STUDI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DI SEKOLAH DAN PERGURUAN TINGGI UMUM
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi
Kebijakan Pendidikan Islam”
Dosen Pengampu:
Prof. Dr.
H. Baharuddin, M.Pd
![]() |
Pemakalah:
MUHAMMAD FURQAN
(16771006)
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018
STUDI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
DI SEKOLAH DAN PERGURUAN TINGGI UMUM
Oleh:
MUHAMMAD
FURQAN (16771006)
Mahasiswa
Prodi Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan agama
Islam merupakan usaha sadar dan terencana yang dilakukan pendidik dalam rangka
mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan mengamalkan ajaran
Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang telah
ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.[1]
Jika kita melihat istilah pengembangan pendidikan agama
Islam dapat bermakna kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif bagaimana
menjadikan pendidikan agama Islam lebih besar, merata dan meluas pengaruhnya
dalam konteks pendidikan pada umumnya. Secara kualitatif bagaimana menjadikan
pendidikan agama Islam lebih baik, bermutu dan lebih maju sejalan
dengan ide-ide dasar atau nilai-nilai Islam itu sendiri yang seharusnya selalu
berada di depan dalam merespon dan mengantisipasi berbagai tantangan
pendidikan.
Termasuk dalam pengertian kualitatif adalah bagaimana
mengembangkan pendidikan agama Islam agar menjadi suatu bangunan keilmuan yang
kokoh dan memiliki kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan masyarakat
nasional dan serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pemikiran tentang
pengembangan pendidikan agama Islam mengajak seseorang untuk berpikir
analitis kritis, kreatif dan inovatif dalam menghadapi berbagai praktik dan isu
aktual di bidang pendidikan untuk dikaji dan ditelaah dari dimensi
fondasionalnya agar tidak kehilangan roh dan spirit Islam.[2]
Pendidikan agama Islam yang selama ini berlangsung agaknya terasa kurang
terkait atau concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan
agama yang bersifat kognitif menjadi makna atau nilai yang perlu diinternalisasikan
dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadi sumber motivasi bagi
peserta didik untuk bergerak, berbuat dan berprilaku secara konkrit agamis
dalam kehidupan sehari-hari.
Pelaksanaan pendidikan
agama yang berlangsung di sekolah bisa dikatakan masih mengalami banyak
kelemahan, bahkan bisa dikatakan masih gagal. Kegagalan ini disebabkan karena
praktik pendidikannya hanya memerhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan
kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan
konatif-volitif, yakni kemauan dan tekad mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibatnya
terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengalaman, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Atau dalam praktik pendidikan
agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi bermoral, padahal intisari dari pendidikan
agama adalah pendidikan moral.[3]
Bila kita mengamati fenomena empirik yang ada di hadapan dan sekeliling
kita maka tampaklah bahwa pada saat ini terdapat banyak kasus kenakalan pelajar
dan mahasiswa. Isu perkelahian antar pelajar, tindak kekerasan antar mahasiswa,
premanisme, white collar crime (kejahatan kerah putih), konsumsi minuman
keras, etika berlalu lintas, perubahan pola konsumsi makanan, kriminalitas yang
semakin hari semakin menjadi-jadi dan sebagainya, telah mewarnai halaman surat
kabar dan media massa lainnya. Timbulnya kasus-kasus tersebut memang tidak
semata-mata kegagalan pendidikan agama Islam di sekolah maupun perguruan tinggi
yang lebih menekankan aspek kognitif, tetapi bagaimana semuanya itu dapat
mendorong serta menggerakkan guru pendidikan agama Islam untuk mencermati
kembali dan mencari solusi lewat pengembangan
pembelajaran pendidikan
agama Islam yang
berorientasi pada pendidikan nilai (afektif).[4]
Dalam hal ini pembelajaran pendidikan agama Islam harus menempatkan ajaran Islam sebagai suatu objek kajian
yang melihat Islam sebagai sebuah sistem nilai dan sistem moral yang tidak
hanya diketahui dan dipahami, tapi juga dirasakan serta dijadikan sebuah aksi
dalam kehidupan peserta didik. Maka
dengan melihat latar belakang tersebut di atas, penulis ingin
mengkaji lebih mendalam dan terstruktur melalui sebuah makalah yang berjudul “Studi
Kebijakan Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah dan Perguruan Tinggi
Umum”.
2.
Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang sebagaimana yang telah
dipaparkan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1)
Bagaimana
kebijakan pengembangan pendidikan agama Islam di Sekolah?
2)
Bagaimana
kebijakan pengembangan pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU)?
3)
Sejauh
manakah implementasi pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah?
4) Sejauh manakah implementasi pengembangan pendidikan
agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU)?
3.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi
tujuan dalam penulisan makalah ini adalah:
1)
Mendeskripsikan
kebijakan pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah
2)
Mendeskripsikan
kebijakan pengembangan pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU).
3)
Untuk
mengetahui sejauh mana implementasi pengembangan pendidikan agama Islam di
sekolah.
4)
Untuk mengetahui
sejauh mana implementasi pengembangan pendidikan agama Islam di Perguruan
Tinggi Umum (PTU).
B.
PEMBAHASAN
1.
Kebijakan Pengembangan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Selama ini di Indonesia terdapat beberapa kebijakan yang diambil dan
dikembangkan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan agama dan sekaligus
hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna dari pendidikan nasional. Misalnya UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah
disahkan oleh DPR Republik Indonesia pada tanggal 11 juni 2003 dan diundangkan
pada tanggal 8 juli 2003. Selain wacana pendidikan agama Islam yang
diperdebatkan dalam UU sebelumnya, dalam UU ini substansi perdebatan terkait
dengan istilah-istilah yang mencerminkannya, yakni substansi istilah iman,
takwa dan akhlak mulia, istilah pendidikan agama, pendidikan keagamaan secara
informal, formal maupun nonformal, pengakuan kesetaraan pendidikan diniyah dan
pesantren dengan pendidikan formal, dan sebagainya.
Banyak hal yang dijadikan
pertimbangan digagasnya Undang-Undang tersebut, dua di antaranya adalah: Pertama, UUD
1945 hasil amandemen keempat mengamanatkan pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, selain akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Kedua, bahwa
sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan
pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan
untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan kehidupan lokal, nasional dan
global, sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana,
terarah dan berkesinambungan.[5]
Sebagaimana wacana aktual,
perdebatan tentang Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dirumuskan tentang dasar,
fungsi dan tujuan. Pada pasal 3 dinyatakan: “Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Penjelasan “manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia” adalah manusia yang
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan melaksanakan ajaran agama yang dianutnya
serta berprilaku sesuai dengan norma agama dan nilai-nilai budaya. Sementara itu tentang pendidikan keagamaan, pada
pasal 30 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dinyatakan sebagai berikut:
1)
Pendidikan
keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari
pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2)
Pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu
agama,
3)
Pendidikan
keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan
informal.
4)
Pendidikan
keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren ,pasraman, pabhaya samanera, dan
bentuk lain yang sejenis.[6]
Selanjutnya kebijakan tentang tujuan
kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia yang termuat dalam Permendiknas
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan, bahwa kelompok mata pelajaran
Agama dan Akhlak Mulia bertujuan membentuk peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia, yang
dicapai melalui muatan atau kegiatan agama, kewarganegaraan,
kepribadian, ilmu pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga, dan
kesehatan.[7]
Pemahaman tentang pendidikan agama Islam di sekolah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu pendidikan agama Islam sebagai aktivitas dan pendidikan agama Islam sebagai fenomena. Pendidikan agama Islam sebagai aktivitas berarti upaya
yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang
dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan
memanfaatkan hidup
dan kehidupannya),
sikap hidup, dan keterampilan hidup baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental
dan sikap sosial yang
bernafaskan
atau dijiwai oleh ajaran serta nilai-nilai Islam. Sedangkan pendidikan
agama Islam sebagai fenomena adalah
peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih atau penciptaan suasana yang
dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau
dijiwai oleh ajaran
dan nilai-nilai Islam,
yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada salah
satu atau beberapa pihak.[8]
2.
Kebijakan Pengembangan
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU)
Banyak kalangan menganggap bahwa
pendidikan agama Islam, termasuk di perguruan tinggi belum memadai dan kurang
relevan dengan tuntutan zaman. Pendidikan agama Islam hanya sekedar pengajaran
agama, singgah sebentar di kepala mahasiswa dan keluar pada waktu ujian
semester sehingga tidak mampu untuk membentuk kepribadian mahasiswa menjadi
pribadi luhur yang berakhlaqul karimah.
Beberapa kritik yang berkembang
di masyarakat di antaranya yaitu bahwa pendidikan agama Islam dipandang kurang
berhasil dalam membentuk sikap, prilaku, dan pembiasaan peserta didik, sebagai
indikatornya antara lain adalah: (1) rendahnya minat dan kemampuan siswa/mahasiswa
untuk melaksanakan ibadah; (2) tidak mampu baca tulis Al-Qur’an; (3) berprilaku
kurang terpuji bahkan melakukan tindakan kriminal, misalnya aksi kekerasan, anarkhisme,
premanisme, munculnya white collar crimes (kejahatan kerah putih atau kejahatan
yang dilakukan kaum berdasi), seperti para eksekutif, birokrasi, guru,
politisi, serta isu korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh
para elit, juga merupakan bagian dari kegagalan pendidikan agama Islam.[9]
Selama ini telah banyak pemikiran
dan kebijakan yang diambil dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan agama
Islam yang diharapkan mampu memberikan nuansa baru bagi pengembangan sistem
pendidikan agama Islam di Indonesia dan sekaligus hendak memberikan kontribusi
dalam menjabarkan makna pengembangan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia
yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tertuang
dalam tujuan pendidikan nasional. Namun demikian, dalam praktiknya masih
belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Namun demikian beberapa hal agaknya pemikiran konseptual
pengembangan pendidikan agama Islam dan beberapa kebijakan yang diambil kadang-kadang terkesan mengebu-ngebu dan
idealis, tetapi di sisi lain para pelaksana di lapangan kadang-kadang mengalami
beberapa hambatan dan kesulitan untuk merealisasikannya atau bahkan intensitas
pelaksanaan dan efektivitasnya masih dipertanyakan.[10] Hal ini mungkin
disebabkan oleh kurangnya kejelasan dan lemahnya pemahaman paradigma (jendela
pandang) pengembangan pendidikan agama Islam itu sendiri, yang berimplikasi
pada kesalahan orientasi dan langkah, atau ketidakjelasan wilayah dan arah
pengembangannya.[11]
Dengan melihat SK Dirjen DIKTI Depdiknas Nomor:
43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi. Di dalamnya dinyatakan
bahwa:
1)
Visi
kelompok MPK di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam
pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan peserta didik
memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya.
2) Misi kelompok MPK di perguruan tinggi membantu
peserta didik memantapkan kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan
nilai-nilai dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air
sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni yang dimilikinya dengan rasa tanggung jawab.[12]
Beberapa
kebijakan tentang pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah maupun di
Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang telah disebutkan di atas sebenarnya sudah
idealis, akan tetapi dalam praktik dan implementasinya di lapangan masih belum
terealisasikan sepenuhnya dengan baik. Di samping itu, berdasarkan Pasal 37
ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, menunjukkan
bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan mata pelajaran yang wajib
diajarkan dalam setiap kurikulum, jenis, dan jenjang pendidikan.
Dengan demikian sudah menjadi keputusan sistemik di Indonesia bahwa Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah maupun di Perguruan Tinggi Umum
(PTU) merupakan bagian integral dari sistem
pendidikan nasional. Karena sudah ada ketentuan hukum yang secara tegas
menjamin dan mewajibkan adanya Pendidikan Agama Islam (PAI) di setiap jalur dan
jenjang pendidikan.
Oleh
karena itu, seharusnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah maupun
di Perguruan Tinggi Umum
(PTU) tidak hanya diajarkan
berdasarkan teorinya saja yang menekankan aspek kognitif atau tidak hanya
berupa transfer of knowledge, dan juga tidak hanya lebih menekankan pada
aspek knowing dan doing, akan tetapi harus banyak mengarah pada
aspek being. Di mana mengubah pengetahuan agama Islam yang kognitif
menjadi pengetahuan agama Islam yang lebih banyak menekankan aspek afektif
(sikap) yang mengandung makna dan nilai dari pengetahuan agama tersebut yang
lebih mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang perlu
diinternalisasikan dalam diri peserta didik.
Pernyataan
tentang pendidikan agama Islam sebagai sumber nilai atau pedoman ternyata belum
mewarnai lingkungan dan atmosfer kehidupan sekolah maupun di perguruan tinggi
pada umumnya. Hal
ini dirasa sangat diperlukan model-model pengembangan pendidikan agama Islam di
sekolah dan Perguruan Tinggi Umum (PTU)
untuk
memberikan deskripsi tentang pengembangan pendidikan agama Islam melalui potret atau pemetaan paradigma
yang ada dan memperjelas orientasi dan wilayah dari masing-masing paradigma
tersebut. Dengan demikian, para pemimpin atau pengelola sekolah dan Perguruan Tinggi Umum
(PTU) dapat melakukan evaluasi diri, paradigma mana yang
seharusnya dikembangkan untuk menatap masa depan bangsa
Indonesia menuju masyarakat madani.[13]
Model-model
pengembangan pendidikan
agama Islam di sekolah dan
Perguruan Tinggi Umum (PTU), yakni sebagai berikut:
1)
Model Dikotomis
Pada model ini aspek kehidupan dipandang
dengan sangat sederhana dan kata kuncinya adalah dikotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua
sisi yang berlawanan seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat
dan tidak bulat, pendidikan agama dan pendidikan non-agama,
demikian dan seterusnya. Pandangan dikotomis
tersebut pada gilirannya dikembangkan dalam memandang aspek kehidupan dunia dan
akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan agama Islam hanya diletakkan
pada kehidupan akhirat saja ataupun kehidupan rohani saja.
Pandangan semacam ini
akan berimplikasi pada pengembangan pendidikan agama Islam yang hanya berkisar
pada aspek kehidupan ukhrawi yang terpisah dengan kehidupan duniawi. Pendidikan agama Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan
spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu pengetahuan
dan teknologi serta seni dan sebagainya sebagai urusan duniawi yang menjadi
bidang garap pendidikan non-agama.
Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam sistem pendidikan.
Demikian
pula pendekatan yang digunakan lebih bersifat keagamaan yang normatif, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (aktor)
yang loyal (setia), memiliki sikap komitmen
(kebepihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari.
Sementara itu, kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis
kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditindih oleh
pendekatan keagamaan yang normatif
dan doktriner tersebut.[14]
2)
Model Mekanisme
Di
dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, mekanisme secara etimologis berarti hal kerja mesin,
cara kerja suatu organisasi, atau hal saling bekerja seperti mesin, kalau yang
satu bergerak, maka yang lain turut bergerak. Model mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek
dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan seperangkat nilai kehidupan,
yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan sebuah
mesin yang terdiri atas beberapa komponen atau elemen, yang masing-masing
menjaga fungsinya sendiri-sendiri dan antara satu dengan yang lainnya bisa
saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri
terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai sosial, nilai politik, nilai
ekonomi, nilai rasional, nilai estetika, nilai biofisik dan lain-lain. Dengan demikian aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari
aspek-aspek atau
nilai-nilai kehidupan lainnya. Hubungan
antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (independent) atau lateral-sekuensial atau vertical linier).
Relasi
yang bersifat horizontal-lateral (independent), mengandung arti bahwa beberapa
mata pelajaran (mata kuliah) yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajat yang independen dan tidak saling
berkonsultasi. Relasi yang bersifat lateral-sekuensial,
berarti di antara masing-masing mata pelajaran (mata kuliah) tersebut mempunyai relasi sederajat yang bisa
saling berkonsultasi.
Sedangkan relasi vertical linier, berarti
mendudukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi,
sementara seperangkat mata pelajaran (mata kuliah)
yang lain adalah termasuk pengembangan
nilai-nilai insani yang mempunyai relasi vertical-linier dengan
agama.[15]
Mata
pelajaran pendidikan agama merupakan salah satu seperangkat ilmu pengetahun yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu:
a. Pengembangan
dan peningkatan keimanan dan ketakwaan.
b. Penyaluran
bakat dan minat dalam mendalami agama.
c. Perbaikan
kesalahan, kekurangan dan kesalahan dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan
ajaran agama.
d. Pencegahan
hal-hal negatif dari lingkungan atau budaya asing yang
berbahaya.
e. Sumber
nilai atau pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
f. Pengajaran
atau penyampaian pengetahuan keagamaan.
Jadi
pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi
afektif dari pada kognitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan
psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual) yang berbeda
dengan mata pelajaran lainnya.[16]
Maka
menurut hemat penulis, nilai-nilai moral dan spiritual itu yang harus dikembangkan dalam pendidikan agama Islam. Tanpa mengabaikan nilai-nilai pengetahuan dan
keterampilan. Karena akan sangat tidak berarti apa-apa jika
tingkat pengetahuan dan keterampilan menonjol tetapi sikap/moralnya
tidak sesuai dengan ajaran agama.
Kebijakan tentang pembinaan pendidikan agama Islam secara
terpadu di sekolah, misalnya antara lain menghendaki agar pendidikan agama dan
sekaligus para guru/dosen agamanya mampu memadukan mata pelajaran agama dan
mata pelajaran umum. Kebijakan
ini akan sulit diimplementasikan pada sekolah atau
Perguruan Tinggi
Umum (PTU) yang
cukup puas hanya mengembangkan pola relasi horizontal-lateral (independent). Barangkali kebijakan tersebut relatif mudah diimplementasikan pada lembaga
pendidikan yang mengembangkan pola lateral-sekuensial.
Hanya saja implikasi dari kebijakan tersebut adalah para
guru/dosen agama harus menguasai ilmu agama dan memahami substansi ilmu ilmu umum,
sebaliknya guru/dosen umum dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu umum (bidang
keahliannya) dan memahami dasar-dasar ajaran dan nilai-nilai agama. Bahkan guru/dosen agama dituntut untuk mampu
menyusun buku-buku teks
keagamaan yang dapat menjelaskan hubungan antara keduanya.[17]
3)
Model Organisme/Sistemik
Meminjam istilah biologi “organism” dapat berarti susunan yang bersistem dari bagian jasad hidup untuk suatu tujuan.
Dalam konteks pendidikan agama Islam, model organisme
bertolak dari pandangan bahwa aktivitas kependidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu,
yaitu terwujudnya hidup yang religious atau
dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama.
Pandangan semacam ini menggarisbawahi pentingnya kerangka pemikiran
yang dibangun dari fundamental doctrines dan fundamental values
yang tertuang dan terkandung
dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai agama didudukkan
sebagai sumber konsultasi yang bijak,
sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai hubungan vertical-linier
dengan nilai-nilai agama.
Melalui upaya tersebut, maka sistem pendidikan agama
Islam diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai
agama dan etika, serta mampu melahirkan manusia yang menguasai dan menerapkan
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, memiliki kematangan professional, dan
sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.[18]
Berbagai krisis multidimensional yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia memang tidak
bisa hanya dilihat dan diatasi melalui pendekatan mono-dimensional. Namun demikian, karena segala krisis tersebut berpangkal dari
krisis akhlak atau moral, maka pendidikan agama Islam dipandang memiliki
peranan yang sangat vital dalam membangun watak dan peradaban bangsa yang
bermartabat. Untuk itu, diperlukan pengembangan pendidikan agama Islam yang lebih kondusif dan
prospektif terutama di sekolah atau perguruan tinggi. Model pengembangannya perlu
direkonstruksi, dari model yang bersifat dikotomik dan mekanisme ke arah
model organisme atau sistemik. Hanya saja untuk merombak model tersebut diperlukan kemampuan dan political will dari para pengambil kebijakan,
termasuk di dalamnya para pemimpin lembaga pendidikan itu sendiri.[19]
3.
Implementasi Pengembangan
Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Pendidikan agama di sekolah
dapat dikategorikan sebagai bagian dari pendidikan agama Islam, dalam kaitannya
dengan tujuan mengembangkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt., Tuhan
Yang Maha Kuasa. Kategori sebagai pendidikan agama Islam ini terutama dilihat dari
pengertian nya dari sudut filosofisnya, bahwa esensi pendidikan agama Islam
adalah untuk mengembangkan pribadi muslim yang memahami ajaran agamanya dan
dapat mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai pengabdian kepada
Allah, Sang Pencipta.[20]
Penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah dewasa ini diselenggarakan berdasarkan berdasarkan
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan Agama Islam (PAI)
merupakan salah satu mata pelajaran wajib yang harus diajarkan di setiap jalur,
jenis dan jenjang pendidikan nasional, tidak terkecuali di sekolah umum baik
negeri maupun swasta, serta baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah.
Kewajiban penyelenggara pendidikan untuk mengadakan
kurikulum pendidikan agama sejalan dengan kurikulum wajib lainnya menunjukkan
perhatian yang besar dari para pengambil kebijakan negara terhadap pentingnya
arti pendidikan agama dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional itu
sendiri.[21]
Kurikulum dan materi pendidikan agama yang dituangkan ke dalam bentuk GBPP
(Garis-garis Besar Program Pembelajaran) merujuk kepada kebijakan pemerintah.
Arah, tujuan dan ruang lingkup materi pendidikan agama Islam dapat dilihat dari
GBPP 1994 dan 1999.
Dalam GBPP Pendidikan Agama Islam tahun 1994 disebutkan
tujuan pendidikan agama Islam, yaitu untuk meningkatkan keimanan, pemahaman,
penghayatan, dan pengamalan peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi
manusia muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., serta berakhlak
mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam
GBPP tahun 1999, rumusan tersebut lebih diringkas lagi dengan kandungan
pengertian yang tidak berbeda, yaitu agar siswa memahami, menghayati, meyakini,
dan mengamalkan ajaran Islam sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan
bertakwa kepada Allah Swt., dan berakhlak mulia.[22]
Dari penjelasan tentang tujuan pendidikan agama Islam di sekolah di atas tampaknya dalam
realisasi serta implementasinya di lapangan masih belum tercapai dengan baik.
Materi dari kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah, yang merupakan
pembekalan untuk membentuk sosok pribadi muslim yang beriman dan mengamalkan
ajaran agamanya, di
dalam praktik pembelajaran yang hanya mendapatkan alokasi waktu 2 atau 3 jam pelajaran per minggu
mencakup aspek yang luas dan karenanya menjadi sangat padat materi, dan lebih
berorientasi pada aspek kognitif. Hal ini menjadikan penyelenggaraan pendidikan
agama Islam kurang terarah bagi pencapaian ketiga ranah pendidikan, yaitu aspek
kognitif (pengetahuan), afektif dan psikomotorik (penghayatan dan pembentukan
perilaku dan tindakan pengamalan ajaran).
Oleh karena itu sebaiknya dalam implementasi pendidikan
agama Islam di sekolah perlu dikembangkan lagi dengan beberapa cara dan model pengembangan
agar tujuan dari pendidikan nasional itu dapat tercapai dengan baik, serta agar
pembelajaran pendidikan agama Islam tersebut selain menyampaikan pengetahuan
tentang agama Islam itu sendiri, juga dapat menumbuhkan kemauan dan tekad dalam
diri peserta didik untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama Islam dalam
kehidupan sehari-hari mereka.
Pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam di
sekolah sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait
implementasinya di lapangan. Untuk mencapai keberhasilan pendidikan agama Islam banyak sekolah mengembangkan pembiasaan
budaya agama (religious culture)
di sekolah yang mendukung proses pendidikan agama Islam yang memenuhi aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik yang tergambar pada sikap dan perilaku para
siswa. Pembiasaan budaya agama (religious
culture) yang dikembangkan di sekolah-sekolah,
contohnya seperti pembiasaan pemberlakuan tradisi ritual keagamaan tertentu,
membaca doa sebelum memulai pelajaran, shalat berjamaah di sekolah, peringatan
hari besar Islam, dan sebagainya.
Selain itu, kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam
diarahkan untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan
ajaran agama Islam dari peserta didik, yang di samping untuk membentuk
kesalehan atau kualitas pribadi, juga sekaligus untuk membentuk kesalehan
sosial.[23] Kesalehan pribadi mengandung makna seseorang muslim yang baik,
yang memiliki komitmen untuk memperbaiki, meningkatkan serta mengembangkan
potensi dan kreativitas dirinya sekaligus meningkatkan kualitas keimanan dan
ketaqwaannya secara berkelanjutan. Sedangkan kesalehan sosial mengandung
makna seseorang yang kreatif tersebut memiliki kepedulian untuk berhubungan
secara harmonis dengan lingkungan sosial dan alam sekitarnya, sekaligus mampu
ikut bertanggung jawab terhadap pengembangan masyarakatnya atau memiliki keunggulan
partisipatoris yang dilandasi oleh
tingginya kualitas iman dan taqwa terhadap Allah Swt.[24]
Karena
itu, pengembangan pendidikan agama Islam diharapkan agar mampu menciptakan ukhwah
islamiyah dalam arti luas, yakni persaudaraan yang bersifat Islami, bukan
sekedar persaudaraan antar umat Islam sebagaimana yang selama ini dipahami,
serta mampu membentuk kesalehan pribadi sekaligus pribadi sosial.[25]
Hal ini mengingat bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia merupakan masyarakat
yang serba prural, masyarakat yang berbeda-beda agama, ras, etnis, tradisi dan
budaya. Tetapi bagaimana melalui keragaman ini dapat dibangun suatu tatanan
hidup serta toleransi yang dinamis dalam membangun bangsa Indonesia.
4.
Implementasi Pengembangan
Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU)
Perguruan
tinggi merupakan salah satu lembaga pendidikan yang secara formal diserahi
tugas dan tanggung jawab mempersiapkan mahasiswa sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional, yaitu mengisi kebutuhan masyarakat akan tersedianya tenaga
ahli dan tenaga terampil dengan tingkat dan jenis kemampuan yang sangat
beragam. Berdasarkan hal tersebut, struktur perguruan tinggi di Indonesia dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu: Pertama, Perguruan Tinggi
Umum (PTU) yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Kedua,
Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yang dikelola oleh Departemen Agama.[26]
Penggelompokkan perguruan tinggi di Indonesia seperti ini berimbas kepada jenis
penyelenggaraan pendidikan agama Islam, tujuan serta kurikulum pendidikan agama
Islam pada dua kelompok perguruan tinggi tersebut.
Implementasi pembelajaran pendidikan agama Islam antara di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan di Perguruan Tinggi Umum (PTU) sangatlah berbeda. Hal ini dapat dilihat dari
tujuan penyelenggaraan pendidikan agama Islam yang berbeda dari dua kelompok
perguruan tinggi tersebut, di mana tujuan penyelenggaraan
pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) yaitu mencetak
para ahli agama (ulama) dalam semua tingkat, kurikulumnya juga lebih dominan
menekankan aspek keagamaan Islam serta nuansa dan lingkungan yang religius juga
lebih terlihat
di kampus atau universitas yang berciri khas agama Islam.
Berbeda
dengan penyelenggaraan pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU), di
mana bertujuan untuk memenuhi kewajiban setiap orang mengetahui dasar-dasar
ajaran agamanya sebagai seorang pemeluk agama, kurikulum pendidikan agama Islam
di Pergurun Tinggi Umum (PTU) hanya merupakan mata kuliah pengembangan
kepribadian, bukan merupakan mata kuliah dasar keahlian dan mata kuliah
keahlian, dan kondisi perbedaan latar belakang keagamaan mahasiswanya juga
bermacam-macam, dalam arti mahasiswanya lebih bersifat heterogen. Jadi dengan
keadaan yang seperti itu, sangat sulit untuk menciptakan lingkungan yang
religius bernuansa Islami.
Struktur
pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya yang bersifat umum, memberikan
kemampuan bagi mahasiswa untuk mempelajari suatu bidang ilmu yang sesuai dengan
minat dan kemampuannya. Hal ini tercermin dari sejumlah program studi yang
disediakan oleh perguruan tinggi yang kurikulumnya nasionalnya telah ditetapkan
oleh Departemen Pendidikan Nasional (untuk program sarjana).
Kurikulum
pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan,
dan bahasa. Apabila ditinjau dari kurikulum pendidikan tinggi tersebut, tambak
bahwa mata kuliah agama dan etika merupakan mata kuliah wajib di seluruh
perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah memandang penting agama
dan etika dalam proses pendidikan tinggi, dengan harapan bahwa mahasiswa akan
mempunyai penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang baik disertai
dengan keimanan dan ketakwaan (IMTAK) yang mendalam. Hal ini menjadi tolak ukur
sosok manusia Indoneisa yang seutuhnya dan diharapkan mampu menjawab tantangan
perkembangan dunia.[27]
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sekarang ini menghadapkan manusia
kepada situasi yang cepat berubah, sehingga pergeseran nilai-nilai sosial dan
budaya dalam masyarakat tidak dapat dihindarkan lagi. Dalam situasi seperti
ini, nilai-nilai universal yang mengacu kepada petunjuk wahyu semakin kuat
peranannya, karena ia memberikan dasar-dasar moralitas yang kokoh dalam
melestarikan harkat dan martabat manusia
yang tinggi dan menyelamatkannya dari degradasi
nilai dan demoralisasi yang biasanya menyertai kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, peran pendidikan agama Islam, khususnya di Perguruan Tinggi Umum (PTU) semakin penting.
Terlebih lagi bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila di mana pendidikan tidak
hanya menghendaki terwujudnya sarjana yang cerdas dan terampil saja, melainkan
sosok pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Untuk
mencapainya tentu saja melalui pendidikan nilai-nilai agama, dalam hal ini pendidikan agama Islam.[28]
Namun
demikian, hal terpenting yang perlu ditekankan adalah bagaimana mengemas dan
mengisi mata kuliah agama dan etika Islam agar mampu menjawab tantangan
perkembangan dunia, dengan sedikitnya SKS terkait pendidkan agama Islam di
Perguruan Tinggi Umum (PTU). Hal ini sebagaimana pada pelaksanaan Pendidikan
Agama Islam (PAI) di Universitas Indonesia (UI), di mana mata kuliah Pendidikan
Agama Islam (PAI) yang bermuatan 2 (dua)
SKS diberikan dalam satu semester yang diambil mahasiswa semester 3 ke atas.
Dalam satu semester terdapat paling banyak 14 kali pertemuan.[29]
Menurut
idealnya, Pendidikan Agama Islam (PAI) menempati posisi kunci dan penting,
terintegrasikan secara fungsional dengan berbagai disiplin ilmu atau bidang studi dan berperan menentukan kelulusan. Namun dalam kenyataannya dan pelaksanaannya, pendidikan agama Islam masih menempati posisi marginal (pinggiran), teralienasi (terasing), dan tidak menentukan kelulusan. Selain itu, mata kuliah pendidikan agama Islam
bukanlah mata
kuliah keahlian, tetapi hanya merupakan mata kuliah umum yang
bersifat melayani dan tidak berpengaruh dalam menentukan kelulusan
atau kesarjanaan seorang mahasiswa.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dilihat dari visi pendidikan agama
Islam sebagai bagian dari mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi
Umum (PTU) tersebut, maka idelanya pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi
Umum (PTU) dikembangkan ke model organisme/sistemik, yang menjadikan pendidikan
agama Islam sebagai sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi
serta membantu peserta didik calon sarjana agar mampu mewujudkan nilai dasar
agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Akan tetapi realitas di lapangan, fenomena yang ada
menunjukkan bahwa pada umumnya pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum
(PTU) dilaksanakan dengan menggunakan model dikotomis/mekanisme, meksipun ada beberapa yang Perguruan Tinggi Umum
(PTU) yang menggunakan model organisme/sistemik. Hal ini setidak-tidaknya dapat diamati dari pelaksanaan pendidikan
di Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang mana nilai-nilai agama belum mampu mewarnai
pengembangan program studi-program studi yang ada, dan belum mampu mewujudkan
nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.[30]
C.
KESIMPULAN
Setelah mengkaji tentang studi
kebijakan pengembangan pendidikan agama Islam di
sekolah dan Perguruan
Tinggi Umum (PTU) ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Kebijakan
pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah dirumuskan
dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
yang telah disahkan oleh DPR Republik Indonesia pada tanggal 11 juni 2003 dan
diundangkan pada tanggal 8 juli 2003. Selanjutnya kebijakan tentang tujuan
kelompok mata pelajaran Agama dan Akhlak Mulia yang termuat dalam Permendiknas
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
2.
Kebijakan
pengembangan pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU) dirumuskan
dalam Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang
Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi. Di dalamnya dinyatakan bahwa visi
kelompok MPK di perguruan tinggi merupakan sumber nilai dan pedoman dalam
pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan peserta didik
memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian misi
kelompok MPK di perguruan tinggi membantu peserta didik memantapkan
kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai dasar
keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air sepanjang hayat
dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni yang dimilikinya dengan rasa tanggung jawab.
3.
Pengembangan pembelajaran
pendidikan agama Islam di sekolah sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai
permasalahan terkait implementasinya di lapangan. Untuk mencapai keberhasilan
pendidikan agama Islam banyak sekolah
mengembangkan pembiasaan budaya agama (religious
culture) di sekolah yang mendukung proses
pendidikan agama Islam yang memenuhi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
yang tergambar pada sikap dan perilaku para siswa. Pembiasaan budaya agama (religious culture) yang dikembangkan di
sekolah-sekolah, contohnya seperti pembiasaan pemberlakuan tradisi ritual
keagamaan tertentu, membaca doa sebelum memulai pelajaran, shalat berjamaah di
sekolah, peringatan hari besar Islam, dan sebagainya.
4.
Dilihat dari visi dan misi pendidikan
agama Islam sebagai bagian dari mata kuliah pengembangan kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi
Umum (PTU) tersebut, maka idelanya pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi
Umum (PTU) dikembangkan ke model organisme/sistemik, yang menjadikan pendidikan
agama Islam sebagai sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi
serta membantu peserta didik calon sarjana agar mampu mewujudkan nilai dasar
agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Akan tetapi
realitas di lapangan, fenomena
yang ada menunjukkan bahwa pada umumnya
pendidikan agama Islam di Perguruan Tinggi Umum (PTU) dilaksanakan dengan
menggunakan model dikotomis/mekanisme, meksipun ada beberapa yang Perguruan Tinggi Umum (PTU) yang menggunakan
model organisme/sistemik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam
dari Ordonansi Guru sampai UU
Sisdiknas, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013.
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam
Berbasis Kompetensi (Konsep Implementasi Kurikulum 2004), Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005.
Keputusan Dirjen
DIKTI Depdiknas Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan
Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi.
Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa:
Tinjauan Kebijakan Publik Terhadap Pendidikan Islam, Bogor: Yayasan Ngali
Aksara dan Al-Manar Press, 2011.
Muhaimin,
Paradigma Pendidikan Islam: Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2012.
Muhaimin, Pemikiran
dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005.
Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam: Dari
Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi
Pembelajaran, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di
Indonesia Pasca Kemerdekaan, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Permendiknas
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan.
Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, Isu-isu
Kontemporer Tentang Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2010.
Tim Pakar Fakultas
Tarbiyah UIN Malang, Pendidikan Islam dari
Paradigma Klasik hingga Kontemporer, Malang: UIN Malang Press, 2009.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
W.S.
Winkel, Psikologi Pengajaran,
Jakarta: Grasindo, 1996.
[1]
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam
Berbasis Kompetensi (Konsep Implementasi Kurikulum 2004), (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), hlm. 132.
[2] Muhaimin, Pemikiran dan
Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 1.
[3]
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm. 23.
[4] Aspek afektif menyangkut kemampuan anak didik
untuk menerima, berpartisipasi, menilai, mengorganisasi, serta membentuk pola
hidup. Selanjutnya, aspek psikomotorik menyangkut kemampuan anak didik untuk
melakukan persepsi, melakukan gerakan terbimbing, melakukan gerakan yang
terbiasa, melakukan gerakan yang kompleks, melakukan penyesuaian pola gerakan
dan mengembangkan kreativitas. W.S. Winkel, Psikologi
Pengajaran, (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm. 245.
[5]
Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam
dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013), hlm. 137.
[8] Muhaimin, Rekonstruksi
Pendidikan Islam: Dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum
hingga Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.
51.
[9] Tim Pakar Fakultas Tarbiyah
UIN Malang, Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer, (Malang: UIN Malang Press,
2009), hlm. 4.
[10]
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 36.
[12]
Keputusan Dirjen
DIKTI Depdiknas Nomor: 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi.
[20]
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di
Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 119.
[26]
Samsul Nizar dan Muhammad Syaifudin, Isu-isu
Kontemporer Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm. 236.
[29]
Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa:
Tinjauan Kebijakan Publik Terhadap Pendidikan Islam, (Bogor: Yayasan Ngali
Aksara dan Al-Manar Press, 2011), hlm. 239.
No comments:
Post a Comment