STRATEGI
MEMBANGUN BUDAYA MUTU
DALAM SEKTOR
PENDIDIKAN
Oleh :
Anis Jamil Mahdi (16771008)
Mahasiswa Prodi
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan usaha sadar
yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk mendewasakan anak,
menstranformasi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sikap agar
kehidupannya berubah menjadi lebih baik. Kata kunci dalam pendidikan adalah
perubahan (changes) dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu
menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi terampil, dari berkinerja tidak baik
menjadi lebih baik, dan sebagainya. Sementara secara umum, pendidikan menghasilkan
pengetahuan, pemhaman, keterampilan, nilai-nilai sikap yang lumrah
dikatagorikan menjadi kognitif, afektif dan psikomotorik.[1]
Hal semacam ini juga didasarkan pada
amanat Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003 yang menyatakan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Dari penjelasan sebagaimana diatas dapat diformulasikan bahwasannya
pendidikan itu mengandung beberapa komponen penting, yaitu: (1) perubahan, (2),
pengetahuan, dan (3) keterampilan. Perubahan yang dimaksud disini adalah
perubahan dalam aspek kepribadian seseorang, bagaimana pendidikan ini mampu
membentuk dan membangu karakter insani yang berkualitas tinggi (makari
al-Akhlak). Pengetahuan yang dimaksud adalah dalam aspek pemahaman, sementara
yang dimaksud ketarampilan, disini adalah memiliki karya yang bermanfaat bagi
bangsa masyarakat, agama dan negara.
Pendidikan dinegara ini telah banyak mengalamai beberapa kali
perubahan, hal itu berkaitan dengan perubahan kebijakan yang ditawarkan oleh
pemerintah. Reformasi bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke 20 M,
misalnya, telah membawa perubahan besar
pada kebijakan pengembangan sektor pendidikan, yang secara umum bertumpu pada
paradigma otonomisasi dan demokratisasi pendidikan. Dinyatakan dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah bahwa sektor
pendidikan merupakan salah satu yang diotonomisasikan sebagaimana sektor-sektor
pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya. Otonomisasi dimaksud selanjutnya
didorong pada madrasah (sekolah) agar kepala madrasah dan guru memiliki
tanggung jawab besar dalam pengembangan mutu madrasah dan peningkatan mutu
proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Tinggi dan
rendahnya mutu hasil belajar peserta didik menjadi tanggung jawab guru dan
kepala madrasah sebagai manajerial, karena pemerintah daerah hanya
memfasilitasi berbagai aktivitas pendidikan, baik sarana maupun berbagai
program pembelajaran yang direncanakan madrasah. Dalam konteks peningkatan mutu
ini kepala madrasah di samping ber itra dengan pemerintah daerah juga
berkerjasama dengan masyarakat (komite madrasah) untuk membahas program
madrasah dengan para stakeholder dan user ini. Di sin lah kepala madrasah dapat
bertanya dan sekaligus mempertanggungjawabkan berbagai apek dan pelaksanaan
programnya pada stakeholder madrasah tersebut. Untuk lebih m libatkan
masyarakat.[3]
Untuk lebih melibatkan masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan
ini, pemerintah selanjutnya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional; di mana salah satu isu penting dalam
undang-unadang dimaksud adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan sector
pendidikan. Ditegaskan lebih jauh dalam pasal 9 undangundang tersebut bahwa
masyarakat berhak untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan guna lebih meningkatan mutu
pendidikan secara umum.[4]
Orientasi mutu dalam kehidupan pembangunan di Indonesia merupakan
sesuatu yang sangat urgen, harus didukung dan dikembangkan dalam rangka
merespon kecenderungan persaingan global. Imbasnya terjadi pada bidang
pendidikan dengan munculnya sejumlah penelitian dalam mutu pendidikan. Mutu
merupakan hasil karya dan budidaya manusia karena itu perkara yang mendasar adalah
persoalan bagaimana transformasi nilai-nilai yang ada di dalamnya dilaksanakan.
Transformasi nilai mutu hanya mungkin dilaksanakan dalam konteks social pada
unit-unit terdepan pendidikan, yakni madrasah (sekolah). Dalam konteks ini
tranformasi nilai mutu oleh kepemimpinan pendidikan perlu dipersoalkan.
Sistem nilai mutu merupakan sistem budaya mutu yang berkembang
dalam interaksi sosial di antara orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan
pendidikan baik dalam proses edukatif maupun pengelolaan. Kepemimpinan dalam
sektor pendidikan dipandang sebagai hal strategis dalam upaya mengembangkan
mutu, yaitu membinan tenaga kependidikan menjadi sadar mutu dengan wujud
perilaku sadar mutu.
Semua upaya pengembangan dan peningkatan mutu dimaksud sangat
disadari akan sulit terwujud – tidak akan efektif – untuk membawa perubahan
tanpa didukung dengan pola pengelolaan lembaga pendidikan yang sesuai. Oleh
sebab itulahmodel manajemen yang harus dikembangkan dalam konteks pengembangan
mutu sektor pendidikan dimaksud adalah manajemen yang demokratis, yang
memperbesar pelibatan teamwork dalam proses pengambilan putusan, perencanaan
program, pendistribusian tugas dan wewenang, serta perubahan paradigma dalam
menilai produktivitas kerja setiap unsur dalam organisasi madrasah, dengan
orientasi kepuasaan pelanggan.
Gagasan budaya mutu ini dapat diawali dari partisipasi masyarakat
dalam pendidikan yang bukan hanya dalam konteks retribusi uang sumbangan
pendidikan, tetapi merambah ke dalam pembahasan dan kajian untuk mengindentifikasi
berbagai permintaan stakeholder dan user madrasah tentang kompetensi peserta
didik yang akan dihasilkannya, sehingga akan memperkaya substansi kurikulum
serta menuntut kreativitas dan dinamika pengelolaan madrasah agar dapat
melayani permintaan-permintaan tersebut, dengan tetap berpijak pada
perkembangan psikologis peserta didik serta kemampuan madrasah dalam memberikan
layanan pada para pemakainya tersebut.
Selanjutnya gagasan budaya mutu ini juga dikembangkan dengan sebuah
paradigma baru tentang pelibatan peserta didik dalam proses pembelajaran, yang
tidak sekedar membuat mereka aktif dalam proses pembelajarannya, tapi mereka
juga diberi kesempatan dalam menentukan aktivitas belajar yang akan mereka
lakukan, bersama-sama dengan guru mereka, sehingga muaranya para peserta didik
belajar dalam suasan yang menyenangkan, dinamis dan penuh keceriaan karena
kondisi yang tercipta memang bernuansa aspiratif dan sesuai dengan permintaan
para peserta didik. Proses pembelajaran di dalam kelas senantiasa memberikan
perhatian pada aspirasi peserta didik, tidak mengabaikan mereka yang lamban
dalam proses pemahaman, dan tidak merugikan mereka yang cepat dalam pemahaman
bahan ajar. Peserta didik memperoleh pelayanan yang proporsional, dan semua
harus bermuara pada batas minimal pencapaian kompetensi sesuai angka yang
ditetapkan bersama dalam koridor mastery learning.[5]
Isu tentang peningkatan mutu dan pengembangan budaya mutu sector
pendidikan ini mencuat kepermukaan tidak hanya dalam jalur pendidikan umum,
namun pada semua jalur dan jenjang pendidikan. Bahkan menurut Rosyada upaya
advokasi untuk jalur pendidikan di Indonesia yang dikelola oleh beberapa
departemen teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang tidak hanya
disuarakan oleh departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan
tersebut, tetapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam
pembangunan sektor pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis, jalur,
dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap
rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Karena sejatinya kelemahan proses
dan hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan mempengaruhi indeks
keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.[6]
Pembinaan sumber daya manusia Indonesia harus menjadi prioritas
utama sektor pendidikan di Indonesia. Sebab lemahnya sumber daya manusia hasil
pendidikan mengakibatkan lemahnya Indonesia bangkit dari keterpurukan sektor
lainnya seperti dalam sector ekonomi. Sebagaimana disinyalir Priatmoko bahwa
pendidikan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui
peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dikatakan lebih lanjut oleh Priatmoko[7]bahwa hal ini dapat diamati pada negara Jepang, di mana kemajuan
ekonomi yang didapatnya sekarang tak lepas dari peranan pendidikan. Sistem
pendidikan Jepang yang baik telah menghasilkan manusia-manusia berkualitas
sehingga walaupun hancur setelah kekalahan dalam Perang Dunia II, Jepang mampu
bangkit cepat dan maju serta dapat bersaing dengan negara yang mengalahkannya
dalam peperangan. Hal demikian juga dapat dilihat pada Negara Asia lainnya
seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, ataupun Singapura yang memperlihatkan
bahwa kemajuan ekonomi yang mereka dapatkan adalah karena tingginya kualitas
SDM-nya. Fenomena ini sangat berbedadengan Indonesia yang ternyata tertinggal
jauh dalam kualitas sumber daya manusia yang salah satu penyebab ketertinggalan
tersebut adalah akibat dari kekeliruan dalam pembangunan yang berjalan cukup
lama pada masa Orde Baru yang menekankan pada pembangunan fisik dan kurang
serius dalam pembinaan sumber daya manusia yang mestinya lebih difokuskan dalam
peningkatan mutu pendidikan.
Indikator rendahnya mutu pendidikan menurut Priatmoko[8]dapat diamati pada prestasi prestasi peserta didik. Dalam skala
internasional, menurut Laporan Bank Dunia tahun 1992, studi IEA (International
Association for the Evaluation of Education Achievement) di Asia Timur
memperlihatkan bahwa keterampilan membaca peserta didik kelas IV SD berada pada
level terendah. Gambaran rata-rata skor tes membaca untuk peserta didik SD
adalah sebagai berikut : 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand),
52,6 (Filipina), 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu
menguasai 30% dari materi bacaan dan mereka kesulitan menjawab soal-soal
berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Demikian juga dalam dunia
pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai
di Asia Pasifik ternyata empat universitas terbaik Indonesia hanya mampu
menempati peringkat ke-61, ke-68, ke- 73, dan ke-75. Indikator lain yang
menunjukkan betapa kurang bermutunya pendidikan di Indonesia adalah peringkat
Indeks Pengembangan Manusia (Human Developmental Index), yakni komposisi dari
peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang
menunjukkan bahwa indeks p ngembangan manusia Indonesia makin menurun. Dari
data UNESCO tahun 2000, di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati
urutan ke 102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke- 105 tahun 1998, dan ke-109
tahun 1999, serta menurun ke urutan 112 pada tahun 2000. Bahkan hasil survai
Political and Economic Risk Consultant (PERC) mengatakan bahwa kualitas
pendidikan di Indonesia berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Dari deskripsi fakta di atas jelas bahwa gagasan tentang
pengembangan budaya mutu madrasah dalam konteks pendidikandi Indonesia menjadi
sangat relevan, khususnya dalam konteks peningkatan mutu pada jenjang
pendidikan dasar, dimana sudah dikemukakan sebelumnya bahwa perbaikan dan
peningkatan mutu pendidikan adalah di semua jenjang dan jalur, dengan perbaikan
komprehensif yang meliputi perbaikan perencanaan, proses pembelajaran, dukungan
alat dan sarana pembelajaran, serta perbaikan manajemen yang bermuara pada
perbaikan pada hasil pendidikan.
Sosialisasi budaya mutu adalah pokok permasalahan yang dapat dipicu
dan dibangkitkan oleh kepala tiap-tiap sektor pendidikan, lingkungan
pendidikan, dan tenaga kependidikan yang ada di sektor pendidikan. Aspek
lingkungan merupakan kompleksitas dari pekerjaan, fisik, sosial, tradisi,
ekonomi, dan birokrasi. Aspek tenaga kependidikan diharapkan menjadi sadar mutu
yang bermuara pada terimplementasinya nilai mutu ke dalam sikap dan
tindakannya. Aspek pemicu dan pendorong utama adalah kepemimpinan kepala
madrasah yang diliput dari nilai-nilai mutu yang dikembangkan, pola interaksi
kepemimpinan dalam mengembangkan nilai mutu, dan nilai-nilai budaya yang
dikembangkan, serta bidang tugas kepemimpinan yang diarahkan dalam
mengembangkan mutu. Untuk merealisasikan itu semua maka diperlukan adanya
strategi yang jitu. Oleh sebab itu maka pemakalah akan mencoba untuk
menguraikannya secara gamblang tentang Strategi Membangun Budaya Mutu
Dalam Sektor Pendidikan.
2.
Rumusan Masalah
Maka dari apa yang telah dipaparkan diatas sesuai dengan data fakta
yang ada, disini penulis menemukan beberapa masalah yang dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Apa
yang dimaksud dengan Strategi membangun Budaya Mutu dalam Sektor Pendidikan?
2.
Bagaimanakah
Strategi Membangun Budaya Mutu Dalam Sektor Pendidikan?
B.
PEMBAHASAN
1.
Istilah Strategi Budaya Mutu
2.
Pengertian Strategi dan Tahapan Strategi
a.
Pengertian Strategi
Secara etimologi adalah turunan dari kata dalam bahasa Yunani,
strategos. Adapun strategos dapat diterjemahkan sebagai “komandan militer” pada
zaman demokrasi Athena.[9]Pada mulanya istilah strategi digunakan dalam dunia militer yang
diartikan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan
suatu peperangan.
Sementara yang dimaksud strategi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi
memiliki empat ari yaitu: (1) ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya
bangsa - bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dl perang dan damai;
(2) ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dl perang, dl
kondisi yg menguntungkan: sbg komandan ia memang menguasai betul seorang
perwira di medan perang; (3) rencana yg cermat mengenai kegiatan untuk mencapai
sasaran khusus; (4) tempat yg baik.[10]
Sedangkan secara terminologi banyak ahli telah mengemukakan
definisi strategi dengan sudut pandang yang berbeda-beda namun pada dasarnya
kesemuanya itu mempunyai arti atau makna yang sama yakni pencapaian tujuan
secara efektif dan efisien, diantara para ahli yang merumuskan tentang definisi
strategi tersebut salah satu proses dimana untuk mencapai suatu tujuan dan
berorientasi pada masa depan untuk berinteraksi pada suatu persaingan guna
mencapai sasaran.
Menurut David Hunger dan Thomas L. Wheelen, strategi adalah
serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja
perusahaan dalam jangka panjang. Manajemen strategi meliputi pengamatan
lingkungan, perumusan strategi (perencanaan strategis atau perencanaan jangka
panjang). Implementasi strategi dan evaluasi serta pengendalian.[11]Sedangkan strategi menurut Anwar Arifin adalah keseluruhan kepuasan
kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan.[12]
John A. Byrne mendefinisikan strategi adalah sebagai sebuah pola
yang mendasar dari sasaran yang berjalan dan yang direncanakan, penyebaran
sumber daya dan interaksi organisasi dengan pasar, pesaing, dan faktor-faktor
lingkungan.[13]Dua pakar strategi yaiu Hamel dan Prahalad (1995), mendefinisikan
strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat)
dan terus menerus serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang
diharapkan oleh para pelanggan di masa depan.[14]
Dengan melihat beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
strategi adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui menuju target yang
diinginkan. Strategi yang baik akan memberikan gambaran tindakan utama dan pola
keputusan yang akan dipilih untuk mewujudkan tujuan organisasi. Strategi juga
sebagai perumusan visi dan misi suatu organisasi atau perusahaan.Ukuran
keberhasilan dalam menerapkan strategi adalah mampu memberikan kepuasan kepada
para pelanggan.Jadi, semakin banyak pelanggan yang menerima produk atau jasa
yang ditawarkan, maka semakin puas dan strategi pun dianggap berhasil.
George L. Morrisey dalam bukunya “A Guide to Strategic Thinking
Your Planning Foundation” sebagaimana dikutip Muhammad Rais[15] mengemukakan konsep triple P. Selanjutnya, Rais, menjelaskan
bahwasannya Triple P merupakan perspective mengarah kepada pemikirab
strategis, posisi mengarah kepada perencanaan jangka panjang, sedangkan
mengarah kepada perencanaan taktis. Pemikiran strategis dapat dikelompokkan
menjadi pemikiran strategis individual[16] dan pemikiran strategis organisional[17].
b.
Tahap-tahapan Strategi
1)
Perumusan
a)
Menjelaskan
tahap pertama darifaktor yang mencakup analisis lingkungan intern maupun ekstern
adalah penetapan visi dan misi, perencanaan dan tujuan strategi.[18]
b)
Perumusan
strategi merupakan proses penyusunan langkah-langkah ke depan yang maksudkan
untuk membangun visi dan misinya, merupakan tujuan strategi serta merancang
strategi untuk mencapai tujuan tersebut dalam rangka menyediakan customer value
terbaik.[19]
c)
Identifikasi
lingkungan yang akan dimasuki oleh pemimpin. Tentukan misi untuk mencapai visi
yang dicita-citakan dalam lingkungan tersebut.
d)
Lakukan
analisis lingkungan intern dan ekstern untuk mengukur kekuatan dan kelemahan
serta peluang dan ancaman yang akan dihadapi.
e)
Tentukan
tujuan dan target
f)
Dalam
tahap strategi di atas, seorang pemimpin memulai dengan menentukan visinya
ingin menjadi apa di masa datang dalam lingkungan terpilih dan misi apa yang
harus ditunaikan atau dilakukan sekarang untuk mencapai cita-cita tersebut.
2)
Pelaksanaan
a)
Setelah
tahap perumusan strategi diselesaikan maka berikutnya yang merupakan tahap
krusial dalam strategi perusahaan adalah tentang pelaksanaan strategi.
b)
Pelaksanaan
strategi adalah proses dimana strategi dan kebijaksanaan dijalankan melalui
pembangunan struktur, pengembangan program, budget dan prosedur pelaksanaan.
Pelaksanaan strategi merupakan tahap yang paling sulit dalam proses strategi
mengingat banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan di lapangan
dan mungkin tidak sesuai dengan perkiraan semula. Strategi yang berhasil harus
didukung perusahaan yang capable dengan seorang pemimpin yang solid, alokasi
sumber daya yang cukup, kebijaksanaan yang tepat, budaya, situasi dan kondisi
terhadap keberhasilan pelaksanaan strategi.
3.
Pengertian Budaya Mutu
a.
Pengertian Budaya
Menurut kamus besar bahasa Indonesia budaya (1) pikiran; akal budi:
hasil ; (2) adat istiadat: menyelidiki bahasa dan –(3) sesuatu mengenai
kebudayaan yg sudah berkembang (beradab, maju) (4) sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg sudah
sukar diubah[20]
Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli salah satu
diantaranya adalah tokoh terkenal Indonesia yaitu Koentjaraningrat.[21] Menurut Koentjaraningrat kebudayaan dengan kata dasar budaya
berasal dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai
“daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah
hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.
Koentjaraningrat menerangkan bahwa pada dasarnya banyak yang
membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan perkembangan
majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi. Pada kajian Antropologi, budaya
dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan yang tidak ada perbedaan dari
definsi. Jadi kebudayaan atau disingkat budaya, menurut Koentjaraningrat
merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Untuk lebih jelasnya mengenai hal diatas, Koentjaraningrat
membedakan adanya tiga wujud dari kebudayaan yaitu: (1) Wujud kebudayaan
sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya. (2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
serta tindakan berpola dari manusia dalam suatu masyrakat. (3) Wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia.[22]
Lebih lanjut, Taylor dalam Liliweri (2002: 62) mendefinisikan
kebudayaan tersusun oleh kategori-kategori kesamaan gejala umum yang disebut
adat istiadat yang mencakup teknologi, pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, estetika, rekreasional dan kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan
kata lain, kebudayaan mencakup semua yang didapatkan atau dipelajari oleh
manusia sebagai anggota masyarakat.
Maka yang dimaksud dengan budaya adalah pekerjaan, pemikiran, atau
apapun yang muncul dari seseorang secara kolektif dalam masyarakat sosial yang
dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi sebuah kebiasaan pada suatu
masyarakat, yang kemudian pada akhirnya menjadi sebuah nilai.
Kata “budaya” sangat umum dipergunakan dalam bahasa sehari-hari.
Paling sering budaya dikaitkan dengan pengertian ras, bangsa, atau etnis. Kata
budaya kadang kala dikaitkan dengan seni, music, tradisi-ritual, ataupun
peninggalan-peninggalan masa lalu. Di dalam kamus Oxford budaya lebih dilihat
sebagai seni dan semua hasil prestasi intelektual manusia yang dilakukan secara
kolektif. Kata budaya digunakan dalam berbagai diskursus dan ini diakui karena
luasnya aspek kehidupan yang disentuh. Berry12 mendeskripsikan budaya dalam
delapan kategori aktivitas kehidupan, yaitu (1) karakteristik umum; (2) makanan
dan pakaian; (3) rumah dan teknologi; (4) ekonomi dan transportasi; (5)
aktivitas individual dan keluarga; (6) komunitas dan pemerintahan; (7)
kesejahteraan, religi, dan ilmu pengetahuan; dan (8) seks dan lingkaran
kehidupan.[23]
Kategorisasi di atas memperlihatkan betapa kompleksnya budaya
sebagai sebuah konsep. Budaya menyentuh semua aspek hidup dan kehidupan.
Dikatakan Drennan dalam Sanusi[24], budaya merupakan how things are done around here. Dalam
perspektif lebih luas budaya merupakan totalitas kehidupan manusia, mencukup
unsur jasmaniah dan rohaniah.Koentjaraningrat[25]memformulasikan budaya (kebudayaan) yang mencakupkeseluruhan dari
(1) gagasan; (2) kelakuan; dan (3) hasil-hasil kelakuan. Definisi ini
menggambarkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikiran manusia, yang
dilakukan dan dihasilkanoleh kelakuan manusia adalah kebudayaan, budaya sebagai
konstruk kata benda. Dengan demikian di sini kebudayaan diyakini sebagai
produk, baik itu berupa gagasan ataupun sudah berwujud suatu perilaku tampak
maupun material. Bahkan lebih dari sekedar suatu produk yang masif melainkan
hidup dinamis dan menjadi bagian internal tak terpisahkan dari manusia.
Uraian di atas membuktikan bahwa budaya adalah sebuah konsep yang
sangat kompleks, yang menyentuh semua aspek kehidupan sehingga mungkin menjadi
kehidupan itu sendiri. Setiap budaya tampaknya juga memahami apa arti budaya
dengan cara pandang yang tidak selalu sama, sangat tergantung dari aspek yang menjadi
penekanan dalam budaya tersebut. Apa yang muncul pertama kali dalam pemikiran
orang Indonesia saat mendengar kata budaya, barangkali langsung merujuk pada
tari-tarian, seni tradisional, ritual tertentu ataupun sesuatu yang sifatnya
tradisi peninggalan masa lalu. Hal ini sangat mungkin berbeda dengan yang
dipikirkan pertama kali oleh orang Eropa-Amerika saat mendengar kata yang sama,
barangkali lkebih sebagai sebuah gaya hidup, perilaku, ataupun bertutur. Dari
hal demikian terlihat bahwa pemahaman tentang budaya yang bersifat universal
menjadi suatu langkah yang tampak sulit.[26]
Namun berangkat dari kesulitan tersebut terdapat sejumlah
kesepakatan dari ciri khas budaya yang dapat dijadikan petunjuk untuk membangun
sebuah definisi budaya yang tepat dan ringkas sebagaimana yang diutarakan
Dayaksi dan Yuniardi berikut ini.[27]
a.
Budaya
sebuah konsep abstrak
Kesepakatan
pertama adalah bahwa budaya adalah sebuah konsep yang abstrak. Namun bagaimana
mungkin dapat dikatakan abstrak sedang beberapa aspeknya dengan sangat mudah
dapat diamati dan ditangkap panca indra.. Sebagai sebuah konsep abstrak – lebih
dari sekedar label – budaya. memiliki kehidupan tersendiri. Ia terus berubah
dan tumbuh sebagai efek pertemuan dengan budaya lain, perubahan kondisi
lingkungan, sosiodemografis, dan sebagainya merupakan beberapa factor yang
menjadikan budaya hidup dinamis. Perbedaaan perilaku dan norma antara generasi
tua dan generasi muda dari suatu budaya (gap antar generasi) merupakan bukti
nyata terjadinya perubahan dalam budaya.
b.
Budaya
sebagai konseptual kelompok
Budaya tidak mungkin ada (tercipta) ketika seorang manusia tidak
pernah bertemu dengan manusia lain. Meskipun individu tersebut memiliki pola
perilaku yang khas, gagasan unik, keyakinan dan norma yang dipedomani, ataupun
menghasilkan suatu produk material, tetap tidak dapat disebut budaya karena
disebut budaya ketika ia menjadi ciri suatu kelompok. Sifat-sifat unik
individual disebut kepribadian dan bukan budaya.
c.
Budaya
diinternalisasi anggota kelompok
Sejatinya inti
dari kebudayaan adalah sistem nilai yang dianut oleh masyarakat pendukung
kebudayaan dimaksud, yang memuat sejumlah konsepsi abstrak tentang apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.
Organisasi
sebagai kumpulan dari sejumlah individu menampakkan apa yang dimaksud dengan
budaya (kebudayaan). Dalam organisasi lahir, tumbuh, dan berkembang suatu
konsepsi nilai yang terwujud dalam bentuk sejumlah kebiasaan dan sikap yang
bersifat tipikal serta merupakan accepted and expected behavior. Demikian juga
madrasah adalah sistem sosial yang memiliki sejumlah ekspektasi terhadap
serangkaian perilaku dari para anggotanya berdasarkan nilai-nilai tertentu
secara normatif. Nilai-nilai normatif dimaksud akhirnya menjadi the total
pattern of human behavior (kultur), yang menjadi orientasi para anggota
organisasi. Dengan kata lain inti budaya adalah nilai yang melandasi sikap dan
perilaku orang-orang yang tergabung dalam oraganisasi (madrasah).
Dalam
perkembangan pengelolaan pendidikan di madrasah dibutuhkan perubahan dan perkembangan
orientasi nilai parawarganya karena ia merupakan pashion dan a way of life.
Orientasi nilai yang diharapkan adalah orientasi nilai mutu yaitu sistem
keyakinan bahwa “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok
harus lebih baik dari hari ini”. Dalam perspektif ini nilai budaya mutu lebih
bernuansa subyektif-normatif dan obyektiffaktual. Sebagai subyektif normative
nilai mutu adalah sejumlah keyakinan yang dimiliki, yang merupakan pafradigma
dan prinsip dalam bersikap dan berperilaku, baik yang diinginkan maupun yang
dilarang. Saat nilai mutu yang bernuansa subyektif normatif tersebut mewujud
dalam tataran implementasi maka harus dilekatkan sejumlah standar (kriteria)
bahwa sesuatu itu dapat diberi label berkualitas atau bermutu. Standar atau
kriteria inilah yang akhirnya menjadikan mutu dikatakan telah benar-benar
terwujud dalam perspektif obyektif factual (the real quality).[28]
b.
Pengertian Mutu
Mutu merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan
manusia baik secara individual, kelompok, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Mutu memiliki banyak pengertian yang berbeda antara menurut para
ahli. Wiyono dalam Makawimbang[29]mengemukakan bahwa mutu adalah faktor yang mendasar dari pelanggan.
Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar, atau
ketetapan manajemen. Ia berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap
produkdan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak,
sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan
selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif.
Sementara ituJuran[30]memberikan pengertian bahwa mutu sebagai “tepat untuk dipakai” dan
menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah mengembangkan program
dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti peserta didik dan
masyarakat. Lebih jauh Juran mengatakan bahwa “tepat untuk pakai” lebih tepat
ditentukan oleh pemakai bukan oleh pemberi. Pandangan ini menekankan pentingnya
perencanaan dan kontrol mutu dan titik fokus filosofi manajemen mutu adalah
keyakinan organisasi terhadap produktivitas individual. Mutu dapat dijamin
dengan cara memastikan bahwa setiap individu memiliki bidang yang
diperlukannyauntuk menjalankan pekerjaan dengan tepat. Dengan perangkat yang tepat,
para pekerja akan membuat produk dan jasa secara konsisten sesuai dengan
harapan kostumer. Dikatakan Juran bahwa mutu adalah proses yang tidak mengenal
akhir. Perbaikan mutu merupakan proses yang berkesinambungan, bukan program
yang sekali jalan. Sementara itu di level lembaga pendidikan pengembangan mutu
memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan sekolah dan administrator serta
diperlukan sejenis latihan masal sebagai prasyarat mutu sehingga dimungkinkan
setiap individu di sekolah mesti mendapatkan pelatihan.
Mutu memerlukan waktu, proses dan ketelatenan untuk meujudkan
ide-ide baru dengan baik sejak awal. Setiap langkah dalam mewujudkan mutu
memerlukan disiplin untuk selalu memenuhi seluruh persyaratan pekerjaan agar
hasil yang diharapkan terwujud. Dalam sebuah lembaga mutu yang baik lahir dari
disiplin bersama, tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama, sehingga
muaranya adalah hasil terbaik yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok
orang terhadap apa yang dilakukan dan mampu memberikan kepuasan, kenyamanan,
kesejahteraan, dan tidak menerima keluhan dari pelanggan.
Dari sini dapat kita temukan titik tolaknya bahwasannya mutu
merupakan proses untuk meningkatkan kualitas yang sesuai dengan standar atau
melebihi standar berdasarkan penilain konsumen. Jadi yang menilai apakah
lembaga itu bermutu atau tidak maka ditentukan oleh konsumen dan pelanggan
bukan dari internal lembaga itu sendiri.
c.
Pengertian Budaya Mutu
Kemendikbud dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah
(2016: 65) menyatakan bahwa budaya mutu merupakan suatu kesadaran yang hadir
sebagai tradisi dimana mutu pendidikan merupakan proses pencapaian yang tiada
henti dan terus-menerus (berkelanjutan). Mutu menjadi impian bersama sehingga
seluruh proses dalam penyelenggaraan pendidikan diletakkan sebagai upaya untuk
mencapai tingkat mutu terbaik., beretos kerja yang tinggi dan pandai menangkap
peluang.[31]
Secara lebih luas Ranjit Singh Malhi menjelaskan bahwa “a
quality culture is a system of shared values, beliefs and norms that focuses on
delighting customers an continuously improving the quality of products and
services.” Budaya mutu adalah sistem untuk berbagi nilai-nilai, keyakinan,
dan norma-norma yang berfokus pada upaya memuaskan pelanggan, dan terus
meningkatkan produk dan layanan. Selanjutnya Ranjit Singh Malhi secara umum
juga menjelaskan bahwa dalam sebuah organisasi yang berbudaya mutu, kualitas
tertanam hampir di setiap aspek kehidupan organisasi, termasuk perekrutan dan
promosi, orientasi karyawan dan pelatihan berkelanjutan, kompensasi/gaya
manajemen, pengambilan keputusan, struktur organisasi, proses kerja, dan tata
letak kantor. Secarasederhana Ranjit Singh Malhi menyimpulkan bahwa dalam
budaya mutu kualitas adalah cara hidup, prinsip kualitas yang dicerminkan dalam
praktik, dan perilaku organisasi.[32]
Hal lain juga diungkapkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar
Kemendikbud dalam buku panduan lomba budaya mutu di sekolah dasar yang
mendefinisikan budaya mutu sebagai suatu nilai dan keyakinan yang ada dalam
suatu masyarakat yang digunakan sebagai sumber penggalangan konformisme
perilaku yang bermutu tinggi bagi masyarakat pendukungnya. Sekolah-sekolah yang
memiliki budaya mutu tertentu biasanya dapat dilihat dari beberapa variabel
yang mempengaruhinya seperti perolehan nilai, kondisi fisik, lingkungan
sekolah, dan budaya sekolah. Budaya mutu sekolah berpengaruh terhadap kehidupan
di sekolah dan budaya yang berpengaruh besar dalam kehidupan sekolah adalah
budaya yang kuat.[33]
Berdasarkan beberapa definisi di atas penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan budaya mutu adalah sistem nilai
organisasi yang menciptkan lingkungan yang kondusif untuk keberlangsungan
perbaikan mutu yang berkesinambungan. Budaya mutu sekolah terdiri dari
nilai-nilai, tradisi sekolah, dan harapan sekolah terhadap mutu. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa budaya mutu sekolah dapat digunakan untuk menjelaskan
upaya membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara sekolah dalam menghasilkan
suatu produk yang memenuhi kriteria atau rujukantertentu. Sehingga produk atau
output yang dihasilkan akan berkualitas dan dapat bersaing secara global.
d.
Strategi Membangun Budaya Mutu
Setelah dijelaskan secara terperinci satu persatu istilah yang akan
dibahas oleh penulis, maka selanjutnya penulis akan menjelaskan tentang
strtegi-strategi dalam membangun budaya mutu khususnya dalam sektor pendidikan,
lebih-lebih pendidikan Islam. Namun disini penulis hanya akan berbicara tentang
strategi-strategi apa saja yang harus digunakan dalam membangun budaya mutu
dalam sektor pendidikan secara umum. Namun sebelum pembahasan kita terfokus
kepada strategi pembangunan budaya mutu ada baiknya terlebih dahulu dalam sub
bahasan ini kita memulai dengan pembahasan nilai dasar mutu dalam dunia
pendidikan.
1.
Pengembangan Nilai Dasar (Core Value) Mutu dalam Pendidikan
Dalam konteks
pendidikan yang efektif, pada tahun 1991 UNESCO telah menekankan pentingnya
martabat manusia (human dignity) sebagai nilai tertinggi. Penghargaan
terhadap martabat manusia dianggap sebagai nilai yang tidak terbatas dan dapat
mendorong manusia untuk memilih nilai-nilai dasar yang berkisar di
sekelilingnya. Nilai-nilai dasar dimaksud dapat diuraikan seperti berikut ini.[34]
a.
Nilai
Dasar Kesehatan
Nilai dasar ini
berimplikasi pada kebersihan dan kebugaran fisik. Sejatinya fisik manusia
diciptakan Tuhan dengan struktur paling sempurna. Hakikat fisik itu merupakan
pemahaman keindahan bentuk dan ukuran alam serta bendabenda hasil ciptaan
manusia. Karena manusia dikaruniai rasa keindahan (sense of aesthetic), maka ia
harus mengembangkan apresiasinya terhadap seni dan keindahan. Untuk itu
pendidikan harus mampu menumbuhkan rasa keindahan peserta didikmelalui
keserasian segala materi yang ada dalam lingkungan pendidikan.
b.
Nilai
Dasar Kebenaran
Kebenaran
berimplikasi pada upaya memperoleh pengetahuan secara kontinyu dalam segala
hal. Peserta didik tidak cukup hanya menemukan kebenaran hanya sampai pada
penemuan data dan pengetahuan fakta, namun harus mampu mengembangkan berpikir
kritis dan kreatif agar mampu menghadapi tantangan dunia modern di masa
mendatang.
c.
Nilai
Dasar Kasih Sayang
Hakikat moral
manusia berada pada tempat paling utama yaitu berada dalam nilai kasih saying.
Nilai tersebut berimplikasi pada kebutuhan untuk memperoleh integritas pribadi,
harga diri, kepercayaan diri, kejujuran, dan disiplin diri pada peserta didik.
Kemampuan mereka dalam menginternalisasi nilai kasih saying akan tampak dari
kematangan pribadi dan peranan mereka dalam menjalin hubungan interpersonal
yang saling memahami.
d.
Nilai
Dasar Spiritual
Keberadaan
peserta didik dipengaruhi oleh sejumlah dimensi transcendental yang tingkat
pemaknaannya bergantung pada pengalaman dan kesadaran pribadi masing-masing.
Pada usia tertentu, mereka mampu menjangkau kesadaran supralogis yang membuat
dirinyalebih dari sekedar ”manusia” (man more than man). Perwujudan dimensi
spiritual ini adalah keimanan sedangkan semangat keimanan tersebut disebut
spiritualitas.
e.
Nilai
Dasar Tanggung Jawab Sosial
Sebagai
individu yang tidak lepas dari lingkungan social, peserta didik senantiasa
melakukan interaksi secara individual maupun kelompok. Interaksi yang dilakukan
ditandai oleh adanya kepedulian terhadap orang lain, kebaikan antar sesame,
kasih saying, kebebasan, persamaan, dan penghargaan atas hak asasi sesamanya.
Karena itu penanaman rasa keadilan dan kedamaian merupakan hal penting dalam
menumbuhkan aspirasi peserta didik terhadap kehidupan sosial.
f.
Nilai
Dasar Efisiensi Ekonomi
Nilai dasar ini
perlu diajarkan agar peserta didik mau bekerja keras serta mampu memanfaatkan
sumber daya alam secara kreatif dan imajinatif. Nilai dasar ini menekankan
bahwa tujuan pendidikan harus diarahkan
agar peserta didik mampu berkreasi menghasilkan barang yang berharga dn
bermanfaat bagi kehidupannya. Karena itu, elemen pendidikan dalam menanamkan
nilai dasar efisiensi ekonomi adalah menciptakan semangat untuk berusaha.
g.
Nilai
Dasar Nasionalisme
Nilai dasar ini
berarti cinta kepada Negara dan bangsa. Rasa cinta ini diwujudkan oleh setiap
warga Negara dan setiap unsur politik yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan,
yaitu membangun harga diri dan citra bangsa. Nilai nasionalisme ini membentuk
suatu komuitmen kolektif untuk melakukan suatu usaha rekonssiliasi dan rekonstruksi
bangsa.
h.
Nilai
Dasar Solidaritas Global
Nilai ini dapat
dimiliki apabila pendidik dan peserta didik memiliki pemahaman yang cukup
tentang dunia internasional. Dengan nilai dasar ini, generasi yang memiliki
wawasan yang luas tentang kehidupan global dapat disipkan melalui pendidikan.
Nilai dasar solidaritas global ini penting mengingat tatanan kehidupan tidak
lagi ditentukan oleh keadaan suatu bangsa. Kehidupan dewasa ini banyak
dipengaruhi oleh factorfaktor kepentingan lintas Negara dan kesadaran antar
bangsa. Dengan demikian generasi di masa mendatang diharapkan mampu kerjasama
untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan.
2.
Strategi Membangun Budaya Mutu
Sebagaimana
telah dijelaskan bahwa mutu itu merupakan proses dalam meningkatkan kualitas
sehingga apa yang diinginkan sesuai dengan standar atau melebihi standar.
Sementara budaya mutu adalah pembiasaan untuk melakukan kinerja yang dianggap
bermutu. Dalam hal ini harus ada sistem, dan didalam sistem itu terdapat
strategi atau tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk membangun budaya mutu
tersebut. Cara atau strategi penciptaan dan pengembangan budaya mutu tersebut oleh Daryanto[35]dijabarkan sebagai berikut:
a.
Merumuskan
standar sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja yang tinggi baik bagi
kepala sekolah, guru, staf administrasi, maupun siswa.
b.
Merumuskan
standar pelayanan prima yang dipatuhi semua warga sekolah guna meningkatkan
mutu pelayanan kepada pelanggan sekolah, khususnya siswa dan orangtuanya.
Standar pelayanan prima meliputi elemen berikut: kecepatan, ketetapan,
keramahan, ketanggapan, dan pemberian jaminan mutu sekolah.
c.
Melaksanakan
berbagai lomba untuk mendorong siswa, guru, dan staf dalam berkompetisi.
d.
Menciptakan
sistem penghargaan bagi warga sekolah yang berprestasi tinggi dan pembinaan
serta hukuman bagi yang berprestasi rendah.
e.
Memampukan
warga sekolah untuk secara terus-menerus meningkatan kualitas guna memenuhi
persyaratan yang dituntut oleh pengguna lulusan (masyarakat).
Kemudian yang menjadi petanyaan besarnya ketika strategi-strategi
diatas telah diimplementasikan secara maksimal adalah apa indikatornya kalau
lembaga tersebut telah mampu membangun budaya mutu. Sebagaimana dijelaskan oleh
Daryanto[36]menyebutkan ada beberapa indikator penciptaan budaya mutu di
sekolah. Indikator penciptaan dan pengembangan budaya mutu tersebut adalah:
a.
Sekolah
menciptakan suasana yang memberikan harapan dan semangat, dimana para guru
percaya bahwa siswa dapat mencapai tingkat prestasi yang tinggi.
b.
Sekolah
menekankan kepada siswa dan guru bahwa belajar merupakan alasan yang paling
penting untuk bersekolah.
c.
Harapan
terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh siswa.
d.
Harapan
terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh orangtua siswa.
Dari bebagai pernyataan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa
indikator penciptaan dan pembangunan budaya mutu sekolah lebih berorientasi
pada upaya sekolah agar siswa dapat terus belajar dan berprestasi tinggi.
Indikator penciptaan dan pembangunan budaya mutu tersebut dapat tercapai jika
sekolah menggunakan cara atau strategi yang berorientasi pada bagaimana sekolah
memberikan pelayanan prima kepada siswa dan bagaimana sekolah menciptakan iklim
atau suasana yang dapat meningkatkan mutu atau kualitas
sekolah.Indikator-indikator penciptaan dan pembangunan budaya mutu sekolah di
atas digunakan sebagai landasan untuk dapat melihat tingkat pencapaian
penciptaan dan pengembangan budaya mutu.
C.
KESIMPULAN
1.
Penutup
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis lakukan maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1.
mutu
merupakan proses untuk meningkatkan kualitas yang sesuai dengan standar atau
melebihi standar berdasarkan penilain konsumen. Jadi yang menilai apakah
lembaga itu bermutu atau tidak maka ditentukan oleh konsumen dan pelanggan
bukan dari internal lembaga itu sendiri.
2.
budaya
mutu adalah sistem nilai organisasi yang menciptkan lingkungan yang kondusif
untuk keberlangsungan perbaikan mutu yang berkesinambungan.
3.
Budaya
mutu sekolah terdiri dari nilai-nilai, tradisi sekolah, dan harapan sekolah
terhadap mutu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa budaya mutu sekolah dapat
digunakan untuk menjelaskan upaya membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara
sekolah dalam menghasilkan suatu produk yang memenuhi kriteria atau rujukantertentu.
4.
Strategi
untuk membangun budaya mutu itu ada lima tahapan yaitu: (1). Merumuskan standar
sikap dan prilaku, (2). Merumuskan standar pelayanan prima, (3). Melaksanakan
berbagai lomba, (4). Menciptakan sistem penghargaan bagi warga sekolah yang
berprestasi tinggi dan pembinaan serta hukuman bagi yang berprestasi rendah,
dan (5). Memampukan semua lini pihak civitas akademika untuk terus menerus
meningkatkan kualitas mutu
5.
Dan
ada empat indikator yang menunjukkan kalau lembaga pendidikan tersebut bermutu,
yaitu: (1). Penciptaan suasana sekolah yang memberikan harapan dan semangat,
(2). Penekanan kepada pihak sekolah bahwasannya belajar adalah hal yang
penting, (3). Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada
seluruh siswa, dan (4). Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan
kepada seluruh orangtua siswa
2.
Saran
1.
Meningkatkan
kualitas pelayanan terhadap stakheholders
2.
Memberikan
penghargaan terhadap civitas akademika yang berkinerja dengan baik dan
berprestasi.
[1] Mukhlis
Muhammad Hanafi, dkk, Pendidikan
Pembangun Karakter dan Pengembangan Sumber daya Manusia, (Jakarta: Penerbit
Aku Bisa, 2012), hlm.1
[3] Rifda
el-Fi’ah, Implementasi Pengembangan Budaya Mutu Madrasah Ibtidaiyah,
(Lampung: Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat, 2015)
[4]Saiful Anwar, Pengembangan
Budaya Mutu Dalam Meningkatkan Kualitas Madrasah Ibtidaiyyah, (Jurnal Studi
Ke Islaman Volume 14, No.2, Desember 2014), hlm 457
[5]Dede Rosyada, Paradigma
Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2004), h. xiii.
[6]Dede Rosyada, Paradigma
Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan
Pendidikan............. hlm. 1
[7]Dody Heriawan
Priatmoko, “Reformasi Pendidikan Indonesia, Suatu Solusi Keluar dari
Krisis”, dalam http://www.edents.bravepages.com/
edents%20online%20baru/laput%20dody.htm. Diakses tanggal 12 April 2014
[8]Dody Heriawan
Priatmoko, “Reformasi Pendidikan Indonesia, Suatu Solusi Keluar dari
Krisis”,............
[15]Ahmad Rais, Manajeman
Marketing Pendidikan Madrasah; Strategi Mewujudkan Madrasah yang Marketable,
(Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), hlm. 44
[16]Pemikiran
strategis individual mencakup penerapan pertimbangan berdasarkan pengalaman
untuk menentukan arah di masa depan.
[17]Pemikiran strtegis
organisional merupakan kordinasi pikiran-pikiran kreatif menjadi suatu
perspektif bersama yang memungkinkan organisasi melangkah kemasa depan dengan
suatu sikap untuk memenuhi kebutuhan semua pihak yang bersangkutan (stakeholders)
[23]Saiful Anwar, Pengembangan
Budaya Mutu Dalam Meningkatkan Kualitas Madrasah Ibtidaiyyah, (Jurnal Studi
Ke Islaman Volume 14, No.2, Desember 2014), hlm 466
[26]Saiful Anwar, Pengembangan
Budaya Mutu Dalam Meningkatkan Kualitas Madrasah Ibtidaiyyah, (Jurnal Studi
Ke Islaman Volume 14, No.2, Desember 2014), hlm.467
[27]Tri Dayaksi dan
Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya (Malang: UPT Penerbitan Universitas
Muhammadiyah Malang, 2008), h. 4-5.
[28]Jam’an Satori,
Pengembangan Budaya Mutu di Sekolah (Bandung: FIP Administrasi Pendidikan UPI
Bandung, 1999), h. 9
[29]Jerry H.
Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan (Bandung:
Alfabeta 2011), hlm. 43.
[30]Jerry H.
Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan..........................................,
hlm. 43
[31]Dikti.Naskah Akademik Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah. (Jakarta:
Kemendikbud, 2016), hlm. 65
[33]Direktorat
Pembinaan Sekolah Dasar. Panduan Lomba Budaya Mutu di Sekolah Dasar tahun
2016. (Jakarta: Kemendikbud, 2016). Hlm. 1-3
[34]Rohmat Mulyana,
Pendidikan Umum, Pengembangan Kepribadian, dan Kesadaran Beragama
(Bandung: IMA-PU Pascasarjana UPI, 2003), hlm. 107- 109.
[35]Daryanto. Pengelolaan
Budaya dan Iklim Sekolah. (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2015). Hlm. 41
[36]Daryanto. Pengelolaan
Budaya dan Iklim Sekolah. (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2015). Hlm. 41
No comments:
Post a Comment