Wednesday, November 15, 2017

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PESANTREN

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI PESANTREN
Oleh: ARIF SETIAWAN  (16771025)

A.    PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan alat yang sangat penting dalam keberhasilan suatu pendidikan, tanpa adanya kurikulum  yang baik dan tepat maka akan sulit dalam mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yangtelah dicita-citakan oleh suatu lembaga pendidikan, baik formal, informal maupun non formal. Karena segala sesuatu harus ada manajemennya bila ingin menghasilkan sesuatu yang baik, sesuai dengan yang diharapakan.
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Istilah pondok pesantren pertama kali dikenal di Jawa, di aceh dikenal dengan rangkah dan dayah, di Sumatra Barat dikenal dengan surau.[1]
Dimana kurikulum senantiasa mengalami perubahan, perbaikan dan pembahruan. Di Indonesia, telah tercatat dalam sejarah pendidikannya telah mengalami beberapa kali perubahan kurikulum seiring perubahan dan tuntutan kebutuhan masyarakat. Disamping kurikulum formal dan non formal, terdapat juga kurikulum tersembunyi (the hidden curriculum). Dimana kurikulum ini antara lain berupa aturan-aturan yang tidak tertulis, yang tentunya kurikulum ini bisa berkonotasi positif maupun negatif.
Apabila hal ini dikaitkan dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan bahwa konsep kurikulum yang digunakan dalam pondok pesantren tidak hanya mengacu pada pengertian kurikulum sebagai materi semata, melainkan jauh lebih luas dari itu, yakni menyangkut keseluruhan pengalaman belajar santri yang masih berada dalam lingkup koordinasi pondok pesantren. Termasuk didalamnya sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di pesantren, yang mana perlu diadakan suatu rekonstruksi sesuai dengan tuntutan masyarakat dan jaman. Sehingga misi dan cita-cita pondok pesantren dapat berperan dalam pembangunan masyarakat.
Salah satu keunikan pesantren adalah independensinya yang kuat, dimana masyarakat memiliki keleluasaan dan kebebasan relatif yang tidak harus memihak atau mengikuti model baku yang ditetapkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantren bebas mengembangkan model pendidikannya tanpa harus mengikuti standarisasi dan kurikulum yang ketat. Karena cenderung pada sentralistik yang berpusat di tangan kyai. Model pendidikan seperti inilah yang berjalan di pesantren menjadi sangat beragam sesuai dengan kecenderungan dan misi yang ingin dikembangkan oleh sang kyai, yang sebagai pemimpin sekaligus sebagai pengasuh pondok pesantren.
Lemahnya visi dan tujuan pendidikan pesantren marupakan penekanan yang berlebihan terhadap satu aspek disiplin keilmuan tertentu, sehingga mengabaikan aspek keilmuan lainnya yang mana telah mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Karena pelajaran agama masih dominan di beberapa lingkungan pesantren, bahkan materinya hanya khusus disajikan dalam bentuk bahasa arab, dan pengetahuan umum dilaksanakan hanya setengah-setengah, sehingga kemampuan santri terbatas dan masih kurang mendapat pengakuan dari sebagian masyarakat.[2]
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian kurikulum pembelajaran dalam pendidikan pesantren dan problematikanya(secara umum beserta faktor penghambat dan pendukung), kemudian agenda inovasi kurikulum dalam pendidikan pesantren.

B.     Pengertian Kurikulum
1.      Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Kata “kurikulum” berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan dalam bidang olah raga yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yaitu jarak yang harus ditempuh dari start sampai ke finish. Dan lambat laun pengertian ini digunakan dalam dunia pendidikan. Dalam bahasa Arab kurikulum di istilahkan dengan manhaj, yaitu jalan yang terang, atau jalan yang terang yang dilalui manusia pada kehidupanya. Dalam konteks pendidikan kurikulum berarti jalan terang yang diikuti oleh guru dan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan, sikan dan nilai-nilai kependidikan.[3]
Sedangkan menurut Anin, kurikulum adalah seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada peserta didik, agar visi, misi dan tujuan pendidikan dapat tercapai.[4] Dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan modern berisi materi-materi yang cenderung kearah pengembangan potensi murid (child centered) guna kepentingan hidup di masyarakat (community centered), sedangkan kurikulum tradisional lebih mengarah kepada pendidikannya(education centered).
Dari beberapa definisi kurikulum di atas, dapat kita ambil titik tengahnya. Pada dasarnya kurikulum dapat diklafisikasikan menjadi dua, pertama kurikulum sebagai program yang direncanakan dan dilaksanakan di sekolah. Kedua, kurikulum sebagai program yang direncanakan dan dilaksanakan secara nyata di kelas. Perencanaan dan pelaksanaannya tersebut dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, kurikulum berkedudukan sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Maka kurikulum dalam kedudukannya memiliki anticipatory(dapat meramalkan kejadian dimasa depan) bukan hanya sekedar reportorial (melaporkan informasi hasil belajar peserta didik).
2.      Ciri, Komponen dan Prinsip Kurikulum Pendidikan Islam
Ciri-ciri umum kurikulum pendidikan Islam, menurut al-Syaibani yaitu: [5]
1.   Lebih mementingkan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai hal seperti tujuan dan kandungan, kaidah, alat dan tehniknya.
2.   Meluaskan perhatian dan kandungnnyamencakaup perhatian, pengembangan serta bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar baik dari segi intelektual, psikologi, sosial maupun spiritual. Oleh karena itu murid harus diajarkan bermacam-macam ilmu pengetahuan, seperti; al-qur’an, al-tafsir, ilmu fiqh, ilmu tauhid, aqidah, filsafat akhlak, ilmu sejarah, sastra, matematika dan lain sebagainya. Pada dasarnya murid atau santri harus mempelajari semua ilmu.
3.   Adanya prinsip keseimbangan antara kandungan kurikulum tentang ilmu dan seni, pengalaman dan kegiatan pengajaran.
4.   Menekankan kepada konsep secara menyeluruh, keseimbangan pada kandungannya yang tidak terbatas pada ilmu-ilmu teoritis baik yang bersifat naqli maupun aqli. Tetapi meliputi aktivitas pendidikan seni, jasmani, bahasa,dan lain sebagainya.
5.  Keterkaitan antara kurikulum pendidikan Islam dengan minat, kemampuan, keperluan dan perbedaan individual antara peserta didik
Komponen-komponen kurikulum pendidikan Islam
          Fungsi kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, adapun komponen-komponen tersebut meliputi; komponen tujuan, komponen isi atau materi, komponen metode ataustrategi dan evaluasi.[6]
Komponen tujuan, tujuan merupakan hal yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan secara keseluruhan baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang berbentuk tetap dan statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.
Komponen materi, komponen isi yang berupa materi yang diprogramkan adalah untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan, materi tersebut berupa materi bidang studi yang bersumber dari al-qur’andanal-hadits.
Komponen metode, adapun metode-metode yang digunakan adalah untuk menjelaskan materi pendidikan kepada peserta didik.
Komponen evaluasi,  merupakan cara atau tehnik penilaian terhadap tingkah laku peserta didik berdasarkan standar yang komprehensif, baik dari aspek psikologis maupun spiritual.
Prinsip-prinsip kurikulum Pendidikan islam;
1.      Pinsip berorientasi kepada Islam, baik dari ajarannya maupun nilai-nilainya.
2.      Prinsip berorientasi pada tujuan, dimana semua aktifitas kurikulum harus terarah.
3.      Prinsip keseimbangan, relatif seimbang antara tujuan-tujuan dan kandungan kurikulum.
4.      Prinsip perkembangan dan perubahan, sesuai dengan perubahan dan tuntutan zaman.
5.      Prinsip integritas, menghasilkan manusia yang seutuhnya (selaras dunia dan akhirat).
6.      Prinsip relevansi, pendidikan dapat mempengaruhi jenis dan mutu tenaga kerja.
7.      Prinsip efisiensi,  mendayagunakan waktu, biaya, tenaga, sehingga sesuai dengan hasil yang diharapkan.
8.      Prinsip kontinuitas, selalu kesinambungan dengan kegiatan-kegiatan kurikulum lainnya.
9.      Prinsip individualisasi, memperhatikan perbedaan pembawaan dan lingkungan pada umumnya yang meliputi pendidik maupun peserta didik.
10.  Prinsip long life education,konsep yang diterapkan di dalam kurikulum diharapkan mengingat akan keutuhan potensi manusia yang berkembang dan butuh wawasan dalam hidupnya.[7]
Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan ilmu yang meliputi pengetahuan secara teoritis dan praktis. Pada konteks inilah kurikulum pendidikan Islam harus mempertimbangkan adanya kenyataan klasifikasi ilmu, seperti yang telah dirumuskan oleh para ahli disiplin ilmu maupun pemikir muslim, yang lebih penting lagi kurikulum pendidikan yang telah disusun harus senantiasa mempertimbangkan content dan applicationnya.

     
C.    Model Pengembangan Kurikulum PAI di Pesantren
1.      Pesantren dan Model Pengembangan Kurikulum
Dalam diskursus pendidikan pesantren dapat dipahami sebagai lembaga tradisional pendidikan untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari.[8] Penyelenggaraan lembaga pendidikan pesantren berbentu asrama yang merupakan komunitas tersendiri dibawah ulama atau kyai dibantu oleh beberpa orang ulama atau para ustadz yang hidup ditengah-tengah para santri dengan masjid sebagai pusat kegiatan peribadatan.
Dalam pendidikan pesantren setidak-tidaknya didalamnya ada unsur kyai, pondok, masjid, santri, dan pengajaran kitab-kitab kuning. [9]Kyai yang mengajar dan mendidik, masjid tempat penyelenggaraan pendidikan, shalat berjamaah dan sebagainya, serta pondok atau asrama sebagai tempat tinggal para santri.[10]
Menurut Imam Bawani, jika dilihat dari proses muncul atau lahirnya sebuah pesantren, maka kelima elemen tersebut urutanya adalah: kyai, santri, masjid, santri, pondok, dan pengajaran kitab-kitab klasik. Kyai sebagai cikal-bakal berdirinya pesantren biasanya tinggal dipemukiman baru yang cukup luas, karena terppanggil untuk berdakwah, maka beliau mmendirikan masjid yang terkadang berawal dari mushalla atau langgar sederhana. Ketika jamaah mulai ramai, dan yang tempat tinggalnya jauh ingin menetap bersama kyai, maka mereka inilah dan para jama’ah yang lain, yang biasanya disebut sebagai santri. Jika yang bermukin disana jumlahnya cukup banyak, maka perlu dibangunkan pondok atau asrama khusus, agar tidak mengganggu ketenangan masjid serta keluarga kyai. Dengan mengambil tempat dimasjid, kyai mengajar para santrinya dengan materi pelajaran Islam klasik.[11]
Penjelasan lebih luas mengenai unsur-unsur pesantren tersebut dijelaskan sebagai berikut;
1)      Kyai
Keberadaan kyai dalam lingkungan pesantren merupakan hal yang mutlak, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, kyai adalah esensi dari pesantren, dan dalam banyak hal kekhasan keilmuan disebuah pesantren itu tergantung pada kualitas dan kualifikasi keilmua yang dipunyai oleh kyainya. Biasanya kyai adalah pendiri, perintis, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan terkadang merupakan pemilik tunggal suatu pesantren.
Gelar kyai, biasanya diperoleh berkat kedalaman ilmu agamanya, kesungguhan perjuanganya untuk kepentingan Islam, keteladanannya ditengah ummat, kekhusukanya dalam beribadah dan kewibawaanya sebagai pemimpin. Pendidikan tidak menjadi jaminan seseorang untuk menjadi kyai, tetapi faktor bakat dan seleksi alamlah yang lebih menentukan.
Dalam sebuah pesantren. Kyai sering kali mempunyai kekuasaan mutlak. Berjalan atau tidaknya kegiatan apapun disitu, tergantung pada izin dan restu kyai. Untuk menjalankan kepemimpinanya, unsure kewibawaan memegang peranan penting. Kyai adalah tokoh yang berwibawa, baik dihadapan para ustadz yang menjadi pelaksana kebijakanya, dihadapan para santri, dihadapan keluarga, dan kemudian ditengah-tenga masyarakat luas kewibawaan seorang kyai juga sangat berpengaruh, oleh karena itu kyai sering kali juga merupakan tokoh kunci dalam masyarakat.
2)      Masjid
Masjid merupakan sentral bagi pesantren, karena disitulah sebagian besar aktifitas pembelajaran dan kegiatan pesantren dijalankan. Oleh karena itu dibandingkan bangunan lain dipesantren masjid adalah tempat palig ramai dan selalu dikunjungi, bukan hanya sebagai tempat sholat, tetapi juga mengaji, dan tadarus (hal yang merupakan kebiasaan para santri bahkan sampai larut malam)
Dalam kegiatan pengajaran pesantren, masjid biasanya digunakan untuk mengaji bandongan, sorogan, wekton, yang biasanya mengambil tempat secara rutin diserambi masjid. Diluar jam pelajaran, diserambi yang sama biasanya digunakan untuk musyawarah, diskusi memmbaca kitab, atau permasalahan actual dalam agama Islam.
3)      Santri
Istilah santri menunjuk dan berkonotasi kepada dua pengertian. Pertama adalah mereka yang taat menjalankan perintah agama Islam. Dengan pegertian ini mereka dibedangan secara kontras dengan mereka yang disebut denga kelompok abangan (yaitu mereka yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya jawa pra Islam khususnya yang berasal dari mistisme hindu dan budha).[12] Yang kedua adalah santri, mereka yang tengah menuntut ilmu dan sedang menempuh pendidikan di pesantren. Keduanya berbeda tetapi mempunyai segi persamaan, yaitu sama-sama taat dalam menjalankan syari’at Islam.
4)      Pondok
Dalam dunia pesantren keberadaan pondok sangatlah penting, karena fungsinya sebagai tempat tinggal atau asrama santri. Situasi dan bentuk pondok tentu saja berbeda-beda, mengingat perbedaan dan karakteristik pesantren yang berbeda-beda pula.
5)      Pengajaran kitab klasik
Pada masa lalu, pegajaran kitab-kitab klasik (baca kitab kuning), terutama karang ulama yang menganut madzhab Syafi’i, merupakan satu-satunya pengajaran yang diberikan  dilingkungan pesantren. Dan untuk sekarang, meskipun banyak pesantren telah memasukkan pelajaran ilmu umum, namun pengajaran kitab-kitab klasik tetap diberikan sebagai upaya meneruskan tradisi dan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pembelajaran di pesantren kitab-kitab klassik sering disebut sebagai kitab kuning. Ya’kub menyebut kitab kuning sebagai kitab-kitab yang ditulis para ulama klasik atau ulama kontemporer yang bermuatan ajaran-ajaran klasik. Kitab itu disebut kitab kuning karena pada umumnya ditulis diatas kertas yang berwarna kuning.[13]
Sekarang ini hampir disemua jenis pesantren. Didalamnya terdapat jenis-jenis pendidikan. Diantaranya yaitu;
1.      “Pesantren” yang hanya mempelajari agama dengan kitab-kitab keagamaan klassik atau “kitab kuning” dan berbentuk nonformal. Pola pengajaran pesantren ini menggunakan dua sistem pengajaran sorogan dan bandongan, dan tidak menggunakan sistem pembelajaran klasikal (penjenjangan).
2.      Madrasah (sekolah agama)
3.      Sekolah umum
4.      Perguruan tinggi, baik agama atau umum[14]
Ketiga jenis pendidikan terakhir ini berbentuk pendidikan formal, tetapi keempatnya hidup dalam satu kampus pesantren, dan oleh karena itu semua siswanya disebut santri.[15] Sebagai contoh kita bisa melihat pesantren Matholiul Falah di Pati Jawa Tengah yang mempunyai jenjang pendidikan yang lengkap, dan juga kita bias melihat pesantren Lirboyo Kediri dan pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, keduanya berasal dari daerah basis pesantren yaitu jawa timur. Mereka mempunyai jenis dan pendidikan yang lengkap mulai dari madrasah (Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah), sampai pada tingkat perguruan tinggi.
 Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren mempunyai prinsip-prinsip yang didasarkan atas prinsip ajaran Islam yang mendasari lembaga pendidikan ini. Seperti yang disinggung diatas bahwa pesantren bertujuan untuk mengarahkan pada Tafaqquh Fid Din. Dalam pesantren arti penting pengetahuan adalah untuk beribadah dan mengetahui bagaimana tata cara beribadah. Mastuhu memberikan pengertian ibadah dalam pesantren menjadi dua macam.
1)      Melaksanakan doktrin agama atau perintah agama yang sudah jelas dan pasti, tanpa menanyakan alasanya atau memikirkan kenapa harus demikian, sebab hal ini mengenai akidah yang harus diyakini kebenaranya. Ibadah dalam pengertian ini berorientasi pada kehidupan akhirat atau ukhrawi.
2)      Malaksanakan perbuatan-perbuatan yang benar, baik, dan bermanfaat bagi dirinya dan bagi kepentingan bersama; meliputi manfaat lahiriyah dan batiniyah. Wujud ibadah kedua ini sepenuhnya berada dalam daerah kewenangan dan pemikiran serta kekuasaan manusia untuk melaksanakanya, dan berorientasi kepada kehidupan duniawi.[16]
Lebih lanjut Mastuhu menjelaskan bahwa, meskipun pemilahan diatas atas antara ibadah yang berorientasi kepada aspek duniawi dan ukhrawi, Islam mengajarkan bahwa kehidupan duniawi ini bagian dari kehidupan ukhrawi,  dan bentuk kehidupan ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Baik buruknya kehidupan ukhrawi juga sangat tergantung pada amalan-amalan manusia di dunia; dan kelurusan amalan manusia di dunia sangat tergantung pada keyakinanya terhadap kehidupan ukhrawi. Kedudukan dua ibadah ini tidak dapat saling menggantikan kedudukan anatara satu dengan yang lain. Kedua-duanya merupakan dua bentuk instrument ibadah yang sangat penting, dan saling melengkapi, dan sama-sama mempunyai peranan penting dalam membentuk karakter muslim para santri.[17]
Abdurrahman Wahid menjelaskan ada tiga unsur yang sangat khas dalam dunia pesantren dalam menata nilai pendidikanya, yaitu;
1)      Kepemimpinan kyai, baik dengan kepemimpinan dengan masyarakat atau dengan kyai yang lain, hal ini penting sebab ia menunjukkan bagaimana kyai memlihara hubungan sejawat (peer-relationship). Dalam hal ini aspek yang sangat penting muncul, yaitu pemeliharaan tradisi Islam, yaitu kekuatan ulama sebagai pemangku keilmuan agama Islam yang kemudian akan diwariskan kepada santri-santrinya. Kepemimpinan kyai menyediakan kerangka bagi santri dalam menjalankan tugasnya untuk memelihara ilmu-ilmu agama. Kepemimpinan kyai tidak akan bias dilepaskan dengan konsep kharisma kyai, yang mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan pesantren.[18]
2)      Literature universal yang dipelihara dan diwariskan dari generasi ke generasi yang secara langsung berkaitan dengan konsep yang unik tentang kepemimpinan kyai. Kitab kuning menciptakan kesinambungan ‘tradisi yang benar’ dalam memelihara ilmu-ilmu agama sebagaimana yang diwariskan dalam masyrakat Islam oleh Imam-Imam dimasa lalu.
3)      Sistem nilai kepesantrenan yang unik. Sistem nilai ini yang jelas tidak akan pernah lepas dari usnsur sistem nilai yang lain yaitu kepemimpinan kyai dan literature yang universal, pembakuan ajaran-ajaran Islam tentang kehidupan sehari-hari bagi kyai dan santri melegitimasikan dua hal, yaitu; kitab-kitab sebagai sumber tata nilai dan kyai sebagai model dari implementasinya dalam kehidupan nyata, sebagai jalur utama dari sistem nilai.[19]
Ketiga unsur utama pesantren tersebut tampak saling berkaitan dan sulit untuk dipisahkan. Akan tetapi berbagai tantangan dari luar pesantren menyebabkan pola masing-masing unsur itu terbuka untuk menerima perubahan-perubahan tertentu. Sebagai contoh sistem nilai pesantren tersebut harus memasukkan ijazah tertulis yang dikeluarkan pemerintah sebagai ‘bukti kecakapan’. Kitab universal itu sekarang harus bersaing dengan bahan-bahan pengajaran yang lebih baru dan sederhana yang disusun untuk sekolah-sekolah agama negeri yang berada di pesantren, disamping persaingan dalam literature keagamaan, kepemimpinan kyai saat ini tunduk kepada rencana-rencana institusionaisasi yang dibebankan baik itu tuntutan dari luar maupun dalam peantren itu sendiri, yang kesemuanya itu tentu saja akan mempengaruhi watak, cakupan dan gaya dari kepemimpinan kyai tersebut.[20]
Dalam melihat dan meneliti sebuah pesantren, orang luar mungkin melihat pesantren dan dunia kyai sebagai sesuatu yang homogenik. Tetapi ketika ditelusuri lebih lanjut, kyai dan pesantren memiliki corak keagamaan yang berbeda baik dari segi metodologi pembelajaran yang dikembangkan, madzhab keagamaan yang dianut. Pilihan sikap politik maupun manajemen kelembagaan yang dimiliki. Sungguh tidaklah tepat membuat generalisasi karakter kyai dan pesantrenya. Dan bahkan sekarang ini bermunculan orang dengan panggilan kyai, tetapi tidak memiliki lembaga pesantren dan tidak pernah tinggal bersama para santri.[21]
2.      Muatan kurikulum Pesantren
Ketika pendidikan awal pesantren masih berlansung di langgar (surau) atau masjid, kurikulum pengajian dalam pesantren masih dalam bentuk sangatlah sederhana, yakni berupa inti ajaran Islam yang mendasar. Rangkaian tiga inti ajaran Islam yang berupa Iman, Islam, dan ikhsan atau doktrin, ritual, mistik telah menjadi perhatian kyai perintis pesantren sebagai muatan kurikulum yang diajarkan kepada santrinya. Penyajian tiga komponen ajaran tersebut dalam bentuk yang paling mendasar, sebab disesuaikan dengan tingkat intelektual dengan masyarakat (para santri) dan kualitas keberagaanya pada saat itu.[22]
Dalam sistem pengajaran pesanten dikenal ada dua sistem pengajaran yaitu, wekton (atau yang lebih dikenal dengan bandongan), sorogan. Sorogan adalah aktifitas pengajaran secara individual dimana setiap santri menghadap secara bergiliran kepad ustadz atau kyai, untuk membaca, menjelaskan atau menghafal pelajaran yang diberikan sebelumnya; dan bila santri telah dianggap menguasai, maka sang ustadz atau kyai akan menambahnya dengan materi baru, biasanya membaca kitab, mengartikan, memberi penjelasan dan lain-lain. Lalu santri itu meninggalkan tempat tersebut pergi ketempat lain, guna mengulang dan merenungkan kembali apa saja yang diberikan kepadanya, sementara sang kyai atau ustadz telah dihadapi oleh santri lain untuk mendapatkan perlakuan yang sama, hal ini berulang sampai santri menyelesaikan setoranya.[23] Metode sorogan ini dalam dunia modern dapat dipersamakan dengan istilah tutorship atau mentorship. Metode pengajaran seperti ini diakui paling intensif, karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk melakukan Tanya jawab secara langsung.[24]
Metode yang kedua adalah metode wekton atau wetonan.[25] Yaitu kegiatan pegajaran dimana sang ustadz atau kyai membaca, menerjemahkan, atau mengupas pengertian kitab tertentu, sementara para santri dalam jumlah yang cukup banyak, mereka bergerombol dan mengelilingi sang ustadz atau kyai, atau mereka mengambil tempat yang agak jauh selama suara beliau masih bisa didengar, dan masing-masing membawa kitab yang tengah dikaji itu, sambil jika perlu memberikan syakal (harakat), terjemah, atau keterangan disela-sela kitab tersebut.[26] Di Jawa Barat metode ini disebut sebagai metode bandongan, sedangkan di Sumatera di pakai istilah halaqah. Sistem ini terkenal juga dengan sebutan balaghan.[27]
Marwan Sardijo menyatakan kitab-kitab yang lazim dipakai dalam pesantren adalah kitab-kitab terbitan abad pertengahan (antara abad 12 s/d 15). Dan pengajaran di bagi atas klassifikasi keilmuan, yang diantaranya adalah daras (Arab dars). Dengan demikian jam-jam pelajaranya terdiri atas pelajaran Qur’an, nahwu, Fiqih, dan lain sebagainya. Tiap-tiap pelajaran terkadang terbagi atas nama-nama kitab. Untuk ilmu Ushul Fiqih misalnya di adakan beberapa kali daras, misalnya  ada daras kitab-kitab Fathul Qarib, Syarh Matn Taqrib (Ibn Qasim Al-Qasim 1512), Fathul Mu’in, Syarh Sutari (Zainuddin Al Malita 1575), Minhaj Thalibin, (An Nawawi 1277), Iqna Sya’ibin, 1569, Nihayah (Ramli 1550) dan lain-lain.[28]
Untuk tingkat lanjut pertama kitab yang dipergunakan antara lain:
(1)   Nahwu, kitab-kitab : Tahrirul Aqwal, Matan Al-Jurumiyah, dan Mutammimah,
(2)   Sharaf, Matan Bina Salsalul Mukhdal, Al-Kailani dan kadang-kadang sampai dengan Al-Mathub.
(3)   Fiqih, Matan Taqrib Fathul Qarieb atau Al-Bajuri, Fathul Mu’in atau I’anatut Thalibien.
(4)   Tauhid,Matan Al-Sanusi, Kifayatul Awam dan Hudhudi.
(5)   Ushul fiqih, Al-Waraqat, Al-Thaifatul Isyarah dan Ghayatul Wushul.
(6)   Manthiq, Matan Al-Sullam, dan Idhahul Mubham.
(7)   Al-balaghah, Majmu’ Khamsir Rasail dan Al-Bayan.
(8)   Tasawuf/ Akhlak, Maraghi Al-Ubudiyah dan Tanbih Al-Ghafilin.
Sedang untuk tingkat lanjutan (di Aceh disebut tingkat balee), kitab-kitab yang dipelajari antara lain:
(1)   Nahwu, Alfiyah dan Khurdi
(2)   Sharaf, Mirahul Arwah.
(3)   Fiqih, Al-Mahalli dan Fathul Wahab
(4)   Ushul fiqih, Jam’ul Jawami
(5)   Tauhid, Ad-Dasuqi
(6)   Manthiq, Isaghuji, As-Shaban dan Asy Syamsiyah.
(7)   Al-Balaghah, Jawahir Al -Maknun
(8)   Tasawuf, Ihya Ulumuddin.
Dan untuk pengajian kittab tingkat spesialisasi (tahassus) para santri boleh mempelajari kitab-kitab :
(1)   Hukum islam, seperti : Tuhfatul Muhtaj, Nihayatul Muhtaj (masing-masing 10 jilid besar).
(2)   Hadist, seperti : Fathul Bari, Qustalani, (dan 10 jilid).
(3)   Tasawuf, seperti : Syarah Ihya Ulumuddin Ibn Arabi (10 jilid)
(4)   Tafsir, seperti : Ibn Jarir At-Thabari dan
(5)   Kitab-kitab besar atau pengetahuan khusus lainya.[29]
Madrasah Diniyah sebagaimana madrasah  Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah yang dibakukan disetarakan oleh departemen Agama dan depertemen pendidikan dan kebudayaan melalui SKB 3 menteri atau sekolah yang diselenggarakan oleh pondok pesantren menggunakan kurikulum yang sama dengan kurikulum di madrasah atau sekolah lain, yang telah dibakukan oleh departemen agama atau depertemen pendidikan nasional. Lembaga formal lain yang diselenggrakan oleh pondok pesantren selain madrasah dan sekolah, kurikulumnya disusun oleh penyelenggara pondok pesantren yang bersangkutan.[30]
Departemen Agama selanjutnya menyatakan bahwa, berbeda dengan pesantren khalafiyah, pada pesantren salafiyah tidak dikenal kurikulum dalam pengertian seperti kurikulum pada lembaga pendidikan formal. Kurikulum pada pesantren salafiyah disebut sebagai Manhaj, yang dapat diartikan sebagai arah pembelajaran tertentu. Manhaj pondok pesantren salafiyah ini tidak berbentuk jabaran silabus, tetapi berupa penjabaran funun kitab-kitab yang diajarkan kepada para santri.[31]
Muatan kurikulum yang sudah dirumuskan oleh departemen agama mengenai kurikulum madrasah dan pesantren, disesuaikan pada kitab yang diajarkan berdasarkan tingkatanya, penjabaranya adalah sebagai berikut;
a.       Tingkat Dasar
1)      Al Qur’an
2)      Tauhid       : Al-Jawhar al-Kalamiyah, Ummu al-Barohim
3)      Fiqih          : Safinah al-Sholah, Safinah al-Naja’, Sullam al-Taufiq, Sullam al-Munajat.
4)      Akhlak      : Al-washaya al-Abna’, Al-Akhlaq li al-Banin/Banat
5)      Nahwu      : Nahw al-Wadhih, Al-Jurumiyah, Matn al-Bina wa al-Asas
b.      Tingkat Menengah Pertama
1)      Tajwid       : Tuhfah al-Athfal, Hidayah al-Mustafid, Mursyid al-Wildan, Syifa’ al-Rahmah
2)      Tauhid       : Aqidah al-Awwam, Al Dina al-Islami
3)      Fiqih          : Fath al-Qarib (Taqrib), Minhaj al-Qawwim, Safinah al-Sholah
4)      Akhlak      : Ta’lim al-Muta’allim
5)      Nahwu      : Muthammimah, Nazham Imrithi, Al-makudi, Al-‘Asymawi
6)      Sharaf        : Nazaham Maksud, Al-Kailani
7)      Tarikh        : Nur al-Yakin
c.       Tingkat Menengah Atas
1)      Tafsir         : Tafsir al-qur’an al-Jalalain, Al- Maraghi
2)      Ilmu Tafsir : Al-Tibya fi Ulumu al-qur’an, Mabahist fi’ Ulumul al-qur’an, Manahil al-Irfan
3)      Hadits       : Al-Arbain al-Nawawi, Mukhtar al-Hadits, Bulugh al-Maram, Jawahir al-Bukhari, Al-Jami’ al-Shaghir
4)      Musthalah al-Hadits : Minhah al-Mughits Al-Baiquniyyah
5)      Tauhid       : Tuhfah al-Murid, Al-Husun al-Hamidiyah, Al-Aqidah al-Islamiyah, Kifayah al-Awwam
6)      Fiqih          : Kifayah al-Afkar
7)      Ushul al-Fiqh : Al-Waraqat, Al-Sullam, Al-Bayan, Al-Luma’
8)      Nahwu dan Sharaf : Alfiyah ibn Malik, Qawa’id al-Lughah al-Arabiyah, Syarh ibn Aqil, Al-Syabrawi, Al-I’lal, I’lal al-Sharf
9)      Akhlak      : Minhaj al-Abidin, Irsyad al-‘ibad
10)  Tarikh        : Ismam al-Wafaq
11)  Balaghah   : Al-Jauhar al-Maknun
d.      Tingkat Tinggi
1)      Tauhid       : Fath al-Majid
2)      Tafsir         : Tafsir Qur’an al-Azhim (Ibn Katsir) Fi Zhilal al-Qur’an
3)      Ilmu Tafsir : Al-Itqan fi ulum al-Qur’an, Itmam al-Dirayah
4)      Hadits       :Riyadh al-Shalihin, Al-Lu’lu’ al al-Marjan, Shahih al-Bukhari, Shahih al-Muslim, Tajrid al-Shalih
5)      Mushtalah al-Hadits : Alfiyah al-Suyuthi
6)      Fiqih          : Fath al-Wahab, Al-Iqna’, Al-Muhadzdzab, Al-Mahalli, Al-Fiqh ‘ala al-Madzhab al-Arba’ah, Bidayah al-Mujtahid
7)      Ushul al-Fiqh        : Latha’ifa al-Isyarah, Ushul al-Fiqh, Jam’u al-Jawami’, Al-Asybah wa al-Nadha’ir, al-Nawahib al-Saniyah
8)      Bahasa Arab          : Jami’ al-Durus A;-Arabiyah
9)      Balaghah   : Uqud al-Juman, Al-Balaghah al-Wadhihah
10)  Manthiq     : Sullam al-Munauraq
11)  Akhlaq      : Ihya’ al-Ulum al-Din, Risalah al-Mu’awwanah, Bidyah al-Hidayah
12)  Tarikh        : Tarikh Tasyri’[32]
Kitab-kitab tersebut umunya dipergunakan dalam pengajian standar oleh pondok-pondok pesantren. Selain yang telah dikemukakan di atas, masih banyak  kitab-kitab yang dipergunakan untuk pendalaman dan perluasan pengetahuan ajaran Islam. Misalnya kitab-kitab sebagai berikut;
1)      Dalam bidang Tafsir/ Ilmu tafsir
a.       Ma’ani al-Qur’an
b.      Al Basith
c.       Al Bahal al-Muhith
d.      Jami’ al-Ahkam al-Qur’an
e.       Ahkam al-Qur’an
f.       Mafatih al-Ghaib
g.      Lubab al-Nuqul fi Asbab Nuzul al-Qur’an
h.      Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an
i.        I’jaz al-Qur’an
2)      Dalam bidang Hadits
a.       Al Muwaththa’
b.      Sunan al-Turmudzi
c.       Sunan Abu Daud
d.      Sunan al-Nasa’i
e.       Sunan Ibn Majah
f.       Al-Musnad
g.      Al-Targhib wa al-Tarhib
h.      Nail al-Awthar
i.        Subul al-Salam
3)      Dalam bidang Fiqh
a.       Al-Syarh al-Kabir
b.      Al-Umm
c.       Al-Risalah
d.      Al-Muhalla
e.       Fiqh Al-Sunnah
f.       Min Taujihah al-Islam
g.      Al-Fatawa
h.      Al-Mughni li Ibn Qudamah
i.        Al-Islam Aqidah wa Syari’ah
j.        Zaad al-Maad[33]
Dalam pelaksanaanya, penjenjangan diatas tidaklah mutlak. Bisa saja pesantren tertentu memberikan tambahan atau langkah-langkah inovasi, misalnya dengan menambahkan kitab-kitab yang popular, tetapi lebih mudah dalam penyajianya, sehingga lebih efektif para santri menguasai materi.
Menurut Martin Van Bruinessen kurikulum dan pengajaran di pesantren tidaklah  di standarisasi. Hampir setiap pesantren mengajarkan kombinasi kitab yang berbeda-beda, dan banyak kyai terkenal ahli dalam kitab atau mempunyai spesialisasi bidang keilmuan tertentu.[34] Banyak santri tekun berpindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain untuk mempelajari kitab yang ingin mereka kuasai. Steenbrink menggambarkan beberapa santri yang berkelana untuk mencari ilmu kepada kyai yang mempunya kemampuan dan keahlian dalam keilmuan tertentu yang sudah tersohor.[35] Pada saat ini kejadian seperti itu meskipun tidak seramai beberapa puluh tahun yang lalu masih dapat kita temui dan relevan pada hidup sekarang, karena para santri kadang kala tidak hanya belajar di pesantren tetpai juga belajar di madrasah atau bahkan perguruuan tinggi yang mempunyai keunggulan dan spesialisasi yang cukup terkenal dibandingkan dengan madrasah/ pesantren/ perguruan tinggi di tempat yang lain.
Dalam hal pengembangan kurikulum pendidikanya lembaga pendidikan Islam (Madrasah dan Pesantren) , dalam wilayah sebagai institusi sosial ia dihadapkan kepada bagaimana ia melakukan respon terhadap tuntutan yang berkembang di masyarakat. Tuntutan tersebut tidak bisa dielakkan karena  madrasah dan kehidupan sosial disekitarnya merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Masing-masing saling berebut untuk saling melakukan intervensi terhadap pihak lainya. Madrasah dan pesantren tidak mungkin mengelak dari dinamika masyarakat, karena dimanapun ia berada.  Sementara pada saat yang sama, proses pendidikan di madrasah selalu berupaya untuk mengendalikan jalanya kehidupan agar tetap berada di atas norma-norma yang di idealkan.[36]
3.      Pengembangan Kurikulum Pesantren
a)      Pengembangan kurikulum Pesantren
Dalam beberapa penelitian terhadap pesantren ditemukan bahwa pesantren mempunyai kewenangan tersendiri dalam menyusun dan mengembangan kuurikulumnya. Menurut penelitian Lukens-Bull dalam bukunya Abdullah Aly, secara umum kurikulum pesantren dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu; Pendidikan Agama, pengalaman dan pendidikan moral, sekolah dan pendidikan umum serta, ketrampilan dan kursus.[37]
Pertama, kurikulum berbentuk pendidikan Agama Islam. Di dalam dunia pesantren, kegiatan belajar pendidikan Agama Islam lazim disebut sebagai  ngaji atau pengajian. Kegiatan ngaji dipesantren pada praktiknya dibedakan menjadi dua tingkatan. Pada tingkatan awal ngaji sangatlah sederhana, yaitu para santri belajar membaca teks-teks Arab, terutama sekali Al-Qur’an. Tingakatan ini dianggap sebagai usaha minimal dari pendidikan agama yang harus dikuasai oleh para santri. Tingkatan berikutnya adalah para santri memilih kitab-kitab islam klassik dan mempelajarinya dibawah bimbingan kyai. Adapun kitab-kitab yang dijadikan bahan untuk ngaji meliputi bidang ilmu: fikih, aqidah atau tauhid, nahwu, sharaf, balaghah, hadits, tasawuf, akhlak, ibadah-ibadah seperti sholat doa, dan wirid. Dalam penelitian Martin Van Bruinessen, ada 900 kitab kuning dipesantren. Hampir 500 kitab-kitab tersebut ditulis oleh ulama asia tenggara dengan bahasa yang beragam; bahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Indonesia, dan Aceh.[38]
Kitab kuning dalam dunia pesantren mempunyai posisi yang siginifikan selain dari kharisma kyai itu sendiri. Dan kitab kuning itu sendiri dijadikan referensi dan buku pegangan dalam tiap-tiap pesantren, dan kurikulum sebagai sistem pendidikan daam sebuah pesantren tersebut.
Kedua, kurikulum berbentuk pengalaman dan pendidikan moral. Kegiatan keagamaan yang paling terkenal di dunia pesantren adalah kesalehan dan komitmen para santri terhadap lima rukun Islam. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran para santri untuk mengamalkan nilai-nilai moral yang di ajarkan pada saat ngaji. Adapun nilai-nilai moral yang ditekankan dipesantren adalah persaudaraan Islam, keikhlasan, kesederhanaan dan kesaudaraan Islam.
Ketiga, kurikulum berbentuk sekolah dan pendidikan umum. Pesantren memberlakukan kurikulum sekolah mengacu kepada pendidikan nasional yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional, sedangkan kurikulum Madrasah mengacu kepada pendidikan Agama yang diberlakukan oleh Departemen Agama.
Keempat, kurikulum berbentuk ketrampilan dan kursus. Pesantren memberlakukan kurikulum yang berbentuk ketrampilan dan kursus secara terencana dan terpogram melalui kegiatan ekstrakulikuler. Adapun kursus yang popular dipesantren adalah bahasa inggris, computer, setir mobil, reparasi sepeda motor, dan lain sebagainya. Kurikulum seperti ini diberlakukan di pesantren karena mempunyai dua alasan, yaitu alasan politis dan promosi. Dari segi politis, pesantren yang memberikan pendidikan ketrampilan dan kursus kepada para santrinya berarti merespon seruan pemerintah untuk peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM). Hal ini berarti hubungan antara pesantren dengan pemerintah cukup harmonis. Sementara itu dari segi promosi terjadi peningkatan jumlah santri yang memliki pesantren-pesantren modern dan terpadu, dengan alasan adanya pendidikan ketrampilan dan kursus di dalamnya.
Sedangkan M Ridwan Nastir memberikan gambaran mengenai  tingkat keanekaragaman pranata sesuai dengan spektrum komponen serta pengembangan suatu pesantren. Yang diklasifikasikan menjadi lima bagian, yaitu;
a)      Pondok pesantren salaf/klasik; yaitu pondok pesantren yang didalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (weton, sorogan, bandongan) dan sistem klasikal (madrasah) salaf.
b)      Pondok pesantren semi berkembang; yaitu pondok pesantren yang didalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (weton, sorogan, bandongan) dan sistem klasikal (madrasah) swasta dengan kurikulum 90% agama dan 10% umum.
c)      Pondok pesantren berkembang; yaitu pondok pesantren seperti semi berkembang, hanya saja sudah lebih bervariasi dalam bidang kurikulumnya, yakni 70% agama dan 30% umum. Disamping itu juga diselenggarakan madrasah SKB tiga menteri dengan penambahan diniyah.
d)     Pondok pesantren khalaf/modern; yaitu seperti pondok pesantren berkembang, hanya saja sudah lebih lengkap lembaga pendidikan yang ada di dalamya, antara lain diselenggarakan sistem sekolah umum dengan penambahan diniyah (praktek membaca kitab salaf), perguruan tinggi (baik umum, maupun agama), bentuk koperasi dan dilengkapi dengan takhassus (bahasa Arab dan bahasa Inggris).
e)      Pondok pesantren Ideal; yaitu sebagaimana bentuk pondok pesantren modern hanya saja lembaga ppendidikan yang ada lebih lengkap, terutama bidang ketrampilan yang meliputi pertanian, teknik, perikanan, perbankankan, dan benar-benar memperhatikan kualitasnya dengan tidak menggeser ciri khusus kepesantrenannya yang masih relevan dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman. Dengan adanya bentuk tersebut diharapkan alumni pondok pesantren benar-benar berpredikat khalifah fil ardhi.[39]
Dalam perkembanganya pesantren tidak semata-mata tumbuh atas pola lama yang bersifat tradisional dengan hanya menggunakan pola sorogan dan bandongan. Binti Ma’unah menyatakan, dalam perkembanganya ada tiga sistem pembelajaran yang dikembangkan di pesantren, yaitu;[40]
1)      Sistem klassikal
Pola penerapan  sistem klassikal adalah dengan pembentukan kelas-kelas dan tingkatan, kluster pembelajaran yang disesuaikan seperti pada sekolah dalam pendidikan formal. Dalam banyak pesantren pola ini sudah banyak di gunakan di sebagai madrasah diniyah atau kegiatan dalam pesantren sebagai pengelompokan pembelajaran yang didasarkan atas kemampuan dan pemahaman selama di pesantren tersebut.
2)      Sistem kursus (tahassus)
Pengajaran sistem kursus ini mengarah kepada terbentuknya santri-santri yang mandiri dalam menopang ilmu-ilmu agama yang mereka terima dari Kyai melalui pengajaran sorogan dan bandongan. Sebab pada umumnya para santri diharapkan tidak tergantung kepada pekerjaan di masa mendatang, melainkan harus mampu menciptakan pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka.[41]
3)      Sistem pelatihan
Pola pelatihan ini dikembangkan untuk menumbuh kembangkan kemampuan praktis seperti pelatihan, pertukangan, perkebunan, perikanan, manajemen koperasi dan kerajinan-kerajinan yang mendukung tercinptanya kemndirian integratif.[42]  Dalam banyak pesantren sudah banyak digodog (diusahakan dan di didik pengalaman dan pembelajaranya secara intensif) agar para santrinya mempunyai kemampuan entrepreneur. Hal ini erat kaitanya dengan kemampuan yang lain yang cenderung melahirkan santri yang intelek dan ulama yang mumpuni.


D.    KESIMPULAN
Kurikulum adalah seperangkat materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan kepada peserta didik, agar visi, misi dan tujuan pendidikan dapat tercapai.[43] Dapat dipahami bahwa kurikulum pendidikan modern berisi materi-materi yang cenderung kearah pengembangan potensi murid (child centered) guna kepentingan hidup di masyarakat (community centered), sedangkan kurikulum tradisional lebih mengarah kepada pendidikannya(education centeredز
Fungsi kurikulum dalam proses pendidikan adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, adapun komponen-komponen tersebut meliputi; komponen tujuan, komponen isi atau materi, komponen metode ataustrategi dan evaluasi. Dalam pendidikan pesantren setidak-tidaknya didalamnya ada unsur kyai, pondok, masjid, santri, dan pengajaran kitab-kitab kuning. Dalam sistem pengajaran pesanten dikenal ada dua sistem pengajaran yaitu, wekton (atau yang lebih dikenal dengan bandongan) dan sorogan.
Menurut penelitian Lukens-Bull dalam bukunya Abdullah Aly, secara umum kurikulum pesantren dapat dibedakan menjadi empat bentuk, yaitu; Pendidikan Agama, pengalaman dan pendidikan moral, sekolah dan pendidikan umum serta, ketrampilan dan kursus.




DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta;Kompas Gramedia,2002
Abdullah Aly, Pendidikan Islam Mulltikulturalisme di Pesantren; Telaah Kurikulm Pondok Pesantren Islam Assalam Surakarta Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2011
Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren,Yogyakarta: Teras, 2010
Binti Ma’unah, Tradisi Intelektual Santri, Yogyakarta; TERAS, 2009
Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan,  Jakarta; Prasasti, 2002
Clifford Geertz, Agama Jawa; Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa, Jakarta;Komunitas Bambu, 2013
Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah; Pertumbuhan dan Perkembanganya, (Jakarta; Departemen Agama RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam), 2003
E. Badri, dan Munawiroh (ed), Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyah, (Jakarta; Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,  2007
Hidar Putra Dulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren,  Sekolah dan Madrasah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.
Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam; Studi Atas Daya Tahan Pesantren Tradisional, Surabaya; Penerbit “Al-Ikhlas”, 1993
Kareel A Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, Jakarta; LP3ES, 1986
Komaruddin Hidayat, Mereka Berbicara Pendidikan Islam; Sebuah Bunga Rampai, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2009
Mujammil Qomar, Pesantren; Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta; Erlangga, 2002
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2012
Marwan Sardijo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta; Penerbit Dharma Bakti, 1982
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat, Yogyakarta ; Gading Publishing, 2012
Omar Muhammad Al-Toumy As-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Prof. Omar Muhammad Al-Toumy As-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren Ditengah Arus Perubahan, Yogyakarta; Pustaka Pelajar,2005
Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur CholisMadjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, Jakarta: Ciputat Press, 2002
Zamachsary Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta; LP3ES, 1985



[1] Hidar Putra Dulay, Historisitas dan Eksistensi Pesantren,  Sekolah dan Madrasah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001),ix
[2] Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur CholisMadjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hal.78
[3] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam; di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 1
[4] Anin Nurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren,(Yogyakarta: Teras, 2010), hal.30
[5] Prof. Omar Muhammad Al-Toumy As-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979),  hal.459
[6] AninNurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap pengembangan kurikulum Pendidikan Pesantren, hal.33
[7] As-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, hal.520-522
[8] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, …………………., hlm. 6
[9] Zamachsary Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta; LP3ES, 1985), hlm. 44
[10]  Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam; Studi Atas Daya Tahan Pesantren Tradisional, (Surabaya; Penerbit “Al-Ikhlas”, 1993), hlm. 89
[11]  Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam………………hlm. 89-90
[12]  Mengenai tipologi santri dan abangan ini, lihat dalam Clifford Geertz, Agama Jawa; Santri, Priyayi, Abangan dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta;Komunitas Bambu, 2013), hlm. 56
[13] E. Badri, dan Munawiroh (ed), Pergeseran Literatur Pesantren Salafiyah, (Jakarta; Puslitbang Lektur Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,  2007), hlm. 110
[14] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, …………………., hlm. 6
[15] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, …………………., hlm. 6
[16] Mastuhu, ‘Prinsip Pendidikan Pesantren’, dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher (ed), Dinamika Pesantren; Kumpulan Makalah Seminar International ”The Role Of pesantren In Education and Community Development in Indonesia” Berlin 9-13 juli 1987, pen Sonhaji Soleh, (Jakarta; Penghimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1988), hlm. 278
[17] Mastuhu,  Ibid
[18] Nama dan pengaruh pengaruh Pesantren berkaitan erat dengan  kharisma  Kyai. Kuatnya kecakapan dan pancaran kepribadian kepemimpinanseorang pimpinan pesantren sangat menentukan tingkat dan kedudukan suatu pesantren. Lihat dalam Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren Ditengah Arus Perubahan, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar,2005), hlm. 13
[19] Abdurrahman Wahid,” Prospek Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan”, dalam Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher (ed), Dinamika Pesantren ….… hlm. 268-270
[20] Abdurrahman Wahid , Ibid, hlm 270-271
[21] Komaruddin Hidayat, ‘Kyai dan Dunia Pesantren’, dalam, Marwan Sardijo (Peny), Mereka Berbicara Pendidikan Islam; Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 5
[22]  Mujammil Qomar, Pesantren; Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta; Erlangga, 2002), hlm. 109.
[23] Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam………………hlm. 97
[24] Marwan Sardijo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta; Penerbit Dharma Bakti, 1982), hlm. 32
[25] Disebut weton atau wekton, karena pelaksanaan pengajaranya jatuh setiap habis shalat, dan disebut bandongan karena diikuti oleh sekelompok (bandong) santri dalam jumlah tertentu. Lihat dalam Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam………………hlm. 98
[26] Kegiatan ini biasanya disebut ngabsahi, yaitu dalam bahasa yang popular disebut dalam dunia pesantren. (pengalaman pribadi penulis. red)
[27] Marwan Sardijo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, ……………………, hlm. 32
[28] Marwan Sardijo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, ……………………, hlm. 31
[29] Marwan Sardijo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, ……………………, hlm. 31-32
[30] Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah; Pertumbuhan dan Perkembanganya, (Jakarta; Departemen Agama RI Dirjen Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 31
[31] Departemen Agama RI,ibid
[32] Data ini dikumpulkan dan dikodifikasi oleh Departemen Agama RI, lihat dalam Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, hlm. 33-35
[33] Departemen Agama RI, Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah, hlm. 36
[34] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat,(Yogyakarta ; Gading Publishing, 2012) ,  Edisi revisi, hlm.123
[35] Kareel A Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah; Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, (Jakarta; LP3ES, 1986), hlm.74, cerita lebih lengkap dijelaskan oleh Zamachsary Dhofier, lihat dalam  Zamachsary Dhofier, Tradisi Pesantren….., hlm. 26
[36] Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, (Jakarta;Kompas Gramedia,2002), hlm. 72
[37]  Abdullah Aly, Pendidikan Islam Mulltikulturalisme di Pesantren; Telaah Kurikulm Pondok Pesantren Islam Assalam Surakarta (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 184
[38] Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat…….., hlm. 134
[39]  Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren Ditengah Arus Perubahan, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar,2005)hlm. 87-88
[40] Binti Ma’unah, Tradisi Intelektual Santri, (Yogyakarta; TERAS, 2009), hlm. 185
[41] Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta; Prasasti, 2002),hlm. 32
[42] Binti Ma’unah, Tradisi Intelektual Santri………………………………….., hlm. 186
[43] AninNurhayati, Kurikulum Inovasi, Telaah Terhadap Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren,(Yogyakarta: Teras, 2010), hal.30

No comments:

Post a Comment