Monday, June 4, 2018

STRATEGI MEMBANGUN BUDAYA MUTU DALAM SEKTOR PENDIDIKAN

STRATEGI MEMBANGUN BUDAYA MUTU
DALAM SEKTOR PENDIDIKAN
Oleh :
Anis Jamil Mahdi (16771008)
Mahasiswa Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk mendewasakan anak, menstranformasi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sikap agar kehidupannya berubah menjadi lebih baik. Kata kunci dalam pendidikan adalah perubahan (changes) dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi terampil, dari berkinerja tidak baik menjadi lebih baik, dan sebagainya. Sementara secara umum, pendidikan menghasilkan pengetahuan, pemhaman, keterampilan, nilai-nilai sikap yang lumrah dikatagorikan menjadi kognitif, afektif dan psikomotorik.[1]
Hal semacam ini juga didasarkan pada amanat Undang-Undang Republik Indonesia No.20 tahun 2003 yang menyatakan Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Dari penjelasan sebagaimana diatas dapat diformulasikan bahwasannya pendidikan itu mengandung beberapa komponen penting, yaitu: (1) perubahan, (2), pengetahuan, dan (3) keterampilan. Perubahan yang dimaksud disini adalah perubahan dalam aspek kepribadian seseorang, bagaimana pendidikan ini mampu membentuk dan membangu karakter insani yang berkualitas tinggi (makari al-Akhlak). Pengetahuan yang dimaksud adalah dalam aspek pemahaman, sementara yang dimaksud ketarampilan, disini adalah memiliki karya yang bermanfaat bagi bangsa masyarakat, agama dan negara.
Pendidikan dinegara ini telah banyak mengalamai beberapa kali perubahan, hal itu berkaitan dengan perubahan kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah. Reformasi bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke 20 M, misalnya,  telah membawa perubahan besar pada kebijakan pengembangan sektor pendidikan, yang secara umum bertumpu pada paradigma otonomisasi dan demokratisasi pendidikan. Dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah bahwa sektor pendidikan merupakan salah satu yang diotonomisasikan sebagaimana sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya. Otonomisasi dimaksud selanjutnya didorong pada madrasah (sekolah) agar kepala madrasah dan guru memiliki tanggung jawab besar dalam pengembangan mutu madrasah dan peningkatan mutu proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Tinggi dan rendahnya mutu hasil belajar peserta didik menjadi tanggung jawab guru dan kepala madrasah sebagai manajerial, karena pemerintah daerah hanya memfasilitasi berbagai aktivitas pendidikan, baik sarana maupun berbagai program pembelajaran yang direncanakan madrasah. Dalam konteks peningkatan mutu ini kepala madrasah di samping ber itra dengan pemerintah daerah juga berkerjasama dengan masyarakat (komite madrasah) untuk membahas program madrasah dengan para stakeholder dan user ini. Di sin lah kepala madrasah dapat bertanya dan sekaligus mempertanggungjawabkan berbagai apek dan pelaksanaan programnya pada stakeholder madrasah tersebut. Untuk lebih m libatkan masyarakat.[3]
Untuk lebih melibatkan masyarakat dalam peningkatan mutu pendidikan ini, pemerintah selanjutnya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; di mana salah satu isu penting dalam undang-unadang dimaksud adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan sector pendidikan. Ditegaskan lebih jauh dalam pasal 9 undangundang tersebut bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan guna lebih meningkatan mutu pendidikan secara umum.[4]
Orientasi mutu dalam kehidupan pembangunan di Indonesia merupakan sesuatu yang sangat urgen, harus didukung dan dikembangkan dalam rangka merespon kecenderungan persaingan global. Imbasnya terjadi pada bidang pendidikan dengan munculnya sejumlah penelitian dalam mutu pendidikan. Mutu merupakan hasil karya dan budidaya manusia karena itu perkara yang mendasar adalah persoalan bagaimana transformasi nilai-nilai yang ada di dalamnya dilaksanakan. Transformasi nilai mutu hanya mungkin dilaksanakan dalam konteks social pada unit-unit terdepan pendidikan, yakni madrasah (sekolah). Dalam konteks ini tranformasi nilai mutu oleh kepemimpinan pendidikan perlu dipersoalkan.
Sistem nilai mutu merupakan sistem budaya mutu yang berkembang dalam interaksi sosial di antara orang-orang yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan baik dalam proses edukatif maupun pengelolaan. Kepemimpinan dalam sektor pendidikan dipandang sebagai hal strategis dalam upaya mengembangkan mutu, yaitu membinan tenaga kependidikan menjadi sadar mutu dengan wujud perilaku sadar mutu.
Semua upaya pengembangan dan peningkatan mutu dimaksud sangat disadari akan sulit terwujud – tidak akan efektif – untuk membawa perubahan tanpa didukung dengan pola pengelolaan lembaga pendidikan yang sesuai. Oleh sebab itulahmodel manajemen yang harus dikembangkan dalam konteks pengembangan mutu sektor pendidikan dimaksud adalah manajemen yang demokratis, yang memperbesar pelibatan teamwork dalam proses pengambilan putusan, perencanaan program, pendistribusian tugas dan wewenang, serta perubahan paradigma dalam menilai produktivitas kerja setiap unsur dalam organisasi madrasah, dengan orientasi kepuasaan pelanggan.
Gagasan budaya mutu ini dapat diawali dari partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang bukan hanya dalam konteks retribusi uang sumbangan pendidikan, tetapi merambah ke dalam pembahasan dan kajian untuk mengindentifikasi berbagai permintaan stakeholder dan user madrasah tentang kompetensi peserta didik yang akan dihasilkannya, sehingga akan memperkaya substansi kurikulum serta menuntut kreativitas dan dinamika pengelolaan madrasah agar dapat melayani permintaan-permintaan tersebut, dengan tetap berpijak pada perkembangan psikologis peserta didik serta kemampuan madrasah dalam memberikan layanan pada para pemakainya tersebut.
Selanjutnya gagasan budaya mutu ini juga dikembangkan dengan sebuah paradigma baru tentang pelibatan peserta didik dalam proses pembelajaran, yang tidak sekedar membuat mereka aktif dalam proses pembelajarannya, tapi mereka juga diberi kesempatan dalam menentukan aktivitas belajar yang akan mereka lakukan, bersama-sama dengan guru mereka, sehingga muaranya para peserta didik belajar dalam suasan yang menyenangkan, dinamis dan penuh keceriaan karena kondisi yang tercipta memang bernuansa aspiratif dan sesuai dengan permintaan para peserta didik. Proses pembelajaran di dalam kelas senantiasa memberikan perhatian pada aspirasi peserta didik, tidak mengabaikan mereka yang lamban dalam proses pemahaman, dan tidak merugikan mereka yang cepat dalam pemahaman bahan ajar. Peserta didik memperoleh pelayanan yang proporsional, dan semua harus bermuara pada batas minimal pencapaian kompetensi sesuai angka yang ditetapkan bersama dalam koridor mastery learning.[5]
Isu tentang peningkatan mutu dan pengembangan budaya mutu sector pendidikan ini mencuat kepermukaan tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, namun pada semua jalur dan jenjang pendidikan. Bahkan menurut Rosyada upaya advokasi untuk jalur pendidikan di Indonesia yang dikelola oleh beberapa departemen teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang tidak hanya disuarakan oleh departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut, tetapi juga oleh para praktisi dan pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata hasil pendidikan secara nasional. Karena sejatinya kelemahan proses dan hasil pendidikan dari sebuah jalur pendidikan akan mempengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.[6]
Pembinaan sumber daya manusia Indonesia harus menjadi prioritas utama sektor pendidikan di Indonesia. Sebab lemahnya sumber daya manusia hasil pendidikan mengakibatkan lemahnya Indonesia bangkit dari keterpurukan sektor lainnya seperti dalam sector ekonomi. Sebagaimana disinyalir Priatmoko bahwa pendidikan merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dikatakan lebih lanjut oleh Priatmoko[7]bahwa hal ini dapat diamati pada negara Jepang, di mana kemajuan ekonomi yang didapatnya sekarang tak lepas dari peranan pendidikan. Sistem pendidikan Jepang yang baik telah menghasilkan manusia-manusia berkualitas sehingga walaupun hancur setelah kekalahan dalam Perang Dunia II, Jepang mampu bangkit cepat dan maju serta dapat bersaing dengan negara yang mengalahkannya dalam peperangan. Hal demikian juga dapat dilihat pada Negara Asia lainnya seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, ataupun Singapura yang memperlihatkan bahwa kemajuan ekonomi yang mereka dapatkan adalah karena tingginya kualitas SDM-nya. Fenomena ini sangat berbedadengan Indonesia yang ternyata tertinggal jauh dalam kualitas sumber daya manusia yang salah satu penyebab ketertinggalan tersebut adalah akibat dari kekeliruan dalam pembangunan yang berjalan cukup lama pada masa Orde Baru yang menekankan pada pembangunan fisik dan kurang serius dalam pembinaan sumber daya manusia yang mestinya lebih difokuskan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Indikator rendahnya mutu pendidikan menurut Priatmoko[8]dapat diamati pada prestasi prestasi peserta didik. Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia tahun 1992, studi IEA (International Association for the Evaluation of Education Achievement) di Asia Timur memperlihatkan bahwa keterampilan membaca peserta didik kelas IV SD berada pada level terendah. Gambaran rata-rata skor tes membaca untuk peserta didik SD adalah sebagai berikut : 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan mereka kesulitan menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Demikian juga dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di Asia Pasifik ternyata empat universitas terbaik Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke- 73, dan ke-75. Indikator lain yang menunjukkan betapa kurang bermutunya pendidikan di Indonesia adalah peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Developmental Index), yakni komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks p ngembangan manusia Indonesia makin menurun. Dari data UNESCO tahun 2000, di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke 102 pada tahun 1996, ke-99 tahun 1997, ke- 105 tahun 1998, dan ke-109 tahun 1999, serta menurun ke urutan 112 pada tahun 2000. Bahkan hasil survai Political and Economic Risk Consultant (PERC) mengatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia berada di urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Dari deskripsi fakta di atas jelas bahwa gagasan tentang pengembangan budaya mutu madrasah dalam konteks pendidikandi Indonesia menjadi sangat relevan, khususnya dalam konteks peningkatan mutu pada jenjang pendidikan dasar, dimana sudah dikemukakan sebelumnya bahwa perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan adalah di semua jenjang dan jalur, dengan perbaikan komprehensif yang meliputi perbaikan perencanaan, proses pembelajaran, dukungan alat dan sarana pembelajaran, serta perbaikan manajemen yang bermuara pada perbaikan pada hasil pendidikan.
Sosialisasi budaya mutu adalah pokok permasalahan yang dapat dipicu dan dibangkitkan oleh kepala tiap-tiap sektor pendidikan, lingkungan pendidikan, dan tenaga kependidikan yang ada di sektor pendidikan. Aspek lingkungan merupakan kompleksitas dari pekerjaan, fisik, sosial, tradisi, ekonomi, dan birokrasi. Aspek tenaga kependidikan diharapkan menjadi sadar mutu yang bermuara pada terimplementasinya nilai mutu ke dalam sikap dan tindakannya. Aspek pemicu dan pendorong utama adalah kepemimpinan kepala madrasah yang diliput dari nilai-nilai mutu yang dikembangkan, pola interaksi kepemimpinan dalam mengembangkan nilai mutu, dan nilai-nilai budaya yang dikembangkan, serta bidang tugas kepemimpinan yang diarahkan dalam mengembangkan mutu. Untuk merealisasikan itu semua maka diperlukan adanya strategi yang jitu. Oleh sebab itu maka pemakalah akan mencoba untuk menguraikannya secara gamblang tentang Strategi Membangun Budaya Mutu Dalam Sektor Pendidikan.
2.      Rumusan Masalah
Maka dari apa yang telah dipaparkan diatas sesuai dengan data fakta yang ada, disini penulis menemukan beberapa masalah yang dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan Strategi membangun Budaya Mutu dalam Sektor Pendidikan?
2.      Bagaimanakah Strategi Membangun Budaya Mutu Dalam Sektor Pendidikan?






B.     PEMBAHASAN
1.      Istilah Strategi Budaya Mutu
2.      Pengertian Strategi dan Tahapan Strategi
a.      Pengertian Strategi
Secara etimologi adalah turunan dari kata dalam bahasa Yunani, strategos. Adapun strategos dapat diterjemahkan sebagai “komandan militer” pada zaman demokrasi Athena.[9]Pada mulanya istilah strategi digunakan dalam dunia militer yang diartikan sebagai cara penggunaan seluruh kekuatan militer untuk memenangkan suatu peperangan.
Sementara yang dimaksud strategi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi memiliki empat ari yaitu: (1) ilmu dan seni menggunakan semua sumber daya bangsa - bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dl perang dan damai; (2) ilmu dan seni memimpin bala tentara untuk menghadapi musuh dl perang, dl kondisi yg menguntungkan: sbg komandan ia memang menguasai betul seorang perwira di medan perang; (3) rencana yg cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus; (4) tempat yg baik.[10]
Sedangkan secara terminologi banyak ahli telah mengemukakan definisi strategi dengan sudut pandang yang berbeda-beda namun pada dasarnya kesemuanya itu mempunyai arti atau makna yang sama yakni pencapaian tujuan secara efektif dan efisien, diantara para ahli yang merumuskan tentang definisi strategi tersebut salah satu proses dimana untuk mencapai suatu tujuan dan berorientasi pada masa depan untuk berinteraksi pada suatu persaingan guna mencapai sasaran.
Menurut David Hunger dan Thomas L. Wheelen, strategi adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang. Manajemen strategi meliputi pengamatan lingkungan, perumusan strategi (perencanaan strategis atau perencanaan jangka panjang). Implementasi strategi dan evaluasi serta pengendalian.[11]Sedangkan strategi menurut Anwar Arifin adalah keseluruhan kepuasan kondisional tentang tindakan yang akan dijalankan guna mencapai tujuan.[12]
John A. Byrne mendefinisikan strategi adalah sebagai sebuah pola yang mendasar dari sasaran yang berjalan dan yang direncanakan, penyebaran sumber daya dan interaksi organisasi dengan pasar, pesaing, dan faktor-faktor lingkungan.[13]Dua pakar strategi yaiu Hamel dan Prahalad (1995), mendefinisikan strategi merupakan tindakan yang bersifat incremental (senantiasa meningkat) dan terus menerus serta dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa depan.[14]
Dengan melihat beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa strategi adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui menuju target yang diinginkan. Strategi yang baik akan memberikan gambaran tindakan utama dan pola keputusan yang akan dipilih untuk mewujudkan tujuan organisasi. Strategi juga sebagai perumusan visi dan misi suatu organisasi atau perusahaan.Ukuran keberhasilan dalam menerapkan strategi adalah mampu memberikan kepuasan kepada para pelanggan.Jadi, semakin banyak pelanggan yang menerima produk atau jasa yang ditawarkan, maka semakin puas dan strategi pun dianggap berhasil.
George L. Morrisey dalam bukunya “A Guide to Strategic Thinking Your Planning Foundation” sebagaimana dikutip Muhammad Rais[15] mengemukakan konsep triple P. Selanjutnya, Rais, menjelaskan bahwasannya Triple P merupakan perspective mengarah kepada pemikirab strategis, posisi mengarah kepada perencanaan jangka panjang, sedangkan mengarah kepada perencanaan taktis. Pemikiran strategis dapat dikelompokkan menjadi pemikiran strategis individual[16] dan pemikiran strategis organisional[17].
b.      Tahap-tahapan Strategi
1)      Perumusan
a)      Menjelaskan tahap pertama darifaktor yang mencakup analisis lingkungan intern maupun ekstern adalah penetapan visi dan misi, perencanaan dan tujuan strategi.[18]
b)      Perumusan strategi merupakan proses penyusunan langkah-langkah ke depan yang maksudkan untuk membangun visi dan misinya, merupakan tujuan strategi serta merancang strategi untuk mencapai tujuan tersebut dalam rangka menyediakan customer value terbaik.[19]
c)      Identifikasi lingkungan yang akan dimasuki oleh pemimpin. Tentukan misi untuk mencapai visi yang dicita-citakan dalam lingkungan tersebut.
d)     Lakukan analisis lingkungan intern dan ekstern untuk mengukur kekuatan dan kelemahan serta peluang dan ancaman yang akan dihadapi.
e)      Tentukan tujuan dan target
f)       Dalam tahap strategi di atas, seorang pemimpin memulai dengan menentukan visinya ingin menjadi apa di masa datang dalam lingkungan terpilih dan misi apa yang harus ditunaikan atau dilakukan sekarang untuk mencapai cita-cita tersebut.
2)      Pelaksanaan
a)      Setelah tahap perumusan strategi diselesaikan maka berikutnya yang merupakan tahap krusial dalam strategi perusahaan adalah tentang pelaksanaan strategi.
b)      Pelaksanaan strategi adalah proses dimana strategi dan kebijaksanaan dijalankan melalui pembangunan struktur, pengembangan program, budget dan prosedur pelaksanaan. Pelaksanaan strategi merupakan tahap yang paling sulit dalam proses strategi mengingat banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi pelaksanaan di lapangan dan mungkin tidak sesuai dengan perkiraan semula. Strategi yang berhasil harus didukung perusahaan yang capable dengan seorang pemimpin yang solid, alokasi sumber daya yang cukup, kebijaksanaan yang tepat, budaya, situasi dan kondisi terhadap keberhasilan pelaksanaan strategi.

3.      Pengertian Budaya Mutu
a.      Pengertian Budaya
Menurut kamus besar bahasa Indonesia budaya (1) pikiran; akal budi: hasil ; (2) adat istiadat: menyelidiki bahasa dan –(3) sesuatu mengenai kebudayaan yg sudah berkembang (beradab, maju) (4)  sesuatu yg sudah menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah[20]
Ada beberapa pengertian budaya menurut beberapa ahli salah satu diantaranya adalah tokoh terkenal Indonesia yaitu Koentjaraningrat.[21] Menurut Koentjaraningrat kebudayaan dengan kata dasar budaya berasal dari bahasa sansakerta ”buddhayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Jadi Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu.
Koentjaraningrat menerangkan bahwa pada dasarnya banyak yang membedakan antara budaya dan kebudayaan, dimana budaya merupakan perkembangan majemuk budi daya, yang berarti daya dari budi. Pada kajian Antropologi, budaya dianggap merupakan singkatan dari kebudayaan yang tidak ada perbedaan dari definsi. Jadi kebudayaan atau disingkat budaya, menurut Koentjaraningrat merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Untuk lebih jelasnya mengenai hal diatas, Koentjaraningrat membedakan adanya tiga wujud dari kebudayaan yaitu: (1) Wujud kebudayaan sebagai sebuah kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai- nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. (2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam suatu masyrakat. (3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.[22]
Lebih lanjut, Taylor dalam Liliweri (2002: 62) mendefinisikan kebudayaan tersusun oleh kategori-kategori kesamaan gejala umum yang disebut adat istiadat yang mencakup teknologi, pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, estetika, rekreasional dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai anggota masyarakat. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semua yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Maka yang dimaksud dengan budaya adalah pekerjaan, pemikiran, atau apapun yang muncul dari seseorang secara kolektif dalam masyarakat sosial yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi sebuah kebiasaan pada suatu masyarakat, yang kemudian pada akhirnya menjadi sebuah nilai.
Kata “budaya” sangat umum dipergunakan dalam bahasa sehari-hari. Paling sering budaya dikaitkan dengan pengertian ras, bangsa, atau etnis. Kata budaya kadang kala dikaitkan dengan seni, music, tradisi-ritual, ataupun peninggalan-peninggalan masa lalu. Di dalam kamus Oxford budaya lebih dilihat sebagai seni dan semua hasil prestasi intelektual manusia yang dilakukan secara kolektif. Kata budaya digunakan dalam berbagai diskursus dan ini diakui karena luasnya aspek kehidupan yang disentuh. Berry12 mendeskripsikan budaya dalam delapan kategori aktivitas kehidupan, yaitu (1) karakteristik umum; (2) makanan dan pakaian; (3) rumah dan teknologi; (4) ekonomi dan transportasi; (5) aktivitas individual dan keluarga; (6) komunitas dan pemerintahan; (7) kesejahteraan, religi, dan ilmu pengetahuan; dan (8) seks dan lingkaran kehidupan.[23]
Kategorisasi di atas memperlihatkan betapa kompleksnya budaya sebagai sebuah konsep. Budaya menyentuh semua aspek hidup dan kehidupan. Dikatakan Drennan dalam Sanusi[24], budaya merupakan how things are done around here. Dalam perspektif lebih luas budaya merupakan totalitas kehidupan manusia, mencukup unsur jasmaniah dan rohaniah.Koentjaraningrat[25]memformulasikan budaya (kebudayaan) yang mencakupkeseluruhan dari (1) gagasan; (2) kelakuan; dan (3) hasil-hasil kelakuan. Definisi ini menggambarkan bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikiran manusia, yang dilakukan dan dihasilkanoleh kelakuan manusia adalah kebudayaan, budaya sebagai konstruk kata benda. Dengan demikian di sini kebudayaan diyakini sebagai produk, baik itu berupa gagasan ataupun sudah berwujud suatu perilaku tampak maupun material. Bahkan lebih dari sekedar suatu produk yang masif melainkan hidup dinamis dan menjadi bagian internal tak terpisahkan dari manusia.
Uraian di atas membuktikan bahwa budaya adalah sebuah konsep yang sangat kompleks, yang menyentuh semua aspek kehidupan sehingga mungkin menjadi kehidupan itu sendiri. Setiap budaya tampaknya juga memahami apa arti budaya dengan cara pandang yang tidak selalu sama, sangat tergantung dari aspek yang menjadi penekanan dalam budaya tersebut. Apa yang muncul pertama kali dalam pemikiran orang Indonesia saat mendengar kata budaya, barangkali langsung merujuk pada tari-tarian, seni tradisional, ritual tertentu ataupun sesuatu yang sifatnya tradisi peninggalan masa lalu. Hal ini sangat mungkin berbeda dengan yang dipikirkan pertama kali oleh orang Eropa-Amerika saat mendengar kata yang sama, barangkali lkebih sebagai sebuah gaya hidup, perilaku, ataupun bertutur. Dari hal demikian terlihat bahwa pemahaman tentang budaya yang bersifat universal menjadi suatu langkah yang tampak sulit.[26]
Namun berangkat dari kesulitan tersebut terdapat sejumlah kesepakatan dari ciri khas budaya yang dapat dijadikan petunjuk untuk membangun sebuah definisi budaya yang tepat dan ringkas sebagaimana yang diutarakan Dayaksi dan Yuniardi berikut ini.[27]
a.       Budaya sebuah konsep abstrak
Kesepakatan pertama adalah bahwa budaya adalah sebuah konsep yang abstrak. Namun bagaimana mungkin dapat dikatakan abstrak sedang beberapa aspeknya dengan sangat mudah dapat diamati dan ditangkap panca indra.. Sebagai sebuah konsep abstrak – lebih dari sekedar label – budaya. memiliki kehidupan tersendiri. Ia terus berubah dan tumbuh sebagai efek pertemuan dengan budaya lain, perubahan kondisi lingkungan, sosiodemografis, dan sebagainya merupakan beberapa factor yang menjadikan budaya hidup dinamis. Perbedaaan perilaku dan norma antara generasi tua dan generasi muda dari suatu budaya (gap antar generasi) merupakan bukti nyata terjadinya perubahan dalam budaya.
b.      Budaya sebagai konseptual kelompok
Budaya tidak mungkin ada (tercipta) ketika seorang manusia tidak pernah bertemu dengan manusia lain. Meskipun individu tersebut memiliki pola perilaku yang khas, gagasan unik, keyakinan dan norma yang dipedomani, ataupun menghasilkan suatu produk material, tetap tidak dapat disebut budaya karena disebut budaya ketika ia menjadi ciri suatu kelompok. Sifat-sifat unik individual disebut kepribadian dan bukan budaya.
c.       Budaya diinternalisasi anggota kelompok
Sejatinya inti dari kebudayaan adalah sistem nilai yang dianut oleh masyarakat pendukung kebudayaan dimaksud, yang memuat sejumlah konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk.
Organisasi sebagai kumpulan dari sejumlah individu menampakkan apa yang dimaksud dengan budaya (kebudayaan). Dalam organisasi lahir, tumbuh, dan berkembang suatu konsepsi nilai yang terwujud dalam bentuk sejumlah kebiasaan dan sikap yang bersifat tipikal serta merupakan accepted and expected behavior. Demikian juga madrasah adalah sistem sosial yang memiliki sejumlah ekspektasi terhadap serangkaian perilaku dari para anggotanya berdasarkan nilai-nilai tertentu secara normatif. Nilai-nilai normatif dimaksud akhirnya menjadi the total pattern of human behavior (kultur), yang menjadi orientasi para anggota organisasi. Dengan kata lain inti budaya adalah nilai yang melandasi sikap dan perilaku orang-orang yang tergabung dalam oraganisasi (madrasah).
Dalam perkembangan pengelolaan pendidikan di madrasah dibutuhkan perubahan dan perkembangan orientasi nilai parawarganya karena ia merupakan pashion dan a way of life. Orientasi nilai yang diharapkan adalah orientasi nilai mutu yaitu sistem keyakinan bahwa “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini”. Dalam perspektif ini nilai budaya mutu lebih bernuansa subyektif-normatif dan obyektiffaktual. Sebagai subyektif normative nilai mutu adalah sejumlah keyakinan yang dimiliki, yang merupakan pafradigma dan prinsip dalam bersikap dan berperilaku, baik yang diinginkan maupun yang dilarang. Saat nilai mutu yang bernuansa subyektif normatif tersebut mewujud dalam tataran implementasi maka harus dilekatkan sejumlah standar (kriteria) bahwa sesuatu itu dapat diberi label berkualitas atau bermutu. Standar atau kriteria inilah yang akhirnya menjadikan mutu dikatakan telah benar-benar terwujud dalam perspektif obyektif factual (the real quality).[28]

b.      Pengertian Mutu
Mutu merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia baik secara individual, kelompok, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Mutu memiliki banyak pengertian yang berbeda antara menurut para ahli. Wiyono dalam Makawimbang[29]mengemukakan bahwa mutu adalah faktor yang mendasar dari pelanggan. Mutu adalah penentuan pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar, atau ketetapan manajemen. Ia berdasarkan atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produkdan jasa pelayanan, mengukurnya, mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional teknik atau subyektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang bergerak dalam pasar yang kompetitif.
Sementara ituJuran[30]memberikan pengertian bahwa mutu sebagai “tepat untuk dipakai” dan menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti peserta didik dan masyarakat. Lebih jauh Juran mengatakan bahwa “tepat untuk pakai” lebih tepat ditentukan oleh pemakai bukan oleh pemberi. Pandangan ini menekankan pentingnya perencanaan dan kontrol mutu dan titik fokus filosofi manajemen mutu adalah keyakinan organisasi terhadap produktivitas individual. Mutu dapat dijamin dengan cara memastikan bahwa setiap individu memiliki bidang yang diperlukannyauntuk menjalankan pekerjaan dengan tepat. Dengan perangkat yang tepat, para pekerja akan membuat produk dan jasa secara konsisten sesuai dengan harapan kostumer. Dikatakan Juran bahwa mutu adalah proses yang tidak mengenal akhir. Perbaikan mutu merupakan proses yang berkesinambungan, bukan program yang sekali jalan. Sementara itu di level lembaga pendidikan pengembangan mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan sekolah dan administrator serta diperlukan sejenis latihan masal sebagai prasyarat mutu sehingga dimungkinkan setiap individu di sekolah mesti mendapatkan pelatihan.
Mutu memerlukan waktu, proses dan ketelatenan untuk meujudkan ide-ide baru dengan baik sejak awal. Setiap langkah dalam mewujudkan mutu memerlukan disiplin untuk selalu memenuhi seluruh persyaratan pekerjaan agar hasil yang diharapkan terwujud. Dalam sebuah lembaga mutu yang baik lahir dari disiplin bersama, tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama, sehingga muaranya adalah hasil terbaik yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap apa yang dilakukan dan mampu memberikan kepuasan, kenyamanan, kesejahteraan, dan tidak menerima keluhan dari pelanggan.
Dari sini dapat kita temukan titik tolaknya bahwasannya mutu merupakan proses untuk meningkatkan kualitas yang sesuai dengan standar atau melebihi standar berdasarkan penilain konsumen. Jadi yang menilai apakah lembaga itu bermutu atau tidak maka ditentukan oleh konsumen dan pelanggan bukan dari internal lembaga itu sendiri.


c.       Pengertian Budaya Mutu
Kemendikbud dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah (2016: 65) menyatakan bahwa budaya mutu merupakan suatu kesadaran yang hadir sebagai tradisi dimana mutu pendidikan merupakan proses pencapaian yang tiada henti dan terus-menerus (berkelanjutan). Mutu menjadi impian bersama sehingga seluruh proses dalam penyelenggaraan pendidikan diletakkan sebagai upaya untuk mencapai tingkat mutu terbaik., beretos kerja yang tinggi dan pandai menangkap peluang.[31]
Secara lebih luas Ranjit Singh Malhi menjelaskan bahwa “a quality culture is a system of shared values, beliefs and norms that focuses on delighting customers an continuously improving the quality of products and services.” Budaya mutu adalah sistem untuk berbagi nilai-nilai, keyakinan, dan norma-norma yang berfokus pada upaya memuaskan pelanggan, dan terus meningkatkan produk dan layanan. Selanjutnya Ranjit Singh Malhi secara umum juga menjelaskan bahwa dalam sebuah organisasi yang berbudaya mutu, kualitas tertanam hampir di setiap aspek kehidupan organisasi, termasuk perekrutan dan promosi, orientasi karyawan dan pelatihan berkelanjutan, kompensasi/gaya manajemen, pengambilan keputusan, struktur organisasi, proses kerja, dan tata letak kantor. Secarasederhana Ranjit Singh Malhi menyimpulkan bahwa dalam budaya mutu kualitas adalah cara hidup, prinsip kualitas yang dicerminkan dalam praktik, dan perilaku organisasi.[32]
Hal lain juga diungkapkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar Kemendikbud dalam buku panduan lomba budaya mutu di sekolah dasar yang mendefinisikan budaya mutu sebagai suatu nilai dan keyakinan yang ada dalam suatu masyarakat yang digunakan sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku yang bermutu tinggi bagi masyarakat pendukungnya. Sekolah-sekolah yang memiliki budaya mutu tertentu biasanya dapat dilihat dari beberapa variabel yang mempengaruhinya seperti perolehan nilai, kondisi fisik, lingkungan sekolah, dan budaya sekolah. Budaya mutu sekolah berpengaruh terhadap kehidupan di sekolah dan budaya yang berpengaruh besar dalam kehidupan sekolah adalah budaya yang kuat.[33]
Berdasarkan beberapa definisi di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan budaya mutu adalah sistem nilai organisasi yang menciptkan lingkungan yang kondusif untuk keberlangsungan perbaikan mutu yang berkesinambungan. Budaya mutu sekolah terdiri dari nilai-nilai, tradisi sekolah, dan harapan sekolah terhadap mutu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa budaya mutu sekolah dapat digunakan untuk menjelaskan upaya membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara sekolah dalam menghasilkan suatu produk yang memenuhi kriteria atau rujukantertentu. Sehingga produk atau output yang dihasilkan akan berkualitas dan dapat bersaing secara global.
d.      Strategi Membangun Budaya Mutu
Setelah dijelaskan secara terperinci satu persatu istilah yang akan dibahas oleh penulis, maka selanjutnya penulis akan menjelaskan tentang strtegi-strategi dalam membangun budaya mutu khususnya dalam sektor pendidikan, lebih-lebih pendidikan Islam. Namun disini penulis hanya akan berbicara tentang strategi-strategi apa saja yang harus digunakan dalam membangun budaya mutu dalam sektor pendidikan secara umum. Namun sebelum pembahasan kita terfokus kepada strategi pembangunan budaya mutu ada baiknya terlebih dahulu dalam sub bahasan ini kita memulai dengan pembahasan nilai dasar mutu dalam dunia pendidikan.
1.      Pengembangan Nilai Dasar (Core Value) Mutu dalam Pendidikan
Dalam konteks pendidikan yang efektif, pada tahun 1991 UNESCO telah menekankan pentingnya martabat manusia (human dignity) sebagai nilai tertinggi. Penghargaan terhadap martabat manusia dianggap sebagai nilai yang tidak terbatas dan dapat mendorong manusia untuk memilih nilai-nilai dasar yang berkisar di sekelilingnya. Nilai-nilai dasar dimaksud dapat diuraikan seperti berikut ini.[34]
a.       Nilai Dasar Kesehatan
Nilai dasar ini berimplikasi pada kebersihan dan kebugaran fisik. Sejatinya fisik manusia diciptakan Tuhan dengan struktur paling sempurna. Hakikat fisik itu merupakan pemahaman keindahan bentuk dan ukuran alam serta bendabenda hasil ciptaan manusia. Karena manusia dikaruniai rasa keindahan (sense of aesthetic), maka ia harus mengembangkan apresiasinya terhadap seni dan keindahan. Untuk itu pendidikan harus mampu menumbuhkan rasa keindahan peserta didikmelalui keserasian segala materi yang ada dalam lingkungan pendidikan.
b.      Nilai Dasar Kebenaran
Kebenaran berimplikasi pada upaya memperoleh pengetahuan secara kontinyu dalam segala hal. Peserta didik tidak cukup hanya menemukan kebenaran hanya sampai pada penemuan data dan pengetahuan fakta, namun harus mampu mengembangkan berpikir kritis dan kreatif agar mampu menghadapi tantangan dunia modern di masa mendatang.
c.       Nilai Dasar Kasih Sayang
Hakikat moral manusia berada pada tempat paling utama yaitu berada dalam nilai kasih saying. Nilai tersebut berimplikasi pada kebutuhan untuk memperoleh integritas pribadi, harga diri, kepercayaan diri, kejujuran, dan disiplin diri pada peserta didik. Kemampuan mereka dalam menginternalisasi nilai kasih saying akan tampak dari kematangan pribadi dan peranan mereka dalam menjalin hubungan interpersonal yang saling memahami.
d.      Nilai Dasar Spiritual
Keberadaan peserta didik dipengaruhi oleh sejumlah dimensi transcendental yang tingkat pemaknaannya bergantung pada pengalaman dan kesadaran pribadi masing-masing. Pada usia tertentu, mereka mampu menjangkau kesadaran supralogis yang membuat dirinyalebih dari sekedar ”manusia” (man more than man). Perwujudan dimensi spiritual ini adalah keimanan sedangkan semangat keimanan tersebut disebut spiritualitas.
e.       Nilai Dasar Tanggung Jawab Sosial
Sebagai individu yang tidak lepas dari lingkungan social, peserta didik senantiasa melakukan interaksi secara individual maupun kelompok. Interaksi yang dilakukan ditandai oleh adanya kepedulian terhadap orang lain, kebaikan antar sesame, kasih saying, kebebasan, persamaan, dan penghargaan atas hak asasi sesamanya. Karena itu penanaman rasa keadilan dan kedamaian merupakan hal penting dalam menumbuhkan aspirasi peserta didik terhadap kehidupan sosial.
f.       Nilai Dasar Efisiensi Ekonomi
Nilai dasar ini perlu diajarkan agar peserta didik mau bekerja keras serta mampu memanfaatkan sumber daya alam secara kreatif dan imajinatif. Nilai dasar ini menekankan bahwa  tujuan pendidikan harus diarahkan agar peserta didik mampu berkreasi menghasilkan barang yang berharga dn bermanfaat bagi kehidupannya. Karena itu, elemen pendidikan dalam menanamkan nilai dasar efisiensi ekonomi adalah menciptakan semangat untuk berusaha.
g.      Nilai Dasar Nasionalisme
Nilai dasar ini berarti cinta kepada Negara dan bangsa. Rasa cinta ini diwujudkan oleh setiap warga Negara dan setiap unsur politik yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan, yaitu membangun harga diri dan citra bangsa. Nilai nasionalisme ini membentuk suatu komuitmen kolektif untuk melakukan suatu usaha rekonssiliasi dan rekonstruksi bangsa.
h.      Nilai Dasar Solidaritas Global
Nilai ini dapat dimiliki apabila pendidik dan peserta didik memiliki pemahaman yang cukup tentang dunia internasional. Dengan nilai dasar ini, generasi yang memiliki wawasan yang luas tentang kehidupan global dapat disipkan melalui pendidikan. Nilai dasar solidaritas global ini penting mengingat tatanan kehidupan tidak lagi ditentukan oleh keadaan suatu bangsa. Kehidupan dewasa ini banyak dipengaruhi oleh factorfaktor kepentingan lintas Negara dan kesadaran antar bangsa. Dengan demikian generasi di masa mendatang diharapkan mampu kerjasama untuk memperjuangkan perdamaian dan keadilan.
2.      Strategi Membangun Budaya Mutu
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa mutu itu merupakan proses dalam meningkatkan kualitas sehingga apa yang diinginkan sesuai dengan standar atau melebihi standar. Sementara budaya mutu adalah pembiasaan untuk melakukan kinerja yang dianggap bermutu. Dalam hal ini harus ada sistem, dan didalam sistem itu terdapat strategi atau tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk membangun budaya mutu tersebut. Cara atau strategi penciptaan dan pengembangan  budaya mutu tersebut oleh Daryanto[35]dijabarkan sebagai berikut:
a.       Merumuskan standar sikap dan perilaku yang berorientasi pada kinerja yang tinggi baik bagi kepala sekolah, guru, staf administrasi, maupun siswa.
b.      Merumuskan standar pelayanan prima yang dipatuhi semua warga sekolah guna meningkatkan mutu pelayanan kepada pelanggan sekolah, khususnya siswa dan orangtuanya. Standar pelayanan prima meliputi elemen berikut: kecepatan, ketetapan, keramahan, ketanggapan, dan pemberian jaminan mutu sekolah.
c.       Melaksanakan berbagai lomba untuk mendorong siswa, guru, dan staf dalam berkompetisi.
d.      Menciptakan sistem penghargaan bagi warga sekolah yang berprestasi tinggi dan pembinaan serta hukuman bagi yang berprestasi rendah.
e.       Memampukan warga sekolah untuk secara terus-menerus meningkatan kualitas guna memenuhi persyaratan yang dituntut oleh pengguna lulusan (masyarakat).
Kemudian yang menjadi petanyaan besarnya ketika strategi-strategi diatas telah diimplementasikan secara maksimal adalah apa indikatornya kalau lembaga tersebut telah mampu membangun budaya mutu. Sebagaimana dijelaskan oleh Daryanto[36]menyebutkan ada beberapa indikator penciptaan budaya mutu di sekolah. Indikator penciptaan dan pengembangan budaya mutu tersebut adalah:
a.       Sekolah menciptakan suasana yang memberikan harapan dan semangat, dimana para guru percaya bahwa siswa dapat mencapai tingkat prestasi yang tinggi.
b.      Sekolah menekankan kepada siswa dan guru bahwa belajar merupakan alasan yang paling penting untuk bersekolah.
c.       Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh siswa.
d.      Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh orangtua siswa.
Dari bebagai pernyataan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa indikator penciptaan dan pembangunan budaya mutu sekolah lebih berorientasi pada upaya sekolah agar siswa dapat terus belajar dan berprestasi tinggi. Indikator penciptaan dan pembangunan budaya mutu tersebut dapat tercapai jika sekolah menggunakan cara atau strategi yang berorientasi pada bagaimana sekolah memberikan pelayanan prima kepada siswa dan bagaimana sekolah menciptakan iklim atau suasana yang dapat meningkatkan mutu atau kualitas sekolah.Indikator-indikator penciptaan dan pembangunan budaya mutu sekolah di atas digunakan sebagai landasan untuk dapat melihat tingkat pencapaian penciptaan dan pengembangan budaya mutu.
C.    KESIMPULAN
1.      Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah penulis lakukan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      mutu merupakan proses untuk meningkatkan kualitas yang sesuai dengan standar atau melebihi standar berdasarkan penilain konsumen. Jadi yang menilai apakah lembaga itu bermutu atau tidak maka ditentukan oleh konsumen dan pelanggan bukan dari internal lembaga itu sendiri.
2.      budaya mutu adalah sistem nilai organisasi yang menciptkan lingkungan yang kondusif untuk keberlangsungan perbaikan mutu yang berkesinambungan.
3.      Budaya mutu sekolah terdiri dari nilai-nilai, tradisi sekolah, dan harapan sekolah terhadap mutu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa budaya mutu sekolah dapat digunakan untuk menjelaskan upaya membangkitkan minat dan berkenaan dengan cara sekolah dalam menghasilkan suatu produk yang memenuhi kriteria atau rujukantertentu.
4.      Strategi untuk membangun budaya mutu itu ada lima tahapan yaitu: (1). Merumuskan standar sikap dan prilaku, (2). Merumuskan standar pelayanan prima, (3). Melaksanakan berbagai lomba, (4). Menciptakan sistem penghargaan bagi warga sekolah yang berprestasi tinggi dan pembinaan serta hukuman bagi yang berprestasi rendah, dan (5). Memampukan semua lini pihak civitas akademika untuk terus menerus meningkatkan kualitas mutu
5.      Dan ada empat indikator yang menunjukkan kalau lembaga pendidikan tersebut bermutu, yaitu: (1). Penciptaan suasana sekolah yang memberikan harapan dan semangat, (2). Penekanan kepada pihak sekolah bahwasannya belajar adalah hal yang penting, (3). Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh siswa, dan (4). Harapan terhadap prestasi siswa yang tinggi disampaikan kepada seluruh orangtua siswa
2.      Saran
1.      Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap stakheholders
2.      Memberikan penghargaan terhadap civitas akademika yang berkinerja dengan baik dan berprestasi.

















[1] Mukhlis Muhammad Hanafi, dkk,  Pendidikan Pembangun Karakter dan Pengembangan Sumber daya Manusia, (Jakarta: Penerbit Aku Bisa, 2012), hlm.1
[2]Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang sistem pendidikan Nasional, hlm. 1
[3] Rifda el-Fi’ah, Implementasi Pengembangan Budaya Mutu Madrasah Ibtidaiyah, (Lampung: Pusat Penelitian dan Penerbitan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, 2015)
[4]Saiful Anwar, Pengembangan Budaya Mutu Dalam Meningkatkan Kualitas Madrasah Ibtidaiyyah, (Jurnal Studi Ke Islaman Volume 14, No.2, Desember 2014), hlm 457
[5]Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2004), h. xiii.
[6]Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, Sebuah Model Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan............. hlm. 1
[7]Dody Heriawan Priatmoko, “Reformasi Pendidikan Indonesia, Suatu Solusi Keluar dari Krisis”, dalam http://www.edents.bravepages.com/ edents%20online%20baru/laput%20dody.htm. Diakses tanggal 12 April 2014
[8]Dody Heriawan Priatmoko, “Reformasi Pendidikan Indonesia, Suatu Solusi Keluar dari Krisis”,............
[9]www.answer.com/system, (16 Mei 2017)
[10]Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ofline. Versi 1.4
[11]David Hunger dan Thomas L. Wheelen, Manajemen Strategi, (Yogyakarta: Andi, 2003)
[12]Anwar Arifin, Strategi Komunikasi, (Bandung: Armilo, 1984), 59
[13]Ali Hasan, Marketing Bank Syariah, Bogor: Ghalia Indonesia 2010, h. 29.
[14]Husein Umar, Desai Penelitian Manajemen Strategik, Jakarta: PT Grafindo Persada, 2010, h. 17.
[15]Ahmad Rais, Manajeman Marketing Pendidikan Madrasah; Strategi Mewujudkan Madrasah yang Marketable, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013), hlm. 44
[16]Pemikiran strategis individual mencakup penerapan pertimbangan berdasarkan pengalaman untuk menentukan arah di masa depan.
[17]Pemikiran strtegis organisional merupakan kordinasi pikiran-pikiran kreatif menjadi suatu perspektif bersama yang memungkinkan organisasi melangkah kemasa depan dengan suatu sikap untuk memenuhi kebutuhan semua pihak yang bersangkutan (stakeholders)
[18]Bambang Hariadi, Strategi Manajemen, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), 5
[19]Bambang Hariadi, Strategi Manajemen.......................,hlm. 6
[20]Kamus Besar bahasa Indonesia. Ofline. Versi. 1.4
[21]Koenntjaraningrat, Ilmu Antropologi (Jakarta: Bhatara, 1998), h.181
[22]Koenntjaraningrat, Ilmu Antropologi........................................, h.124
[23]Saiful Anwar, Pengembangan Budaya Mutu Dalam Meningkatkan Kualitas Madrasah Ibtidaiyyah, (Jurnal Studi Ke Islaman Volume 14, No.2, Desember 2014), hlm 466
[24]Achmad Sanusi, Beberapa Dimensi Mutu Pendidikan (Bandung: FPS IKIP Bandung, 1990), h. 79
[25]Koenntjaraningrat, Ilmu Antropologi (Jakarta: Bhatara, 1998), h.124
[26]Saiful Anwar, Pengembangan Budaya Mutu Dalam Meningkatkan Kualitas Madrasah Ibtidaiyyah, (Jurnal Studi Ke Islaman Volume 14, No.2, Desember 2014), hlm.467
[27]Tri Dayaksi dan Salis Yuniardi, Psikologi Lintas Budaya (Malang: UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2008), h. 4-5.
[28]Jam’an Satori, Pengembangan Budaya Mutu di Sekolah (Bandung: FIP Administrasi Pendidikan UPI Bandung, 1999), h. 9
[29]Jerry H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan (Bandung: Alfabeta 2011), hlm. 43.
[30]Jerry H. Makawimbang, Supervisi dan Peningkatan Mutu Pendidikan.........................................., hlm. 43
[31]Dikti.Naskah Akademik Rancangan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah. (Jakarta: Kemendikbud, 2016), hlm. 65

[32]Ranjit Singh Malhi. Creating and Sustaining: A Quality Culture. Research Article. Hlm. 2-3.
[33]Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar. Panduan Lomba Budaya Mutu di Sekolah Dasar tahun 2016. (Jakarta: Kemendikbud, 2016). Hlm. 1-3
[34]Rohmat Mulyana, Pendidikan Umum, Pengembangan Kepribadian, dan Kesadaran Beragama (Bandung: IMA-PU Pascasarjana UPI, 2003), hlm. 107- 109.
[35]Daryanto. Pengelolaan Budaya dan Iklim Sekolah. (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2015). Hlm. 41

[36]Daryanto. Pengelolaan Budaya dan Iklim Sekolah. (Yogyakarta: Penerbit Gava Media, 2015). Hlm. 41


No comments:

Post a Comment