Mencermati
berbagai problem pendidikan dan
pendidikan
Islam di Indonesia dan Upaya pemecahan melalui kebijakan
Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas matakuliah
Studi
Kebijakan Pendidikan Islam
Dosen Pengampu
:
Prof. Dr. H.
Baharuddin, M.Pd.I

Kunainah Afroyim
NIM :16771029
PROGRAM STUDI
MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UIN MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN 2018
Mencermati berbagai problem
pendidikan dan
pendidikan Islam di Indonesia dan
Upaya pemecahan melalui kebijakan
Oleh :
Kunainah Afroyim (16771029)
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Ujung tombak
kemajuan suatu Negara adalah ketika bangsa dalam negara tersebut memiliki
kualitas pendidikan dan SDM (sumber daya manusia). Dalam memajukan bangsanya
Negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan bahkan Malaysia menempatkan
pendidikan sebagai progam yang utama, karena kemajuan suatu Negara sangat di
pengaruhi dengan daya manusia yang berkualitas dan produktif. Kemajuan
pendidikan di suatu Negara menjadi barometer dari maju atau tidak suatu Negara
tersebut.
Secara umum
definisi pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang berkembang
lebih baik dari yang awalnya manusia yang tanpa ilmu menjadi manusia berilmu
yang berkualitas dan produktif, sebagai suatu pengalaman yang memberikan
pengertian, pandangan, dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkan mereka
berkembang. Secara khusus pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan dimana
setiap individu mengembangkan kemampuannya, bakatnya, kecakapannya dan
minatnya. Sehingga dapat di simpulkan disini bahwa pendidikan adalah, suatu
usaha sadar dalam rangka menanamkan daya-daya kemampuan, baik yang berhubungan
dengan pengalaman kognitif (daya pengetahuan), afektif (aspek sikap) maupun
psikomotorik (aspek ketrampilan) yang dimiliki oleh seorang individu.
Pendidikan
tidak hanya berhubungan dengan dunia sekolah, maksudnya pendidikan terbagi
menjadi 2, yaitu formal dan informal. Informal yaitu, pendidikan yang bisa kita
dapatkan dari keluarga, lingkungan dan
juga pergaulan. Pendidikan formal yaitu, pendidikan yang kita peroleh dari
sebuah lembaga atau institusi resmi yang di akui oleh Negara.
Upaya
pembangunan pendidikan di Indonesia dilakukan dari jenjang sekolah dasar (SD),
sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) / sekolah menengah
kejuruan (SMK), dan perguruan tinggi. Di upayakan setiap jenjang ini berhasil
dalam mewujudkan cita-cita sistem pendidikan Nasional. Seperti yang terdapat
dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yaitu
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta perbedaan bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Dewasa ini
kita telah mengetahui semua bahwa Ketika pendidikan di manipulasi untuk
kepentingan politi, pendidikan sekarang justru hanya menjadi sebuah permainan
politik, yang di mulai sejak masa Orde baru dimana cita cita pendidikan
Nasional yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsanya bergeser menjadi instrunen
politik bagi penguasa serta proses agamanisasi masyarakat. Hal ini dibuktikan berdasarkan
Indeks pembangunan Manusia (IPM)[1]
atau Human Development Index (HDI) yang dirilis tanggal 5 oktober 2009,
Indonesia berada pada kategori Pembangunan Manusia Menengah dengan Indeks IPM
0,734, dan berada di urutan ke-111 dari 180 Negara. Posisi ini kalah jauh dari
Negara Malaysia, yang berada pada kategori Pembangunan Manusia Tinggi dengan
indeks IPM 0,829 dan berada pada urutan ke-66.
Menurut
penulis ini merupakan sebuah problematika pendidikan Nasional dimana pendidikan
sudah hilang cita-cita mulianya dan pendidikan Islam juga terlalu menjadikan
diri benar tanpa adanya toleransi agama karna setau penulis beragama adalah
belajar menghormati satu dengan yang lain antar umat beragama demi terciptanya
bangsa yang makmur, tetapi sepertinya pendidikan Islam juga sudah kehilangan
intensitas tersebut, terbukti dengan pengalaman penulis saat penulis masih
duduk di bangku SD (sekolah Dasar), ketika pelajaran agama beranglun maka teman
kelas yang tidak beragama Islam pun keluar dan tidak mengikuti proses KBM,
serta ketika memulai pelajaran, maaka kita berdoa mengikuti mariritas agama yng
di anut(agama Islam) bukan dengan kata “berdoa menurut agama masing”).
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah :
1.
Bagaimana problematika pendidikan
di Indonesia?
2.
Bagaimana Upaya pemecahan
problematik pendidikan di Indonesia melalui kebijakan?
3.
Bagaimana Problematika Pendidikan
Islam di Indonesia?
4.
Bagaimana upaya pemecahan
problematika pendidikan Islam di Indonesia melalui kebijakan?
3.
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah penulis bertujuan untuk mengetahui :
1.
Apa dampak yang terjadi dengan
adanya problematika pendidikan di Indonesia?
2.
Apa dampak dari pemecahan
problematika melalui kebijakan?
3.
Apa dampak yang terjadi dengan
adanya problematika pendidikan Islam di Indonesia?
4.
Apa dampak dari pemecahan problematika
pendidikan Islam melalui kebijakan?
B.
PEMBAHASAN
1.
Problematika
pendidikan di Indonesia
Sejak
kebangkitan Nasional tahun 1908, para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia
dan kemudian para pendiri Republik tampak amat sadar akan pentingnya
pendidikan nasional bagi rakyat bangsa
Indonesia. Selaras dengan pembukaan UUD 1945 dan pasal dalam UUD 1945,
pemerintah Republik indonesia dapat menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional
untuk seluruh Republik Indonesia, Kini penyelenggaraan pendidikan Naasional,
terhitung sejak tahun 1950 telah berjalan enam puluh delapan tahun.
Pendidikan
sebagai sebuah sistem terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan
antara satu sama lain. Akreditasi BAN-PT dalam perguruan tinggi di gunakan
sebagai acuan standar Nasional, komponen pendidikan terdiri dari Visi, misi
tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik, peserta didik, manajemen
pengelolaan, sarana prasarana, pembiayaan, sistem komunikasi, lingkungan dan
evaluasi pendidikan.[2]
Dalam menuju
cita-cita pendidikan Nasional yang berkualitas serta mewujudkan bangsa yang
produktif dan SDM yang bagus, pendidikan Nasional mempunyai tujuan yang telah
di rumuskan melalui UU no.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional.
Tujuan pendidikan tersebut di jabarkan dalam UUD 1945, yaitu[3] :
a.
Pendidikan yang mencerdaskan bangsa
b.
Pendidikan adalah hak seluruh
rakyat.
Jika kita
amati dari tujuan pendidikan Nasional, Indonesia mempunyai cita-cita luhur
untuk mencerdaskan bangsanya, karena pendidikan merupakan hal yang sangat
penting dan tidak bisa lepas dari kedihidupan, dengan pendidikan kita bisa
memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa di mata dunia internasional.
Sebagaimana pernah di ungkapkan Daoed Joesoef[4] :
“ Pendidikan Merupakan alat yang menentuan sekalii untuk mencapai kemajuan
dalam segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik,
yang sesuai dengan martabat manusia”.
Pendidikan
akan di nilai gagal jika tidak berhasil mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas (baik dari segi spiritual, intelegensi, dan skill) . untuk itu,
perlu diusahakan peningkatan mutu pendidikan, supaya bangsa kita tidak
tergantung pada status bangsa yang berkembang tetapi bisa menyandang predikat
bangsa maju dan tidak kalah bersaing dengan bangsa Eropa.[5]
Masalah
pendidikan di Indonesia tidak pernah habis-habismya untuk di kritik,
direnungkan, disesalkan, dan dibicarakan oleh orang-orang yang peduli dengan
Pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia belum mampu menjawab kebuntuan
problem yang dihadapi masyarakat. Bisa dikatakan, penddikan sudah jauh
melenceng dari hakikat pendidikan yang sebenarnyadan sama sekali tidak sesuai
dengan yang dicita-citakan Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara.[6]
Kita perlu
mengakui bahwa dalam proses kehidupan, setiap orang selalu berharap agar dapat
menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya.[7]
Hal ini merupakan kondisi yang mendorong setiap orang untuk berusaha dan
mengusahakan agar dapat mempunyai bekal yang mencukupi untuk hidup.[8] Pendidikan
berusaha mengembangkan potensi individu agar mampu berdiri sendiri. Untuk itu
individu perlu diberi berbagai kemampuan dalam pengembangan berbagai hal,
seperti; konsep prinsip, kreativitas, tanggung jawab, dan keterampilan.[9] Sistem
pendidikan rnenjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial
budaya dan masyarakat sebagai suprasistem. Pembangunan sistem pendidikan tidak
mempunyai arti apa - apa jika tidak sinkron dengan pembangunan nasional. Kaitan
yang erat antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan sistem sosial di
budaya sebagai suprasistem tersebut dimana sistem pendidikan menjadi
bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan
intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya, suatu
perrnasalahan lntern dalam sistem pendidikan selalu ada kaitan dengan
masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. [10]
Tertapi
masalah itu terjadi juga karena adanya sebuah problem mendidikan yang berkaitan
dengan :
1.
Kebijakan pendidikan
Kebijakan
pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan
pendidikan nasional. Pencapaian kedua pesan konstitusi untuk pendidikan
Nasional dijabarkan dalam berbagai kebijakan pendidikan. Kebijakan-kebijakan
pendidikan tersebut di rencanakan dapat diwujudkan atau dicapai melalui
lembaga-lembaga soial (social institutions) atau organisasi sosial dalam
bentuk lembaga-lembaga pendidikan formal, non-formal, dan informal.[11]
Pendidikan di
Indonesia selalu di warnai dengan terlalu seringnya pergantian pejabat yang
kemudian diikuti dengan pergantian kebijakan. Selama perjalanan waktu sampai
dengan usia ke-69 tahun (2014), indonesia telah memiliki paling tidak 27
menteri Pendidikan dan Kebudayaandan lima Menteri Pendidikan tingga, kalau
direrata setiap 2,2 tahun terjadi pergantian menteri pendidikan baru.[12] Seringnya
berganti menteri di Indonesia berdampak dengan gantinya kebijakan dan
Kurikulum, karena setiap menteri membawa pola fikir nya masing-masing. Dampak
dari pergantian kebijakan dan kurikulum.[13]
2.
Menurunnya Profesionalitas Guru
Guru merupakan
faktor utama dalam proses pembelajaran di sekolah. Tersedia prasarana dan
sarana yang lengkap namun kalo tidak tersedia gurunya, proses pembelajaran pun
tidak akan terjadi. Tapi ada Guru, meskipun tidak tersedia prasarana dan sarana
yang memadai, proses pembelajaran tetap dapat terlaksana.
Ada masalah
kekal yang dihadapi oleh Guru kita yang tidak pernah tuntas, bahkan
bertumpuk-tumpuk tanpa kita tahu kapan dan dimana batas akhirnya. Begitu
betumpuknya sehingga nyaris sering terlupakan bersama hilangnya suara Guru itu
sendiri. Jika kita mencoba melakukan inventrasisai persoalan-persoalan aktual
yang di hadapai para Guru, ibarat dokumen yang kekal,, para Guru Indonesia
tidak pernah lepas dari problem sosial yang sangat kompleks dan berdampak pada
pelaksanan tugas mengajar karena menyangkut soal aspek ekonomis, politis,
psikologi, kultural, dan struktural sekaligus berpengaruh terhadap makin
merosotnya profesionalitas Guru.[14]
Selain itu, melimpahnya
sarjana pendidikan yang tidak terserap menjadi guru profesional tak hanya
disebabkan minimnya kuota pengangkatan guru pegawai negeri sipil. Penyebab
utamanya adalah mutu lulusan sarjana pendidikan itu sendiri tidak memadai.
Mereka adalah lulusan dari lembaga pendidikan (LPTK) yang sebagian besar
berakreditasi C dari 421 LPTK hanya 18 institusi yang berakreditasi A dan 81 institusi
berakreditasi B.
Berdasarkan
data yang dihimpun Kompas, Senin (12/3) , rendahnya mutu lulusan LPTK
yang bekerja sebagai Guru berdampak pada mutu pembelajaran di sekolah. Hal ini
tampak dari hasil uji kompetensi Guru (UKG) tahun 2015. Nilai rata-rata yang
dicapai hanya 56,69. Materi yang diujikan pedagogik dan kemampuan profesiona
menguasai materi ajar.[15]
Secara umum
Guru merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas pendidikan. Namun
demikian, posisi strategisguru untuk pendidikan sangat dipengaruhi oleh
kemampuan profesional, pedagogik, kepribadian, soial, dan faktor kesejahteraan.
Seiring bergulirnya arus globalisasi yang lebih mengedepankan materi, profesi
guru mulai mengalami pergeseran makna. Perubahan dan perkembangan masyarakat
yang semakin maju menuntut profesi Guru menyesuaikan diri dengan perubahan dan
kebutuhan masyarakat. Namun, demikian, dalam kenyataannya penghargaan
masyarakat di Indonesia terhadap guru belum seperti keinginan mereka tentang
profesionalisme yang harus dimiliki Guru.[16]
3.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Makin
mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah
yang menerapkan mbs (manajemen berbasis sekolah). Mbs di indonesia pada
realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena
itu, komite sekolah/dewan pendidikan yang merupakan organ mbs selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Satu hal yang
harus kita tekankan pada konsep diri kita dan seluruh orang yang merasa peduli
terhadap eksistensi warga negara adalah setiap warga negara mempunyai hak yang
sama dalam pendidikan. Mereka seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama saat
membutuhkan proses pendidikan, khususnya tempat pendidikan yang dikontribusi
Negara. Kita menyadari bahwa pemerintah telah memberi kesempatan belajar untuk
semua warganya. Namun, kenyataan yang terjadi adalah untuk mengikuti proses
pendidikan, orang tua harus merogoh isi kantong yang nilainya sedemikian rupa
hingga sangat memberatkan.
Kreativitas
para pengelola sekolah yang sedemikian rupa menjadikan masyarakat sebagai objek
yang terus diobrak-abrik agar dapat memenuhi ambisi para pengelola sekolah itu.[17]
Kini, hampir semua pengelola sekolah berambisi untuk dapat menciptakan
sekolahnya sebagai seklah dengan standar Nasional atau standar Internasional.
Untuk mengkondisikan hal tersebut, mereka berusaha melibatkan masyarakat, dalam
hal ini adalah orangtua anak didik diharapkan, dan kesannya dipaksa, untuk ikut
memikirkan cara agar sekolah dapat mencapai standar yang diharapkan tersebut.
Maka orang tua harus membayar sejumlah rupiah untuk mendukung kegiatan
tersebut.[18]
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau
gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh
pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi
pemerintah untuk ‘cuci tangan
2.
Upaya
pemecahan melalui kebijakan
Sejak
kemerdekaan samapi sekarangdalam penyelenggaraan pendidikan nasional, kita
mengenal tiga UU pendidikan, yaitu UU No 4 Tahun 1950 Jo UU No 12 Tahun 1954,
UU No 2 Tahun 1989 tentang pendidikan Nasional dan UU No 20 Tahun 2003 di
samping UU No 20 Tahun 1961 tentang peguruan Tinggi. Dalam hal kurikulum kita
mengenal kurikulum : (1) Kurikulum 1950 ; (2) Kurikulum 1962 ; Kurikulum 1969 ;
(4) kurikulum 1975 ; (5) Kurikulum 1984 ; (6) Kurikulum 1994 ; (7) Kurikulum
2004 dan (8) Kurikulum 2006 ; (9) Kurikulum 2013.[19]
Adapaun upaya pemecahannya yaitu :
(1)
Kebijakan pendidikan
Kebijakan
dalam pembaharuan pendidikan sering kali di tuding kurang kontekstual sebagai
suatu kebijakan yang utuh dan terintegrasi secara empirical¸evaluative dan
normative, dan memberi pedoman yang jelas bagi pengejewantahan
formulasi, implementasi dan evaluasinya. Sebagai suatu produk, kebijakan
pendidikan sering tidak di formulasikan berdasarkan elemen-elemen yang perlu
diintegrasikan secara sinergy, bukan sebagai komponen yang terdikhotomi.
Artinya apakah rumusan-rumusan kebijakan tersebut telah memenuhi kriteria
kebijakan yang utuh atau masih terlepas dari ruang lingkupnya.[20]
Terjadinya pergantian kebijakan adalah di karenakan pergantian mentri pada
setiap tahunnya, dan juga berdampak pada perubahan kurikulum .
Dalam dewasa
ini kita semua mengetahui bahwa pergantian menteri pendidikan dan kebudayanaan
ini sangat lekat sekali dengan dunia perpolitikan, serta pergantiaan
kebijakannya, menurut hemat penulis seharusnya keadaan seperti ini jangan di
budayakan karna sangat menyusahkan sekali terhadap profesionalitas guru dan
kualitas belajar peserta didik. Seperti contoh kurikulum 2013 yang baru baru
ini sangat hangar sekali di kalangan sekolahan dalam kurun waktu yang hampir 5
tahun berjalan progam kurikulum ini belum sepenuhnya bisa di ikuti oleh seluruh
lembaga pendidikan di sekolah, di antara karena keterbatasan buku ajar yang
belum sepebuhnya selesai dan juga terbatasnya keprofesionalitas Guru dan
kemampuan siswa.
Betul bahwa
semangat Kurikulum 2013 terutama mengenai model pembelajaran tematik intregatif
itu mengambil pelajaran dari kurikulum yang diterapkan di Negara-Negara maju,
termasuk di terapkan di sekolah-sekolah internasional yang ada di Indonesia.[21]tapi
perlu di catat bahwa : pertama , mereka telah memiliki tradisi baca,
tulis, dan berhitung yang panjang dalam keluarga mereka masing-masing sehingga
sekolah tidak perlu susah payah mengajarkan baca tylis kepada murid-muridnya,
sementara kitak punya tradisi tersebut, sehingga sekolah pada tingkat awal
perlu memberikan dasar-dasar membaca menulis, dan berhitung secara benar,
sehingga tidak bisa langsung ke pemecahan masalah seperti yang ditawarkan dalam
kurikulum 2013. Kedua, kurikulum 2013 ini penuh kontraktif, karena di
satu pihak ingin melahirkan generasi yang mampu berfikir kritis dan
menyelesaikan masalah, kreatif, inovatif, dan produktif.
Dalam memahami
suatu proses kebijakan, terdapat aspek yang sangat penting yaitu implementasi.
Tolok ukur keberhasilan kebijakan adalah pada tahap implementasi. Implementasi
kebijakan dapat disebut sebagai rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah sebuah
kebijakan ditetapkan, baik terdiri atas pengambilan keputusan langkah-langkah
yang stratejik maupun operasional yang di tempuh guna mewujudkan suatu progam
atau kebijakan menjadi kenyataan, Guna mencapai sasaran dari keb ijakan yang telah ditetapkan tersebut.[22]
(2)
Menurunnya Profesionalitas Guru
Guru adalah
profesi yang pada mulanya oleh masyarakat Indonesia di anggap sebagai pekerjaan
yang mulia dan luhur karena mereka adalah orang yang berilmu, berakhlak jujur,
baik hati, disegani serta menjadi teladan masyarakat dan masih bnyak lagi
karakteristiknya. Di Amerika serikat posisi Guru menempati urutan pertama
sebagai profesi yang diminati sebab profesi Guru merupakan penghargaan dan
proposional sedangkan di Indonesia profesi Guru menjadi pilihan terakhir
setelah gagal mencari pekerjaan yang “lebih baik”.[23]
Kebijakan
pemerintah saat itu untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, meiputi
empat aspek ; kurikulum, tenaga pendidikan, sarana pendidikan, dan kepemimpinan
satuan pendidikan. Kaitannya dengan profesionalitas Guru setidaknya harus di
adakan pembinaan profesionalitas dan peningkatan kesejahteraan guru yang
meliputi hal-hal berikut[24]
:
a.
Menata kembali sistem jenjang
karier Guru dan tenaga kependidikan lainnya.
b.
Meningkatkan kesejahteraan guru
baik secara material maupun psikologis
c.
Memberikan perlindungan hukum dan
rasa aman kepada guru dalam menjalankan tugasnya.
d.
Memberikan kesempatan yang luas
kepada Guru untuk meningkatkan profesionalitasnya melalui berbagai pelatihan
dan studi belajar.
Kita tidak
boleh menutup sebelah mata bahwa keberhasilan Jepang setelah dibom pada perang
Dunia II, keberhasilan Jerman, Korea, bahkan Malaysia yang pada beberapa puluh
tahun lalu (
15 tahun) masih berguru kepada
Indonesia kini menjadi Negara yang cukup maju. Keberhasilan mereka sebagaimana
laporan komisi UNESCO semata-mata karena Negara-negara tersebut amat concern
terhadap dunia pendidikan. Negara tersebut tidak pernah merasa takut dan rugi
mengeluarkan dana yang besar bagi kepentingan pendidikan. Bagi mereka hal
tersebut merupakan investasi bagi masa mendatang (human invesment).[25]

(3)
Mahalnya Biaya Pendidikan
Kita menyadari
bahwa pendidikan membutuhkan pembiayaan yang sangat besar. Maka, sungguh
menggelikan jika muncul wacana pendidikan gratis. Pendidikan tetap membutuhkan
biaya agar semua progam yang disusun dapat direalisasikan untuk anak-anak. Hal
ini karena proses pendidikan harus dilaksanakan oleh para profesional uang
menjadikan proses pendidikan sebagai lapangan pekerjaan pengabdian, begitu juga
standar proses harus diterapkan oleh sekolah agar proses pendidikan dapat
berjalan sebaik-baiknya.
Sekolah swasta[26]
misalnya, sekolah ini memang sekolah yang diselenggarakan oleh institusi
penyelenggara pendidikan dan pembelajaran yang di dalam pelaksanaan kegiatannya
harus membiayainya dengan menggunakan dana yang didapatkan dari masyarakat,
yaitu orang tua anak didik. Dalam hal
ini jelas bahwa dana dari masyarakat dikembalikan kepada masyarakat melalui
proses pendidikan yang dijalani oleh anak didik. Oleh karena itu lah dibutuhkan
kejelian dan kemampuan penggelolaan dana sebaik-baiknya sehingga setiap rupiah
yang di dapatkan oleh masyarakat benar-benar efektif. [27]
Pendidikan
merupakan salah satu aspek penting yang dianggap sangat menentukan Prasayarat
peningkatan kualitas pendidikan harus di perhatikan agar kita mempunyai
gambaran jelas mengenai hal-hal yang harus dilakukan bersama. Kita tidak lagi
mencari kambing hitam pada saat sebuah proses tidak mencapai hasil maksimal.
Semua pihak menyadari bahwa ada tanggunngan
3.
Problematika
pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan
Islam adalah usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik yang
mengenal memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam di barengi
dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama laindalam hubungannya dengan
kerukunan umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Esensi
pendidikan Islam adalah transfer nilai, pengetahuan dan keterampilan dari
generasi tua kepada generasi muda agar generasi muda mampu hidup. Oleh karena
itu ketika kita menyebut pendidikan Islam maka akan mencangkup dua hal, (a)
mendidik siswa untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam ;
(b) mendidik siswa siswi untuk mempelajari materi ajaran Islam – subyek berupa
pengetahuan tentang ajaran Islam.[28]
Pendidikan
Islam[29]
di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam di Indonesia. Tahap awal
pendidikan Islam dimulai dari kontak Individu maupun kelompok antara mubaligh
dengan penduduk pribumi. Setelah komunitas Muslim terbentuk di suatu daerah,
maka mereka membangun masjid sebagai tempat peribadatan dan sentral pendidikan
di samping rumah para mubaligh. Setelah muncul cikal bakal lembaga pendidikan
lainnya seperti surau dan pesantren. Di tempat ini, umat Muslim Indonesia
pertama kali mendapatkan pendidikan keislaman.[30]
Agaknya banyak
sekali kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama (Islam).
Mengidentifikasikannya kedalam dua bagian yaitu :
Pertama : kesulitan
yang datang dari sifat bidang studi pendidikan agama Islam itu sendiri, yang
banyak menyentuh aspek-aspek metafisika yang bersifat abstrak atau bahkan
menyangkut hal-hal yang yang bersifat supra rasional. Karena sulitnya
melaksanakan pendidikan agama maka sebagian orang berpendapat pendidikan agama
tidak perlu diberikan di sekolah.
Kedua, : kesulitan
yang datang dari luar bidang studi PAI itu sendiri. Antara lain menyangkut
dedikasi GPAI yang mulai menurun, lebih bersifat transaksional dalam bekerja,
orang tua di rumah juga mulai kurang memperhatikan pendidikan agama bagi
anaknya, orientasi tindakan semakin matrealis, orang semakin bersifat
rasionalis, orang semakin bersifat individualis, kontrol sosial semakin
melemah, dan kesulitan ini juga bersumber pada watak budaya modern yang sudah
betul-betul menglobal.
Budaya modern
memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut[31]
:
Pertama : budaya
modern adalah budaya yang menggunakan akal sebagai alat pencari dan pengukur
kebenaran (rasionalisme). Penggunaan akal dalam islam bukan saja di bolehkan,
tetapi diharuskan. Banyak sekali ayat dalam Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa
banyak juga kebenaran lain yang tidak dapat di
peroleh dan dipahami dengan akal. Hakikat Allah, surga, neraka, malaikat, wajib
puasa di bulan Ramadhan, shalat subuh dua raka’at sedang sholat dzuhur empat
rakaat, segala tindakan dan di catat oleh malaikat Raqib dan Atid. Sedangkan
para murid lebih sering menggunakan akalnya dalam menanggapi persoalan baik
melalui Matematika, IPA, dan lain-lainnya, sehingga mereka sulit menerima
ajaran-ajaran agama yang supranasional tersebut.
Kedua : dalam budaya
modern manusia akan semakin materialis. Bersama dengan meningkatnya laju
pembangunan fisik, seseorang juga menghadapi dilema yang sulit di selesaikan.
Inti pembangunan fisik itu ialah materialisasi.
Ketiga : dalam dunia
modern manusia akan semakin bersifat individualis(perasingan). Sifat ini muncul
dari watak individualisme, sehingga banyak kasus pertengkaran akibat adanya
persaingan, misalnya dalam perdagangan, politik, meraih jabatan dll.
Keempat :karena budaya
modern itu melalui perkembangannya dengan rasionalisme, maka salah satu
turunannya ialah Pragmatisme, yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang
berguna dan yang berguna itu biasanya lebih bernuansa fisik-material.
Kelima : dari
rasionalisme, Materialisme dan Pragmatisme itu muncul Hedonisme. Paham ini
mengajarkan bahwa yang benar ialah sesuatu yang menghasilkan kenikmatan.
Sebagai umat
yang relatif masih muda, maka kaum muslim indonesia hanya memiliki tradisi
intelektual yang relatif muda, jika tidak dapat disebut lemah. Ini bisa
dibuktikan dari isi kepustakaan kita. Sementara itu, di anak benua
indo-pakistan, misalnya disebabkan oleh pengalaman mereka memiliki sejarah
keislamn yang panjang dengan kekuasaan politik yang menjadi masa lampau
gemilang anak benua itu-kita dapati kepustakaan mereka penuh dengan warisak
karya-karya klasik oleh anak negri sendiri, yang karya-karya itu memperoleh
peng-akuan dunia.[32]
Suatu
tantangan terbesar bagi institusi pendidikan Islam Indonesia adalah peranannya
dalam pembentukan sumber daya manusia yang memiliki komposisi intelektual dan
spiritual yang seimbang. Sejalan dengan konsep “ta’dib” di atas, tentu
saja konsep pendidikan masa datang adalah keterpaduan antara khazanah keilmuan
modern dan khazanah Islam yang bernuansa budaya lokal.
Sementara itu,
kondisi obyektif pendidikan Indonesia adalah sebuah potret dualisme pendidikan,
yaitu pendidikan Islam tradisional dan pendidikan modern. Pendidikan Islam
tradisional diwakili pesantren yang bersifat konservatif dan “hampir” steril
dari ilmu-ilmu modern. Sedangkan pendidikan modern diwakili oleh lembaga
pendidikan umum yang disebut dengan sistem pendidikan umum.[33]
4.
Upaya
Kebijakan dalam menanggulangi problematika pendidikan Islam di Indonesia
Terminologi pendidikan Islam bagi penulis akan merujuk pada konteks makna
institusi, proses dan subject matter (kurikulum) (Idrus, 1997). Institusi akan
berkonotasi pada lembaga-lembaga pendidikan Islam formal (mulai dari MI, M.Ts.,
MA PT Islam) maupun non-formal (pondok pesantren, sekolah diniyah, TPA). Untuk
pendidikan berbentuk perguruan tinggi Islam. Meski untuk pendidikan tinggi,
Zamroni (1995) pernah mengajukan sinyalemen bahwa model pendidikan tinggi Islam
pada dasarnya merupakan implementasi dari sistem pendidikan tinggi sekuler
barat yang ditambah dengan mata kuliah agama Islam.
Sementara itu, proses merujuk pada situasi interaktif antara pendidik
dengan peserta didik beserta lingkungan pendidikan yang menyertainya. Dengan
begitu, proses yang berlangsung di dalamnya seharusnya diarahkan untuk
menimbulkan pertumbuhan kepribadian manusia yang seimbang dalam pelbagai aspek,
dan mampu mengantarkan manusia untuk menyerahkan diri kepada Allah SWT baik
secara individual ataupun kolektif. Adapun subject matter dapat dipahami
sebagai kurikulum atau dalam makna yang lebih sempit adalah mata pelajaran/mata
kuliah yang diberikan kepada peserta didik.
Di lihat dari sisi manapun, pendidikan Islam memiliki peran dalam konteks
pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi dan dipahami jika hingga
hari ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi kedua dalam
banyak situasi. Sebagai misal, jurusan yang menawarkan pendidikan Islam kurang
banyak peminatnya, jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki
orientasi masa depan yang lebih baik. Dalam hal pengembangan kelembagaan akan
pula terlihat betapa program studi/sekolah yang berada di bawah pengelolaan dan
pengawasan Departemen Agama tidak selalu yang terjadi di bawah pembinaan
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), bahkan harus dengan tertatih untuk
menyesuaikan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum tersebut. Meski
disadari betapa pentingnya posisi pendidikan Islam dalam konteks pendidikan
nasional. Namun, harus pula diakui hingga saat ini posisi pendidikan Islam
belum beranjak dari sekadar sebuah subsistem dari sistem besar pendidikan
nasional. Barangkali itulah yang menjadikan Ahmadi dalam pidato pengukuhan guru
besarnya menyatakan posisi pendidikan Islam hanya sekadar suplemen.[34]
Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan
agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi
menagerial dan proses pendidikan Islam. PP tersebut secara eksplisit mengatur
bagaimana seharusnya pendidikan keagamaan Islam (bahasa yang digunakan PP untuk
menyebut pendidikan Islam), dan keagamaan lainnya diselenggarakan. Dalam pasal
9 ayat (1) disebutkan, ”Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu”. Pasal ini merupakan
pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup pendidikan keagamaan. Selanjutnya
pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola
pendidikan keagamaan baik yang formal, non-formal dan informal tersebut, yaitu
Menteri Agama.
Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan dan pengembangan
pendidikan Islam/dan atau keagamaan Islam menjadi tanggungjawab menteri agama.
Tentunya mengingat posisi menteri agama bukan hanya untuk kalangan Islam saja,
maka beban menteri agama juga melebar pada penyelenggaraan pendidikan agama
lain non Islam, di samping beban administratif lain terkait dengan ruang
lingkup penyelenggaraan agama dan prosesi keagamaan untuk seluruh agama-agama
yang diakui di Indonesia. Mencermati betapa beratnya beban yang diemban oleh
menteri agama, tampaknya memang perlu dipikir ulang untuk kembali mengajukan
ide penyelenggaraan pendidikan dalam satu atap di bawah departemen pendidikan
saja, dan tidak terpecah sebagaimana sekarang ini.
Salah satu alasan terkuat mengapa perlu penyatuan pendidikan di bawah satu
atap adalah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang
berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan
yang dibuat oleh Depdiknas. Inovasi-inovasi pembelajaran lebih banyak muncul
kali pertama dari Depdiknas bukan dari Depag. Dengan sendirinya, Depag kerap
selalu menunggu adanya inovasi ataupun kebijakan pengelolaan yang akan
dikeluarkan oleh Depdiknas. Dalam catatan sejarah pendidikan nasional, hampir
tidak banyak inovasi yang dilakukan Depag yang benar-benar berbeda dengan yang
dikembangkan oleh Depdiknas.
Kenyataan ini jelas tidak dapat dipungkiri, cermati saja bagaimana
kebijakan tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) terasa betapa dominasi Depdiknas dalam pengembangan dan
penerapannya begitu kentara. Sementara itu, Depag tetap setia mengikutinya.
Untuk kasus yang lebih baru, Depag juga tidak memiliki kekuasaan untuk
menentukan mata uji apa saja yang harus ditempuh oleh peserta didik
yangmengikuti pendidikan di M.Ts dan MA/MAK saat penentuan kelulusan (simak
kasus ujian nasional dan ujian sekolah).Selain itu dari sisi managerial
madrasah dikelola Departemen Agama yang tidak memiliki dana yang cukup untuk
membiaya madrasah yang jumlahnya sangat banyak, di samping Depag tidak memiliki
sumber tenaga kependidikan yang memadai untuk mengelola madrasah, jika
dibandingkan dengan Diknas.[35]
KESIMPULAN
Dari materi
yang telah di paparkan di atas penulis memeiliki kesimpulan bahwa sebuah
problematika pendidikan pastilah terjadi karna ada sebab-sebab sebagai berikut
:
1.
Kebijakan
Permasalahan
kebijakan ini timbul karna seringnya gonta ganti menteri sehingga setiap
menteripun juga memiliki cara pandang sendiri-sendri dalam memajukan pendidikan
Indonesia, tetapi terkadang ada yang bersifat hanya untuk kepentingan politik
dan juga kurang memikirkan bagaimana suatu lembaga itu dapat mengikuti setiap
perubahan yang di buat oleh menteri.
2.
Profesionalitas Guru
Dalam
menyampaikan amanat dari menteri pendidikan dan kebudayaan, guru sangat
berperan dalam urusan implementasinya tetapi jika profesionalitas Guru sangat
minim sekali maka apa yang di pendidikan Nasional kita akan kehilangan arah.
3.
Mahalnya biaya pendidikan
Makin mahalnya
biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang
menerapkan mbs (manajemen berbasis sekolah). Mbs di indonesia pada realitanya
lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
komite sekolah/dewan pendidikan yang merupakan organ mbs selalu disyaratkan
adanya unsur pengusaha.
Upaya pemecahannya melalui kebijakan
yaitu :
1.
Kebijakan
Dalam memahami
suatu proses kebijakan, terdapat aspek yang sangat penting yaitu implementasi.
Tolok ukur keberhasilan kebijakan adalah pada tahap implementasi. Implementasi
kebijakan dapat disebut sebagai rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah sebuah
kebijakan ditetapkan, baik terdiri atas pengambilan keputusan langkah-langkah
yang stratejik maupun operasional yang di tempuh guna mewujudkan suatu progam
atau kebijakan menjadi kenyataan, Guna mencapai sasaran dari keb ijakan yang telah ditetapkan tersebut.
2.
Profesionalitas Guru
Kaitannya
dengan profesionalitas Guru setidaknya harus di adakan pembinaan
profesionalitas dan peningkatan kesejahteraan guru yang meliputi hal-hal
berikut :
e.
Menata kembali sistem jenjang
karier Guru dan tenaga kependidikan lainnya.
f.
Meningkatkan kesejahteraan guru
baik secara material maupun psikologis
g.
Memberikan perlindungan hukum dan
rasa aman kepada guru dalam menjalankan tugasnya.
h.
Memberikan kesempatan yang luas
kepada Guru untuk meningkatkan profesionalitasnya melalui berbagai pelatihan
dan studi belajar.
3.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan
tetap membutuhkan biaya agar semua progam yang disusun dapat direalisasikan
untuk anak-anak. Hal ini karena proses pendidikan harus dilaksanakan oleh para
profesional uang menjadikan proses pendidikan sebagai lapangan pekerjaan
pengabdian, begitu juga standar proses harus diterapkan oleh sekolah agar
proses pendidikan dapat berjalan sebaik-baiknya.
Dalam
pendidikan Islam di Indonesia juga memeiliki problem yang sama, yaitu :
Pendidikan
islam di Indonesia memang sudah sangat lama sekali berdiri, sebelum Indonesia
meredeka pun pendidikan Islam sudah sangat lekat sekali di kalangan masyarakat,
tetapi dalam era globalisasi ini ada beberapa problem yang muncul di dunia
pesantren yang menyebabkan kemunduran persantren ini sendiri.
Dan upaya pemecahan melalui
kebijakan , perlu penyatuan pendidikan
di bawah satu atap adalah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan,
terutama yang berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu
mengikuti kebijakan yang dibuat oleh Depdiknas. Inovasi-inovasi pembelajaran
lebih banyak muncul kali pertama dari Depdiknas bukan dari Depag. Dengan
sendirinya, Depag kerap selalu menunggu adanya inovasi ataupun kebijakan
pengelolaan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas. Dalam catatan sejarah
pendidikan nasional, hampir tidak banyak inovasi yang dilakukan Depag yang
benar-benar berbeda dengan yang dikembangkan oleh Depdiknas.
DAFTAR PUSTAKA
Dalam Rozihan. http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/07/opi3.htm).
Darmaningtyas, 2003, “Pendidikan yang
memiskinkan”, Yogyakarta, Intrans
Publishing
Daulay, Haidar putra, 2004, “Pendidikan
Islam : dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia”, Jakarta: Kencana
E Mulyasa, 2005, “ Pendidikan Agama Islam
Berbasis Kompetensi”, Bandung, Remaja Rosdakarya
Fatah, Nanag , 2004, “Landasan Manajemen
Pendidikan”, Bandung, PT Remaja Rosdakarya
H.A.R Tilaar, 2009, “Kekuasaan dan
Pendidikan”, Jakarta, Rineka Cipta
http://www.anekamakalah.com/2012/07/kebijakan-pemerintah-dalam-pendidikan.html, 11 Maret
2018 (19:01)
Kompas, Selasa, 13 Maret 2018 h : 15 kol 1-2
Madjid, Nurkholis, 2008, “Tradisi Islam :
Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia”, Jakarta, PARAMADINA
Muhaimin, 2013, “Rekontruksi Pendidikan
Islam”, Jakarta, Rajagrafindo
persada
Nata, Abuddin, 2009, “Prespektif
Islam Tentang Strategi Pembelajaran”, Jakarta : Prenada Media Group
Rifa’i, Muhammad, 2011, “ Politik
pendidikan Nasional”, Jogjakarta, Ar-ruzz Media
Rochaety, Eti, dkk. 2006. “Sistem
Informasi Manajemen Pendidikan”, Jakarta: PT Bumi Aksara
Sam M. Chan dan Tuti T. Sam 2011, “kebijakan
pendidikan era otonomi daerah” Jakarta, Rajagrafindo Persada
Saroni, Mohammad, 2017, “Pendidikan Untuk
orang Miskin”, Jogjakarta, AR-Ruzz Media
Sarono, Mohammad, 2010, “orang Miskin Harus
Sekolah”, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media
Soedijarto, 2008, “Landasan dan Arah
Pendidikan Nasional Kita”, Jakarta , Kompas
Susilo, Joko, 2009, “Pembodohan siswa tersistematis”, Yogyakarta,
PINUS book publisher
Urianto, Yoyon Bahtiar, 2011, “ Kebijakan
Pembaharuan Pendidikan : Konsep, teori, dan Model”, Jakarta, PT
Rajagrafindo Persada
Yasmadi, 2002, “Modernisasi PESANTREN
:kritik Nur kholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional”, jakarta,
ciputat press
.
[1] IPM merupakan penguran perbandingan dari
harapan hidup melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara
seluruh dunia. IPM di gunakan untuk mengklasifikasi apakah sebuah negara maju,
negara berkembang atau negara terbelakang dan nuga untuk mengukur pengaruh dari
kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
[2] Abuddin nata,2009, “Prespektif Islam
Tentang Strategi Pembelajaran”, Jakarta : Prenada Media Group, h. 16
[4] Daoed Joesoef menjabat Menteri pendidikan dan
kebudayaan dalam kabinet Pembangunan III, 29 Maret 1978-19 Maret 1983. Dr.
Daoed joesoef memulai gebrakannya dengan mengubah masa tahun ajaran baru dari
Januari menjadi Juli dan membubarkan SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama) ,
ST (sekolah Teknik) tingkat SMP dan SKKP (sekolah Kejuruan Kewanitaan Pertama)
atau sekolah kejuruan tingkat SMP lainnya menjadi SMP umum . beliau juga
pencetus seragam sekolah Nasional pertama kali pada tahun 1987, beliau
beralasan jika seragam sekolah di sama ratakan maka tidak akan terjadi
kesenjangan sosial untuk siswa kaya dan siswa miskin.
[5] Telah menjadi rahasia umum bahwa kemajuan
suatu bangsa bisa dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Kita lihat saja, negara
yang katanya terkuat yaitu Amerika. Mereka tidak akan bisa menjadi negara yang
ditakti dunia bila pendidikan mereka setarap dengan pendidikan kita. Contoh
lain, negara jepang yang terkenal dengan kehebatan sains dan teknologinya
mengapa Jepang bisa menjadi Negara yang berteknologi tnggi? Sedangkan kita
hanya mampu berkutat dalam penggunaan teknlogi. jepang adalah Negara yang
menghargai pendidikan, mendahulukan kepentingan pendidikan dari pada
kepentingan yang lain, dan tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk
pendidikan. Sedangkan, Negara kita hanya sibuk menbicarakan kedudukan hingga
pendidikan tidak terfikirkan.
[7] Dalam mewujudkan kehidupan yang baik,
pendidikan merupakan aspek penting dalam menentukan tingkat kemampuan seseorang
dalam menghadapi kehidupan. Dengan pendidikan yang cukup, kita dapat hidup
sesuai dengan kondisi yang kita harapkan. Pendidikan adalah acuan untuk
mencapai kondisi terbaik. Pada hakikatnya, kehidupan terbagi atas dua kondisi
dan keduanya terterpisahkan oleh sebuah jurang yang dalam dan terjal. Pada satu
sisi kita berada pada situasi yang sangat tidak enak tetapi pada sisi yang lain
terjanjikan kehidupan yang lebih bail. Tentu saja, semua orang berorientasi
untuk dapat mencapai susu seberang yang membahagiakan. Mereka tidak ingin terus
berada pada kondisi yang tidak enak sehingga pendidikan menjadi alternatif
persiapan terbaik.
[10] Eti
Rochaety, dkk. 2006. “Sistem Informasi Manajemen Pendidikan”, Jakarta:
PT Bumi Aksara, hal 64-65
[12] Pergantian yang terlalu sering antara kurun
waktu 1945 dengan 1968. Kementrian pengajaran, pendidikan, dan kebudayaan itu
sendiri di bentuk pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan menteri Pengajaran,
Pendidikan, dan Kebudayaan yang pertama, yaitu Ki Hajar Dewantara. Namun usia
Kepemimpinan Ki hajar Dewantara ini hanya tiga bulan saja.
[16] M.Joko Susilo, 2009, “Pembodohan Siswa
Tersistematis” yogyakarta Pinus Book Publisher, h: 26-27
[17] Bahkan, pengembangan pola kehidupan
menjadikan sekolah-sekolah negeri terus berlomba dan bersaing untuk dapat
tampil lebih bagus dari yang lain. Akibatnya, pengelola sekolah berupaya
mencetuskan berbagai kebijakan lokal, yaitu, kebijakan dalam lingkungan sekolah
dengan alasan pemberdayaan masyarakat atau orang tua didik. Berbagai macam
pungutan dikenakan orang tua anak didikdengan harapan saat terkumpul dapat
dijadikan modal untuk melakukan perubahan terhadap sekolah. Khususnya, pada
saat awal tahun pelajaran baru. Saat-saat itu merupakan saat yang paling
menyiksa bagi para orang tua anak didik.
[20] Yoyon Bahtiar Irianto, 2011, “ Kebijakan
Pembaharuan Pendidikan : Konsep, teori, dan Model”, Jakarta, PT
Rajagrafindo Persada, h: 31
[22] Yoyon bahtiar Irianto, 2011, “ Kebijakan
Pembaharuan Pendidikan : Konsep, Teori, dan Model”, Jakarta, PT Grafindo Persada, h: 41
[25] Sam M. Chan dan Tuti T. Sam 2011, “kebijakan
pendidikan era otonomi daerah” Jakarta, Rajagrafindo Persada, h: 63-64
[26] Sekolah swasta mencoba menghadapi dan
menyelesaikan setiap permasalahan dunia pendidikan dengan segala daya yang
dimiliki oleh masyarakat, termasuk dalam hal ini kelompok orang-orang yang
peduli terhadap dunia pendidikan. Termasuk, dalam hal ini adalah permasalahan
pengelolaan dana pendidikan. Sekolah swasta berusaha untuk bersikap positif terhadap
eksistensi pendidikan sebagai sebuah hak bagi semua orang. Sekolah swasta
sebagai institusi pendidikan pengelola kediatan berdasarkan dana dari
masyarakat meraa peduli untuk memberikan hal terbaik bagi masyarakat.
[28] E Mulyasa, 2005, “ Pendidikan Agama Islam
Berbasis Kompetensi”, Bandung, Remaja Rosdakarya, h: 130-131
[29] Inti dari materi pendidikan Islam pada masa
awal tersebut adalah ilmu-ilmu keagamaan yang berkonsentrasikan pada pengajaran
kitab-kitab klasik. Kitab klasik yang juga di kenal kitab kuning ini menjadi
tolok ukur tinggi rendahnya pemahaman keagamaan seseorang.
[30] Haidar putra daulay, 2004, “Pendidikan
Islam : dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia”, Jakarta: Kencana,
145-146,
[32] Nurkholis madjid, 2008, “Tradisi Islam :
Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia”, Jakarta, PARAMADINA,
h: 44-45
[33] Yasmadi, 2002, “Modernisasi PESANTREN
:kritik Nur kholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional”, jakarta,
ciputat press, h: 3
[35] http://www.anekamakalah.com/2012/07/kebijakan-pemerintah-dalam-pendidikan.html, 11 Maret 2018 (19:01)
No comments:
Post a Comment