SISTEM MANAJEMEN MUTU MODEL DIKNAS
Oleh:
Arif setiawan (16771025)
Mahasiswa Prodi
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan agenda strategis dalam kehidupan dan
pembangunan bangsa. Keberhasilan pembangunan dan kemajuan suatu negara biasanya
diukur melalui beberapa indikator, termasuk potensi ekonomi, mutu sumber daya
manusia (SDM). Kualitas manusia ditentukan oleh kualitas pendidikan, dan
merupakan faktor penting penentu kemajuan bangsa. Pendidikan adalah salah satu
bentuk investasi modal manusia (human investment) yang jika dikelola
dengan benar akan berdampak peningkatan kesejahteraan. Kehidupan dunia moderen
tengah mengalami pergeseran paradigma pembangunan, dari yang bertumpuh pada
sumber daya alam ke pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan ekonomi
berbasis pengetahuan. James W. Guthrie, menulis “Justifikasi utama tentang
sekolah (pendidikan) sementara berubah. Banyak negara industri maju berusaha
meningkatkan kemampuan ekonominya melalui pengembangan sumber daya manusia
sehingga pembuat kebijakan menaikkan ekspektasi mereka terhadap performansi
pendidikan.”[1]
Bangsa yang maju harus didukung oleh SDM yang berdaya tahan dan
tangguh, cerdas, kreatif dan bermoral baik. Investasi di bidang pendidikan
memberi jaminan bagi bangsa menjadi lebih produktif, karena akumulasi
pengetahuan, kecakapan, serta sikap dan moral yang baik, pada gilirannya akan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Pembangunan dan kemajuan pendidikan, dipandang sebagai fungsi
pertumbuhan ekonomi negara, dan sebaliknya pengembangan pendidikan dilakukan
untuk memacu pembangunan ekonomi nasional. Pendidikan nasional suatu bangsa
menjadi satu unsur pemersatu, pengikat, penumbuh dan pengarah cita-cita
nasional, bahkan menjadi indikator pengukur tingkat kesejahteraan bangsa.
Di Indonesia, persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa sangat
kompleks. Paul Suparno dalam Drost J., meringkas kompleksitas masalah itu dalam
3 aspek, yaitu mutu pendidikan, pemerataan pendidikan dan manajemennya.[2] Dari aspek mutu pendidikan, beberapa indikator penting yang sangat
mempengaruhi adalah kurikulum, konten pendidikan, proses pembelajaran dan
evaluasi, mutu guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta buku. Dalam hal
pemerataan pendidikan terdapat kesenjangan mencolok di antara anak-anak bangsa.
Contoh kesenjangan itu adalah data Depdiknas yang menunjukkan masih ada sekitar
4,9 juta anak usia belajar yang belum berkesempatan memperoleh pendidikan dasar
dan menengah. Sementara itu beberapa anak Indonesia mampu meraih medali
Olimpiade Fisika.[3] Pada aspek manajemen, pendidikan diperhadapkan dengan soal
otonomi, pembiayaan, birokrasi dan regulasi yang juga terkait dengan politik,
ideologi, ekonomi dan bisnis.
Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP). BSNP adalah badan mandiri dan independen bertugas mengembangkan
memantau pelaksanaan dan mengevaluasi SNP. SNP bertujuan menjamin mutu
pendidikan nasional dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat.[4] Uraian berikut membahas sistem indikator pendidikan, fungsi dan
relevansinya maupun keberadaan sistem indikator pendidikan dalam SNP, serta
fungsi dan tugas BSNP di Indonesia.
Berbagai usaha pemerintah diupayakan untuk mengatasi
persoalan-persoalan pendidikan sebagai bagian dari usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Salah satu usaha itu adalah mempersiapkan Standar
Nasional Pendidikan dan BSNP. Apakah SNP dan BNSP efektif sebagai solusi yang
relevan dengan situasi kesenjangan pendidikan saat ini merupakan hal yang perlu
dicermati. Demikian pula muncul pertanyaan macam apakah standar pendidikan yang
dimaksud? Sejauhmana standar tersebut mengatur dan mengendalikan pendidikan
dengan mempertimbangkan besarnya kesenjangan pendidikan? Makalah ini bermaksud
mengupas tentang indikator pendidikan yang menjadi acuan dalam perumusan
standar pendidikan, teori-teori dan hasil penelitian yang terkait dengan sistem
indikator dan standar pendidikan. Selain itu, membahas materi standar
pendidikan nasional yang tersaji dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 19 tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
B.
PEMBAHASAN
Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, meliputi: 1) Standar isi kurikulum, 2) Standar Proses, 3) Standar
Kompetensi Lulusan, 4) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 5) Standar
Sarana dan Prasarana, 6) Standar Pengelolaan, 7) Standar Pembiayaan, dan 8)
Standar Penilaian Pendidikan: Evaluasi, Akreditasi, Sertifikasi, Penjaminan
Mutu.
1.
STANDAR ISI KURIKULUM PENDIDIKAN
Standar
isi mencakup lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi
lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Standar isi memuat kerangka
dasar struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan,
kalender akademik. Kurikulum pendidikan dapat digolongkan dalam dua bagian,
yaitu isi (content) dan proses.[5] Kurikulum sebagai proses pendidikan terkait dengan independensi
materi yang disajikan guru (bagaimana disampaikan) kepada peserta didik,
sedangkan isi kurikulum berhubungan dengan relevansi, kondisi interdisiplin dan
karakteristik pengetahuan dan pengalaman belajar yang terkait dengan apa yang
dipelajari peserta didik.
“Siapa yang menetapkan kurikulum?” Apakah guru pendidik? atau
kurikulum itu sendiri? atau pemerintah? Kurikulum bukan hanya isi dan materi
namun tujuan dan sasaran sekolah serta strategi penilaian bagaimana
mencapainya. Kurikulum mencakup juga, teknik dan strategi mengajar, kegiatan
belajar berupa pemanfaatan ruang dan waktu atau keseluruhan aktivitas siswa
yang direncanakan. Pendapat lain dari Klein M.F., bahwa campur tangan kebijakan
pemerintah dalam bentuk regulasi program pemerintah, prosedur adopsi buku,
petunjuk kurikulum, standar evaluasi guru, ujian dan mekanisme akuntabilitas,
prasyarat akademik lainnya, kontrol terpusat lebih banyak jeleknya dari
baiknya.[6] Mengembalikan otoritas kepada pendidik lokal (guru) lebih
menjanjikan tidak terjadinya kejelekan.
Jika dianalisa dari aspek ketentuan aturan, konsistensi, otoritas
dan power maka kebijakan pengendalian kurikulum oleh negara nampak melepaskan
sejumlah keleluasaan bagi sekolah, daerah dan guru. Kontrol dan pengendalian
kurikulum oleh negara, secara khusus dilakukan terhadap beberapa unsur penting.
Unsur dimaksud termasuk: syarat kelulusan, tes hasil belajar, petunjuk dan
kurikulum mata pelajaran nasional, evaluasi dan sertifikasi sekolah, proses
pemilihan materi, syarat sertifikasi guru, dan sistem informasi manajemen
sekolah. Persyaratan-persyaratan di atas dari waktu ke waktu diperluas dan
diperkuat oleh aturan kebijakan nasional, meskipun dalam pengendalian dan
kontrol terhadap praktek dan penyelenggaraan lokal (sekolah, daerah) atau dalam
membatasi keleluasaan lokal tidak jauh dari lengkap.
Sejauh mana kurikulum nasional mampu mempengaruhi sekolah dan guru
tergantung sejumlah faktor penting, termasuk kelekatan dan potensi kekuatan terhadap
maksud kebijakan kurikulum nasional. Pembahasan kebijakan kurikulum memerlukan
penetapan konteks dalam hal apa keputusan kurikulum dilakukan. Salah satu
konteks penting adalah domain dan jenjang kurikulum. Kurikulum nasional,
sebagaimana yang direkomendasikan, tercatat, teruji di tingkat nasional, jika
kurang melekat dan tidak punya potensi kekuatan akan cenderung tidak
diimplementasikan di tingkat lokal. Dalam penerapannya, meskipun kekuatan kebijakan
merupakan kunci utama dalam jaringan sistem pengendali dan analisis kurikulum,
bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi kebijakan kurikulum nasional
pada tingkat lokal dan sekolah. Maksudnya kuatnya kebijakan dapat berdampak
diimplementasikannya kebijakan, tetapi sekuat apapun kebijakan dapat saja tidak
diimplementasikan apabila dikehendaki.
Faktor lain yang mempengaruhi implementasi kebijakan kurikulum
nasional, adalah sejauhmana guru dan kalangan pendidikan di daerah punya
kejelian dan pemahaman daripada maksud kebijakan negara. Dan sejauhmana negara
secara langsung dan tak langsung memberdayakan guru pendidik lokal untuk
mengimplementasikan kebijakan kurikulum serta sejauh mana kalangan pendidikan
di tingkat daerah, sekolah memiliki kapasitas melakukan kebijakan tersebut.
Empat karakteristik jaringan pengendalian kebijakan yang menjadi
ciri kekuatan kebijakan nasional adalah : konsistensi, ketentuan peraturan,
otoritas dan power. Konsistensi dimaksudkan sebagai apakah dan
sejauhmanakah kebijakan kurikulum nasional dikomunikasikan, cocok dan saling
menguatkan satu dengan yang lainnya. Ketentuan dan kejelasan dimaksudkan
sebagai ciri spesifikasi dan keeksistensian kebijakan kurikulum. Jika kebijakan
kurikulum memiliki spesifikasi jelas tentang aspek-aspek konten kurikulum dan
atau proses pembelajarannya maka sekolah dan guru cenderung mengimplementasikannya
daripada perlakuan kebijakan yang hanya pada beberapa aspek konten materi dan
proses pembelajaran saja, atau dengan kebijakan yang kurang jelas
generalisasinya.
Otoritas dimaksudkan
bahwa penerimaan kebijakan oleh pihak sekolah dan guru (acceptance &
acquiescence) disertai dengan penyerahan otoritas pada pihak sekolah dan
guru. Power (keampuhan) terkait dengan kekuatan pemerintah memberdayakan
kebijakan melalui pemberian penghargaan dan sanksi atau keduanya. Pada umumnya,
kebijakan pemerintah dipandang sebagai hal yang otoritatif. Jika satu aturan
kebijakan kurikulum dilengkapi dengan sistem penghargaan dan sanksi yang jelas,
maka sekolah dan guru cenderung lebih dapat menerimanya dan
mengimplementasinya. Misalnya, pihak sekolah dan guru akan mengarahkan
pembelajaran pada persiapan menghadapi tes hasil belajar yang menentukan
kelulusan, dibandingkan dengan ujian-ujian yang tidak berdampak pada kelulusan.
Jadi
kebijakan pengendalian kurikulum akan lebih berpengaruh pada praktisi atau
membatasi keleluasaan lokal bilamana : (a) dikomunikasikan dengan baik, cocok
mengena, saling menguatkan dan memacu kemajuan bersama, (b) ada spesifikasi
jelas kebutuhan perubahan dalam skala yang luas dalam praktek
penyelenggaraannya, (c) secara eksplisit menarik sejumlah otoritas dasar, dan
(d) memiliki makna sanksi dan penghargaan yang efektif. Standar praktis dalam
lingkungan masyarakat multicultural : Pada lingkungan pendidikan multicultural,
kesulitan dihadapi terutama dalam penetapan program. Bukan hanya perbedaan
kelompok dalam status sosial dan ekonominya, tetapi dari segi transformasi
pengembangan prinsip-prinsip pembelajaran praktis diperhadapkan dengan masalah
perbedaan dalam variasi hubungan komunitas, intrapersonal dan materi, yang
sangat sukar untuk mencapai perkembangan hasil belajar yang mirip (sama).
Keberagaman
dan kesenjangan peserta didik dalam “perkembangan” capaian belajar antar
kelompok peserta didik (kemampuan dan latar belakang bahasa, orientasi
pengetahuan, pergaulan mendesak penyesuaian isi kurikulum dalam bentuk “hybrid
culture” dan “fusi”, dimana sistem nilai dan tujuan pendidikan
dijaring dari semua kelompok dan berorientasi pada kelompok “minoritas”, dengan
maksud bukan untuk mengajar anak dalam satu integrasi kultur, tetapi untuk membantu
anak dari kelompok minoritas/lemah untuk memanfaatkan kondisi lingkungannya
untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan.[7]
Kurikulum
pendidikan di Indonesia, dalam perjalannya sejak bangsa ini merdeka telah
mengalami beberapa kali perubahan. Kecenderungan perubahan kurikulum yang
terjadi, lebih banyak diakibatkan oleh penerapan di lapangan kurang lancar, dan
karena kurangnya daya dukung tenaga guru atau minimnya biaya, dan bukan karena
desain perencanaan sistematis mengisi kebutuhan dan relevansi ke depan.
Pengembangan kurikulum 2013 (K13) yang menjadi ancang-ancang perbaikan isi
pendidikan bagi anak bangsa sekarang ini, juga masih mengalami banyak
perdebatan.
Beberapa
pemahaman penting tentang pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan menurut
Gerkhe, N.J.et al., adalah menyangkut (1) Kurikulum ditawarkan dan diterima
oleh siswa dalam kelompok yang berbeda-beda dan dengan cara berbeda-beda pula.
Perbedaan dan kesenjangan kesempatan memperoleh pendidikan dan pendekatan
pendidikan yang berbeda hendaknya menjadi pertimbangan agar tidak terlalu
merugikan pihak siswa yang kurang beruntung. Isi mata pelajaran hendaknya lebih
berorientasi pada adanya kenyataan perbedaan-perbedaan siswa dalam skala
nasional agar relevan dengan tujuan pengembangan kognitif, pembentukan afeksi,
dan keterampilan yang dapat diikuti oleh berbagai tipe peserta didik. (2)
Banyak usaha sering dilakukan untuk mereformasi kurikulum, dengan adopsi dan
inovasi tanpa memperhitungkan kondisi dan kesiapan sendiri, atau dengan mempertahankan
apa yang dianggap hebat, dapat berdampak pada gagalnya dan tidak relevannya
pengembangan sistem pendidikan. (3) Guru membentuk dan memutuskan kurikulum
dalam praktek perencanaan dan layanan belajar, yang bervariasi satu dengan
lain, dan sangat sukar untuk mengeneralisasikan kesamaan isi kurikulum. (4)
Kurikulum berubah dari waktu ke waktu, meskipun sulit diukur apakah perubahan
itu membawa dampak kemajuan. Apa yang dilakukan guru dan siswa dalam kelas
cenderung dari tahun-ke tahun tidak banyak berbeda.[8]
2.
STANDAR PROSES
Proses
pendidikan merupakan kunci berlangsungnya proses belajar, dimana program
pendidikan dimplementasikan. Bryk dan Hermanson menjelaskan “inti dari
persekolahan adalah peningkatan akademik serta proses yang secara instrumental
terkait di dalamnya.”.[9] Proses pembelajaran yang belum lancar dan kurang baik di banyak
sekolah kita, menyebabkan rendahnya mutu pendidikan. Mutu proses pembelajaran
sangat tergantung pada berbagai aspek, terutama fasilitas pendukung termasuk
gedung, dan fasilitas peralatan, dan yang terutama adalah guru dan suasana
pembelajaran.
Efektivitas
sekolah dipengaruhi oleh persoalan epistemologi dangan jalan politik yang
sering kurang serius mengarahkan kebijakan. Efektivitas dan efisiensi sekolah
adalah cerminan dari tujuan-tujuan dan pencapaiannya (hasil belajar). Madaus
menekankan bahwa variabel proses yang penting dalam pendidikan adalah suasana
kelas dan lingkungan sekolah, standar fasilitas dan pengelolaannya, serta
interaksi antar individu dan lingkungan.[10] Chapman and Aspin
menggaris-bawahi masalah utama kualitas berhubungan dengan sistem nilai,
kode etik, prilaku standar yang wajar dari peserta didik baik di sekolah dan
dalam masyarakat luas perlu dilibatkan dalam kebijakan dan praktek penilaian.[11]
Selain
faktor-faktor di atas, kenyataan pada banyak sekolah dimana proses pembelajaran
dalam suasana kondusif tidak terwujud, oleh karena kelemahan guru yang mengajar
dengan cara-cara lama serta kurang melibatkan peserta didik secara aktif. Juga
karena kemampuan, kompetensi dan sikap guru yang kurang mendukung terciptanya
proses pembelajaran yang bermutu. Jadi, proses pendidikan sangat ditentukan
oleh variabel-variabel atau indikator pendidikan lainnya seperti: daya dukung
fasilitas, suasana atau iklim belajar yang kondusif, juga oleh faktor
kompetensi dan sikap guru.
3.
STANDAR KOMPETENSI LULUSAN
Mutu
pendidikan turut ditentukan dan diukur melalui kualitas lulusan yang dihasilkan
oleh institusi pendidikan tertentu, dan kualitas lembaga pendidikan sebaliknya
dinilai pula dari kualitas lulusan yang dihasilkannya. Dari waktu ke waktu
kompetensi lulusan menjadi persoalan, dan variabel pendidikan yang terkena
imbas adalah sistem evaluasi institusi pendidikan. Fenomena sistem evaluasi
yang belum menjamin kompetensi lulusan nampak jelas dari kelulusan sekolah
setiap tahun yang mendekati 100%, sementara yang lulus murni dari seleksi UMPTN
atan SPMB universitas kurang dari 10%. Drost, S. J., mengungkapkan “Kalau
lulusan perguruan tinggi tidak bermutu, tidak mendapat pekerjaan, maka sesuai
dengan kebutuhan, kita mencari kambing hitam: sistem PT jelek, kurikulum tidak
sesuai kebutuhan, dosen tidak bermutu, dst. Tidak pernah ada yang mengaku
dialah kambing hitam itu!”.[12]
Di
pihak lain, lembaga pendidikan (sekolah, PT) yang meluluskan menjadi paling
bertanggungjawab terhadap persoalan kompetensi lulusan. Dan sistem evaluasi
menjadi saringan terakhir dalam menghasilkan lulusan perlu dievaluasi sehingga
tidak susah mencari kambing hitam mutululusan.
Standar
kompetensi lulusan terletak pada tujuan pendidikan yang dirumuskan dan konten
kurikulum. Relevansi kurikulum yang berorientasi pada kebutuhan lapangan kerja
akan dapat menjamin mutu lulusan yang siap masuk dunia kerja, apabila didukung
oleh proses pendidikan yang baik. Disini wawasan pengetahuan guru mengenali
kompetensi yang diperlukan peserta didik, juga akan sangat membantu dalam
proses penyiapannya. Lebih lanjut, sekolah terutama guru perlu memfokuskan
perhatian kerjasama konsultasi dari pada kegiatan pengawasan atau bertahan. Dengan
demikian tercipta suasana dialog antara siswa dan guru. Sehingga anak
mendapatkan dukungan menjadi anggota masyarakat. Sekolah yang berkualitas
menyajikan kurikulum, aktivitas akademik yang merupakan hak mendasar siswa,
yang dapat menjadi jaminan tercapainya kualitas pendidikan bermutu dan relevan
dengan kebutuhan.
Permasalahan
standar kurikulum dan relevansinya dalam membentuk kompetensi dalam sistem
pendidikan kita terkait dengan sistem persekolahan yang ada: pendidikan umum
dan pendidikan kejuruan. Kurikulum pendidikan umum berorientasi kepada
kebutuhan peserta didik memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang
bersifat universal diperlukan dalam mengembangkan intelektual, sistem nilai,
dan keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan secara luas, dan terutama
mempersiapkan siswa menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan
kurikulum pendidikan kejuruan lebih cenderung untuk mempersiapkan peserta didik
untuk memasuki dunia pekerjaan setelah lulus dari jenjang program pendidikannya.
Kurikulum
sebagai alat dalam proses pembelajaran tidak dapat mempunyai basis[13], kurikulum sebenarnya bertujuan kompetensi, yang menghasilkan
lulusan yang kompeten. Pemikiran tentang kompetensi ini mungkin lebih cocok
untuk sekolah kejuruan yang memproduksi tenaga manusia yang siap masuk dunia
kerja. Tetapi bagi sekolah umum kompetensi yang dimaksud adalah kemampuan dan
kesiapan intelektual untuk melanjutkan studi.
Faktor
lain yang sangat menentukan mutu lulusan adalah mutu masukan. Standar kelulusan
dalam sistem pendidikan kita umumnya masih rendah dan bervariasi antar daerah.
Seleksi masuk perguruan tinggi maju yang diminati anak bangsa banyak yang belum
atau tidak mengakomodir perbedaan yang ada terutama mereka yang berasal dari
luar Jawa. Persiapan para siswa untuk masuk universitas hanya terjadi pada SMA
yang unggul, yang ketika menerima siswa SLTP menyeleksi dan menerima hanya
mereka yang unggul.
4.
STANDAR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Guru
adalah tenaga pendidik, merupakan satu keahlian profesional yang berkompetensi
dalam bidang pendidikan. Dalam proses globalisasi dimana perubahan terjadi
sangat pesat guru dituntut untuk senantiasa menyesuaikan kompetensinya dengan
perkembangan tersebut. Tilaar, H.A.R. menulis : “Today teachers participate
in the process of change and development especially in preparing intelligent
citizens and skilled man power. In line with efforts towards universal basic
education, a large number of teachers are required, mostly in a short time.
This has bad effects on the teaching profession, . . ., there quirements for
entering the teaching profession are reduced. As a result the image of teaching
profession is severely tarnished. The image of the teaching profession of
yesterday has gone.”.[14]
Dari
satu sisi, kita melihat banyak guru di kota-kota besar yang memiliki kompetensi
mengajar dan menjalankan tugas secara profesional. Namun di banyak tempat di
daerah dan pelosok-pelosok banyak tenaga pendidik yang rendah mutunya. Hal
tersebut menjadi salah satu sebab mengapa kualitas pendidikan kita rendah.
Rendahnya kualitas guru disebabkan oleh beberapa hal penting, seperti daerah
tertentu memang tidak memiliki guru yang sesuai, kualitas calon guru, dan
kualitas pendidikan di Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK).
Banyak
faktor mempengaruhi minat masuk dan menekuni profesi guru, termasuk insentif
gaji guru yang kurang, persepsi generasi muda terhadap profesi guru maupun
persepsi masyarakat terhadap status guru. Profesi guru di Indonesia dewasa ini
kurang menarik perhatian generasi muda yang potensial, kalaupun ada
ketertarikan menjadi pilihan kedua. Keadaan ini merupakan satu kemunduran atau
kehilangan, “a loss”, dalam kehidupan bangsa.
Mutu
guru yang memprihatinkan juga tergambar pada penguasaan materi kurikulum oleh
guru, dan kompetensi teknis guru yang tidak memadai. Banyak guru yang tidak
menguasai bahan ajar dan tidak menguasai metode dan strategi pembelajaran yang
baik. Untuk mengembalikan citra dan persepsi masyarakat terhadap profesi guru,
diperlukan berbagai usaha mengangkat kompetensi guru, termasuk memberikan
stimuli kepada generasi muda bangsa yang berpotensi untuk tertarik dan
menggeluti profesi ini. Dalam kondisi masyarakat moderen yang berorientasi pada
pemenuhan kesejahteraan, maka kedepan, penghargaan dengan rewards dan insentives
yang wajar menjadi alternatif solusi, di samping (untuk masa kini)
perwujudan standar kompetensi guru melalui mekanisme evaluasi kesiapan
(kelayakan) profesional perlu dilakukan.
Pengembangan
sistem pendidikan tenaga kependidikan didasarkan pada prinsip-prinsip SPTK-21,
yaitu : (1). Tuntutan profesi yang berdasarkan pada standar nasional dan
standar internasional tenaga kependidikan. (2) Pendidikan tenaga kependidikan
dilaksanakan oleh lembaga yang mendapatkan akreditasi. (3) Pendidikan
pra-jabatan (pre-service) adalah persyaratan untuk pengangkatan awal
seseorang dalam profesi guru dan tenaga kependidikan lain (non-guru). (4)
Pendidikan dalam jabatan (in-service) dilaksanakan oleh lembaga
pendidikan tenaga kependidikan yang berwenang, dan merupakan suatu kelanjutan
dari pendidikan pra-jabatan. (5) Penempatan mahasiswa pada program pendidikan
profesi guru dan tenaga kependidikan lain dapat dilakukan pada tahun pertama
(semasa=concurrent) setelah bersangkutan menyelesaikan program studi
kesarjanaan non-pendidikan bersinambungan. (6) Pengelolaan mata kuliah antara
program pendidikan dan non pendidikan dilakukan berdasarkan prinsip saling
membina. (7) Suasana belajar di LPTK kental dengan nilai edukatif, akademik,
dan religius sehingga membantu pembentukan kepribadian tenaga pendidikan
sebagaimana yang diharapkan. (8) Jaminan mutu tamatan program pendidikan tenaga
kependidikan, dilakukan melalui evaluasi secara berkala. (9) Penataan program
disesuaikan dengan kondisi & karakteristik setiap LPTK.[15]
Pengembangan
SPTK Abad Ke-21 memiliki harapan bahwa karakteristik pendidikan guru dan tenaga
kependidikan masa depan seperti : (1) Memiliki visi dan sikap profesi yang
dinamis, siap untuk mengembangkan diri, dievaluasi dan diakreditasi secara
teratur, serta siap memberikan pertanggung-jawaban profesional pada masyarakat
(akuntabilitas). (2) Kemampuan melaksanakan profesi. (3) Kemampuan
mengembangkan profesi. (4) Kemampuan berkomunikasi sesama pendidik, ahli, dan
masyarakat. (5) Penghargaan masyarakat terhadap profesi kependidikan. (6)
Kemampuan bersaing yang tinggi dan profesional. (7) Tidak ada perbedaan
kualifikasi antar jenjang pendidikan. (8) Penguasaan materi subjek yang menjadi
bidang spesialisasi. (9) Tenaga pengajar pada jenjang perguruan tinggi
dipersiapkan dengan pendidikan profesi untuk tugas yang akan dilaksanakannya.[16] Pembinaan dan pengembangan profesi guru sebagai suatu bidang
profesional, ke depan memerlukan kiat dan tatanan sistem keprofesian yang
jelas. Pengembangan profesional guru perlu mekanisme mencirikan
keprofesionalannya, misalnya pengembangan kerja kolaboratif pengajaran,
konsultasi dan in-service training serta up-grading kompetensi. Tak kalah
pentingnya adalah sistem penghargaan terhadap pekerjaan profesi, sistem promosi
dan gaji bagi tenaga guru merupakan isu yang turut menentukan kualitas guru.
5.
STANDAR SARANA DAN PRASARANA
Standar
sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga,
tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain,
tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi, serta fasilitas belajar-mengajar lainnya. Pemenuhan standar
pendidikan ini sangat tergantung pada alokasi pembiayaan pendidikan, tetapi
juga dari pihak masyarakat dan orang tua dari mereka yang mampu. Reformasi di
bidang pendidikan yang mengutamakan peningkatan mutu pendidikan, tentunya perlu
juga dibarengi dengan peningkatan kualitas sarana dan prasarana pendidikan yang
memadai. Standar sarana dan prasarana hendaknya memprioritaskan faktor jaminan
keselamatan belajar anak dan kemantapan daya dukung proses pembelajaran.
Persoalan
sarana dan prasarana pendidikan terkait erat pembiayaan pendidikan. Kemampuan
pemerintah dalam mendukung peningkatan sarana dan prasarana masih sangat
terbatas. Sementara kalangan masyarakat ada yang menagih ‘pendidikan bebas’.
Hal ini merupakan tantangan berat bagi BSNP dalam merumuskan standar indikator
pendidikan ini. Apalagi dalam kebijakan otonomi daerah, pembiayaan pendidikan
kurang menjadi perhatian para penguasa di daerah maka dampak negatif kemunduran
pendidikan akan menjadi ancaman baru.
Standar
sarana dan prasarana diwajibkan kepada setiap satuan pendidikan untuk pengadaan
dan pemeliharaannya. Hal ini menjadi tantangan bagi bagian terbesar satuan
pendidikan di tanah air. Penetapan standar aspek ini perlu menata sistem
pengadaan dan perawatannya dengan melibatkan pihak-pihak orang tua siswa dan
komunitas masyarakat di sekitar satuan pendidikan berada. Termasuk kewajiban
stakeholder, mendampingi pemerintah dalam mendukung dan menjamin tersedianya
fasilitas belajar yang layak bagi pendidikan.
Indikator-indikator
standar sarana dan prasarana hendaknya disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan
masing-masing satuan pendidikan. Namun persyaratan minimal sarana dan prasarana
yang mendukung proses belajar-mengajar berlangsung menjadi tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama.
6.
STANDAR PENGELOLAAN
Manajemen
pendidikan dalam SNP menata jenjang pengelolaan pendidikan dalam: standar
pengelolaan tingkat satuan pendidikan, standar pengelolaan oleh pemerintah
daerah, standar pengelolaan oleh pemerintah (pusat). Pembagian wewenang
pengelolaan pendidikan ini seiring dengan kiat desentralisasi pemerintahan yang
juga melibatkan pengelolaan pendidikan. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah (pasal 13 ayat 1: f) melimpahkan sebagian wewenang pengelolaan
pendidikan di daerah kepada pemerintahan daerah. Kebijakan ini memberikan
kesempatan kepada daerah mengelola dan mengembangkan sektor pendidikan sesuai
potensi dan kondisi masing-masing daerah.
Di
satu sisi, dapat memacu tumbuh berkembangnya dunia pendidikan nasional (untuk
daerah yang berkemampuan finansial dan SDM memadai), namun pada pihak lain
dapat berdampak semakin mundurnya mutu dan pengelolaan pendidikan di daerah
lain. Dengan demikian, dapat berakibat semakin lebarnya kesenjangan pendidikan
di antara sesama anak bangsa.
Granheim
mempertanyakan “Bagaimana bisanya pemerintah memanfaatkan evaluasi sebagai
pengendalian dan pengarah pendidikan, sementara itu usaha desentralisasi terus
digulirkan, baik aspek administrasi maupun konten pedagogik?”[17] Kaitan antara desentralisasi dan modernisasi pendidikan pada
dasarnya adalah usaha menembus birokrasi terpusat.
Manajemen
pendidikan yang baik dan optimal dibutuhkan untuk mendukung sinergisnya proses
pembelajaran merupakan pokok pengelolaan pada tingkat satuan pendidikan. Namun
kebutuhan daerah dan nasional juga menghendaki hubungan kerjasama demi
pemenuhan kebutuhan bersama. Persoalan dalam aspek pengelolaan pendidikan yang
dihadapi adalah kelambatan birokratis dan kurang jelasnya pola hubungan
interaksi antar tiap jenjang manajemen. Satuan pendidikan (sekolah) mempunyai
otonomi “semu” sebab manajemen yang dilakukan lebih banyak merupakan
implementasi kebijakan “top-down”.
Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) merupakan usaha mengembangkan otonomi pendidikan di
tingkat satuan pendidikan. Tetapi menjadi pertanyaan apakah ada demokrasi dan
independensi disitu? Yang jelas MBS merupakan kebijakan pusat. Namun
tanggung-jawab dan beban yang dilimpahkan bagi setiap satuan pendidikan semakin
besar. Pertanyaan sejauh manakah kesiapan di tingkat unit tersebut? Otonomi
daerah (termasuk otonomi pendidikan) merupakan kebijakan desentralisasi
manajemen pendidikan, yang menurut Drost, J., “sudah kebablasan”[18]
sehingga
mematikan perkembangan-perkembangan baru dari Jakarta dan merugikan sekolah
swasta. Otonomi daerah dan otonomi pendidikan atau desentralisasi dapat
berdampak pada: Apa yang dilaksanakan di Jakarta akan semakin jauh dan berbeda
dengan yang dilakukan di daerah.
7.
STANDAR PEMBIAYAAN
Kinerja
pendidikan akan buruk jika tidak diimbangi dengan anggaran yang memadai.
Kehidupan moderen masyarakat global, harus mengalami realitas bahwa “pendidikan
itu mahal”. Para pemimpin negara ini sebenarnya menyadari bahwa anggaran
pendidikan itu penting, mereka tahu bahwa masa depan bangsa sangat tergantung
pada mutu pendidikan. Namun, pengetahuan dan kesadaran pentingnya dana
pendidikan itu, menurut Munawar Soleh, “tidak diimbangi dengan komitmen dan
disiplin memadai.”[19]
Pembiayaan
pendidikan dapat berupa biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal.
Beban Pemerintah untuk mengongkosi pendidikan anak bangsa menurut aturan UU
sangat besar dan saat ini belum dapat terpenuhi. Hasil perhitungan menurut
Mendiknas, setiap SD/MI rata-rata 43 juta setahun dan SMP rata-rata 183 juta
rupiah per tahun, dan sangat tergantung pada persetujuan DPR. Kebijakan ini,
oleh kalangan DPR perlu diluruskan untuk menghindari muncul persoalan di
kemudian hari. Standar biaya pelayanan minimal harus terpenuhi (apa saja yang
secara mendasar harus dibiayai pemerintah?) sebagai kewajiban pemerintah
memenuhi tuntutan konstitusi.[20]
Pembiayaan
pendidikan yang diusahakan pemerintah masih terbatas pada bantuan biaya
investasi penyediaan sarana dan fasilitas serta peralatan pendidikan, serta
biaya operasional penyelenggaraan pendidikan yang mendukung terselenggaranya
proses pembelajaran yang baik dan berhasil. Satu faktor penting yang terlewati
atau “dilupakan” atau “belum terjangkau” adalah biaya personal yang langsung
dapat menjamin kesiapan peserta didik untuk terlibat dalam aktivitas
pembelajaran. Kesiapan belajar siswa tergantung pada kesiapan fisik dan mental,
kemudian pada kesiapan alat pendukung instruksional.
Pembiayaan
pendidikan ke depan perlu mempertimbangkan prioritas kebutuhan yang berbasis
pada penciptaan kondisi kesiapan anak untuk belajar. Analisis standar pembiayaan
pendidikan sewajarnya melibatkan ketiga macam pembiayaan pendidikan. Alokasi
dana pendidikan pemerintah hendaknya memperhatikan kebutuhan standar minimal
per peserta didik, di samping prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan.
Kebijakan dan kemampuan pemerintah dalam hal pembiayaan terbatas pada dukungan
biaya operasional penyelenggaraan pendidikan yang banyak terdapat “kebocoran”,
gaji guru dan tenaga kependidikan yang belum memadai, mempengaruhi pencapaian
mutu.
8.
STANDAR PENILAIAN PENDIDIKAN:
EVALUASI, AKREDITASI, SERTIFIKASI, PENJAMINAN MUTU
Penilaian
pendidikan meliputi penilaian hasil belajar oleh pendidik, oleh satuan
pendidikan, oleh pemerintah, dan kelulusan. Evaluasi merupakan satu upaya dalam
meningkatkan kualitas. Pelaksanaan evaluasi oleh guru lebih tepat jika
dilakukan untuk membantu peserta didik belajar, atau oleh pihak sekolah untuk
menjelaskan dengan benar pencapaian hasil belajar siswa.
Penilaian
kelas sebagai proses pengumpulan data dan penggunaan informasi oleh guru untuk
memberikan keputusan, dalam hal ini nilai terhadap hasil belajar peserta didik
berdasarkan tahapan belajarnya. Penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai
cara seperti tes tertulis (paper and pencil test), porto folio
(penilaian hasil kerja melalui kumpulan hasil karya, penilaian produk,
penilaian proyek, dan penilaian unjuk kerja (performance). Pusat
Kurikulum Balitbang Depdiknas menyajikan pedoman penilaian kelas dengan
teknik-teknik penilaian: unjuk kerja, sikap, tertulis, proyek, produk, dan
portfolio serta penilaian diri sebagai acuan guru dalam pelaksanaan penilaian.[21]
Apabila
sistem ini diberlakukan seutuhnya oleh guru dalam kegiatan pembelajaran, maka
konsekuensi yang harus dihadapi adalah guru dituntut untuk semakin profesional
dalam menjalankan tugas. Apakah guru-guru kita semua siap untuk ini? Beban kerja
guru semakin berat. Beban kerja perlu dianalisis menurut jenis kegiatan
perencanaan dan proses pembelajaran serta tugas evaluasi yang harus dikerjakan
ditinjau dari waktu yang harus diluangkan guru. Dan pada akhir tugas evaluasi
guru harus menetapkan nilai siswa untuk tujuan-tujuan yang relevan.
Penilaian
pendidikan berfungsi sebagai barometer mutu pendidikan nasional digunakan
sebagai dasar perbaikan dan untuk reformasi pendidikan dari keterbatasan dan
kelemahannya. Penyelenggaraan evaluasi pendidikan bukan hanya untuk mencari
tahu kemajuan belajar peserta didik, tapi untuk menyajikan konfirmasi validasi
eksternal terhadap kecurigaan rendahnya mutu. Pemanfaatan hasil tes untuk
inferensi kualitas pendidikan membutuhkan kehati-hatian pertimbangan, sebab di
samping ada konsekuensi terhadap kebijakan, para penentu kebijakan sangat
tergantung pada hasil penilaian dalam usaha mendukung dan meningkatkan praksis
pendidikan.
Penilaian
pendidikan digunakan juga sebagai instrumen reformasi yang sejauh ini terpercaya.
Robert Linn menyatakan bahwa Fungsi utama sistem standar asesmen nasional
melalui ujian nasional adalah tujuannya sebagai penggerak motivasi. Ujian
menantang siswa dan guru untuk melakukan yang terbaik, membuka peluang baru
bagi siswa, dan merangsang peningkatan mutu sekolah.[22]
Ujian
Nasional merupakan satu-satunya instrumen yang berfungsi mengukur indikator
pendidikan standar secara nasional oleh pemerintah atau lembaga independen. Hal
ini dibutuhkan sebagai alat pengendali mutu pendidikan bangsa Indonesia. Taraf
kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa juga diukur oleh indeks indikator
pendidikan. Indeks indikator pendidikan menurut Bryk & Hermanson “indicators
are promoted as efficacious instruments with which to monitor educational
system, evaluate its programs, diagnose its troubles, guide policy formulation,
and hold school personnel accountable for the results”.[23]
Tujuan
penilaian adalah agar peserta didik terbantu dengan informasi terukur,
menyangkut baik kemampuan dan kelemahannya terhadap taraf pencapaian tujuan
belajar. Melaksanakan evaluasi, menentukan nilai siswa merupakan pekerjaan guru
yang paling berat. Nilai siswa berguna dalam berbagai hal, bahkan punya
implikasi bagi masa depan. Mochtar Buchory mengatakan “Test-score
manipulation damages students’ future”[24]. Manipulasi nilai/skor tes merupakan praktek yang telah lama
berlangsung pada persekolahan di Indonesia, bukan untuk tujuan tambahan uang
tetapi karena adanya perbedaan persepsi guru terhadap kemampuan anak-anak
didiknya. Menetapkan nilai hasil belajar merupakan pekerjaan berat yang tak
dapat disepelekan oleh guru.
Munawar
Soleh mengemukanan :“Salah satu jalan untuk mendongkrak mutu pendidikan
nasional ke arah yang lebih baik, diperlukan keberanian untuk mengambil
kebijakan strategis dan perubahan cara pandang yang terlalu formal. Salah
satunya adalah dengan membenahi sistem ujian sekaligus. Untuk mengevaluasi
kelulusan di tengah tingginya disparitas kualitas pendidikan dapat ditempuh
jalan lain. Salah satunya dengan membuat semacam rumpun sekolah atau jaringan
sekolah dan lembaga independen lain yang mengkaji mengenai mutu dan syarat
kelulusan”.[25]
Evaluasi
kinerja pendidikan, baik proses, output, institusi penyelengara yang dilakukan
berorientasi pada akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan perlu dilakukan oleh
satuan pendidikan melalui evaluasi diri, atau lembaga evaluasi mandiri.
Evaluasi terhadap pengelolaan pendidikan perlu dilakukan secara periodik sesuai
kebutuhan, dan perlu mempertimbangkan komponen input, proses, dan output.
Akreditasi
dan Sertifikasi dilaksanakan bagi setiap jenjang dan satuan pendidikan
diperlukan sebagai akuntabilitas publik yang objektif, adil, terpercaya,
transparan. Mekanisme dan prosedur akreditasi dan sertifikasi memerlukan
instrumen yang valid dan terpercaya untuk memberikan jaminan akuntabilitas
publik terhadap prosedur justifikasi, kualifikasi yang baik dan adil. Persoalan
terkait standar akreditasi dan sertifikasi sangat dibutuhkan sebagai alat
kontrol sistem pendidikan menghadapi persoalan maraknya ijazah palsu maupun
pemanfaatan ijazah dan referensi hasil akreditasi yang kurang mendapat
tanggapan yang baik dari masyarakat. Sistem akreditasi dan sertifikasi perlu
diarahkan objektivitas yang valid guna membangun sistem dan nilai masyarakat
secara adil.
C.
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Kualitas
SDM ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Pendidikan merupakan salah satu
bentuk investasi modal manusia (human investment) yang jika dikelola
dengan benar akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan manusia itu sendiri.
Di Indonesia, persoalan pendidikan sangat kompleks. Ada 3 aspek persoalan
pendidikan di Indonesia yaitu aspek: mutu pendidikan, pemerataan pendidikan dan
manajemennya. Dari aspek mutu pendidikan, beberapa indikator penting yang
sangat mempengaruhi adalah kurikulum, konten pendidikan, proses pembelajaran
dan evaluasi, mutu guru, sarana dan prasarana pendidikan, serta buku. Di tengah
bentangan masalah pendidikan yang kompleks ini, pemerintah menetapkan PP No.
19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP). BSNP adalah badan mandiri dan independen bertugas
mengembangkan dan memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi SNP.
Berdasarkan
PP No. 19/2005 tentang SNP meliputi standar: 1) isi kurikulum, 2) Proses, 3)
Kompetensi Lulusan, 4) Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 5) Sarana dan
Prasarana, 6) Pengelolaan, 7) Pembiayaan, dan 8) Standar Penilaian Pendidikan:
Evaluasi, Akreditasi, Sertifikasi, Penjaminan Mutu. Standar isi mencakup
lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk mencapai kompetensi lulusan pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Proses pendidikan merupakan kunci
berlangsungnya proses belajar, dimana program pendidikan diimplementasikan.
Mutu
pendidikan turut ditentukan dan diukur melalui kualitas lulusan yang dihasilkan
oleh institusi pendidikan tertentu, dan kualitas lembaga pendidikan sebaliknya
dinilai pula dari kualitas lulusan yang dihasilkannya. Guru adalah tenaga
pendidik, merupakan satu keahlian profesional yang berkompetensi dalam bidang
pendidikan. Dalam proses globalisasi dimana perubahan terjadi sangat pesat guru
dituntut untuk senantiasa menyesuaikan kompetensinya dengan perkembangan
tersebut.
Standar
sarana dan prasarana pendidikan mencakup ruang belajar, tempat berolahraga,
tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain,
tempat berkreasi dan berekreasi, dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk
menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi, serta fasilitas belajar-mengajar lainnya.
Manajemen
pendidikan dalam SNP menata jenjang pengelolaan pendidikan dalam: standar
pengelolaan tingkat satuan pendidikan, standar pengelolaan oleh pemerintah
daerah, standar pengelolaan oleh pemerintah (pusat). Pembiayaan pendidikan
dapat berupa biaya investasi, biaya operasi dan biaya personal. Beban
Pemerintah untuk mengongkosi pendidikan anak bangsa menurut aturan UU sangat
besar dan saat ini belum dapat terpenuhi. Penilaian pendidikan berfungsi
sebagai barometer mutu pendidikan nasional digunakan sebagai dasar perbaikan
dan untuk reformasi pendidikan dari keterbatasan dan kelemahannya.
b.
Kritik dan Saran
Penulis
menyadari ada banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu
diperlukan kritik dan saran yang membangun demi menjadikan diri lebih baik
lagi, karena manusia tidak ada yang sempurna, kesempurnaan hanyalah milik
Allah, Tuhan semesta alam.
[1] James W.
Guthrie, Educational Research and Politics, Education Digest, 1991, Vol. 56,
Issue 6. Hal. 306
[4] Kompas, 17 Mei 2005 : PP BNSP Akhirnya ditandatangani Presiden,
Kumaniora, hal 9. Lihat juga Draft Final : RPP SNP, Balitbang-Depdiknas, 2005.
[5] Tuckman B.W., Evaluating Instructional Programs, 2nd ed.,
(Bacon & Allyn, Newton, 1985). Hal. 228.
[6] Klein M.F., The Politics of Curriculum Decision-Making : Issues
in Centralizing the Curriculum, (SUNY Press, 1991, Albany) - (AERA, EEPA,
Vol.14, #1, 1992), hal. 89.
[7] Bowman, B. (1993). Early childhood education. In L.
Darling-Hammond (Ed.), Review of research in education, Vol. 19. Washington DC:
American Educational Research Association. Hal. 118.
[8] Gehrke, N.J.
& N. Romerdahl : Teacher leaders: Making a difference in schools
(West Lafayette, Indiana: Kappa Delta Pi. 1997) hal. 99.
[9] Bryk dan Hermanson, Review of Research in Education : Educational
Indicator System, Vol. 19, Washington, 1993, hal. 455.
[17] Granheim, M. Kogan, & U.
P. Lundgren (Eds), Evaluation as policymaking, (London: Jessica Kinsley,
1990). Hal. 56.
[19] Munawar, Soleh, Politik Pendidikan : Membangun SDM dengan
Peningkatan Kualitas Pendidikan, (Grafindo: Jakarta, 2005), hal. 117.
[21] Balitbang,
Isu-isu Pendidikan diIndonesia, Triwulan Kedua :Peningkatan Mutu Pendidikan
Melalui MBS, Chamidi, S.I., Jakarta, 2004.
[22] Baker, E. L.,
O'Neil, H. F. , Jr., & Linn, R. L. (1993). Policy and validity prospects
for performance-based assessment. American Psychologist, 48,
1210-1218, hal. 4.
[23] AERA, Review of Educational Research: Validity in Educational
Measurement, Vol. 19, Washington, 1993, hal. 452.
No comments:
Post a Comment