Sunday, June 3, 2018

Hukum Nikah Mut'ah

Nikmatul Ulfa
Mahasiswa Pascasarjana UIN MALIKI MALANG 2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
     Pernikahan menurut hukum Islam adalah akad  yang sangat  kuat sebagai wujud untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah. Esensi yang terkandung dalam syari’at pernikahan adalah mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Dalam hal  ini tujuannya adalah untuk menciptakan suatu kehidupan rumah tangga yang mendatangkan kemaslahatan, baik bagi suami istri, anak-anak, keuarga, maupun masyarakat.
Dalam pandangan Islam, pernikahan dianggap sah jika terpenuhi syarat dan rukunnya. Jika salah satu syarat dan rukunnya tidak terpenuhi, maka suatu pernikahan dianggap batal atau tidak sah.  Jumhur ulama’ menyatakan terdapat empat rukun nikah, ijab dan qabul, calon istri dan calon suami, beserta wali. Sedangkan saksi dan mahar, keduanya merupakan syarat dalam akad nikah. Jika demikian itu dipenuhi beserta dengan etika dalam hidup berumah tangga, niscaya pernikahan senantiasa akan dialiri dengan keberkahan dan kebahagian yang sakinah mawaddah warrahmah.
     Akan tetapi, muncul permasalahan di tengah kehidupan masyarakat, yaitu pernikahan yang memberi batas waktu tertentu. Pernikahan ini semata-mata hanya untuk menyalurkan hasrat seksual saja. Dalam Islam dikenal dengan sebutan nikah mut’ah atau jika Indonesia lebih dikenal dengan sebutan nikah kontrak. Tidak jarang pernikahan semacam ini dilakukan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Terutama masyarakat muslim yang mereka memiliki anggapan bahwa daripada berzina di luar nikah, maka lebih baik melakukan pernikahan kontrak agar hubungan mereka menjadi halal walaupun bersifat sementara.
Praktek nikah mut’ah telah dimulai ketika zaman pra-Islam. Kemudian ketika Islam datang, Rasulullah Saw. sempat menghalalkannya, namun setelah itu beliau mengharamkannya. Penghalalan terjadi pada tahun penaklukan Makkah. Karena pada waktu itu para tentara muslim yang belum menikah namun terbatas ekonominya tidak mampu menahan keinginan biologis yang sudah mendesak. Kemudian Rasulullah Saw. memperbolehkan mereka untuk nikah mut’ah dengan mahar baju untuk satu waktu. Kemudian ketika terjadi perang khaibar, Rasulullah Saw. sudah mulai melarang pernikahan muaqqat atau mut’ah tersebut. Namun ada sebagian kecil sahabat yang masih membenarkan bahwa nikah mut’ah itu halal.
Hingga kini nikah mut’ah masih terus dilakukan masyarakat di kalangan Syi’ah, karena mereka beranggapan bahwa nikah mut’ah masih diperbolehkan berdasarkan  dalam al-Qur'an surat An-Nisa’ayat 24. Mereka membolehkan pernikahan ini karena menganggap bahwa tidak ada mansukh dari Rasulullah Saw., justru Umar bin Khattablah yang melarangnya.  Sedangkan menurut pandangan masyarakat Sunni, hukum nikah mut’ah adalah haram. Keharaman ini ditinjau dari pengategoriannya dalam pernikahan fasad (rusak atau tidak sah) menurut jumhur ulama fiqh sunni.
Untuk itu, hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi penulis untuk membahas lebih dalam mengenai perbedaan pendapat terhadap nikah mut’ah yang masih beredar ditengah kalangan masyarakat untuk dicari titik tengahnya dari sebuah hukum  yang harus dianut oleh kita semua umat Muslim khususnya. Makalah ini saya ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqih Kontemporer”, dengan harapan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan bisa dijadikan bahan rujukan bagi pembaca.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Nikah Mut’ah?
2. Bagaimana Praktek Nikah Mut’ah ?
3. Bagaimana Hukum Nikah Mut’ah ?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian dari Nikah Mut’ah.
2. Untuk Memahami Praktek Nikah Mut’ah.
3. Untuk Memahami Hukum dari Nikah Mut’ah.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Deskripsi Masalah
1. Pengertian Nikah Mut’ah
Pernikahan berasal dari kata “nikah”  dalam bahasa arab  نكاح  yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi’). Sedangkan menurut istilah hukum agama, makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan Kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus).[1]
Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Bab I Pasal I disebutkan bahwa:”Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[2] Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara kesuluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwij dan merupakan ucapan seremonial yang sakral.
Sedangkan secara bahasa mut’ah berasal dari kata مَتَعَ-يَمْتَعُ-مَتْعًا-وَمُتْعَةً yang  bermakna  kenikmatan  atau  kesenangan.[3] Dari pengertian tersebut pernikahan mut’ah dapat diartikan sebagai  pernikahan  dengan  batasan  waktu  tertentu. Disebut seperti itu karena laki-laki menikahi perempuan itu hanya untuk suatu batas waktu tertentu, seperti satu hari, satu bulan, satu tahun atau batas waktu lainnya sesuai dengan yang disebutkan dalam akad. Pernikahan ini disebut dengan nikah mut’ah karena laki-laki (suami) ini menikah dengan maksud untuk bersenang-senang sementara waktu saja. [4]


2. Praktek Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah pernikahan yang memenuhi kriteria sebagai berikut, yaitu:
a. Sighat (ucapan) ijab dan kabulnya harus memakai lafaz zawwajtuka, unkihuka atau matta’tuka (saya nikahkan kamu sementara).
b. Tanpa wali.
c. Tanpa saksi.
d. Di dalam akad disebutkan batas  waktu.  Batas  waktu  ini  ditetapkan  berdasarkan kesepakatan keduanya (suami dan isteri). Apabila batas waktu  yang  disepakati  ini  berakhir  maka  pernikahan ini  dengan  sendirinya  berakhir. 
e. Di  dalam  akad harus  disebutkan  mahar.  Mahar  ini  harus  disepakati oleh kedua belah pihak.
f. Anak yang dilahirkan dari pernikahan ini kedudukannya sama dengan anak yang dilahirkan dalam nikah permanen.
g. Tidak ada hak waris-mewarisi antara suami isteri.
h. Pernikahan akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati di awal tanpa ada talak atau khuluk.
i. Iddahnya dua kali haid bagi yang masih haid dan 45 hari bagi yang telah putus haid.
j. Tidak ada nafkah ‘iddah.[5]

Kalau  diperhatikan  ketentuan  di  atas  maka nikah  mut’ah  ini  mempunyai  perbedaan  yang  sangat signifikan  dengan  nikah  biasa  (permanen)  dalam beberapa hal yaitu pemakaian lafaz mut’ah pada akad, syarat  pembatasan  waktu,  keharusan  menyebutkan mahar, dalam hal putusnya pernikahan hanya dengan sampai batas waktu yang disepakati tanpa ada talak atau khuluk,  suami  isteri  tidak  saling  mewarisi,  dan  masa ‘iddahnya hanya dua kali haid. Disamping itu, masalah tidak perlu wali dan saksi juga merupakan hal lain yang dipersoalkan oleh pendapat yang mengharuskannya. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan kaidah hukum Islam tentang pernikahan pada umumnya.



3. Sejarah Nikah Mut’ah
Salah  satu  keistimewaan  hukum  Islam  adalah penetapan  hukumnya  sesuai  dengan  keadaan  umat yang  menjadi  sasaran  hukum  tersebut.  Hal  ini  juga berlaku  pada  proses  penetapan  hukum  nikah  mut’ah yang  tidak  sekaligus  diharamkan  sejak  awal  Islam. Nikah mut’ah yang merupakan warisan tradisi jahiliyah ini  pada  masa  awal  Islam  pernah  dibolehkan  oleh Rasulullah Saw. dalam keadaan tertentu seperti ketika melakukan perjalanan jauh dan peperangan. Kemudian setelah  masa  transisi  terlewati  dan  iman  umat  Islam sudah semakin kuat baru diharamkan. Namun sebelum dilarang  secara  permanen  tercatat  bahwa  pernikahan mut’ah ini melewati beberapa kali perubahan hukum.
 Namun sebelum dilarang secara permanen tercatat bahwa perkawinan mut’ah ini melewati beberapa kali perubahan hukum. Pelarangan pertama terjadi pada waktu perang Khaybar kemudian dibolehkan secara terbatas pada waktu penaklukan Mekah (Fath Makkah/Perang Awthas) dan setelah itu dilarang untuk selamanya.
Pertanyaan yang mungkin muncul adalah kalau memang tidak atau kurang baik kenapa perkawinan mut’ah ini tidak langsung dilarang saja? Kenapa mulanya dibolehkan kemudian dilarang kemudian dibolehkan lagi dan baru kemudian dilarang untuk selamanya?.
Adapun hikmah yang bisa dipetik dari proses nasikh mansukh ini adalah pembelajaran bagi umat bahwa Islam sangat memperhatikan kesiapan umat untuk mematuhi suatu aturan yang ditetapkan terutama menyangkut larangan sehingga aturan itu benar-benar dipatuhi. Masa awal dakwah Islam adalah masa transisi dari budaya jahiliyah yang permisif pada budaya Islam yang beradab dan berakhlak mulia. Di zaman jahiliyah perzinaan tidak dilarang dan merupakan bagian dari kebiasaan pada umumnya masyarakat sehingga seorang laki-laki bisa saja melakukan hubungan tanpa kawin dengan perempuan yang diinginkannya. Kemudian Islam datang dengan membawa aturan yang membatasi kebolehan seseorang bergaul hanya dengan isteri dan budaknya.
 Sementara itu dalam waktu bersamaan, untuk dakwah dan penyiaran Islam, ada kewajiban Muslim untuk pergi berperang yang membuat mereka jauh dari isterinya dalam waktu yang lama. Hal ini bisa menyebabkan yang masih lemah imannya kembali pada kebiasaan buruk di zaman jahiliyyah yaitu berzina dengan perempuan yang mereka temui. Di sisi lain, yang kuat imannya tetapi sulit membendung nafsu bermaksud untuk mengebiri diri karena takut jatuh pada perzinaan yang diharamkan.
Untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh pasukan maka Nabi Saw membolehkan kawin mut’ah sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibn Mas’ud:[6]
“Kami pernah berperang bersama Rasulullah Saw. Sedangkan ister-isteri kami tidak ikut bersama kami. Kemudian kami bertanya kepada Rasulullah Saw. , apakah boleh kami melakukan kebiri? Maka Rasulullah Saw. Melarang kami melakukan yang demikian itu dan memberikan rukhsah kepada kami untuk menikahi perempuan dengan mas kawinnya baju untuk suatu waktu tertentu.” (H.R. Bukhari Muslim)

Dari Hadis ini dapat dipahami bahwa kebolehan kawin mut’ah bukanlah kebolehan longgar yang bisa dimanfaatkan di sembarang waktu dan oleh setiap orang. Kebolehan ini ada untuk mengatasi problem yang terjadi pada waktu sulit, dalam hal ini perang misalnya, dan kebolehan ini juga bukan hukum asal tetapi rukhsah atau keringanan yang dibutuhkan dalam keadaan sulit seperti dijelaskan oleh Ibn ‘Abbas ketika menjawab pertanyaan seseorang tentang masalah ini:[7]

 Aku bertanya kepada Ibn ‘Abbâs tentang kawin mut’ah dengan seorang perempuan maka dia membolehkannya (memberikan rukhsah). Kemudian seorang bekas hamba (budak)nya bertanya: “Apakah yang demikian itu dalam keadaan terpaksa dan karena sedikitnya jumlah perempuan atau keadaan sulit lainnya?”, Ibn ‘Abbâs menjawab: “Ya!”.

Kemudian setelah tahapan transisi ini terlewati maka Rasulullah Saw. mengharamkan kawin mut’ah ini untuk selamanya sebagaimana disebutkan dalam Hadis riwayat Bukhari. Dalam Hadis ini dijelaskan:[8]
Dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia pernah berperang bersama Nabi Saw. pada waktu peperangan penaklukan Mekah (fath makkah). Kami berada di sana (berperang) selama lima belas hari. Rasulullah Saw. mengizinkan kami untuk kawin mut’ah dengan perempuan. Kemudian Saburah berkata:

“Aku tidak pernah keluar dari Mekah hingga Rasulullah Saw. mengharamkannya”. Dan pada satu riwayat lain disebutkan bahwa: Sesungguhnya ia pernah bersama Nabi Saw, lalu Nabi bersabda: “Hai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu melakukan kawin mut’ah dengan perempuan. Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal (kawin) itu sampai hari kiamat. Karena itu, siapa saja yang ada padanya wanita yang diambilnya dengan jalan mut’ah hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sesuatu(mahar) yang telah kamu berikan kepada mereka”.  (H.R. Bukhari )

Dalam Hadis lain dari Saburah juga disebutkan bahwa:[9]

“Rasulullah Saw. menyuruh kami untuk kawin mut’ah pada tahun (waktu) penaklukan (Mekah), ketika kami masuk kota Mekah kemudian kami tidak keluar dari Mekah hingga Rasul melarang kami darinya (kawin mut’ah)”.

Dari paparan di atas jelaslah bahwa kawin mut’ah awalnya dibolehkan kemudian dilarang pada perang Khaybar, kemudian dibolehkan lagi pada waktu penaklukkan Mekah dan kemudian setelah itu Rasulullah Saw. melarang untuk selamanya. Inilah pendapat yang dipegang oleh Imâm Syafi’i, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, beliau berkata: “Tidak pernah saya mengetahui sesuatu yang dihalalkan Allah Swt. lalu diharamkan-Nya, lalu dihalalkannya, kemudian diharamkannya lagi kecuali soal mut’ah”.[10]Sementara yang lain berpendapat kalau demikian berarti terjadi nasakh (pembatalan) hukum dua kali. Hal seperti itu tidak pernah dikenal dalam syariat.

B. Pendapat  Ulama’ dan  Hujjah
Ulama sepakat bahwa nikah mut‘ah pernah dibolehkan dan menjadi salah satu bentuk pernikahan pada periode awal pembinaan hukum Islam. Mereka berpendapat bahwa nikah mut‘ah diperbolehkan karena pada saat itu umat Islam jumlahnya sedikit dan keadaan ekonominya terbatas, sedangkan tenaganya dikonsentrasikan untuk menghadapi musuh Islam. Kondisi seperti ini tidak memungkinkan mereka dapat hidup berkeluarga sebagai layaknya suami istri dan membina anak-anak mereka sebagaimana dikendaki dari sebuah pernikahan.[11]
Fuqaha kemudian berbeda pendapat dalam dua hal pokok, yakni Pertama,  apakah nikah mut‘ah itu diperbolehkan untuk seterusnya atau ada larangan yang berlaku untuk selamanya; Kedua, ulama yang memandang nikah mut‘ah itu dilarang untuk selamanya berbeda pendapat tentang kapan larangan itu disampaikan Nabi saw.[12]
Mengenai persoalan pertama menurut ulama mazhab yang empat (Hanafi, Syafi‘iy dan Hanbali) serta jumhur sahabat dan tabi‘in, kecuali beberapa orang saja, nikah mut‘ah untuk selanjutnya dilarang.[13]

1.      Pendapat yang Mengharamkan Nikah Mut’ah
Ulama yang sepakat mengharamkan nikah mut’ah adalah dari golongan Sunny. Argumentasinya tentang pelarangan nikah mut’ah adalah
Pertama, larangan Nabi saw. dalam beberapa hadis yang berkualitas shahih. Di antaranya hadis riwayat Ibn Majah yang berbunyi:
“Diceritakan Muhammad bin Khalaf al-Asqalani, cerita dar al-Firyabi dari Aban bin Abi Hazim dari Abi Bakar bin Hafs dari Ibn Umar pernah berkata: Ketika Umar bin al-Khattab memerintah, ia berkhutbah kepada manusia dan mengatakan: Rasulullah saw. pernah membolehkan nikah mut‘ah sebanyak tiga kali, setelah itu ia mengharamkannya. “Demi Allah! Aku tidak mengetahui seorang pun yang melakukan nikah mut‘ah, kecuali dirajamnya dengan batu.”

Kedua, sebagian ulama berpendapat bahwa keharaman nikah mut‘ah dalam syariat Islam sudah merupakan hasil ijma‘.

Ketiga, dilihat dari tujuannya nikah mut‘ah hanya untuk memenuhi kebutuhan syahwat, bukan untuk menjaga kesejahteraan dan kelangsungan keturunan sebagaimana diharapkan dari pernikahan.

Adapun mengenai persoalan kedua tentang waktu pengharaman nikah mut‘ah, ulama berbeda pendapat karena terdapat beberapa hadis yang berbeda satu sama lain. Menurut hadis riwayat Ali bin Abi Thalib, nikah mut’ah itu diharamkan pada saat perang Khaibar (7 H/628 M), bersamaan dengan diharamkannya memakan daging himar (keledai).


“Dan telah menceritakan kepadaku Abu al-Tahir dan Harmalah bin Yahya keduanya berkata: telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus dari Ibnu Syihab dari al-Hasan dan ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Ali bin Abi Thalib dari ayahnya bahwa dia pernah mendengar ‘Ali bin Abi Thalib berkata kepada Ibnu ‘Abbas, Pada waktu perang Khaibar, Rasulullah SAW pernah melarang melakukan nikah mut'ah dan melarang memakan daging keledai jinak”.[14]
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Abu Dawud dari al-Rabi‘ bin Saburah, larangan itu terjadi pada saat haji wada‘, sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Iyas bin Salamah dari ayahnya, Nabi saw. melarang para sahabat pada hari ketiga setelah Perang Autas, dan masih banyak sekali ulama-ulama yang mengharamkan nikah mut’ah namun  tidak penulis paparkan seluruhnya  didalam makalah ini.
Ulama Indonesia yang bergabung dalam Majelis Ulama Indonesia melalui Komisi Fatwa[15] telah mengharamkan nikah mut‘ah dan pelaku nikah mut`ah harus dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.. Pengharaman ini berdasarkan pertimbangan sebagai berikut: (1) bahwa nikah mut'ah akhir-akhir ini mulai banyak dilakukan oleh sementara umat Islam Indonesia, terutama kalangan pemuda dan mahasiswa; (2) bahwa praktek nikah mut`ah tersebut telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran, dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi`ah di Indonesia; (3) bahwa mayoritas umat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni (Ahlus Sunnah wal Jama`ah) yang tidak mengakui dan menolak paham Syi`ah secara umum dan ajarannya tentang nikah mut`ah secara khusus. 
MUI mengharamkan nikah mut‘ah berdasarkan argumentasi dalil-dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama tentang keharaman nikah mut`ah, antara lain:
a.       Firman Allah SWT :
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ   žwÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷ƒr& öNåk¨XÎ*sù çŽöxî šúüÏBqè=tB ÇÏÈ  
"Dan (di antara sifat orang mukmin itu) mereka memelihara kemaluannya.  Kecuali terhadap isteri atau jariah mereka: maka sesungguhnya mereka (dalam hal ini) tiada tercela" (QS. alMukminun: 5-6).
Ayat ini jelas mengutarakan bahwa hubungan kelamin hanya dibolehkan kepada wanita yang berfungsi sebagai isteri atau jariah. Sedangkan wanita yang diambil dengan jalan mut`ah tidak berfungsi sebagai isteri atau sebagai jariah. Ia bukan jariah,karena akad mut`ah bukan akad nikah, dengan alasan sebagai berikut :
1)      Tidak saling mewarisi. Sedang akad nikah menjadi sebab memperoleh harta warisan. 
2)      Iddah Mut`ah tidak seperti iddah nikah biasa.
3)      Dengan akad nikah menjadi berkuranglah hak seseorang dalam hubungan dengan kebolehan beristeri empat. Sedangkan tidak demikian halnya dengan mut`ah. 
4)      Dengan melakukan mut`ah, seseorang tidak dianggap menjadi muhsan, karena wanita yang diambil dengan jalan mut'ah tidak berfungsi sebagai isteri, sebab mut`ah itu tidak menjadikan wanita berstatus sebagai isteri dan tidak pula berstatus jariah. Oleh karena itu, orang yang melakukan mut`ah termasuk di dalam firman Allah:

Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#uur y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrߊ$yèø9$# ÇÐÈ  
"Barang siapa mencari selain dari pada itu, maka mereka itulah orang yang melampaui batas" (Q.S. al-Mukminun7).
b. Nikah mut`ah bertentangan dengan tujuan persyari`atan akad nikah, yaitu untuk mewujudkan keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan (lattanasul).
c. Nikah mut`ah bertentangan dengan peraturan perundangundangan pemerintah/negara Republik Indonesia (antara lain UU. Perkawinan Nomor 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam). Padahal, peraturan perundang-undangan itu wajib ditaati kepada pemerintah (ulil amri), berdasarkan, antara lain:
1)   Firman Allah:
"Hai orang beriman! Taatilah Allah dan Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu..."(QS. an-Nisa:59) 
2)   Kaidah Fiqhiyah:"Keputusan pemerintah itu mengikat untuk dilaksanakan dan menghilangkan perbedaan pendapat."


2.      Pendapat yang Menghalalkan Nikah Mut’ah
Beberapa ulama lainnnya di kalangan sahabat dan tabi‘in, antara lain Ibn Abbas  dan Ibn Mas‘ud memandang sebaliknya, yakni nikah mut‘ah masih boleh dilakukan. Hal ini didasarkan pada firman Q.S. al-Nisa‘ (4):24 yang berbunyi:[16]

Dalam salah satu qiraahnya, mereka menambahkan kalimat ila ajal musamma (sampai bata waktu tertentu), sehingga ayat tersebut menjadi acuan hukum dalam membolehkan nikah mut‘ah.
Menurut Ibn Abbas, nikah mut‘ah diperbolehkan selama dibutuhkan dan dalam situasi darurat atau terpaksa. Artinya, bukan halal secara mutlak.[17] Menurut al-Qurthubi, al-Syaukani dan orang yang sependapat dengannya mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsrikan ayat tersebut di atas dengan nikah mut’ah yang sudah ditetapkan sejak permulaan Islam.[18]
Selain itu, Ibnu Abbas (paman Nabi saw. dan salah satu penafsir ulung dari kalangan sahabat), Said bin Zubair, Ibnu Mas‘ud, dan Ubay bin Ka‘ab selalu menambahkan kalimat ila ajalin musamma (sampai waktu yang ditentukan). Dengan demikian, ayat Alquran tersebut berbunyi “Famastamta’tum bih minhunna ila ajalin musamma faatuhunna ujurahunna faridhah.” [19]  dan terjemahannya “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) dintara mereka sampai batas waktu yang ditentukan, berikanlah kepada mereka maharnya dengan sempurna.” Namun, menurut Quraish Shihab, perkataan yang ditambahkan oleh Ibnu Abbas tersebut bukanlah lafadz asli al-Qur‘an, tetapi penjelasan makna.[20]

Selain itu, kaum Rafidhah Syi'ah membolehkan nikah mut'ah dan menjadikannya sebagai dasar agama mereka. Pandangan mereka antara lain; (a) nikah mut‘ah sebagai rukun iman, mereka menyebutkan bahwa Ja'far ash-Shadiq mengatakan, "Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak mengimani adanya al-raja dan tidak menghalalkan nikah mut'ah," (b) nikah mut'ah merupakan pengganti dari minuman yang memabukkan. Mereka meriwayatkan dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja'far bahwa ia berkata, "Sesungguhnya Allah telah menyayangi kamu dengan menjadikan nikah mut'ah sebagai pengganti bagi kamu dari minuman keras," (c) Mereka tidak hanya membolehkan saja, bahkan mereka menjatuhkan ancaman yang sangat keras bagi yang meninggalkannya. Mereka berkata, "Barangsiapa yang meninggal dunia sedang ia belum melakukan nikah mut'ah maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan terpotong hidungnya," (d) menjanjikan pahala yang sangat besar bagi pelakunya sehinga mereka berkeyakinan bahwa barangsiapa yang melakukan nikah mut'ah empat kali maka derajatnya seperti Rasulullah. Lalu mereka menisbatkan kedustaan itu kepada Rasulullah saw.
Mereka menyebutkan riwayat palsu, "Barangsiapa melakukan nikah mut'ah sekali maka derajatnya seperti derajat Husein. Barangsiapa melakukan nikah mut'ah dua kali maka derajatnya seperti derajat al-Hasan. Barangsiapa melakukan nikah mut'ah tiga kali maka derajatnya seperti derajat Ali. Dan barangsiapa melakukan nikah mut'ah empat kali maka derajatnya seperti derajatku," Menurut mereka boleh nikah mut'ah dengan gadis perawan tanpa harus minta izin kepada walinya. Diriwayatkan dari Ziyab bin Abi Halal ia berkata, "Aku mendengar Abu Abdillah berkata, “Boleh mut'ah dengan gadis selama tidak menyetubuhinya supaya tidak menimpakan aib atas keluarganya.[21]
Ulama Syi’ah berpendapat bahwa tidak ada hadits Nabi yang shahih yang mencabut kebolehan itu, dengan arti masih tetap boleh hukumnya sampai sekarang. Hadits Nabi yang mencabut nikah mut’ah itu yang dijadikan dalil oleh Ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah tidak diterima keshahihannya oleh Ulama Syi’ah untuk mencabut hukum yang sudah ditetapkan sebelumnya. Dan kebolehan melakukan nikah mut’ah dahulunya sudah merupakan ijma’ ulama dan telah di yakini bersama kebolehannya, sedangkan adanya dalil yang mencabut kebolehannya bersifat diragukan. Argumen ini didasarkan pada pendapat ahlul baith saja, selain ahlul baith pendapatnya tidak diterima.


C. Analisis Pendapat Ulama’
1. Pendapat yang Mengharamkan
Dilihat  dari  perspektif  Al-Qur’an  dan  Hadits  sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para  sahabat dan ulama Sunni di atas, dapat penulis simpulkan bahwa nikah mut’ah  memang  telah  diharamkan  oleh  Rasulullah Saw.  Sebab-sebab pengharamannya  telah  banyak  diulas  berdasarkan dasar hukum yang jelas karena memang benar-benar dibolehkan pada waktu mendesak saja. Mereka berpendapat bahwa nikah mut‘ah diperbolehkan karena pada saat itu memang dalam keadaan perang, sedangkan tenaganya dikonsentrasikan untuk menghadapi musuh Islam. Dalam benak kita pasti ada pertanyaan, mengapa sampai terjadi perubahan hukum berkali-kali? Seperti apa kondisi arab pada waktu itu?
Menurut analisis penulis, dilihat dari sosio historinya memang pada waktu itu semua hukum diberlakukan nikah mut’ah ketika dalam perjalanan perang, selain perang hukum ini tidak berlaku. Memang tidak memungkinkan mereka dapat hidup berkeluarga sebagai layaknya suami istri dan membina anak-anak mereka sebagaimana dikendaki dari sebuah pernikahan. Karena kondisi arab pada waktu itu memang sangat genting. Keluarga tidak di perbolehkan untuk mengikuti perang, karena akan sangat membahayakan keluarga jika sampai mereka ikut kemudian terjadi apa-apa. Oleh sebab itu para sahabat sampai meminta izin kepada Rasulullah Saw. Untuk mengkebiri dirinya sendiri karena takut dikhawatirkan berzina karena mereka jauh dari istri-istri mereka. Namun, disini ada rukhsakh untuk para sahabat, ada pendapat yang mengatakan bahwa mereka tidak perlu melakukan nikah mut’ah. Namun, boleh mengumpuli budak, Karena pada waktu itu banyak sekali tawanan budak, dan budak itu halal tanpa dinikahi dengan syarat tidak sampai hamil.

2.    Pendapat yang Menghalalkan
Pandangan Syiah Rafidhah di atas sungguh sangat tidak rasional. Riwayat-riwayat yang mereka kemukakan adalah riwayat-riwayat yang penuh kebohongan hanya untuk memperkuat alibi mereka. Jika para imam mereka termasuk Ali meriwayatkan hadis yang mengharamkan nikah mut‘ah, mereka berpandangan bahwa para imam dan Ali pada saat itu melakukan proses taqiah. Selain itu, ada interes politik bahwa pendapat yang diterima oleh kaum syi’ah adalah dari jalur dari ahlul baith saja, selain itu tidak diterima. Dari sini dapat kita ketahui bahwa pendapat kaum syi’ah memang tidak rasional dan hanya memperkuat alibi saja.
Dalam analisis penulis disini mengenai ulama yang menghalalkan nikah mut’ah, terutama untuk kaum syi’ah. Hal yang aneh dan janggal terjadi dalam Syi‘ah yang menjadikan Ali sebagai tokoh sentral mereka, tetapi ternyata Ali malah meriwayatkan hadis-hadis yang mengharamkan nikah mut‘ah dalam kitab-kitab hadis Sunni. Bahkan dalam Kitab Tahzibul Ahkam karya al-Thusi yang diakui Syi‘ah, Ali meriwayatkan sebuah hadis sahih dengan sanad dari Muhammad bin Yahya, dari Abu Ja‘far dari Abul Jauza‘ dari Husein bin Alwan dari Amr bin Khalid dari Zaid bin Ali dari ayahnya dari kakeknya dari Ali [Alaihissalam] bersabda: Rasulullah mengharamkan pada perang Khaibar daging keledai jinak dan nikah mut‘ah.  
Namun, mereka tetap berpendapat teguh bahwa ayat al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat: 24 tersebut telah menjadi dasar hukum mereka tentang dihalalkannya nikah mut’ah sampai sekarang dan belum dinasakh sama sekali. Akan tetapi, menurut penulis, apabila membedah persoalan mut‘ah seharusnya dengan menggunakan perangkat metodologi yang benar. Seperti yang dikemukakan oleh Fazlur Rahman, maka akan berkaitan dengan teori atau metode sebuah gerakan ganda (a double movement). Penjelasan metode tersebut ialah sebagai berikut:
“Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis di mana pernyataan al-Qur‘an tersebut merupakan jawabannya … dalam sinaran situasi-situasi spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam khususnya di Makkah … jadi,
Langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna al-Qur‘an sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batas-batas ajaran-ajaran khusus yang merupakan respons terhadap situasisituasi khusus.
Langkah kedua adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan ratio-legis yang sering dinyatakan … sementara gerakan pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam al-Qur‘an ke penggalian dan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, yang kedua harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditumbuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkret di masa sekarang.[22]

 Kesimpulan yang dapat penulis analisis adalah. Kalau ayat hanya dipahami secara tekstual saja, seperti halnya menurut merekea ayat tentang diperbolehkannya belum dinasakh. Kalau hanya berdasarkan teks saja tanpa dipahami dengan dilalah maqasith hanya dipahami dengan dilalah hzrfiah ketetapan hokum ini tidak akan menemukan titik terang, tidak akan menemukan arah yang benar jika dilalah maqashitnya ditinggalkan.  Sesungguhnya nikah mut’ah ini tidak perlu dalil, karena dilihat dari konteksnya  saja secara logika, sudah jelas nikah mut’ah itu haram. Waktunya saja ditentukan bisa sewaktu-waktu, ini sama saja dengan perzinaan karena tidak mengikuti kaidah aturan nikah dalam Islam pada umumnya.

 D. Pendapat yang dipilih dan Hujjah yang digunakan
Penulis memilih pendapat yang pertama, yaitu pendapat yang mengharamkan nikah mut’ah yang disepakati oleh golongan Sunny atau Ahlu Sunnah wal Jama’ah beserta ulama besar lainnya. Disebabkan oleh:
1.    Seluruh kehujjahan yang ditunjukkan oleh mereka itu dasar hukumnya jelas. Baik dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Didukung dengan sosio historisnya pada masa itu seperti apa keadaan umat Islam sehingga sampai terjadi dihalalkan nikah mut’ah sampai pada akhirnya diharamkannya.
2.    Alasan lain yang menjadi tolak ukur penulis dalam memilih pendapat ini dikarenakan diatas tadi disebutkan bahwa, ulama’ sentral yang dianut oleh golongan Syi’ah yaitu  (Ali bin Abi Thalib) telah mengharamkannya. Akan tetapi golongan Syi’ah Imamiyah telah membuat aturan sendiri dengan tetap menghalalkan nikah mut’ah.
3.    Tanpa mencari dalil Al-Qur’an, pernikahan seperti ini tidak sesuai dengan pernikahan yang dimasudkan oleh Al-Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan dengan thalak, iddah dan pusaka atau warisan. Jadi pernikahan seperti ini batal, sebagaimana bentuk pernikahan-pernikahan lain yang dibatalkan oleh Islam.
4.    Nikah Mut’ah sekedar bertujuan pelampiasan syahwat bukan untuk mendapatkan anak atau memelihara anak yang keduanya merupakan maksud pokok dari pernikahan. Karena itu dia disamakan dengan zina, dilihat dari segi tujuannya untuk semata-mata bersenang-senang.
5.    Selain itu nikah mut’ah juga membahayakan perempuan karena ia ibarat sebuah benda yang pindah dari satu tangan ke tangan lain, juga merugikan anak-anak, karena mereka tidak mendapatkan rumah tempat tinggal dan memperoleh pemeliharaan dan pendidikan dengan baik.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pernikahan berasal dari kata “nikah”  dalam bahasa arab ( نكاح ) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi’). Sedangkan menurut istilah hukum agama, makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan Kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). secara bahasa mut’ah berasal dari kata مَتَعَ-يَمْتَعُ-مَتْعًا-وَمُتْعَةً yang  bermakna  kenikmatan  atau  kesenangan. Dari pengertian tersebut pernikahan mut’ah dapat diartikan sebagai  pernikahan  dengan  batasan  waktu  tertentu. Disebut seperti itu karena laki-laki menikahi perempuan itu hanya untuk suatu batas waktu tertentu, seperti satu hari, satu bulan, satu tahun atau batas waktu lainnya sesuai dengan yang disebutkan dalam akad.
2. Nikah mut’ah adalah pernikahan yang memenuhi kriteria sebagai berikut, yaitu:
a. Sighat (ucapan) ijab dan kabulnya harus memakai lafaz zawwajtuka, unkihuka atau matta’tuka (saya nikahkan kamu sementara).
     b. Tanpa wali.
     c. Tanpa saksi.
d. Di dalam akad disebutkan batas  waktu.  Batas  waktu  ini  ditetapkan  berdasarkan kesepakatan keduanya (suami dan isteri). Apabila batas waktu  yang  disepakati  ini  berakhir  maka  pernikahan ini  dengan  sendirinya  berakhir. 
e. Didalam  akad harus  disebutkan  mahar.  Mahar  ini  harus  disepakati oleh kedua belah   pihak.
f. Anak yang dilahirkan dari pernikahan ini kedudukannya sama dengan anak yang dilahirkan dalam nikah permanen.
g. Tidak ada hak waris-mewarisi antara suami isteri.
h. Pernikahan akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati di awal tanpa ada talak atau khuluk.
i. Iddahnya dua kali haid bagi yang masih haid dan 45 hari bagi yang telah putus haid.
j. Tidak ada nafkah ‘iddah.
3. Dalam kajian hukum pernikahan, selama ini muncul perbedaan pendapat antara golongan Ahlus Sunnah wal jamaah dan Syi’ah berkaitan tentang penetapan hukum nikah mut’ah, yaitu suatu bentuk pernikahan yang dilakukan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan dalam jangka waktu tertentu (ila ajalim musamma). Bagi golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah hukum nikah mut’ah adalah mutlak haram, karena sudah ada dasar hukum yang jelas dari Al-Qur’an maupun Hadits. Sedangkan menurut Syi’ah Imamiyah hukum nikah mut’ah tetap halal sampai sekarang.




Daftar Pustaka

Al-Zuhayli, Wahbah. 1989. Al-Fiqh  al-Islâmî  wa  Adillatuh. Bayrut: Dar al-Fikr.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. 2004. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI 2004.
Hakim, Rahmat. 2000. Hukum Pernikahan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Hidayatullah, Haris. 2013. Jurnal Studi Islam: “Pro Kontra Nikah Mut’ah dalam Perspektif Maqashid A-Shari’ah. Jombang : UPT. Darul Ulum, Jombang.
Husen,  Ibrahim. 22003. Fikih  Perbandingan  Masalah  Pernikahan. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Jawad Mughniyah, Muhammad. 1994. Fiqih Lima Mahzab, alih bahasa: Afif Muhammad. Jakarta: Basrie Press.
Munawir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.
Rais, Isnawati. Jurnal: Praktek Kawin Mut’ah di Indonesia dalam Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan. UIN Syarifa Hidayatullah: Fakultas Syariah.
Ridwan.  2005. Membongkar  Fiqh  Negara,  Wacana  Keadilan  Gender  dalam  Hukum Keluarga Islam. Purwokerto: Pusat Studi Gender PSG STAIN Purwokerto.
Sabiq, Sayyid. 1977. Fiqh al-Sunnah. Bayrut: Dar al-Fikr.
Shihab, Quraish. 2005.  Perempuan, dari Cinta sampai Seks, dari Kawin Mut’ah sampai Kawin Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera Hati.
Syarifuddin, Amir. 2006.  Hukum  Perkawinan  Islam  Di  Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group.
Tihami, M.A. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta: Rajawali Pres.






[1] M.A. Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta: Rajawali Pres, 2009)  hlm. 7- 9
[2] Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI, 2004), h. 14.
[3]  A. W. Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1307.
[4] Tentang nikah (pernikahan mut’ah ini antara lain dapat dilihat dalam  Wahbah  al-Zuhaylî,  Al-Fiqh  al-Islâmî  wa  Adillatuh,  (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1989), Jilid VII, h. 117 dan Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, (Bayrût: Dâr al-Fikr, 1977), Juz II, h. 35-38.
[5] Ibrahim  Husen,  Fikih  Perbandingan  Masalah  Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), h. 275. Lihat juga Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, h. 35-36. Sayyid Sâbiq tidak menyebutkan tidak ada wali dan saksi.
[6] Al-Syawkânî, Nayl al-Awthâr, (t.tp: Dâr al-Fikr, t.th), Juz 6, h. 268.
[7] Ibid. hlm. 268
[8] Ibid. hlm. 269
[9] Ibid. hlm. 269
[10] Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, hlm. 35-36.
[11] Lihat Abdul Azis Dahlan…[et.al], Ensiklopedi Hukum Islam (Cet. I; Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), jilid IV, h. 1345
[12] Lihat Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedi..op. cit., h. 1345-1346.
[13] 7Ibid., Lihat pula ‗Abdullah bin ‗Abd. al-Rahman bin Salih Ali al-Bassam, Taysir alAllam: Syarh Umdah al-Ahkam, juz II (Cet. V; Makkah: al-Nahdah al-Hadisah, 1978), h. 194195. 
[14] Imam Kirmany, Shahih Bukhari bi Syarhi al-Kirmany (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), “Bab Nikah”, Hadits No. 2513, hlm. 29
[15] Majelis Ulama Indonesia. (1997). Fatwa Nikah Mut’ah. [online]. Tersedia: http://www.mui.or.id/mui_in/fatwa/nikah_mut‘ah.php [30 September 2009]  
[16] Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi…op. cit.,
[17] ibid
[18] Al-Amili, Nikah…op. cit., Sachiko Murata, Lebih…op. cit., Jalaluddi Rakhmat, Ushul…op. cit.,
[19] ibid
[20] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran Volume 2 Surah Ali Imran dan An Nisaa (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 403. 
[21] Lihat Syekh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah anNabawiyyah, diterjemahkan oleh Abi Ihsan al-Atsari dengan judul: Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), h. 26-29.
[22] Fazlur Rahman,  Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, (Bandung: Mizan, 2005),
hlm. 7-8.

No comments:

Post a Comment