Monday, June 4, 2018

SISTEM MANAJEMEN MUTU MODEL DIKNAS

SISTEM MANAJEMEN MUTU MODEL DIKNAS
Oleh:
Arif setiawan (16771025)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

A.    PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan agenda strategis dalam kehidupan dan pembangunan bangsa. Keberhasilan pembangunan dan kemajuan suatu negara biasanya diukur melalui beberapa indikator, termasuk potensi ekonomi, mutu sumber daya manusia (SDM). Kualitas manusia ditentukan oleh kualitas pendidikan, dan merupakan faktor penting penentu kemajuan bangsa. Pendidikan adalah salah satu bentuk investasi modal manusia (human investment) yang jika dikelola dengan benar akan berdampak peningkatan kesejahteraan. Kehidupan dunia moderen tengah mengalami pergeseran paradigma pembangunan, dari yang bertumpuh pada sumber daya alam ke pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi berbasis pengetahuan. James W. Guthrie, menulis “Justifikasi utama tentang sekolah (pendidikan) sementara berubah. Banyak negara industri maju berusaha meningkatkan kemampuan ekonominya melalui pengembangan sumber daya manusia sehingga pembuat kebijakan menaikkan ekspektasi mereka terhadap performansi pendidikan.”[1]
Bangsa yang maju harus didukung oleh SDM yang berdaya tahan dan tangguh, cerdas, kreatif dan bermoral baik. Investasi di bidang pendidikan memberi jaminan bagi bangsa menjadi lebih produktif, karena akumulasi pengetahuan, kecakapan, serta sikap dan moral yang baik, pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Pembangunan dan kemajuan pendidikan, dipandang sebagai fungsi pertumbuhan ekonomi negara, dan sebaliknya pengembangan pendidikan dilakukan untuk memacu pembangunan ekonomi nasional. Pendidikan nasional suatu bangsa menjadi satu unsur pemersatu, pengikat, penumbuh dan pengarah cita-cita nasional, bahkan menjadi indikator pengukur tingkat kesejahteraan bangsa.
Di Indonesia, persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa sangat kompleks. Paul Suparno dalam Drost J., meringkas kompleksitas masalah itu dalam 3 aspek, yaitu mutu pendidikan, pemerataan pendidikan dan manajemennya.[2] Dari aspek mutu pendidikan, beberapa indikator penting yang sangat mempengaruhi adalah kurikulum, konten pendidikan, proses pembelajaran dan evaluasi, mutu guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta buku. Dalam hal pemerataan pendidikan terdapat kesenjangan mencolok di antara anak-anak bangsa. Contoh kesenjangan itu adalah data Depdiknas yang menunjukkan masih ada sekitar 4,9 juta anak usia belajar yang belum berkesempatan memperoleh pendidikan dasar dan menengah. Sementara itu beberapa anak Indonesia mampu meraih medali Olimpiade Fisika.[3] Pada aspek manajemen, pendidikan diperhadapkan dengan soal otonomi, pembiayaan, birokrasi dan regulasi yang juga terkait dengan politik, ideologi, ekonomi dan bisnis.
Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP adalah badan mandiri dan independen bertugas mengembangkan memantau pelaksanaan dan mengevaluasi SNP. SNP bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.[4] Uraian berikut membahas sistem indikator pendidikan, fungsi dan relevansinya maupun keberadaan sistem indikator pendidikan dalam SNP, serta fungsi dan tugas BSNP di Indonesia.
Berbagai usaha pemerintah diupayakan untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu usaha itu adalah mempersiapkan Standar Nasional Pendidikan dan BSNP. Apakah SNP dan BNSP efektif sebagai solusi yang relevan dengan situasi kesenjangan pendidikan saat ini merupakan hal yang perlu dicermati. Demikian pula muncul pertanyaan macam apakah standar pendidikan yang dimaksud? Sejauhmana standar tersebut mengatur dan mengendalikan pendidikan dengan mempertimbangkan besarnya kesenjangan pendidikan? Makalah ini bermaksud mengupas tentang indikator pendidikan yang menjadi acuan dalam perumusan standar pendidikan, teori-teori dan hasil penelitian yang terkait dengan sistem indikator dan standar pendidikan. Selain itu, membahas materi standar pendidikan nasional yang tersaji dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
B.     PEMBAHASAN
Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, meliputi: 1) Standar isi kurikulum, 2) Standar Proses, 3) Standar Kompetensi Lulusan, 4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 5) Standar Sarana dan Prasarana, 6) Standar Pengelolaan, 7) Standar Pembiayaan, dan 8) Standar Penilaian Pendidikan: Evaluasi, Akreditasi, Sertifikasi, Penjaminan Mutu.
1.      STANDAR ISI KURIKULUM PENDIDIKAN
Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi memuat kerangka dasar struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender akademik. Kurikulum pendidikan dapat digolongkan dalam dua bagian, yaitu isi (content) dan proses.[5] Kurikulum sebagai proses pendidikan terkait dengan independensi materi yang disajikan guru (bagaimana disampaikan) kepada peserta didik, sedangkan isi kurikulum berhubungan dengan relevansi, kondisi interdisiplin dan karakteristik pengetahuan dan pengalaman belajar yang terkait dengan apa yang dipelajari peserta didik.
“Siapa yang menetapkan kurikulum?” Apakah guru pendidik? atau kurikulum itu sendiri? atau pemerintah? Kurikulum bukan hanya isi dan materi namun tujuan dan sasaran sekolah serta strategi penilaian bagaimana mencapainya. Kurikulum mencakup juga, teknik dan strategi mengajar, kegiatan belajar berupa pemanfaatan ruang dan waktu atau keseluruhan aktivitas siswa yang direncanakan. Pendapat lain dari Klein M.F., bahwa campur tangan kebijakan pemerintah dalam bentuk regulasi program pemerintah, prosedur adopsi buku, petunjuk kurikulum, standar evaluasi guru, ujian dan mekanisme akuntabilitas, prasyarat akademik lainnya, kontrol terpusat lebih banyak jeleknya dari baiknya.[6] Mengembalikan otoritas kepada pendidik lokal (guru) lebih menjanjikan tidak terjadinya kejelekan.
Jika dianalisa dari aspek ketentuan aturan, konsistensi, otoritas dan power maka kebijakan pengendalian kurikulum oleh negara nampak melepaskan sejumlah keleluasaan bagi sekolah, daerah dan guru. Kontrol dan pengendalian kurikulum oleh negara, secara khusus dilakukan terhadap beberapa unsur penting. Unsur dimaksud termasuk: syarat kelulusan, tes hasil belajar, petunjuk dan kurikulum mata pelajaran nasional, evaluasi dan sertifikasi sekolah, proses pemilihan materi, syarat sertifikasi guru, dan sistem informasi manajemen sekolah. Persyaratan-persyaratan di atas dari waktu ke waktu diperluas dan diperkuat oleh aturan kebijakan nasional, meskipun dalam pengendalian dan kontrol terhadap praktek dan penyelenggaraan lokal (sekolah, daerah) atau dalam membatasi keleluasaan lokal tidak jauh dari lengkap.
Sejauh mana kurikulum nasional mampu mempengaruhi sekolah dan guru tergantung sejumlah faktor penting, termasuk kelekatan dan potensi kekuatan terhadap maksud kebijakan kurikulum nasional. Pembahasan kebijakan kurikulum memerlukan penetapan konteks dalam hal apa keputusan kurikulum dilakukan. Salah satu konteks penting adalah domain dan jenjang kurikulum. Kurikulum nasional, sebagaimana yang direkomendasikan, tercatat, teruji di tingkat nasional, jika kurang melekat dan tidak punya potensi kekuatan akan cenderung tidak diimplementasikan di tingkat lokal. Dalam penerapannya, meskipun kekuatan kebijakan merupakan kunci utama dalam jaringan sistem pengendali dan analisis kurikulum, bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi kebijakan kurikulum nasional pada tingkat lokal dan sekolah. Maksudnya kuatnya kebijakan dapat berdampak diimplementasikannya kebijakan, tetapi sekuat apapun kebijakan dapat saja tidak diimplementasikan apabila dikehendaki.
Faktor lain yang mempengaruhi implementasi kebijakan kurikulum nasional, adalah sejauhmana guru dan kalangan pendidikan di daerah punya kejelian dan pemahaman daripada maksud kebijakan negara. Dan sejauhmana negara secara langsung dan tak langsung memberdayakan guru pendidik lokal untuk mengimplementasikan kebijakan kurikulum serta sejauh mana kalangan pendidikan di tingkat daerah, sekolah memiliki kapasitas melakukan kebijakan tersebut.
Empat karakteristik jaringan pengendalian kebijakan yang menjadi ciri kekuatan kebijakan nasional adalah : konsistensi, ketentuan peraturan, otoritas dan power. Konsistensi dimaksudkan sebagai apakah dan sejauhmanakah kebijakan kurikulum nasional dikomunikasikan, cocok dan saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Ketentuan dan kejelasan dimaksudkan sebagai ciri spesifikasi dan keeksistensian kebijakan kurikulum. Jika kebijakan kurikulum memiliki spesifikasi jelas tentang aspek-aspek konten kurikulum dan atau proses pembelajarannya maka sekolah dan guru cenderung mengimplementasikannya daripada perlakuan kebijakan yang hanya pada beberapa aspek konten materi dan proses pembelajaran saja, atau dengan kebijakan yang kurang jelas generalisasinya.
Otoritas dimaksudkan bahwa penerimaan kebijakan oleh pihak sekolah dan guru (acceptance & acquiescence) disertai dengan penyerahan otoritas pada pihak sekolah dan guru. Power (keampuhan) terkait dengan kekuatan pemerintah memberdayakan kebijakan melalui pemberian penghargaan dan sanksi atau keduanya. Pada umumnya, kebijakan pemerintah dipandang sebagai hal yang otoritatif. Jika satu aturan kebijakan kurikulum dilengkapi dengan sistem penghargaan dan sanksi yang jelas, maka sekolah dan guru cenderung lebih dapat menerimanya dan mengimplementasinya. Misalnya, pihak sekolah dan guru akan mengarahkan pembelajaran pada persiapan menghadapi tes hasil belajar yang menentukan kelulusan, dibandingkan dengan ujian-ujian yang tidak berdampak pada kelulusan.
Jadi kebijakan pengendalian kurikulum akan lebih berpengaruh pada praktisi atau membatasi keleluasaan lokal bilamana : (a) dikomunikasikan dengan baik, cocok mengena, saling menguatkan dan memacu kemajuan bersama, (b) ada spesifikasi jelas kebutuhan perubahan dalam skala yang luas dalam praktek penyelenggaraannya, (c) secara eksplisit menarik sejumlah otoritas dasar, dan (d) memiliki makna sanksi dan penghargaan yang efektif. Standar praktis dalam lingkungan masyarakat multicultural : Pada lingkungan pendidikan multicultural, kesulitan dihadapi terutama dalam penetapan program. Bukan hanya perbedaan kelompok dalam status sosial dan ekonominya, tetapi dari segi transformasi pengembangan prinsip-prinsip pembelajaran praktis diperhadapkan dengan masalah perbedaan dalam variasi hubungan komunitas, intrapersonal dan materi, yang sangat sukar untuk mencapai perkembangan hasil belajar yang mirip (sama).
Keberagaman dan kesenjangan peserta didik dalam “perkembangan” capaian belajar antar kelompok peserta didik (kemampuan dan latar belakang bahasa, orientasi pengetahuan, pergaulan mendesak penyesuaian isi kurikulum dalam bentuk “hybrid culture” dan “fusi”, dimana sistem nilai dan tujuan pendidikan dijaring dari semua kelompok dan berorientasi pada kelompok “minoritas”, dengan maksud bukan untuk mengajar anak dalam satu integrasi kultur, tetapi untuk membantu anak dari kelompok minoritas/lemah untuk memanfaatkan kondisi lingkungannya untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan.[7]
Kurikulum pendidikan di Indonesia, dalam perjalannya sejak bangsa ini merdeka telah mengalami beberapa kali perubahan. Kecenderungan perubahan kurikulum yang terjadi, lebih banyak diakibatkan oleh penerapan di lapangan kurang lancar, dan karena kurangnya daya dukung tenaga guru atau minimnya biaya, dan bukan karena desain perencanaan sistematis mengisi kebutuhan dan relevansi ke depan. Pengembangan kurikulum 2013 (K13) yang menjadi ancang-ancang perbaikan isi pendidikan bagi anak bangsa sekarang ini, juga masih mengalami banyak perdebatan.
Beberapa pemahaman penting tentang pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan menurut Gerkhe, N.J.et al., adalah menyangkut (1) Kurikulum ditawarkan dan diterima oleh siswa dalam kelompok yang berbeda-beda dan dengan cara berbeda-beda pula. Perbedaan dan kesenjangan kesempatan memperoleh pendidikan dan pendekatan pendidikan yang berbeda hendaknya menjadi pertimbangan agar tidak terlalu merugikan pihak siswa yang kurang beruntung. Isi mata pelajaran hendaknya lebih berorientasi pada adanya kenyataan perbedaan-perbedaan siswa dalam skala nasional agar relevan dengan tujuan pengembangan kognitif, pembentukan afeksi, dan keterampilan yang dapat diikuti oleh berbagai tipe peserta didik. (2) Banyak usaha sering dilakukan untuk mereformasi kurikulum, dengan adopsi dan inovasi tanpa memperhitungkan kondisi dan kesiapan sendiri, atau dengan mempertahankan apa yang dianggap hebat, dapat berdampak pada gagalnya dan tidak relevannya pengembangan sistem pendidikan. (3) Guru membentuk dan memutuskan kurikulum dalam praktek perencanaan dan layanan belajar, yang bervariasi satu dengan lain, dan sangat sukar untuk mengeneralisasikan kesamaan isi kurikulum. (4) Kurikulum berubah dari waktu ke waktu, meskipun sulit diukur apakah perubahan itu membawa dampak kemajuan. Apa yang dilakukan guru dan siswa dalam kelas cenderung dari tahun-ke tahun tidak banyak berbeda.[8]

2.      STANDAR PROSES
Proses pendidikan merupakan kunci berlangsungnya proses belajar, dimana program pendidikan dimplementasikan. Bryk dan Hermanson menjelaskan “inti dari persekolahan adalah peningkatan akademik serta proses yang secara instrumental terkait di dalamnya.”.[9] Proses pembelajaran yang belum lancar dan kurang baik di banyak sekolah kita, menyebabkan rendahnya mutu pendidikan. Mutu proses pembelajaran sangat tergantung pada berbagai aspek, terutama fasilitas pendukung termasuk gedung, dan fasilitas peralatan, dan yang terutama adalah guru dan suasana pembelajaran.
Efektivitas sekolah dipengaruhi oleh persoalan epistemologi dangan jalan politik yang sering kurang serius mengarahkan kebijakan. Efektivitas dan efisiensi sekolah adalah cerminan dari tujuan-tujuan dan pencapaiannya (hasil belajar). Madaus menekankan bahwa variabel proses yang penting dalam pendidikan adalah suasana kelas dan lingkungan sekolah, standar fasilitas dan pengelolaannya, serta interaksi antar individu dan lingkungan.[10] Chapman and Aspin  menggaris-bawahi masalah utama kualitas berhubungan dengan sistem nilai, kode etik, prilaku standar yang wajar dari peserta didik baik di sekolah dan dalam masyarakat luas perlu dilibatkan dalam kebijakan dan praktek penilaian.[11]
Selain faktor-faktor di atas, kenyataan pada banyak sekolah dimana proses pembelajaran dalam suasana kondusif tidak terwujud, oleh karena kelemahan guru yang mengajar dengan cara-cara lama serta kurang melibatkan peserta didik secara aktif. Juga karena kemampuan, kompetensi dan sikap guru yang kurang mendukung terciptanya proses pembelajaran yang bermutu. Jadi, proses pendidikan sangat ditentukan oleh variabel-variabel atau indikator pendidikan lainnya seperti: daya dukung fasilitas, suasana atau iklim belajar yang kondusif, juga oleh faktor kompetensi dan sikap guru.

3.      STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
Mutu pendidikan turut ditentukan dan diukur melalui kualitas lulusan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tertentu, dan kualitas lembaga pendidikan sebaliknya dinilai pula dari kualitas lulusan yang dihasilkannya. Dari waktu ke waktu kompetensi lulusan menjadi persoalan, dan variabel pendidikan yang terkena imbas adalah sistem evaluasi institusi pendidikan. Fenomena sistem evaluasi yang belum menjamin kompetensi lulusan nampak jelas dari kelulusan sekolah setiap tahun yang mendekati 100%, sementara yang lulus murni dari seleksi UMPTN atan SPMB universitas kurang dari 10%. Drost, S. J., mengungkapkan “Kalau lulusan perguruan tinggi tidak bermutu, tidak mendapat pekerjaan, maka sesuai dengan kebutuhan, kita mencari kambing hitam: sistem PT jelek, kurikulum tidak sesuai kebutuhan, dosen tidak bermutu, dst. Tidak pernah ada yang mengaku dialah kambing hitam itu!”.[12]
Di pihak lain, lembaga pendidikan (sekolah, PT) yang meluluskan menjadi paling bertanggungjawab terhadap persoalan kompetensi lulusan. Dan sistem evaluasi menjadi saringan terakhir dalam menghasilkan lulusan perlu dievaluasi sehingga tidak susah mencari kambing hitam mutululusan.
Standar kompetensi lulusan terletak pada tujuan pendidikan yang dirumuskan dan konten kurikulum. Relevansi kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan lapangan kerja akan dapat menjamin mutu lulusan yang siap masuk dunia kerja, apabila didukung oleh proses pendidikan yang baik. Disini wawasan pengetahuan guru mengenali kompetensi yang diperlukan peserta didik, juga akan sangat membantu dalam proses penyiapannya. Lebih lanjut, sekolah terutama guru perlu memfokuskan perhatian kerjasama konsultasi dari pada kegiatan pengawasan atau bertahan. Dengan demikian tercipta suasana dialog antara siswa dan guru. Sehingga anak mendapatkan dukungan menjadi anggota masyarakat. Sekolah yang berkualitas menyajikan kurikulum, aktivitas akademik yang merupakan hak mendasar siswa, yang dapat menjadi jaminan tercapainya kualitas pendidikan bermutu dan relevan dengan kebutuhan.
Permasalahan standar kurikulum dan relevansinya dalam membentuk kompetensi dalam sistem pendidikan kita terkait dengan sistem persekolahan yang ada: pendidikan umum dan pendidikan kejuruan. Kurikulum pendidikan umum berorientasi kepada kebutuhan peserta didik memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang bersifat universal diperlukan dalam mengembangkan intelektual, sistem nilai, dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan secara luas, dan terutama mempersiapkan siswa menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan kurikulum pendidikan kejuruan lebih cenderung untuk mempersiapkan peserta didik untuk memasuki dunia pekerjaan setelah lulus dari jenjang program pendidikannya.
Kurikulum sebagai alat dalam proses pembelajaran tidak dapat mempunyai basis[13], kurikulum sebenarnya bertujuan kompetensi, yang menghasilkan lulusan yang kompeten. Pemikiran tentang kompetensi ini mungkin lebih cocok untuk sekolah kejuruan yang memproduksi tenaga manusia yang siap masuk dunia kerja. Tetapi bagi sekolah umum kompetensi yang dimaksud adalah kemampuan dan kesiapan intelektual untuk melanjutkan studi.
Faktor lain yang sangat menentukan mutu lulusan adalah mutu masukan. Standar kelulusan dalam sistem pendidikan kita umumnya masih rendah dan bervariasi antar daerah. Seleksi masuk perguruan tinggi maju yang diminati anak bangsa banyak yang belum atau tidak mengakomodir perbedaan yang ada terutama mereka yang berasal dari luar Jawa. Persiapan para siswa untuk masuk universitas hanya terjadi pada SMA yang unggul, yang ketika menerima siswa SLTP menyeleksi dan menerima hanya mereka yang unggul.
4.      STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Guru adalah tenaga pendidik, merupakan satu keahlian profesional yang berkompetensi dalam bidang pendidikan. Dalam proses globalisasi dimana perubahan terjadi sangat pesat guru dituntut untuk senantiasa menyesuaikan kompetensinya dengan perkembangan tersebut. Tilaar, H.A.R. menulis : “Today teachers participate in the process of change and development especially in preparing intelligent citizens and skilled man power. In line with efforts towards universal basic education, a large number of teachers are required, mostly in a short time. This has bad effects on the teaching profession, . . ., there quirements for entering the teaching profession are reduced. As a result the image of teaching profession is severely tarnished. The image of the teaching profession of yesterday has gone.”.[14]
Dari satu sisi, kita melihat banyak guru di kota-kota besar yang memiliki kompetensi mengajar dan menjalankan tugas secara profesional. Namun di banyak tempat di daerah dan pelosok-pelosok banyak tenaga pendidik yang rendah mutunya. Hal tersebut menjadi salah satu sebab mengapa kualitas pendidikan kita rendah. Rendahnya kualitas guru disebabkan oleh beberapa hal penting, seperti daerah tertentu memang tidak memiliki guru yang sesuai, kualitas calon guru, dan kualitas pendidikan di Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK).
Banyak faktor mempengaruhi minat masuk dan menekuni profesi guru, termasuk insentif gaji guru yang kurang, persepsi generasi muda terhadap profesi guru maupun persepsi masyarakat terhadap status guru. Profesi guru di Indonesia dewasa ini kurang menarik perhatian generasi muda yang potensial, kalaupun ada ketertarikan menjadi pilihan kedua. Keadaan ini merupakan satu kemunduran atau kehilangan, “a loss”, dalam kehidupan bangsa.
Mutu guru yang memprihatinkan juga tergambar pada penguasaan materi kurikulum oleh guru, dan kompetensi teknis guru yang tidak memadai. Banyak guru yang tidak menguasai bahan ajar dan tidak menguasai metode dan strategi pembelajaran yang baik. Untuk mengembalikan citra dan persepsi masyarakat terhadap profesi guru, diperlukan berbagai usaha mengangkat kompetensi guru, termasuk memberikan stimuli kepada generasi muda bangsa yang berpotensi untuk tertarik dan menggeluti profesi ini. Dalam kondisi masyarakat moderen yang berorientasi pada pemenuhan kesejahteraan, maka kedepan, penghargaan dengan rewards dan insentives yang wajar menjadi alternatif solusi, di samping (untuk masa kini) perwujudan standar kompetensi guru melalui mekanisme evaluasi kesiapan (kelayakan) profesional perlu dilakukan.
Pengembangan sistem pendidikan tenaga kependidikan didasarkan pada prinsip-prinsip SPTK-21, yaitu : (1). Tuntutan profesi yang berdasarkan pada standar nasional dan standar internasional tenaga kependidikan. (2) Pendidikan tenaga kependidikan dilaksanakan oleh lembaga yang mendapatkan akreditasi. (3) Pendidikan pra-jabatan (pre-service) adalah persyaratan untuk pengangkatan awal seseorang dalam profesi guru dan tenaga kependidikan lain (non-guru). (4) Pendidikan dalam jabatan (in-service) dilaksanakan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang berwenang, dan merupakan suatu kelanjutan dari pendidikan pra-jabatan. (5) Penempatan mahasiswa pada program pendidikan profesi guru dan tenaga kependidikan lain dapat dilakukan pada tahun pertama (semasa=concurrent) setelah bersangkutan menyelesaikan program studi kesarjanaan non-pendidikan bersinambungan. (6) Pengelolaan mata kuliah antara program pendidikan dan non pendidikan dilakukan berdasarkan prinsip saling membina. (7) Suasana belajar di LPTK kental dengan nilai edukatif, akademik, dan religius sehingga membantu pembentukan kepribadian tenaga pendidikan sebagaimana yang diharapkan. (8) Jaminan mutu tamatan program pendidikan tenaga kependidikan, dilakukan melalui evaluasi secara berkala. (9) Penataan program disesuaikan dengan kondisi & karakteristik setiap LPTK.[15]
Pengembangan SPTK Abad Ke-21 memiliki harapan bahwa karakteristik pendidikan guru dan tenaga kependidikan masa depan seperti : (1) Memiliki visi dan sikap profesi yang dinamis, siap untuk mengembangkan diri, dievaluasi dan diakreditasi secara teratur, serta siap memberikan pertanggung-jawaban profesional pada masyarakat (akuntabilitas). (2) Kemampuan melaksanakan profesi. (3) Kemampuan mengembangkan profesi. (4) Kemampuan berkomunikasi sesama pendidik, ahli, dan masyarakat. (5) Penghargaan masyarakat terhadap profesi kependidikan. (6) Kemampuan bersaing yang tinggi dan profesional. (7) Tidak ada perbedaan kualifikasi antar jenjang pendidikan. (8) Penguasaan materi subjek yang menjadi bidang spesialisasi. (9) Tenaga pengajar pada jenjang perguruan tinggi dipersiapkan dengan pendidikan profesi untuk tugas yang akan dilaksanakannya.[16] Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagai suatu bidang profesional, ke depan memerlukan kiat dan tatanan sistem keprofesian yang jelas. Pengembangan profesional guru perlu mekanisme mencirikan keprofesionalannya, misalnya pengembangan kerja kolaboratif pengajaran, konsultasi dan in-service training serta up-grading kompetensi. Tak kalah pentingnya adalah sistem penghargaan terhadap pekerjaan profesi, sistem promosi dan gaji bagi tenaga guru merupakan isu yang turut menentukan kualitas guru.

5.      STANDAR SARANA DAN PRASARANA
Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, serta fasilitas belajar-mengajar lainnya. Pemenuhan standar pendidikan ini sangat tergantung pada alokasi pembiayaan pendidikan, tetapi juga dari pihak masyarakat dan orang tua dari mereka yang mampu. Reformasi di bidang pendidikan yang mengutamakan peningkatan mutu pendidikan, tentunya perlu juga dibarengi dengan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Standar sarana dan prasarana hendaknya memprioritaskan faktor jaminan keselamatan belajar anak dan kemantapan daya dukung proses pembelajaran.
Persoalan sarana dan prasarana pendidikan terkait erat pembiayaan pendidikan. Kemampuan pemerintah dalam mendukung peningkatan sarana dan prasarana masih sangat terbatas. Sementara kalangan masyarakat ada yang menagih ‘pendidikan bebas’. Hal ini merupakan tantangan berat bagi BSNP dalam merumuskan standar indikator pendidikan ini. Apalagi dalam kebijakan otonomi daerah, pembiayaan pendidikan kurang menjadi perhatian para penguasa di daerah maka dampak negatif kemunduran pendidikan akan menjadi ancaman baru.
Standar sarana dan prasarana diwajibkan kepada setiap satuan pendidikan untuk pengadaan dan pemeliharaannya. Hal ini menjadi tantangan bagi bagian terbesar satuan pendidikan di tanah air. Penetapan standar aspek ini perlu menata sistem pengadaan dan perawatannya dengan melibatkan pihak-pihak orang tua siswa dan komunitas masyarakat di sekitar satuan pendidikan berada. Termasuk kewajiban stakeholder, mendampingi pemerintah dalam mendukung dan menjamin tersedianya fasilitas belajar yang layak bagi pendidikan.
Indikator-indikator standar sarana dan prasarana hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masing-masing satuan pendidikan. Namun persyaratan minimal sarana dan prasarana yang mendukung proses belajar-mengajar berlangsung menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama.

6.      STANDAR PENGELOLAAN
Manajemen pendidikan dalam SNP menata jenjang pengelolaan pendidikan dalam: standar pengelolaan tingkat satuan pendidikan, standar pengelolaan oleh pemerintah daerah, standar pengelolaan oleh pemerintah (pusat). Pembagian wewenang pengelolaan pendidikan ini seiring dengan kiat desentralisasi pemerintahan yang juga melibatkan pengelolaan pendidikan. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (pasal 13 ayat 1: f) melimpahkan sebagian wewenang pengelolaan pendidikan di daerah kepada pemerintahan daerah. Kebijakan ini memberikan kesempatan kepada daerah mengelola dan mengembangkan sektor pendidikan sesuai potensi dan kondisi masing-masing daerah.
Di satu sisi, dapat memacu tumbuh berkembangnya dunia pendidikan nasional (untuk daerah yang berkemampuan finansial dan SDM memadai), namun pada pihak lain dapat berdampak semakin mundurnya mutu dan pengelolaan pendidikan di daerah lain. Dengan demikian, dapat berakibat semakin lebarnya kesenjangan pendidikan di antara sesama anak bangsa.
Granheim mempertanyakan “Bagaimana bisanya pemerintah memanfaatkan evaluasi sebagai pengendalian dan pengarah pendidikan, sementara itu usaha desentralisasi terus digulirkan, baik aspek administrasi maupun konten pedagogik?”[17] Kaitan antara desentralisasi dan modernisasi pendidikan pada dasarnya adalah usaha menembus birokrasi terpusat.
Manajemen pendidikan yang baik dan optimal dibutuhkan untuk mendukung sinergisnya proses pembelajaran merupakan pokok pengelolaan pada tingkat satuan pendidikan. Namun kebutuhan daerah dan nasional juga menghendaki hubungan kerjasama demi pemenuhan kebutuhan bersama. Persoalan dalam aspek pengelolaan pendidikan yang dihadapi adalah kelambatan birokratis dan kurang jelasnya pola hubungan interaksi antar tiap jenjang manajemen. Satuan pendidikan (sekolah) mempunyai otonomi “semu” sebab manajemen yang dilakukan lebih banyak merupakan implementasi kebijakan “top-down”.
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan usaha mengembangkan otonomi pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Tetapi menjadi pertanyaan apakah ada demokrasi dan independensi disitu? Yang jelas MBS merupakan kebijakan pusat. Namun tanggung-jawab dan beban yang dilimpahkan bagi setiap satuan pendidikan semakin besar. Pertanyaan sejauh manakah kesiapan di tingkat unit tersebut? Otonomi daerah (termasuk otonomi pendidikan) merupakan kebijakan desentralisasi manajemen pendidikan, yang menurut Drost, J., “sudah kebablasan”[18]
sehingga mematikan perkembangan-perkembangan baru dari Jakarta dan merugikan sekolah swasta. Otonomi daerah dan otonomi pendidikan atau desentralisasi dapat berdampak pada: Apa yang dilaksanakan di Jakarta akan semakin jauh dan berbeda dengan yang dilakukan di daerah.

7.      STANDAR PEMBIAYAAN
Kinerja pendidikan akan buruk jika tidak diimbangi dengan anggaran yang memadai. Kehidupan moderen masyarakat global, harus mengalami realitas bahwa “pendidikan itu mahal”. Para pemimpin negara ini sebenarnya menyadari bahwa anggaran pendidikan itu penting, mereka tahu bahwa masa depan bangsa sangat tergantung pada mutu pendidikan. Namun, pengetahuan dan kesadaran pentingnya dana pendidikan itu, menurut Munawar Soleh, “tidak diimbangi dengan komitmen dan disiplin memadai.”[19]
Pembiayaan pendidikan dapat berupa biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal. Beban Pemerintah untuk mengongkosi pendidikan anak bangsa menurut aturan UU sangat besar dan saat ini belum dapat terpenuhi. Hasil perhitungan menurut Mendiknas, setiap SD/MI rata-rata 43 juta setahun dan SMP rata-rata 183 juta rupiah per tahun, dan sangat tergantung pada persetujuan DPR. Kebijakan ini, oleh kalangan DPR perlu diluruskan untuk menghindari muncul persoalan di kemudian hari. Standar biaya pelayanan minimal harus terpenuhi (apa saja yang secara mendasar harus dibiayai pemerintah?) sebagai kewajiban pemerintah memenuhi tuntutan konstitusi.[20]
Pembiayaan pendidikan yang diusahakan pemerintah masih terbatas pada bantuan biaya investasi penyediaan sarana dan fasilitas serta peralatan pendidikan, serta biaya operasional penyelenggaraan pendidikan yang mendukung terselenggaranya proses pembelajaran yang baik dan berhasil. Satu faktor penting yang terlewati atau “dilupakan” atau “belum terjangkau” adalah biaya personal yang langsung dapat menjamin kesiapan peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas pembelajaran. Kesiapan belajar siswa tergantung pada kesiapan fisik dan mental, kemudian pada kesiapan alat pendukung instruksional.
Pembiayaan pendidikan ke depan perlu mempertimbangkan prioritas kebutuhan yang berbasis pada penciptaan kondisi kesiapan anak untuk belajar. Analisis standar pembiayaan pendidikan sewajarnya melibatkan ketiga macam pembiayaan pendidikan. Alokasi dana pendidikan pemerintah hendaknya memperhatikan kebutuhan standar minimal per peserta didik, di samping prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan. Kebijakan dan kemampuan pemerintah dalam hal pembiayaan terbatas pada dukungan biaya operasional penyelenggaraan pendidikan yang banyak terdapat “kebocoran”, gaji guru dan tenaga kependidikan yang belum memadai, mempengaruhi pencapaian mutu.

8.      STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN: EVALUASI, AKREDITASI, SERTIFIKASI, PENJAMINAN MUTU
Penilaian pendidikan meliputi penilaian hasil belajar oleh pendidik, oleh satuan pendidikan, oleh pemerintah, dan kelulusan. Evaluasi merupakan satu upaya dalam meningkatkan kualitas. Pelaksanaan evaluasi oleh guru lebih tepat jika dilakukan untuk membantu peserta didik belajar, atau oleh pihak sekolah untuk menjelaskan dengan benar pencapaian hasil belajar siswa.
Penilaian kelas sebagai proses pengumpulan data dan penggunaan informasi oleh guru untuk memberikan keputusan, dalam hal ini nilai terhadap hasil belajar peserta didik berdasarkan tahapan belajarnya. Penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai cara seperti tes tertulis (paper and pencil test), porto folio (penilaian hasil kerja melalui kumpulan hasil karya, penilaian produk, penilaian proyek, dan penilaian unjuk kerja (performance). Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas menyajikan pedoman penilaian kelas dengan teknik-teknik penilaian: unjuk kerja, sikap, tertulis, proyek, produk, dan portfolio serta penilaian diri sebagai acuan guru dalam pelaksanaan penilaian.[21]
Apabila sistem ini diberlakukan seutuhnya oleh guru dalam kegiatan pembelajaran, maka konsekuensi yang harus dihadapi adalah guru dituntut untuk semakin profesional dalam menjalankan tugas. Apakah guru-guru kita semua siap untuk ini? Beban kerja guru semakin berat. Beban kerja perlu dianalisis menurut jenis kegiatan perencanaan dan proses pembelajaran serta tugas evaluasi yang harus dikerjakan ditinjau dari waktu yang harus diluangkan guru. Dan pada akhir tugas evaluasi guru harus menetapkan nilai siswa untuk tujuan-tujuan yang relevan.
Penilaian pendidikan berfungsi sebagai barometer mutu pendidikan nasional digunakan sebagai dasar perbaikan dan untuk reformasi pendidikan dari keterbatasan dan kelemahannya. Penyelenggaraan evaluasi pendidikan bukan hanya untuk mencari tahu kemajuan belajar peserta didik, tapi untuk menyajikan konfirmasi validasi eksternal terhadap kecurigaan rendahnya mutu. Pemanfaatan hasil tes untuk inferensi kualitas pendidikan membutuhkan kehati-hatian pertimbangan, sebab di samping ada konsekuensi terhadap kebijakan, para penentu kebijakan sangat tergantung pada hasil penilaian dalam usaha mendukung dan meningkatkan praksis pendidikan.
Penilaian pendidikan digunakan juga sebagai instrumen reformasi yang sejauh ini terpercaya. Robert Linn menyatakan bahwa Fungsi utama sistem standar asesmen nasional melalui ujian nasional adalah tujuannya sebagai penggerak motivasi. Ujian menantang siswa dan guru untuk melakukan yang terbaik, membuka peluang baru bagi siswa, dan merangsang peningkatan mutu sekolah.[22]
Ujian Nasional merupakan satu-satunya instrumen yang berfungsi mengukur indikator pendidikan standar secara nasional oleh pemerintah atau lembaga independen. Hal ini dibutuhkan sebagai alat pengendali mutu pendidikan bangsa Indonesia. Taraf kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa juga diukur oleh indeks indikator pendidikan. Indeks indikator pendidikan menurut Bryk & Hermanson “indicators are promoted as efficacious instruments with which to monitor educational system, evaluate its programs, diagnose its troubles, guide policy formulation, and hold school personnel accountable for the results”.[23]
Tujuan penilaian adalah agar peserta didik terbantu dengan informasi terukur, menyangkut baik kemampuan dan kelemahannya terhadap taraf pencapaian tujuan belajar. Melaksanakan evaluasi, menentukan nilai siswa merupakan pekerjaan guru yang paling berat. Nilai siswa berguna dalam berbagai hal, bahkan punya implikasi bagi masa depan. Mochtar Buchory mengatakan “Test-score manipulation damages students’ future[24]. Manipulasi nilai/skor tes merupakan praktek yang telah lama berlangsung pada persekolahan di Indonesia, bukan untuk tujuan tambahan uang tetapi karena adanya perbedaan persepsi guru terhadap kemampuan anak-anak didiknya. Menetapkan nilai hasil belajar merupakan pekerjaan berat yang tak dapat disepelekan oleh guru. 
Munawar Soleh mengemukanan :“Salah satu jalan untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional ke arah yang lebih baik, diperlukan keberanian untuk mengambil kebijakan strategis dan perubahan cara pandang yang terlalu formal. Salah satunya adalah dengan membenahi sistem ujian sekaligus. Untuk mengevaluasi kelulusan di tengah tingginya disparitas kualitas pendidikan dapat ditempuh jalan lain. Salah satunya dengan membuat semacam rumpun sekolah atau jaringan sekolah dan lembaga independen lain yang mengkaji mengenai mutu dan syarat kelulusan”.[25]
Evaluasi kinerja pendidikan, baik proses, output, institusi penyelengara yang dilakukan berorientasi pada akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan perlu dilakukan oleh satuan pendidikan melalui evaluasi diri, atau lembaga evaluasi mandiri. Evaluasi terhadap pengelolaan pendidikan perlu dilakukan secara periodik sesuai kebutuhan, dan perlu mempertimbangkan komponen input, proses, dan output.
Akreditasi dan Sertifikasi dilaksanakan bagi setiap jenjang dan satuan pendidikan diperlukan sebagai akuntabilitas publik yang objektif, adil, terpercaya, transparan. Mekanisme dan prosedur akreditasi dan sertifikasi memerlukan instrumen yang valid dan terpercaya untuk memberikan jaminan akuntabilitas publik terhadap prosedur justifikasi, kualifikasi yang baik dan adil. Persoalan terkait standar akreditasi dan sertifikasi sangat dibutuhkan sebagai alat kontrol sistem pendidikan menghadapi persoalan maraknya ijazah palsu maupun pemanfaatan ijazah dan referensi hasil akreditasi yang kurang mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat. Sistem akreditasi dan sertifikasi perlu diarahkan objektivitas yang valid guna membangun sistem dan nilai masyarakat secara adil.

C.    PENUTUP
a.      Kesimpulan
Kualitas SDM ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Pendidikan merupakan salah satu bentuk investasi modal manusia (human investment) yang jika dikelola dengan benar akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan manusia itu sendiri. Di Indonesia, persoalan pendidikan sangat kompleks. Ada 3 aspek persoalan pendidikan di Indonesia yaitu aspek: mutu pendidikan, pemerataan pendidikan dan manajemennya. Dari aspek mutu pendidikan, beberapa indikator penting yang sangat mempengaruhi adalah kurikulum, konten pendidikan, proses pembelajaran dan evaluasi, mutu guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta buku. Di tengah bentangan masalah pendidikan yang kompleks ini, pemerintah menetapkan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). BSNP adalah badan mandiri dan independen bertugas mengembangkan dan memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi SNP.
Berdasarkan PP No. 19/2005 tentang SNP meliputi standar: 1) isi kurikulum, 2) Proses, 3) Kompetensi Lulusan, 4) Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 5) Sarana dan Prasarana, 6) Pengelolaan, 7) Pembiayaan, dan 8) Standar Penilaian Pendidikan: Evaluasi, Akreditasi, Sertifikasi, Penjaminan Mutu. Standar isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Proses pendidikan merupakan kunci berlangsungnya proses belajar, dimana program pendidikan diimplementasikan.
Mutu pendidikan turut ditentukan dan diukur melalui kualitas lulusan yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tertentu, dan kualitas lembaga pendidikan sebaliknya dinilai pula dari kualitas lulusan yang dihasilkannya. Guru adalah tenaga pendidik, merupakan satu keahlian profesional yang berkompetensi dalam bidang pendidikan. Dalam proses globalisasi dimana perubahan terjadi sangat pesat guru dituntut untuk senantiasa menyesuaikan kompetensinya dengan perkembangan tersebut.
Standar sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, serta fasilitas belajar-mengajar lainnya.
Manajemen pendidikan dalam SNP menata jenjang pengelolaan pendidikan dalam: standar pengelolaan tingkat satuan pendidikan, standar pengelolaan oleh pemerintah daerah, standar pengelolaan oleh pemerintah (pusat). Pembiayaan pendidikan dapat berupa biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal. Beban Pemerintah untuk mengongkosi pendidikan anak bangsa menurut aturan UU sangat besar dan saat ini belum dapat terpenuhi. Penilaian pendidikan berfungsi sebagai barometer mutu pendidikan nasional digunakan sebagai dasar perbaikan dan untuk reformasi pendidikan dari keterbatasan dan kelemahannya.
b.      Kritik dan Saran
Penulis menyadari ada banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu diperlukan kritik dan saran yang membangun demi menjadikan diri lebih baik lagi, karena manusia tidak ada yang sempurna, kesempurnaan hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam.



[1] James W. Guthrie, Educational Research and Politics, Education Digest, 1991, Vol. 56, Issue 6. Hal. 306
[2] Drost S.J., Dari KBK (kurikulum bertujuan kompetensi) sampai MBS (manajemen berbasis sekolah) : esai-esai pendidikan, JIGM Drost SJ, Kompas, 2005, hal. ix.
[3] Kompas, 5 April 2005.
[4] Kompas, 17 Mei 2005 : PP BNSP Akhirnya ditandatangani Presiden, Kumaniora, hal 9. Lihat juga Draft Final : RPP SNP, Balitbang-Depdiknas, 2005.
[5] Tuckman B.W., Evaluating Instructional Programs, 2nd ed., (Bacon & Allyn, Newton, 1985). Hal. 228.
[6] Klein M.F., The Politics of Curriculum Decision-Making : Issues in Centralizing the Curriculum, (SUNY Press, 1991, Albany) - (AERA, EEPA, Vol.14, #1, 1992), hal. 89.
[7] Bowman, B. (1993). Early childhood education. In L. Darling-Hammond (Ed.), Review of research in education, Vol. 19. Washington DC: American Educational Research Association. Hal. 118.
[8] Gehrke, N.J. & N. Romerdahl : Teacher leaders: Making a difference in schools (West Lafayette, Indiana: Kappa Delta Pi. 1997) hal. 99.
[9] Bryk dan Hermanson, Review of Research in Education : Educational Indicator System, Vol. 19, Washington, 1993, hal. 455.
[10] Madaus, et al., Issues In Educational Research, Vol 14, 2004
[11] The School, the Community and Life long Learning (London: Cassell 1997).
[12] Drost S.J....., hal. 16.
[13] Drost S.J......, hal. 3.
[14] HAR Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta: 2005), hal. 141-142.
[15] Depdiknas, Pengembangan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan Abad Ke-21, 2002, hal. 12.
[16] Depdiknas,………, hal. 9-10.
[17] Granheim, M. Kogan, & U. P. Lundgren (Eds), Evaluation as policymaking, (London: Jessica Kinsley, 1990). Hal. 56.
[18]  Drost S.J......., hal. 116.
[19] Munawar, Soleh, Politik Pendidikan : Membangun SDM dengan Peningkatan Kualitas Pendidikan, (Grafindo: Jakarta, 2005), hal. 117.
[20] Kompas, 3 Mei 2005 : Dana Wajib Belajar untuk Negeri-Swasta, Humaniora, hal.9
[21] Balitbang, Isu-isu Pendidikan diIndonesia, Triwulan Kedua :Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui MBS, Chamidi, S.I., Jakarta, 2004.
[22] Baker, E. L., O'Neil, H. F. , Jr., & Linn, R. L. (1993). Policy and validity prospects for performance-based assessment. American Psychologist, 48, 1210-1218, hal. 4.
[23] AERA, Review of Educational Research: Validity in Educational Measurement, Vol. 19, Washington, 1993, hal. 452.
[24] The Jakarta Post, July 26, 1996, Notes on Education in Indonesia, h. 98-100
[25] Munawar Shaleh,……hal. 34.

No comments:

Post a Comment