukum diberlakukan nikah mut’ah ketika dalam
perjalanan perang, selain perang hukum ini tidak berlaku. Memang tidak
memungkinkan mereka dapat hidup berkeluarga sebagai layaknya suami istri dan
membina anak-anak mereka sebagaimana dikendaki dari sebuah pernikahan. Karena
kondisi arab pada waktu itu memang sangat genting. Keluarga tidak di
perbolehkan untuk mengikuti perang, karena akan sangat membahayakan keluarga
jika sampai mereka ikut kemudian terjadi apa-apa. Oleh sebab itu para sahabat
sampai meminta izin kepada Rasulullah Saw. Untuk mengkebiri dirinya sendiri
karena takut dikhawatirkan berzina karena mereka jauh dari istri-istri mereka.
Namun, disini ada rukhsakh untuk para sahabat, ada pendapat yang mengatakan
bahwa mereka tidak perlu melakukan nikah mut’ah. Namun, boleh mengumpuli budak,
Karena pada waktu itu banyak sekali tawanan budak, dan budak itu halal tanpa
dinikahi dengan syarat tidak sampai hamil.
2.
Pendapat yang
Menghalalkan
Pandangan
Syiah Rafidhah di atas sungguh sangat tidak rasional. Riwayat-riwayat yang
mereka kemukakan adalah riwayat-riwayat yang penuh kebohongan hanya untuk
memperkuat alibi mereka. Jika para imam mereka termasuk Ali meriwayatkan hadis
yang mengharamkan nikah mut‘ah, mereka berpandangan bahwa para imam dan Ali
pada saat itu melakukan proses taqiah. Selain itu, ada interes politik bahwa
pendapat yang diterima oleh kaum syi’ah adalah dari jalur dari ahlul baith
saja, selain itu tidak diterima. Dari sini dapat kita ketahui bahwa pendapat
kaum syi’ah memang tidak rasional dan hanya memperkuat alibi saja.
Dalam analisis
penulis disini mengenai ulama yang menghalalkan nikah mut’ah, terutama untuk
kaum syi’ah. Hal yang aneh dan janggal terjadi dalam Syi‘ah yang menjadikan Ali
sebagai tokoh sentral mereka, tetapi ternyata Ali malah meriwayatkan
hadis-hadis yang mengharamkan nikah mut‘ah dalam kitab-kitab hadis Sunni.
Bahkan dalam Kitab Tahzibul Ahkam karya al-Thusi yang diakui Syi‘ah, Ali
meriwayatkan sebuah hadis sahih dengan sanad dari Muhammad bin Yahya, dari Abu
Ja‘far dari Abul Jauza‘ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin
Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda: Rasulullah
mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut‘ah.
Namun, mereka
tetap berpendapat teguh bahwa ayat al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat: 24 tersebut
telah menjadi dasar hukum mereka tentang dihalalkannya nikah mut’ah sampai
sekarang dan belum dinasakh sama sekali. Akan tetapi, menurut penulis, apabila
membedah persoalan mut‘ah seharusnya dengan menggunakan perangkat metodologi
yang benar. Seperti yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman, maka akan berkaitan
dengan teori atau metode sebuah gerakan ganda (a double movement).
Penjelasan metode tersebut ialah sebagai berikut:
“Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu
pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan
al-Qur‘an tersebut merupakan jawabannya … dalam sinaran situasi-situasi
spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan
masyarakat, agama adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan
secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam khususnya di Makkah … jadi,
Langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna
al-Qur‘an sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batas-batas ajaran-ajaran
khusus yang merupakan respons terhadap situasisituasi khusus.
Langkah kedua adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik
tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki
tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik
dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan ratio-legis yang sering
dinyatakan … sementara gerakan pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam
al-Qur‘an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai,
dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, yang kedua harus dilakukan dari pandangan
umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan
sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditumbuhkan
(embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkret di masa sekarang.[22]
Kesimpulan
yang dapat penulis analisis adalah. Kalau ayat hanya dipahami secara tekstual
saja, seperti halnya menurut merekea ayat tentang diperbolehkannya belum
dinasakh. Kalau hanya berdasarkan teks saja tanpa dipahami dengan dilalah maqasith
hanya dipahami dengan dilalah hzrfiah ketetapan hokum ini tidak akan menemukan
titik terang, tidak akan menemukan arah yang benar jika dilalah maqashitnya
ditinggalkan. Sesungguhnya nikah mut’ah
ini tidak perlu dalil, karena dilihat dari konteksnya saja secara logika, sudah jelas nikah mut’ah
itu haram. Waktunya saja ditentukan bisa sewaktu-waktu, ini sama saja dengan perzinaan
karena tidak mengikuti kaidah aturan nikah dalam Islam pada umumnya.
D.
Pendapat yang dipilih dan Hujjah yang digunakan
Penulis memilih pendapat yang pertama, yaitu
pendapat yang mengharamkan nikah mut’ah yang disepakati oleh golongan Sunny
atau Ahlu Sunnah wal Jama’ah beserta ulama besar lainnya. Disebabkan oleh:
1. Seluruh kehujjahan yang ditunjukkan oleh
mereka itu dasar hukumnya jelas. Baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Didukung
dengan sosio historisnya pada masa itu seperti apa keadaan umat Islam sehingga
sampai terjadi dihalalkan nikah mut’ah sampai pada akhirnya diharamkannya.
2.
Alasan lain
yang menjadi tolak ukur penulis dalam memilih pendapat ini dikarenakan diatas
tadi disebutkan bahwa, ulama’ sentral yang dianut oleh golongan Syi’ah yaitu (Ali bin Abi Thalib) telah mengharamkannya.
Akan tetapi golongan Syi’ah Imamiyah telah membuat aturan sendiri dengan tetap
menghalalkan nikah mut’ah.
3. Tanpa mencari dalil Al-Qur’an, pernikahan
seperti ini tidak sesuai dengan pernikahan yang dimasudkan oleh Al-Qur’an, juga
tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan thalak, iddah dan pusaka atau
warisan. Jadi pernikahan seperti ini batal, sebagaimana bentuk
pernikahan-pernikahan lain yang dibatalkan oleh Islam.
4.
Nikah Mut’ah
sekedar bertujuan pelampiasan syahwat bukan untuk mendapatkan anak atau
memelihara anak yang keduanya merupakan maksud pokok dari pernikahan. Karena
itu dia disamakan dengan zina, dilihat dari segi tujuannya untuk semata-mata
bersenang-senang.
5.
Selain itu
nikah mut’ah juga membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang
pindah dari satu tangan ke tangan lain, juga merugikan anak-anak, karena mereka
tidak mendapatkan rumah tempat tinggal dan memperoleh pemeliharaan dan
pendidikan dengan baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pernikahan
berasal dari kata “nikah” dalam bahasa
arab ( نكاح ) yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi’). Sedangkan menurut
istilah hukum agama, makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu
proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan)
dan Kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). secara bahasa mut’ah
berasal dari kata مَتَعَ-يَمْتَعُ-مَتْعًا-وَمُتْعَةً yang
bermakna kenikmatan atau
kesenangan. Dari pengertian tersebut pernikahan mut’ah dapat diartikan
sebagai pernikahan dengan
batasan waktu tertentu. Disebut seperti itu karena
laki-laki menikahi perempuan itu hanya untuk suatu batas waktu tertentu,
seperti satu hari, satu bulan, satu tahun atau batas waktu lainnya sesuai
dengan yang disebutkan dalam akad.
2. Nikah mut’ah adalah pernikahan yang memenuhi kriteria sebagai berikut,
yaitu:
a. Sighat (ucapan) ijab dan kabulnya harus memakai lafaz zawwajtuka,
unkihuka atau matta’tuka (saya nikahkan kamu sementara).
b. Tanpa wali.
c. Tanpa saksi.
d. Di dalam akad disebutkan batas
waktu. Batas waktu
ini ditetapkan berdasarkan kesepakatan keduanya (suami dan
isteri). Apabila batas waktu yang disepakati
ini berakhir maka
pernikahan ini dengan sendirinya
berakhir.
e. Didalam akad harus disebutkan
mahar. Mahar ini
harus disepakati oleh kedua belah
pihak.
f. Anak yang dilahirkan dari pernikahan ini kedudukannya sama dengan anak
yang dilahirkan dalam nikah permanen.
g. Tidak ada hak waris-mewarisi antara suami isteri.
h. Pernikahan akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati di
awal tanpa ada talak atau khuluk.
i. Iddahnya dua kali haid bagi yang masih haid dan 45 hari bagi yang
telah putus haid.
j. Tidak ada nafkah ‘iddah.
3. Dalam kajian hukum pernikahan, selama ini
muncul perbedaan pendapat antara golongan Ahlus Sunnah wal jamaah dan Syi’ah
berkaitan tentang penetapan hukum nikah mut’ah, yaitu suatu bentuk pernikahan
yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam jangka
waktu tertentu (ila ajalim musamma). Bagi golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah
hukum nikah mut’ah adalah mutlak haram, karena sudah ada dasar hukum yang jelas
dari Al-Qur’an maupun Hadits. Sedangkan menurut Syi’ah Imamiyah hukum nikah
mut’ah tetap halal sampai sekarang.
Daftar Pustaka
Al-Zuhayli, Wahbah. 1989. Al-Fiqh al-Islâmî
wa Adillatuh. Bayrut: Dar
al-Fikr.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan
Haji. 2004. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI 2004.
Hakim, Rahmat. 2000. Hukum Pernikahan
Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Hidayatullah, Haris. 2013. Jurnal Studi Islam: “Pro Kontra Nikah
Mut’ah dalam Perspektif Maqashid A-Shari’ah. Jombang : UPT. Darul Ulum,
Jombang.
Husen, Ibrahim. 22003. Fikih Perbandingan
Masalah Pernikahan. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Jawad
Mughniyah, Muhammad. 1994. Fiqih Lima Mahzab, alih bahasa: Afif Muhammad.
Jakarta: Basrie Press.
Munawir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Surabaya: Pustaka Progressif.
Rais,
Isnawati. Jurnal: Praktek Kawin Mut’ah di Indonesia dalam Tinjauan Hukum Islam
dan Undang-Undang Perkawinan. UIN Syarifa Hidayatullah: Fakultas Syariah.
Ridwan. 2005. Membongkar Fiqh
Negara, Wacana Keadilan
Gender dalam Hukum Keluarga Islam. Purwokerto: Pusat
Studi Gender PSG STAIN Purwokerto.
Sabiq, Sayyid. 1977. Fiqh al-Sunnah.
Bayrut: Dar al-Fikr.
Shihab, Quraish.
2005. Perempuan, dari Cinta sampai
Seks, dari Kawin Mut’ah sampai Kawin Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru. Jakarta:
Lentera Hati.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan
Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group.
Tihami, M.A. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta:
Rajawali Pres.
[1] M.A. Tihami, Fikih Munakahat:
Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pres, 2009) hlm. 7- 9
[2] Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Pernikahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), h. 14.
[3]
A. W. Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1307.
[4] Tentang nikah (pernikahan mut’ah
ini antara lain dapat dilihat dalam
Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh
al-Islâmî wa Adillatuh, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1989), Jilid VII, h.
117 dan Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1977), Juz
II, h. 35-38.
[5] Ibrahim Husen,
Fikih Perbandingan Masalah
Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 275. Lihat juga
Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, h. 35-36. Sayyid Sâbiq tidak menyebutkan tidak
ada wali dan saksi.
[11] Lihat Abdul Azis Dahlan…[et.al],
Ensiklopedi Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996),
jilid IV, h. 1345
[13] 7Ibid., Lihat pula ‗Abdullah bin ‗Abd.
al-Rahman bin Salih Ali al-Bassam, Taysir alAllam: Syarh Umdah al-Ahkam, juz II (Cet. V; Makkah: al-Nahdah
al-Hadisah, 1978), h. 194195.
[14] Imam Kirmany, Shahih Bukhari bi
Syarhi al-Kirmany (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), “Bab Nikah”, Hadits No.
2513, hlm. 29
[15] Majelis Ulama Indonesia. (1997). Fatwa
Nikah Mut’ah. [online]. Tersedia: http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa/nikah_mut‘ah.php
[30 September 2009]
[20] M. Quraish Shihab, Tafsir Al
Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran Volume 2 Surah Ali Imran dan An
Nisaa (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 403.
[21] Lihat Syekh Salim bin 'Ied
al-Hilali, Al-Manahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah anNabawiyyah,
diterjemahkan oleh Abi Ihsan al-Atsari dengan judul: Ensiklopedi Larangan
menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), h. 26-29.
[22] Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam,
(Bandung: Mizan, 2005),
hlm. 7-8.
No comments:
Post a Comment