PENGEMBANGAN
KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PESANTREN
Oleh: ARIF SETIAWAN (16771025)
A. PENDAHULUAN
Kurikulum
merupakan alat yang sangat penting dalam keberhasilan suatu pendidikan, tanpa
adanya kurikulum yang baik dan tepat maka akan sulit dalam mencapai
tujuan dan sasaran pendidikan yangtelah dicita-citakan oleh suatu lembaga
pendidikan, baik formal, informal maupun non formal. Karena segala sesuatu
harus ada manajemennya bila ingin menghasilkan sesuatu yang baik, sesuai dengan yang diharapakan.
Pondok pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang berfungsi sebagai salah satu
benteng pertahanan umat islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat
muslim di Indonesia. Istilah pondok pesantren pertama kali dikenal di Jawa, di
aceh dikenal dengan rangkah dan dayah, di Sumatra Barat dikenal dengan surau.[1]
Dimana kurikulum
senantiasa mengalami perubahan, perbaikan dan pembahruan. Di Indonesia, telah
tercatat dalam sejarah pendidikannya telah mengalami beberapa kali perubahan
kurikulum seiring perubahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Disamping
kurikulum formal dan non formal, terdapat juga kurikulum tersembunyi (the hidden curriculum). Dimana
kurikulum ini antara lain berupa aturan-aturan yang tidak tertulis, yang
tentunya kurikulum ini bisa berkonotasi positif maupun negatif.
Apabila
hal ini dikaitkan dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan bahwa konsep
kurikulum yang digunakan dalam pondok pesantren tidak hanya mengacu pada
pengertian kurikulum sebagai materi semata, melainkan jauh lebih luas dari itu,
yakni menyangkut keseluruhan pengalaman belajar santri yang masih berada dalam
lingkup koordinasi pondok pesantren. Termasuk didalamnya sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di
pesantren, yang mana perlu diadakan suatu rekonstruksi sesuai dengan tuntutan
masyarakat dan jaman. Sehingga misi dan cita-cita pondok pesantren dapat
berperan dalam pembangunan masyarakat.
Salah satu
keunikan pesantren adalah independensinya yang kuat, dimana masyarakat memiliki
keleluasaan dan kebebasan relatif yang tidak harus memihak atau mengikuti model
baku yang ditetapkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantren bebas
mengembangkan model pendidikannya tanpa harus mengikuti standarisasi dan
kurikulum yang ketat. Karena cenderung pada sentralistik yang berpusat di
tangan kyai. Model pendidikan seperti inilah yang berjalan di pesantren menjadi
sangat beragam sesuai dengan kecenderungan dan misi yang ingin dikembangkan
oleh sang kyai, yang sebagai pemimpin sekaligus sebagai pengasuh pondok
pesantren.
Lemahnya visi
dan tujuan pendidikan pesantren marupakan penekanan yang berlebihan terhadap
satu aspek disiplin keilmuan tertentu, sehingga mengabaikan aspek keilmuan
lainnya yang mana telah mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Karena
pelajaran agama masih dominan di beberapa lingkungan pesantren, bahkan materinya
hanya khusus disajikan dalam bentuk bahasa arab, dan pengetahuan umum
dilaksanakan hanya setengah-setengah, sehingga kemampuan santri terbatas dan
masih kurang mendapat pengakuan dari sebagian masyarakat.[2]
Oleh karena itu,
dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian
kurikulum pembelajaran dalam pendidikan pesantren dan problematikanya(secara
umum beserta faktor penghambat dan pendukung), kemudian agenda inovasi
kurikulum dalam pendidikan pesantren.
B. Pengertian
Kurikulum
1.
Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Kata
“kurikulum” berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan dalam bidang olah
raga yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yaitu jarak yang
harus ditempuh dari start sampai ke finish. Dan lambat laun pengertian ini
digunakan dalam dunia pendidikan. Dalam bahasa Arab kurikulum di istilahkan
dengan manhaj, yaitu jalan yang terang, atau jalan yang terang yang
dilalui manusia pada kehidupanya. Dalam konteks pendidikan kurikulum berarti
jalan terang yang diikuti oleh guru dan peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan, ketrampilan, sikan dan nilai-nilai kependidikan.[3]
Sedangkan menurut Anin, kurikulum adalah
seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada peserta
didik, agar visi, misi dan tujuan pendidikan dapat tercapai.[4] Dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan
modern berisi materi-materi yang cenderung kearah pengembangan potensi
murid (child centered) guna kepentingan hidup di
masyarakat (community centered), sedangkan kurikulum tradisional
lebih mengarah kepada pendidikannya(education centered).
Dari beberapa definisi kurikulum di atas, dapat
kita ambil titik tengahnya. Pada dasarnya kurikulum dapat diklafisikasikan
menjadi dua, pertama kurikulum sebagai program yang
direncanakan dan dilaksanakan di sekolah. Kedua, kurikulum
sebagai program yang direncanakan dan dilaksanakan secara nyata di kelas.
Perencanaan dan pelaksanaannya tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kurikulum berkedudukan
sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Maka kurikulum dalam
kedudukannya memiliki anticipatory(dapat meramalkan kejadian dimasa
depan) bukan hanya sekedar reportorial (melaporkan informasi
hasil belajar peserta didik).
2.
Ciri, Komponen dan Prinsip Kurikulum Pendidikan
Islam
1. Lebih mementingkan tujuan
agama dan akhlak dalam berbagai hal seperti tujuan dan kandungan, kaidah, alat
dan tehniknya.
2. Meluaskan perhatian dan
kandungnnyamencakaup perhatian, pengembangan serta bimbingan terhadap segala
aspek pribadi pelajar baik dari segi intelektual, psikologi, sosial maupun
spiritual. Oleh karena itu murid harus diajarkan bermacam-macam ilmu
pengetahuan, seperti; al-qur’an, al-tafsir, ilmu fiqh, ilmu tauhid, aqidah,
filsafat akhlak, ilmu sejarah, sastra, matematika dan lain sebagainya. Pada
dasarnya murid atau santri harus mempelajari semua ilmu.
3. Adanya prinsip keseimbangan
antara kandungan kurikulum tentang ilmu dan seni, pengalaman dan kegiatan
pengajaran.
4. Menekankan
kepada konsep secara menyeluruh, keseimbangan pada kandungannya yang tidak
terbatas pada ilmu-ilmu teoritis baik yang bersifat naqli maupun aqli. Tetapi meliputi aktivitas pendidikan seni,
jasmani, bahasa,dan lain sebagainya.
5. Keterkaitan antara kurikulum
pendidikan Islam dengan minat, kemampuan, keperluan dan perbedaan individual
antara peserta didik
Komponen-komponen kurikulum pendidikan Islam
Fungsi
kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan
pendidikan, adapun komponen-komponen tersebut meliputi; komponen tujuan,
komponen isi atau materi, komponen metode ataustrategi dan
evaluasi.[6]
Komponen tujuan, tujuan merupakan hal yang ingin dicapai
oleh lembaga pendidikan secara keseluruhan baik secara kognitif, afektif dan
psikomotorik. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan
statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang,
berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.
Komponen materi, komponen isi yang berupa materi yang
diprogramkan adalah untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan,
materi tersebut berupa materi bidang studi yang bersumber dari
al-qur’andanal-hadits.
Komponen metode, adapun metode-metode yang digunakan adalah
untuk menjelaskan materi pendidikan kepada peserta didik.
Komponen evaluasi, merupakan cara atau tehnik penilaian
terhadap tingkah laku peserta didik berdasarkan standar yang komprehensif, baik
dari aspek psikologis maupun spiritual.
Prinsip-prinsip kurikulum Pendidikan islam;
1. Pinsip
berorientasi kepada Islam, baik dari ajarannya maupun nilai-nilainya.
2. Prinsip
berorientasi pada tujuan, dimana semua aktifitas kurikulum harus terarah.
3. Prinsip
keseimbangan, relatif seimbang antara tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum.
4. Prinsip
perkembangan dan perubahan, sesuai dengan perubahan dan tuntutan zaman.
5. Prinsip
integritas, menghasilkan manusia yang seutuhnya (selaras dunia dan akhirat).
6. Prinsip
relevansi, pendidikan dapat mempengaruhi jenis dan mutu tenaga kerja.
7. Prinsip
efisiensi, mendayagunakan waktu, biaya, tenaga, sehingga sesuai dengan
hasil yang diharapkan.
8. Prinsip
kontinuitas, selalu kesinambungan dengan kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya.
9. Prinsip
individualisasi, memperhatikan perbedaan pembawaan dan lingkungan pada umumnya
yang meliputi pendidik maupun peserta didik.
10. Prinsip long life
education,konsep yang diterapkan di dalam kurikulum diharapkan mengingat
akan keutuhan potensi manusia yang berkembang dan butuh wawasan dalam hidupnya.[7]
Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, maka
diperlukan ilmu yang meliputi pengetahuan secara teoritis dan praktis. Pada
konteks inilah kurikulum pendidikan Islam harus mempertimbangkan adanya
kenyataan klasifikasi ilmu, seperti yang telah dirumuskan oleh para ahli
disiplin ilmu maupun pemikir muslim, yang lebih penting lagi kurikulum
pendidikan yang telah disusun harus senantiasa mempertimbangkan content
dan applicationnya.
C. Model Pengembangan Kurikulum PAI di
Pesantren
1.
Pesantren
dan Model Pengembangan Kurikulum
Dalam diskursus pendidikan pesantren dapat
dipahami sebagai lembaga tradisional pendidikan untuk memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh
fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman
hidup bermasyarakat sehari-hari.[8]
Penyelenggaraan lembaga pendidikan pesantren berbentu asrama yang merupakan
komunitas tersendiri dibawah ulama atau kyai dibantu oleh beberpa orang ulama
atau para ustadz yang hidup ditengah-tengah para santri dengan masjid sebagai
pusat kegiatan peribadatan.
Dalam
pendidikan pesantren setidak-tidaknya didalamnya ada unsur kyai, pondok,
masjid, santri, dan pengajaran kitab-kitab kuning. [9]Kyai
yang mengajar dan mendidik, masjid tempat penyelenggaraan pendidikan, shalat
berjamaah dan sebagainya, serta pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para
santri.[10]
Menurut
Imam Bawani, jika dilihat dari proses muncul atau lahirnya sebuah pesantren,
maka kelima elemen tersebut urutanya adalah: kyai, santri, masjid, santri,
pondok, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Kyai sebagai cikal-bakal berdirinya
pesantren biasanya tinggal dipemukiman baru yang cukup luas, karena terppanggil
untuk berdakwah, maka beliau mmendirikan masjid yang terkadang berawal dari
mushalla atau langgar sederhana. Ketika jamaah mulai ramai, dan yang tempat
tinggalnya jauh ingin menetap bersama kyai, maka mereka inilah dan para jama’ah
yang lain, yang biasanya disebut sebagai santri. Jika yang bermukin disana
jumlahnya cukup banyak, maka perlu dibangunkan pondok atau asrama khusus, agar
tidak mengganggu ketenangan masjid serta keluarga kyai. Dengan mengambil tempat
dimasjid, kyai mengajar para santrinya dengan materi pelajaran Islam klasik.[11]
Penjelasan
lebih luas mengenai unsur-unsur pesantren tersebut dijelaskan sebagai berikut;
1)
Kyai
Keberadaan
kyai dalam lingkungan pesantren merupakan hal yang mutlak, dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi, kyai adalah esensi dari pesantren, dan dalam banyak hal
kekhasan keilmuan disebuah pesantren itu tergantung pada kualitas dan
kualifikasi keilmua yang dipunyai oleh kyainya. Biasanya kyai adalah pendiri,
perintis, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan terkadang merupakan pemilik
tunggal suatu pesantren.
Gelar
kyai, biasanya diperoleh berkat kedalaman ilmu agamanya, kesungguhan
perjuanganya untuk kepentingan Islam, keteladanannya ditengah ummat,
kekhusukanya dalam beribadah dan kewibawaanya sebagai pemimpin. Pendidikan
tidak menjadi jaminan seseorang untuk menjadi kyai, tetapi faktor bakat dan
seleksi alamlah yang lebih menentukan.
Dalam
sebuah pesantren. Kyai sering kali mempunyai kekuasaan mutlak. Berjalan atau
tidaknya kegiatan apapun disitu, tergantung pada izin dan restu kyai. Untuk
menjalankan kepemimpinanya, unsure kewibawaan memegang peranan penting. Kyai
adalah tokoh yang berwibawa, baik dihadapan para ustadz yang menjadi pelaksana
kebijakanya, dihadapan para santri, dihadapan keluarga, dan kemudian
ditengah-tenga masyarakat luas kewibawaan seorang kyai juga sangat berpengaruh,
oleh karena itu kyai sering kali juga merupakan tokoh kunci dalam masyarakat.
2)
Masjid
Masjid merupakan
sentral bagi pesantren, karena disitulah sebagian besar aktifitas pembelajaran
dan kegiatan pesantren dijalankan. Oleh karena itu dibandingkan bangunan lain
dipesantren masjid adalah tempat palig ramai dan selalu dikunjungi, bukan hanya
sebagai tempat sholat, tetapi juga mengaji, dan tadarus (hal yang merupakan
kebiasaan para santri bahkan sampai larut malam)
Dalam kegiatan
pengajaran pesantren, masjid biasanya digunakan untuk mengaji bandongan,
sorogan, wekton, yang biasanya mengambil tempat secara rutin diserambi masjid.
Diluar jam pelajaran, diserambi yang sama biasanya digunakan untuk musyawarah,
diskusi memmbaca kitab, atau permasalahan actual dalam agama Islam.
3)
Santri
Istilah
santri menunjuk dan berkonotasi kepada dua pengertian. Pertama adalah mereka
yang taat menjalankan perintah agama Islam. Dengan pegertian ini mereka
dibedangan secara kontras dengan mereka yang disebut denga kelompok abangan
(yaitu mereka yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya jawa pra Islam
khususnya yang berasal dari mistisme hindu dan budha).[12]
Yang kedua adalah santri, mereka yang tengah menuntut ilmu dan sedang menempuh
pendidikan di pesantren. Keduanya berbeda tetapi mempunyai segi persamaan,
yaitu sama-sama taat dalam menjalankan syari’at Islam.
4)
Pondok
Dalam
dunia pesantren keberadaan pondok sangatlah penting, karena fungsinya sebagai
tempat tinggal atau asrama santri. Situasi dan bentuk pondok tentu saja
berbeda-beda, mengingat perbedaan dan karakteristik pesantren yang berbeda-beda
pula.
5)
Pengajaran
kitab klasik
Pada
masa lalu, pegajaran kitab-kitab klasik (baca kitab kuning), terutama karang
ulama yang menganut madzhab Syafi’i, merupakan satu-satunya pengajaran yang
diberikan dilingkungan pesantren. Dan
untuk sekarang, meskipun banyak pesantren telah memasukkan pelajaran ilmu umum,
namun pengajaran kitab-kitab klasik tetap diberikan sebagai upaya meneruskan
tradisi dan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut.
Dalam
pembelajaran di pesantren kitab-kitab klassik sering disebut sebagai kitab
kuning. Ya’kub menyebut kitab kuning sebagai kitab-kitab yang ditulis para
ulama klasik atau ulama kontemporer yang bermuatan ajaran-ajaran klasik. Kitab
itu disebut kitab kuning karena pada umumnya ditulis diatas kertas yang
berwarna kuning.[13]
Sekarang
ini hampir disemua jenis pesantren. Didalamnya terdapat jenis-jenis pendidikan.
Diantaranya yaitu;
1.
“Pesantren”
yang hanya mempelajari agama dengan kitab-kitab keagamaan klassik atau “kitab
kuning” dan berbentuk nonformal. Pola pengajaran pesantren ini menggunakan dua
sistem pengajaran sorogan dan bandongan, dan tidak menggunakan
sistem pembelajaran klasikal (penjenjangan).
2.
Madrasah
(sekolah agama)
3.
Sekolah
umum
Ketiga
jenis pendidikan terakhir ini berbentuk pendidikan formal, tetapi keempatnya
hidup dalam satu kampus pesantren, dan oleh karena itu semua siswanya disebut
santri.[15]
Sebagai contoh kita bisa melihat pesantren Matholiul Falah di Pati Jawa Tengah
yang mempunyai jenjang pendidikan yang lengkap, dan juga kita bias melihat
pesantren Lirboyo Kediri dan pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, keduanya
berasal dari daerah basis pesantren yaitu jawa timur. Mereka mempunyai jenis
dan pendidikan yang lengkap mulai dari madrasah (Madrasah Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, Aliyah), sampai pada tingkat perguruan tinggi.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren
mempunyai prinsip-prinsip yang didasarkan atas prinsip ajaran Islam yang
mendasari lembaga pendidikan ini. Seperti yang disinggung diatas bahwa
pesantren bertujuan untuk mengarahkan pada Tafaqquh Fid Din. Dalam
pesantren arti penting pengetahuan adalah untuk beribadah dan mengetahui
bagaimana tata cara beribadah. Mastuhu memberikan pengertian ibadah dalam
pesantren menjadi dua macam.
1) Melaksanakan doktrin agama atau perintah
agama yang sudah jelas dan pasti, tanpa menanyakan alasanya atau memikirkan
kenapa harus demikian, sebab hal ini mengenai akidah yang harus diyakini
kebenaranya. Ibadah dalam pengertian ini berorientasi pada kehidupan akhirat
atau ukhrawi.
2)
Malaksanakan
perbuatan-perbuatan yang benar, baik, dan bermanfaat bagi dirinya dan bagi
kepentingan bersama; meliputi manfaat lahiriyah dan batiniyah. Wujud ibadah
kedua ini sepenuhnya berada dalam daerah kewenangan dan pemikiran serta
kekuasaan manusia untuk melaksanakanya, dan berorientasi kepada kehidupan
duniawi.[16]
Lebih lanjut Mastuhu
menjelaskan bahwa, meskipun pemilahan diatas atas antara ibadah yang
berorientasi kepada aspek duniawi dan ukhrawi, Islam mengajarkan bahwa
kehidupan duniawi ini bagian dari kehidupan ukhrawi, dan bentuk kehidupan ini merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Baik
buruknya kehidupan ukhrawi juga sangat tergantung pada amalan-amalan manusia di
dunia; dan kelurusan amalan manusia di dunia sangat tergantung pada keyakinanya
terhadap kehidupan ukhrawi. Kedudukan dua ibadah ini tidak dapat saling
menggantikan kedudukan anatara satu dengan yang lain. Kedua-duanya merupakan
dua bentuk instrument ibadah yang sangat penting, dan saling melengkapi, dan
sama-sama mempunyai peranan penting dalam membentuk karakter muslim para
santri.[17]
Abdurrahman Wahid
menjelaskan ada tiga unsur yang sangat khas dalam dunia pesantren dalam menata
nilai pendidikanya, yaitu;
1) Kepemimpinan kyai, baik dengan
kepemimpinan dengan masyarakat atau dengan kyai yang lain, hal ini penting
sebab ia menunjukkan bagaimana kyai memlihara hubungan sejawat (peer-relationship).
Dalam hal ini aspek yang sangat penting muncul, yaitu pemeliharaan tradisi
Islam, yaitu kekuatan ulama sebagai pemangku keilmuan agama Islam yang kemudian
akan diwariskan kepada santri-santrinya. Kepemimpinan kyai menyediakan kerangka
bagi santri dalam menjalankan tugasnya untuk memelihara ilmu-ilmu agama.
Kepemimpinan kyai tidak akan bias dilepaskan dengan konsep kharisma kyai, yang
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan pesantren.[18]
2) Literature universal yang dipelihara dan
diwariskan dari generasi ke generasi yang secara langsung berkaitan dengan
konsep yang unik tentang kepemimpinan kyai. Kitab kuning menciptakan
kesinambungan ‘tradisi yang benar’ dalam memelihara ilmu-ilmu agama sebagaimana
yang diwariskan dalam masyrakat Islam oleh Imam-Imam dimasa lalu.
3)
Sistem
nilai kepesantrenan yang unik. Sistem nilai ini yang jelas tidak akan pernah
lepas dari usnsur sistem nilai yang lain yaitu kepemimpinan kyai dan literature
yang universal, pembakuan ajaran-ajaran Islam tentang kehidupan sehari-hari
bagi kyai dan santri melegitimasikan dua hal, yaitu; kitab-kitab sebagai sumber
tata nilai dan kyai sebagai model dari implementasinya dalam kehidupan nyata,
sebagai jalur utama dari sistem nilai.[19]
Ketiga unsur utama
pesantren tersebut tampak saling berkaitan dan sulit untuk dipisahkan. Akan
tetapi berbagai tantangan dari luar pesantren menyebabkan pola masing-masing
unsur itu terbuka untuk menerima perubahan-perubahan tertentu. Sebagai contoh
sistem nilai pesantren tersebut harus memasukkan ijazah tertulis yang
dikeluarkan pemerintah sebagai ‘bukti kecakapan’. Kitab universal itu sekarang
harus bersaing dengan bahan-bahan pengajaran yang lebih baru dan sederhana yang
disusun untuk sekolah-sekolah agama negeri yang berada di pesantren, disamping
persaingan dalam literature keagamaan, kepemimpinan kyai saat ini tunduk kepada
rencana-rencana institusionaisasi yang dibebankan baik itu tuntutan dari luar
maupun dalam peantren itu sendiri, yang kesemuanya itu tentu saja akan
mempengaruhi watak, cakupan dan gaya dari kepemimpinan kyai tersebut.[20]
Dalam melihat dan
meneliti sebuah pesantren, orang luar mungkin melihat pesantren dan dunia kyai
sebagai sesuatu yang homogenik. Tetapi ketika ditelusuri lebih lanjut, kyai dan
pesantren memiliki corak keagamaan yang berbeda baik dari segi metodologi
pembelajaran yang dikembangkan, madzhab keagamaan yang dianut. Pilihan sikap
politik maupun manajemen kelembagaan yang dimiliki. Sungguh tidaklah tepat
membuat generalisasi karakter kyai dan pesantrenya. Dan bahkan sekarang ini
bermunculan orang dengan panggilan kyai, tetapi tidak memiliki lembaga
pesantren dan tidak pernah tinggal bersama para santri.[21]
2. Muatan kurikulum Pesantren
Ketika
pendidikan awal pesantren masih berlansung di langgar (surau) atau masjid,
kurikulum pengajian dalam pesantren masih dalam bentuk sangatlah sederhana,
yakni berupa inti ajaran Islam yang mendasar. Rangkaian tiga inti ajaran Islam
yang berupa Iman, Islam, dan ikhsan atau doktrin, ritual, mistik telah menjadi
perhatian kyai perintis pesantren sebagai muatan kurikulum yang diajarkan
kepada santrinya. Penyajian tiga komponen ajaran tersebut dalam bentuk yang
paling mendasar, sebab disesuaikan dengan tingkat intelektual dengan masyarakat
(para santri) dan kualitas keberagaanya pada saat itu.[22]
Dalam
sistem pengajaran pesanten dikenal ada dua sistem pengajaran yaitu, wekton
(atau yang lebih dikenal dengan bandongan), sorogan. Sorogan adalah
aktifitas pengajaran secara individual dimana setiap santri menghadap secara
bergiliran kepad ustadz atau kyai, untuk membaca, menjelaskan atau menghafal
pelajaran yang diberikan sebelumnya; dan bila santri telah dianggap menguasai,
maka sang ustadz atau kyai akan menambahnya dengan materi baru, biasanya
membaca kitab, mengartikan, memberi penjelasan dan lain-lain. Lalu santri itu
meninggalkan tempat tersebut pergi ketempat lain, guna mengulang dan
merenungkan kembali apa saja yang diberikan kepadanya, sementara sang kyai atau
ustadz telah dihadapi oleh santri lain untuk mendapatkan perlakuan yang sama,
hal ini berulang sampai santri menyelesaikan setoranya.[23]
Metode sorogan ini dalam dunia modern dapat dipersamakan dengan istilah tutorship
atau mentorship. Metode pengajaran seperti ini diakui paling intensif,
karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk melakukan Tanya
jawab secara langsung.[24]
Metode
yang kedua adalah metode wekton atau wetonan.[25]
Yaitu kegiatan pegajaran dimana sang ustadz atau kyai membaca, menerjemahkan,
atau mengupas pengertian kitab tertentu, sementara para santri dalam jumlah
yang cukup banyak, mereka bergerombol dan mengelilingi sang ustadz atau kyai,
atau mereka mengambil tempat yang agak jauh selama suara beliau masih bisa
didengar, dan masing-masing membawa kitab yang tengah dikaji itu, sambil jika
perlu memberikan syakal (harakat), terjemah, atau keterangan disela-sela kitab
tersebut.[26] Di Jawa Barat metode ini
disebut sebagai metode bandongan, sedangkan di Sumatera di pakai istilah
halaqah. Sistem ini terkenal juga dengan sebutan balaghan.[27]
Marwan
Sardijo menyatakan kitab-kitab yang lazim dipakai dalam pesantren adalah
kitab-kitab terbitan abad pertengahan (antara abad 12 s/d 15). Dan pengajaran
di bagi atas klassifikasi keilmuan, yang diantaranya adalah daras (Arab dars).
Dengan demikian jam-jam pelajaranya terdiri atas pelajaran Qur’an, nahwu,
Fiqih, dan lain sebagainya. Tiap-tiap pelajaran terkadang terbagi atas
nama-nama kitab. Untuk ilmu Ushul Fiqih misalnya di adakan beberapa kali daras,
misalnya ada daras kitab-kitab Fathul
Qarib, Syarh Matn Taqrib (Ibn Qasim Al-Qasim 1512), Fathul Mu’in, Syarh
Sutari (Zainuddin Al Malita 1575), Minhaj Thalibin, (An Nawawi
1277), Iqna Sya’ibin, 1569, Nihayah (Ramli 1550) dan lain-lain.[28]
Untuk
tingkat lanjut pertama kitab yang dipergunakan antara lain:
(1) Nahwu, kitab-kitab : Tahrirul Aqwal,
Matan Al-Jurumiyah, dan Mutammimah,
(2) Sharaf, Matan Bina Salsalul Mukhdal,
Al-Kailani dan kadang-kadang sampai dengan Al-Mathub.
(3) Fiqih, Matan Taqrib Fathul Qarieb atau
Al-Bajuri, Fathul Mu’in atau I’anatut Thalibien.
(4) Tauhid,Matan Al-Sanusi, Kifayatul
Awam dan Hudhudi.
(5) Ushul fiqih, Al-Waraqat, Al-Thaifatul
Isyarah dan Ghayatul Wushul.
(6) Manthiq, Matan Al-Sullam, dan Idhahul
Mubham.
(7) Al-balaghah, Majmu’ Khamsir Rasail
dan Al-Bayan.
(8)
Tasawuf/
Akhlak, Maraghi Al-Ubudiyah dan Tanbih Al-Ghafilin.
Sedang untuk tingkat
lanjutan (di Aceh disebut tingkat balee), kitab-kitab yang dipelajari antara
lain:
(1) Nahwu, Alfiyah dan Khurdi
(2) Sharaf, Mirahul Arwah.
(3) Fiqih, Al-Mahalli dan Fathul
Wahab
(4) Ushul fiqih, Jam’ul Jawami
(5) Tauhid, Ad-Dasuqi
(6) Manthiq, Isaghuji, As-Shaban dan Asy
Syamsiyah.
(7) Al-Balaghah, Jawahir Al -Maknun
(8)
Tasawuf,
Ihya Ulumuddin.
Dan untuk pengajian
kittab tingkat spesialisasi (tahassus) para santri boleh mempelajari kitab-kitab
:
(1) Hukum islam, seperti : Tuhfatul
Muhtaj, Nihayatul Muhtaj (masing-masing 10 jilid besar).
(2) Hadist, seperti : Fathul Bari,
Qustalani, (dan 10 jilid).
(3) Tasawuf, seperti : Syarah Ihya
Ulumuddin Ibn Arabi (10 jilid)
(4) Tafsir, seperti : Ibn Jarir
At-Thabari dan
Madrasah Diniyah
sebagaimana madrasah Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, Aliyah yang dibakukan disetarakan oleh departemen Agama dan
depertemen pendidikan dan kebudayaan melalui SKB 3 menteri atau sekolah yang
diselenggarakan oleh pondok pesantren menggunakan kurikulum yang sama dengan
kurikulum di madrasah atau sekolah lain, yang telah dibakukan oleh departemen
agama atau depertemen pendidikan nasional. Lembaga formal lain yang
diselenggrakan oleh pondok pesantren selain madrasah dan sekolah, kurikulumnya
disusun oleh penyelenggara pondok pesantren yang bersangkutan.[30]
Departemen
Agama selanjutnya menyatakan bahwa, berbeda dengan pesantren khalafiyah, pada
pesantren salafiyah tidak dikenal kurikulum dalam pengertian seperti kurikulum
pada lembaga pendidikan formal. Kurikulum pada pesantren salafiyah disebut
sebagai Manhaj, yang dapat diartikan sebagai arah pembelajaran tertentu. Manhaj
pondok pesantren salafiyah ini tidak berbentuk jabaran silabus, tetapi berupa
penjabaran funun kitab-kitab yang diajarkan kepada para santri.[31]
Muatan
kurikulum yang sudah dirumuskan oleh departemen agama mengenai kurikulum
madrasah dan pesantren, disesuaikan pada kitab yang diajarkan berdasarkan
tingkatanya, penjabaranya adalah sebagai berikut;
a. Tingkat Dasar
1) Al Qur’an
2) Tauhid :
Al-Jawhar al-Kalamiyah, Ummu al-Barohim
3) Fiqih :
Safinah al-Sholah, Safinah al-Naja’, Sullam al-Taufiq, Sullam al-Munajat.
4) Akhlak :
Al-washaya al-Abna’,
Al-Akhlaq li al-Banin/Banat
5) Nahwu :
Nahw al-Wadhih, Al-Jurumiyah, Matn al-Bina wa al-Asas
b. Tingkat Menengah Pertama
1) Tajwid :
Tuhfah al-Athfal, Hidayah al-Mustafid, Mursyid al-Wildan, Syifa’ al-Rahmah
2) Tauhid :
Aqidah al-Awwam, Al Dina al-Islami
3) Fiqih :
Fath al-Qarib (Taqrib), Minhaj al-Qawwim, Safinah al-Sholah
4) Akhlak :
Ta’lim al-Muta’allim
5) Nahwu :
Muthammimah, Nazham Imrithi, Al-makudi, Al-‘Asymawi
6) Sharaf :
Nazaham Maksud, Al-Kailani
7) Tarikh :
Nur al-Yakin
c. Tingkat Menengah Atas
1) Tafsir :
Tafsir al-qur’an al-Jalalain, Al- Maraghi
2) Ilmu Tafsir : Al-Tibya fi Ulumu
al-qur’an, Mabahist fi’ Ulumul al-qur’an, Manahil al-Irfan
3) Hadits :
Al-Arbain al-Nawawi, Mukhtar al-Hadits, Bulugh al-Maram, Jawahir al-Bukhari,
Al-Jami’ al-Shaghir
4) Musthalah al-Hadits : Minhah al-Mughits
Al-Baiquniyyah
5) Tauhid :
Tuhfah al-Murid, Al-Husun al-Hamidiyah, Al-Aqidah al-Islamiyah, Kifayah
al-Awwam
6) Fiqih :
Kifayah al-Afkar
7) Ushul al-Fiqh : Al-Waraqat, Al-Sullam,
Al-Bayan, Al-Luma’
8) Nahwu dan Sharaf : Alfiyah ibn Malik,
Qawa’id al-Lughah al-Arabiyah, Syarh ibn Aqil, Al-Syabrawi, Al-I’lal, I’lal
al-Sharf
9) Akhlak :
Minhaj al-Abidin, Irsyad al-‘ibad
10) Tarikh :
Ismam al-Wafaq
11) Balaghah :
Al-Jauhar al-Maknun
d. Tingkat Tinggi
1) Tauhid :
Fath al-Majid
2) Tafsir :
Tafsir Qur’an al-Azhim (Ibn Katsir) Fi Zhilal al-Qur’an
3) Ilmu Tafsir : Al-Itqan fi ulum
al-Qur’an, Itmam al-Dirayah
4) Hadits :Riyadh
al-Shalihin, Al-Lu’lu’ al al-Marjan, Shahih al-Bukhari, Shahih al-Muslim,
Tajrid al-Shalih
5) Mushtalah al-Hadits : Alfiyah al-Suyuthi
6) Fiqih :
Fath al-Wahab, Al-Iqna’, Al-Muhadzdzab, Al-Mahalli, Al-Fiqh ‘ala al-Madzhab
al-Arba’ah, Bidayah al-Mujtahid
7) Ushul al-Fiqh : Latha’ifa al-Isyarah, Ushul al-Fiqh, Jam’u al-Jawami’,
Al-Asybah wa al-Nadha’ir, al-Nawahib al-Saniyah
8) Bahasa Arab : Jami’ al-Durus A;-Arabiyah
9) Balaghah :
Uqud al-Juman, Al-Balaghah al-Wadhihah
10) Manthiq :
Sullam al-Munauraq
11) Akhlaq :
Ihya’ al-Ulum al-Din, Risalah al-Mu’awwanah, Bidyah al-Hidayah
Kitab-kitab tersebut
umunya dipergunakan dalam pengajian standar oleh pondok-pondok pesantren.
Selain yang telah dikemukakan di atas, masih banyak kitab-kitab yang dipergunakan untuk
pendalaman dan perluasan pengetahuan ajaran Islam. Misalnya kitab-kitab sebagai
berikut;
1) Dalam bidang Tafsir/ Ilmu tafsir
a. Ma’ani al-Qur’an
b. Al Basith
c. Al Bahal al-Muhith
d. Jami’ al-Ahkam al-Qur’an
e. Ahkam al-Qur’an
f. Mafatih al-Ghaib
g. Lubab al-Nuqul fi Asbab Nuzul al-Qur’an
h. Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an
i.
I’jaz
al-Qur’an
2) Dalam bidang Hadits
a. Al Muwaththa’
b. Sunan al-Turmudzi
c. Sunan Abu Daud
d. Sunan al-Nasa’i
e. Sunan Ibn Majah
f. Al-Musnad
g. Al-Targhib wa al-Tarhib
h. Nail al-Awthar
i.
Subul
al-Salam
3) Dalam bidang Fiqh
a. Al-Syarh al-Kabir
b. Al-Umm
c. Al-Risalah
d. Al-Muhalla
e. Fiqh Al-Sunnah
f. Min Taujihah al-Islam
g. Al-Fatawa
h. Al-Mughni li Ibn Qudamah
i.
Al-Islam
Aqidah wa Syari’ah
Dalam pelaksanaanya,
penjenjangan diatas tidaklah mutlak. Bisa saja pesantren tertentu memberikan
tambahan atau langkah-langkah inovasi, misalnya dengan menambahkan kitab-kitab
yang popular, tetapi lebih mudah dalam penyajianya, sehingga lebih efektif para
santri menguasai materi.
Menurut Martin Van
Bruinessen kurikulum dan pengajaran di pesantren tidaklah di standarisasi. Hampir setiap pesantren
mengajarkan kombinasi kitab yang berbeda-beda, dan banyak kyai terkenal ahli
dalam kitab atau mempunyai spesialisasi bidang keilmuan tertentu.[34]
Banyak santri tekun berpindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain untuk
mempelajari kitab yang ingin mereka kuasai. Steenbrink menggambarkan beberapa
santri yang berkelana untuk mencari ilmu kepada kyai yang mempunya kemampuan
dan keahlian dalam keilmuan tertentu yang sudah tersohor.[35]
Pada saat ini kejadian seperti itu meskipun tidak seramai beberapa puluh tahun
yang lalu masih dapat kita temui dan relevan pada hidup sekarang, karena para
santri kadang kala tidak hanya belajar di pesantren tetpai juga belajar di
madrasah atau bahkan perguruuan tinggi yang mempunyai keunggulan dan
spesialisasi yang cukup terkenal dibandingkan dengan madrasah/ pesantren/
perguruan tinggi di tempat yang lain.
Dalam hal pengembangan
kurikulum pendidikanya lembaga pendidikan Islam (Madrasah dan Pesantren) ,
dalam wilayah sebagai institusi sosial ia dihadapkan kepada bagaimana ia
melakukan respon terhadap tuntutan yang berkembang di masyarakat. Tuntutan
tersebut tidak bisa dielakkan karena
madrasah dan kehidupan sosial disekitarnya merupakan dua hal yang tidak
bisa dipisahkan. Masing-masing saling berebut untuk saling melakukan intervensi
terhadap pihak lainya. Madrasah dan pesantren tidak mungkin mengelak dari
dinamika masyarakat, karena dimanapun ia berada. Sementara pada saat yang sama, proses pendidikan
di madrasah selalu berupaya untuk mengendalikan jalanya kehidupan agar tetap
berada di atas norma-norma yang di idealkan.[36]
3. Pengembangan Kurikulum Pesantren
a) Pengembangan kurikulum Pesantren
Dalam
beberapa penelitian terhadap pesantren ditemukan bahwa pesantren mempunyai
kewenangan tersendiri dalam menyusun dan mengembangan kuurikulumnya. Menurut
penelitian Lukens-Bull dalam bukunya Abdullah Aly, secara umum kurikulum
pesantren dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu; Pendidikan Agama,
pengalaman dan pendidikan moral, sekolah dan pendidikan umum serta, ketrampilan
dan kursus.[37]
Pertama,
kurikulum berbentuk pendidikan Agama Islam. Di dalam dunia pesantren, kegiatan
belajar pendidikan Agama Islam lazim disebut sebagai ngaji atau pengajian. Kegiatan ngaji
dipesantren pada praktiknya dibedakan menjadi dua tingkatan. Pada tingkatan
awal ngaji sangatlah sederhana, yaitu para santri belajar membaca teks-teks
Arab, terutama sekali Al-Qur’an. Tingakatan ini dianggap sebagai usaha minimal
dari pendidikan agama yang harus dikuasai oleh para santri. Tingkatan
berikutnya adalah para santri memilih kitab-kitab islam klassik dan
mempelajarinya dibawah bimbingan kyai. Adapun kitab-kitab yang dijadikan bahan
untuk ngaji meliputi bidang ilmu: fikih, aqidah atau tauhid, nahwu,
sharaf, balaghah, hadits, tasawuf, akhlak, ibadah-ibadah seperti sholat doa,
dan wirid. Dalam penelitian Martin Van Bruinessen, ada 900 kitab kuning
dipesantren. Hampir 500 kitab-kitab tersebut ditulis oleh ulama asia tenggara
dengan bahasa yang beragam; bahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Madura,
Indonesia, dan Aceh.[38]
Kitab
kuning dalam dunia pesantren mempunyai posisi yang siginifikan selain dari
kharisma kyai itu sendiri. Dan kitab kuning itu sendiri dijadikan referensi dan
buku pegangan dalam tiap-tiap pesantren, dan kurikulum sebagai sistem
pendidikan daam sebuah pesantren tersebut.
Kedua,
kurikulum berbentuk pengalaman dan pendidikan moral. Kegiatan keagamaan yang paling
terkenal di dunia pesantren adalah kesalehan dan komitmen para santri terhadap
lima rukun Islam. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu menumbuhkan
kesadaran para santri untuk mengamalkan nilai-nilai moral yang di ajarkan pada
saat ngaji. Adapun nilai-nilai moral yang ditekankan dipesantren adalah
persaudaraan Islam, keikhlasan, kesederhanaan dan kesaudaraan Islam.
Ketiga,
kurikulum berbentuk sekolah dan
pendidikan umum. Pesantren memberlakukan kurikulum sekolah mengacu kepada
pendidikan nasional yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan
kurikulum Madrasah mengacu kepada pendidikan Agama yang diberlakukan oleh
Departemen Agama.
Keempat,
kurikulum berbentuk ketrampilan dan
kursus. Pesantren memberlakukan kurikulum yang berbentuk ketrampilan dan kursus
secara terencana dan terpogram melalui kegiatan ekstrakulikuler. Adapun kursus
yang popular dipesantren adalah bahasa inggris, computer, setir mobil, reparasi
sepeda motor, dan lain sebagainya. Kurikulum seperti ini diberlakukan di pesantren
karena mempunyai dua alasan, yaitu alasan politis dan promosi. Dari segi
politis, pesantren yang memberikan pendidikan ketrampilan dan kursus kepada
para santrinya berarti merespon seruan pemerintah untuk peningkatan kemampuan
sumber daya manusia (SDM). Hal ini berarti hubungan antara pesantren dengan
pemerintah cukup harmonis. Sementara itu dari segi promosi terjadi peningkatan
jumlah santri yang memliki pesantren-pesantren modern dan terpadu, dengan
alasan adanya pendidikan ketrampilan dan kursus di dalamnya.
Sedangkan
M Ridwan Nastir memberikan gambaran mengenai
tingkat keanekaragaman pranata sesuai dengan spektrum komponen serta
pengembangan suatu pesantren. Yang diklasifikasikan menjadi lima bagian, yaitu;
a) Pondok pesantren salaf/klasik; yaitu
pondok pesantren yang didalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (weton,
sorogan, bandongan) dan sistem klasikal (madrasah) salaf.
b) Pondok pesantren semi berkembang; yaitu
pondok pesantren yang didalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (weton,
sorogan, bandongan) dan sistem klasikal (madrasah) swasta dengan kurikulum
90% agama dan 10% umum.
c) Pondok pesantren berkembang; yaitu
pondok pesantren seperti semi berkembang, hanya saja sudah lebih bervariasi
dalam bidang kurikulumnya, yakni 70% agama dan 30% umum. Disamping itu juga
diselenggarakan madrasah SKB tiga menteri dengan penambahan diniyah.
d) Pondok pesantren khalaf/modern; yaitu
seperti pondok pesantren berkembang, hanya saja sudah lebih lengkap lembaga
pendidikan yang ada di dalamya, antara lain diselenggarakan sistem sekolah umum
dengan penambahan diniyah (praktek membaca kitab salaf),
perguruan tinggi (baik umum, maupun agama), bentuk koperasi dan dilengkapi
dengan takhassus (bahasa Arab dan bahasa Inggris).
e)
Pondok
pesantren Ideal; yaitu sebagaimana bentuk pondok pesantren modern hanya saja
lembaga ppendidikan yang ada lebih lengkap, terutama bidang ketrampilan yang
meliputi pertanian, teknik, perikanan, perbankankan, dan benar-benar
memperhatikan kualitasnya dengan tidak menggeser ciri khusus kepesantrenannya
yang masih relevan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Dengan
adanya bentuk tersebut diharapkan alumni pondok pesantren benar-benar
berpredikat khalifah fil ardhi.[39]
Dalam perkembanganya
pesantren tidak semata-mata tumbuh atas pola lama yang bersifat tradisional
dengan hanya menggunakan pola sorogan dan bandongan. Binti
Ma’unah menyatakan, dalam perkembanganya ada tiga sistem pembelajaran yang
dikembangkan di pesantren, yaitu;[40]
1) Sistem klassikal
Pola
penerapan sistem klassikal adalah dengan
pembentukan kelas-kelas dan tingkatan, kluster pembelajaran yang disesuaikan
seperti pada sekolah dalam pendidikan formal. Dalam banyak pesantren pola ini
sudah banyak di gunakan di sebagai madrasah diniyah atau kegiatan dalam
pesantren sebagai pengelompokan pembelajaran yang didasarkan atas kemampuan dan
pemahaman selama di pesantren tersebut.
2) Sistem kursus (tahassus)
Pengajaran
sistem kursus ini mengarah kepada terbentuknya santri-santri yang mandiri dalam
menopang ilmu-ilmu agama yang mereka terima dari Kyai melalui pengajaran sorogan
dan bandongan. Sebab pada umumnya para santri diharapkan tidak
tergantung kepada pekerjaan di masa mendatang, melainkan harus mampu
menciptakan pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka.[41]
3) Sistem pelatihan
Pola
pelatihan ini dikembangkan untuk menumbuh kembangkan kemampuan praktis seperti
pelatihan, pertukangan, perkebunan, perikanan, manajemen koperasi dan
kerajinan-kerajinan yang mendukung tercinptanya kemndirian integratif.[42] Dalam banyak pesantren sudah banyak digodog
(diusahakan dan di didik pengalaman dan pembelajaranya secara intensif) agar
para santrinya mempunyai kemampuan entrepreneur. Hal ini erat kaitanya dengan
kemampuan yang lain yang cenderung melahirkan santri yang intelek dan ulama
yang mumpuni.
D. KESIMPULAN
Kurikulum adalah seperangkat materi pendidikan dan
pengajaran yang diberikan kepada peserta didik, agar visi, misi dan tujuan
pendidikan dapat tercapai.[43] Dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan
modern berisi materi-materi yang cenderung kearah pengembangan potensi
murid (child centered) guna kepentingan hidup di
masyarakat (community centered), sedangkan kurikulum
tradisional lebih mengarah kepada pendidikannya(education centeredز
Fungsi kurikulum dalam proses pendidikan adalah
sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, adapun komponen-komponen
tersebut meliputi; komponen tujuan, komponen isi atau materi,
komponen metode ataustrategi dan evaluasi. Dalam pendidikan
pesantren setidak-tidaknya didalamnya ada unsur kyai, pondok, masjid, santri,
dan pengajaran kitab-kitab kuning. Dalam sistem pengajaran pesanten dikenal ada
dua sistem pengajaran yaitu, wekton (atau yang lebih dikenal dengan bandongan)
dan sorogan.
Menurut penelitian
Lukens-Bull dalam bukunya Abdullah Aly, secara umum kurikulum pesantren dapat
dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu; Pendidikan Agama, pengalaman dan
pendidikan moral, sekolah dan pendidikan umum serta, ketrampilan dan kursus.
DAFTAR
PUSTAKA
Azyumardi Azra, Paradigma Baru
Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta;Kompas
Gramedia,2002
Abdullah Aly, Pendidikan Islam
Mulltikulturalisme di Pesantren; Telaah Kurikulm Pondok Pesantren Islam Assalam
Surakarta Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2011
Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Pesantren,Yogyakarta:
Teras, 2010
Binti Ma’unah, Tradisi
Intelektual Santri, Yogyakarta; TERAS, 2009
Bahri Ghazali, Pesantren
Berwawasan Lingkungan, Jakarta;
Prasasti, 2002
Clifford Geertz, Agama Jawa;
Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa, Jakarta;Komunitas Bambu,
2013
Departemen Agama RI, Pondok
Pesantren dan Madrasah Diniyah; Pertumbuhan dan Perkembanganya, (Jakarta;
Departemen Agama RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam), 2003
E. Badri, dan Munawiroh (ed), Pergeseran
Literatur Pesantren Salafiyah, (Jakarta; Puslitbang Lektur Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2007
Hidar Putra Dulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah
dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001.
Imam Bawani, Tradisionalisme
dalam Pendidikan Islam; Studi Atas Daya Tahan Pesantren Tradisional, Surabaya;
Penerbit “Al-Ikhlas”, 1993
Kareel A Steenbrink, Pesantren
Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, Jakarta; LP3ES, 1986
Komaruddin Hidayat, Mereka
Berbicara Pendidikan Islam; Sebuah Bunga Rampai, Jakarta; Raja Grafindo
Persada, 2009
Mujammil Qomar, Pesantren; Dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta; Erlangga,
2002
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Agama Islam; di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi,
(Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2012
Marwan Sardijo, dkk., Sejarah
Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta; Penerbit Dharma Bakti, 1982
Martin Van Bruinessen, Kitab
Kuning, Pesantren Dan Tarekat, Yogyakarta ; Gading Publishing, 2012
Omar Muhammad
Al-Toumy As-Syaibani, Falsafah Pendidikan
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Prof. Omar
Muhammad Al-Toumy As-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1979
Ridwan Nasir, Mencari Tipologi
Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren Ditengah Arus Perubahan, Yogyakarta;
Pustaka Pelajar,2005
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur CholisMadjid
Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta: Ciputat Press, 2002
Zamachsary Dhofier, Tradisi
Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta; LP3ES, 1985
[1] Hidar Putra Dulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah
dan Madrasah, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001),ix
[2] Yasmadi, Modernisasi
Pesantren, Kritik Nur CholisMadjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal.78
[3] Muhaimin, Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi,
(Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 1
[4] Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Pesantren,(Yogyakarta:
Teras, 2010), hal.30
[5] Prof. Omar Muhammad Al-Toumy As-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hal.459
[6] AninNurhayati, Kurikulum
Inovasi, Telaah Terhadap pengembangan kurikulum Pendidikan Pesantren, hal.33
[9] Zamachsary Dhofier, Tradisi
Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta; LP3ES, 1985), hlm.
44
[10] Imam Bawani, Tradisionalisme dalam
Pendidikan Islam; Studi Atas Daya Tahan Pesantren Tradisional, (Surabaya;
Penerbit “Al-Ikhlas”, 1993), hlm. 89
[12] Mengenai tipologi santri dan abangan ini,
lihat dalam Clifford Geertz, Agama Jawa; Santri, Priyayi, Abangan dalam
Masyarakat Jawa, (Jakarta;Komunitas Bambu, 2013), hlm. 56
[13] E. Badri, dan
Munawiroh
(ed), Pergeseran
Literatur Pesantren Salafiyah, (Jakarta; Puslitbang Lektur Keagamaan Badan
Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
2007), hlm. 110
[16] Mastuhu, ‘Prinsip
Pendidikan Pesantren’, dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher (ed), Dinamika
Pesantren; Kumpulan Makalah Seminar International ”The Role Of pesantren In
Education and Community Development in Indonesia” Berlin 9-13 juli 1987, pen
Sonhaji Soleh, (Jakarta; Penghimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
(P3M), 1988), hlm. 278
[18] Nama dan pengaruh
pengaruh Pesantren berkaitan erat dengan
kharisma Kyai. Kuatnya kecakapan
dan pancaran kepribadian kepemimpinanseorang pimpinan pesantren sangat
menentukan tingkat dan kedudukan suatu pesantren. Lihat dalam Ridwan Nasir, Mencari
Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren Ditengah Arus Perubahan,
(Yogyakarta; Pustaka Pelajar,2005), hlm. 13
[19] Abdurrahman Wahid,”
Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan”, dalam Manfred Oepen dan Wolfgang
Karcher (ed), Dinamika Pesantren ….… hlm. 268-270
[21] Komaruddin Hidayat,
‘Kyai dan Dunia Pesantren’, dalam, Marwan Sardijo (Peny), Mereka Berbicara
Pendidikan Islam; Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta; Raja Grafindo Persada,
2009), hlm. 5
[22] Mujammil Qomar, Pesantren; Dari
Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta; Erlangga,
2002), hlm. 109.
[24] Marwan Sardijo, dkk.,
Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta; Penerbit Dharma Bakti,
1982), hlm. 32
[25] Disebut weton atau wekton,
karena pelaksanaan pengajaranya jatuh setiap habis shalat, dan disebut bandongan
karena diikuti oleh sekelompok (bandong) santri dalam jumlah tertentu. Lihat
dalam Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam………………hlm. 98
[26] Kegiatan ini biasanya
disebut ngabsahi, yaitu dalam bahasa yang popular disebut dalam dunia
pesantren. (pengalaman pribadi penulis. red)
[30] Departemen Agama RI, Pondok
Pesantren dan Madrasah Diniyah; Pertumbuhan dan Perkembanganya, (Jakarta;
Departemen Agama RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 31
[32] Data ini dikumpulkan
dan dikodifikasi oleh Departemen Agama RI, lihat dalam Departemen Agama RI, Pondok
Pesantren dan Madrasah Diniyah, hlm. 33-35
[34] Martin Van
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat,(Yogyakarta ;
Gading Publishing, 2012) , Edisi revisi,
hlm.123
[35] Kareel A Steenbrink, Pesantren
Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, (Jakarta; LP3ES,
1986), hlm.74, cerita lebih lengkap dijelaskan oleh Zamachsary Dhofier, lihat
dalam Zamachsary Dhofier, Tradisi
Pesantren….., hlm. 26
[36] Azyumardi Azra, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta;Kompas
Gramedia,2002), hlm. 72
[37] Abdullah Aly, Pendidikan Islam
Mulltikulturalisme di Pesantren; Telaah Kurikulm Pondok Pesantren Islam Assalam
Surakarta (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 184
[39] Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format
Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren Ditengah Arus Perubahan, (Yogyakarta;
Pustaka Pelajar,2005)hlm. 87-88
[43] AninNurhayati, Kurikulum
Inovasi, Telaah Terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren,(Yogyakarta: Teras, 2010), hal.30
No comments:
Post a Comment