Sunday, June 3, 2018

Mencermati berbagai problem pendidikan dan pendidikan Islam di Indonesia dan Upaya pemecahan melalui kebijakan

Mencermati berbagai problem pendidikan dan
pendidikan Islam di Indonesia dan Upaya pemecahan melalui kebijakan
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas matakuliah
Studi Kebijakan Pendidikan Islam


Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Baharuddin, M.Pd.I



Kunainah Afroyim
NIM :16771029


PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
TAHUN 2018


Mencermati berbagai problem pendidikan dan
pendidikan Islam di Indonesia dan Upaya pemecahan melalui kebijakan
Oleh :
Kunainah Afroyim (16771029)
Magister Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Ujung tombak kemajuan suatu Negara adalah ketika bangsa dalam negara tersebut memiliki kualitas pendidikan dan SDM (sumber daya manusia). Dalam memajukan bangsanya Negara maju seperti Amerika, Inggris, Jerman, dan bahkan Malaysia menempatkan pendidikan sebagai progam yang utama, karena kemajuan suatu Negara sangat di pengaruhi dengan daya manusia yang berkualitas dan produktif. Kemajuan pendidikan di suatu Negara menjadi barometer dari maju atau tidak suatu Negara tersebut.
Secara umum definisi pendidikan adalah hasil dari peradaban suatu bangsa yang berkembang lebih baik dari yang awalnya manusia yang tanpa ilmu menjadi manusia berilmu yang berkualitas dan produktif, sebagai suatu pengalaman yang memberikan pengertian, pandangan, dan penyesuaian bagi seseorang yang menyebabkan mereka berkembang. Secara khusus pendidikan adalah suatu proses pertumbuhan dimana setiap individu mengembangkan kemampuannya, bakatnya, kecakapannya dan minatnya. Sehingga dapat di simpulkan disini bahwa pendidikan adalah, suatu usaha sadar dalam rangka menanamkan daya-daya kemampuan, baik yang berhubungan dengan pengalaman kognitif (daya pengetahuan), afektif (aspek sikap) maupun psikomotorik (aspek ketrampilan) yang dimiliki oleh  seorang individu.
Pendidikan tidak hanya berhubungan dengan dunia sekolah, maksudnya pendidikan terbagi menjadi 2, yaitu formal dan informal. Informal yaitu, pendidikan yang bisa kita dapatkan dari  keluarga, lingkungan dan juga pergaulan. Pendidikan formal yaitu, pendidikan yang kita peroleh dari sebuah lembaga atau institusi resmi yang di akui oleh Negara.
Upaya pembangunan pendidikan di Indonesia dilakukan dari jenjang sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) / sekolah menengah kejuruan (SMK), dan perguruan tinggi. Di upayakan setiap jenjang ini berhasil dalam mewujudkan cita-cita sistem pendidikan Nasional. Seperti yang terdapat dalam undang-undang sistem pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yaitu berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta perbedaan bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Dewasa ini kita telah mengetahui semua bahwa Ketika pendidikan di manipulasi untuk kepentingan politi, pendidikan sekarang justru hanya menjadi sebuah permainan politik, yang di mulai sejak masa Orde baru dimana cita cita pendidikan Nasional yang ingin mencerdaskan kehidupan bangsanya bergeser menjadi instrunen politik bagi penguasa serta proses agamanisasi masyarakat. Hal ini dibuktikan berdasarkan Indeks pembangunan Manusia (IPM)[1] atau Human Development Index (HDI) yang dirilis tanggal 5 oktober 2009, Indonesia berada pada kategori Pembangunan Manusia Menengah dengan Indeks IPM 0,734, dan berada di urutan ke-111 dari 180 Negara. Posisi ini kalah jauh dari Negara Malaysia, yang berada pada kategori Pembangunan Manusia Tinggi dengan indeks IPM 0,829 dan berada pada urutan ke-66.
Menurut penulis ini merupakan sebuah problematika pendidikan Nasional dimana pendidikan sudah hilang cita-cita mulianya dan pendidikan Islam juga terlalu menjadikan diri benar tanpa adanya toleransi agama karna setau penulis beragama adalah belajar menghormati satu dengan yang lain antar umat beragama demi terciptanya bangsa yang makmur, tetapi sepertinya pendidikan Islam juga sudah kehilangan intensitas tersebut, terbukti dengan pengalaman penulis saat penulis masih duduk di bangku SD (sekolah Dasar), ketika pelajaran agama beranglun maka teman kelas yang tidak beragama Islam pun keluar dan tidak mengikuti proses KBM, serta ketika memulai pelajaran, maaka kita berdoa mengikuti mariritas agama yng di anut(agama Islam) bukan dengan kata “berdoa menurut agama masing”).
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah :
1.      Bagaimana problematika pendidikan di Indonesia?
2.      Bagaimana Upaya pemecahan problematik pendidikan di Indonesia melalui kebijakan?
3.      Bagaimana Problematika Pendidikan Islam di Indonesia?
4.      Bagaimana upaya pemecahan problematika pendidikan Islam di Indonesia melalui kebijakan?

3.      Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah penulis bertujuan untuk mengetahui :
1.      Apa dampak yang terjadi dengan adanya problematika pendidikan di Indonesia?
2.      Apa dampak dari pemecahan problematika melalui kebijakan?
3.      Apa dampak yang terjadi dengan adanya problematika pendidikan Islam di Indonesia?
4.      Apa dampak dari pemecahan problematika pendidikan Islam melalui kebijakan?











B.     PEMBAHASAN
1.      Problematika pendidikan di Indonesia
Sejak kebangkitan Nasional tahun 1908, para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia dan kemudian para pendiri Republik tampak amat sadar akan pentingnya pendidikan  nasional bagi rakyat bangsa Indonesia. Selaras dengan pembukaan UUD 1945 dan pasal dalam UUD 1945, pemerintah Republik indonesia dapat menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional untuk seluruh Republik Indonesia, Kini penyelenggaraan pendidikan Naasional, terhitung sejak tahun 1950 telah berjalan enam puluh delapan tahun.
Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari berbagai komponen yang saling berkaitan antara satu sama lain. Akreditasi BAN-PT dalam perguruan tinggi di gunakan sebagai acuan standar Nasional, komponen pendidikan terdiri dari Visi, misi tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik, peserta didik, manajemen pengelolaan, sarana prasarana, pembiayaan, sistem komunikasi, lingkungan dan evaluasi pendidikan.[2]
Dalam menuju cita-cita pendidikan Nasional yang berkualitas serta mewujudkan bangsa yang produktif dan SDM yang bagus, pendidikan Nasional mempunyai tujuan yang telah di rumuskan melalui UU no.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan tersebut di jabarkan dalam UUD 1945, yaitu[3] :
a.       Pendidikan yang mencerdaskan bangsa
b.      Pendidikan adalah hak seluruh rakyat.
Jika kita amati dari tujuan pendidikan Nasional, Indonesia mempunyai cita-cita luhur untuk mencerdaskan bangsanya, karena pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kedihidupan, dengan pendidikan kita bisa memajukan kebudayaan dan mengangkat derajat bangsa di mata dunia internasional. Sebagaimana pernah di ungkapkan Daoed Joesoef[4] : “ Pendidikan Merupakan alat yang menentuan sekalii untuk mencapai kemajuan dalam segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia”.
Pendidikan akan di nilai gagal jika tidak berhasil mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas (baik dari segi spiritual, intelegensi, dan skill) . untuk itu, perlu diusahakan peningkatan mutu pendidikan, supaya bangsa kita tidak tergantung pada status bangsa yang berkembang tetapi bisa menyandang predikat bangsa maju dan tidak kalah bersaing dengan bangsa Eropa.[5]
Masalah pendidikan di Indonesia tidak pernah habis-habismya untuk di kritik, direnungkan, disesalkan, dan dibicarakan oleh orang-orang yang peduli dengan Pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia belum mampu menjawab kebuntuan problem yang dihadapi masyarakat. Bisa dikatakan, penddikan sudah jauh melenceng dari hakikat pendidikan yang sebenarnyadan sama sekali tidak sesuai dengan yang dicita-citakan Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara.[6]
Kita perlu mengakui bahwa dalam proses kehidupan, setiap orang selalu berharap agar dapat menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya.[7] Hal ini merupakan kondisi yang mendorong setiap orang untuk berusaha dan mengusahakan agar dapat mempunyai bekal yang mencukupi untuk hidup.[8] Pendidikan berusaha mengembangkan potensi individu agar mampu berdiri sendiri. Untuk itu individu perlu diberi berbagai kemampuan dalam pengembangan berbagai hal, seperti; konsep prinsip, kreativitas, tanggung jawab, dan keterampilan.[9] Sistem pendidikan rnenjadi bagian yang tak  terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat sebagai suprasistem. Pembangunan sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa - apa jika tidak sinkron dengan pembangunan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan sistem sosial di budaya sebagai suprasistem tersebut  dimana sistem pendidikan menjadi bagiannya,  menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya, suatu perrnasalahan lntern dalam sistem pendidikan selalu ada kaitan dengan masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. [10]
Tertapi masalah itu terjadi juga karena adanya sebuah problem mendidikan yang berkaitan dengan :
1.      Kebijakan pendidikan
Kebijakan pendidikan merupakan rumusan dari berbagai cara untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pencapaian kedua pesan konstitusi untuk pendidikan Nasional dijabarkan dalam berbagai kebijakan pendidikan. Kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut di rencanakan dapat diwujudkan atau dicapai melalui lembaga-lembaga soial (social institutions) atau organisasi sosial dalam bentuk lembaga-lembaga pendidikan formal, non-formal, dan informal.[11]
Pendidikan di Indonesia selalu di warnai dengan terlalu seringnya pergantian pejabat yang kemudian diikuti dengan pergantian kebijakan. Selama perjalanan waktu sampai dengan usia ke-69 tahun (2014), indonesia telah memiliki paling tidak 27 menteri Pendidikan dan Kebudayaandan lima Menteri Pendidikan tingga, kalau direrata setiap 2,2 tahun terjadi pergantian menteri pendidikan baru.[12] Seringnya berganti menteri di Indonesia berdampak dengan gantinya kebijakan dan Kurikulum, karena setiap menteri membawa pola fikir nya masing-masing. Dampak dari pergantian kebijakan dan kurikulum.[13]


2.      Menurunnya Profesionalitas Guru
Guru merupakan faktor utama dalam proses pembelajaran di sekolah. Tersedia prasarana dan sarana yang lengkap namun kalo tidak tersedia gurunya, proses pembelajaran pun tidak akan terjadi. Tapi ada Guru, meskipun tidak tersedia prasarana dan sarana yang memadai, proses pembelajaran tetap dapat terlaksana.
Ada masalah kekal yang dihadapi oleh Guru kita yang tidak pernah tuntas, bahkan bertumpuk-tumpuk tanpa kita tahu kapan dan dimana batas akhirnya. Begitu betumpuknya sehingga nyaris sering terlupakan bersama hilangnya suara Guru itu sendiri. Jika kita mencoba melakukan inventrasisai persoalan-persoalan aktual yang di hadapai para Guru, ibarat dokumen yang kekal,, para Guru Indonesia tidak pernah lepas dari problem sosial yang sangat kompleks dan berdampak pada pelaksanan tugas mengajar karena menyangkut soal aspek ekonomis, politis, psikologi, kultural, dan struktural sekaligus berpengaruh terhadap makin merosotnya profesionalitas Guru.[14]
Selain itu, melimpahnya sarjana pendidikan yang tidak terserap menjadi guru profesional tak hanya disebabkan minimnya kuota pengangkatan guru pegawai negeri sipil. Penyebab utamanya adalah mutu lulusan sarjana pendidikan itu sendiri tidak memadai. Mereka adalah lulusan dari lembaga pendidikan (LPTK) yang sebagian besar berakreditasi C dari 421 LPTK hanya 18 institusi yang berakreditasi A dan 81 institusi berakreditasi B.
Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, Senin (12/3) , rendahnya mutu lulusan LPTK yang bekerja sebagai Guru berdampak pada mutu pembelajaran di sekolah. Hal ini tampak dari hasil uji kompetensi Guru (UKG) tahun 2015. Nilai rata-rata yang dicapai hanya 56,69. Materi yang diujikan pedagogik dan kemampuan profesiona menguasai materi ajar.[15]
Secara umum Guru merupakan faktor penentu tinggi rendahnya kualitas pendidikan. Namun demikian, posisi strategisguru untuk pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional, pedagogik, kepribadian, soial, dan faktor kesejahteraan. Seiring bergulirnya arus globalisasi yang lebih mengedepankan materi, profesi guru mulai mengalami pergeseran makna. Perubahan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju menuntut profesi Guru menyesuaikan diri dengan perubahan dan kebutuhan masyarakat. Namun, demikian, dalam kenyataannya penghargaan masyarakat di Indonesia terhadap guru belum seperti keinginan mereka tentang profesionalisme yang harus dimiliki Guru.[16]
3.      Mahalnya Biaya Pendidikan
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan mbs (manajemen berbasis sekolah). Mbs di indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah/dewan pendidikan yang merupakan organ mbs selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Satu hal yang harus kita tekankan pada konsep diri kita dan seluruh orang yang merasa peduli terhadap eksistensi warga negara adalah setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam pendidikan. Mereka seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama saat membutuhkan proses pendidikan, khususnya tempat pendidikan yang dikontribusi Negara. Kita menyadari bahwa pemerintah telah memberi kesempatan belajar untuk semua warganya. Namun, kenyataan yang terjadi adalah untuk mengikuti proses pendidikan, orang tua harus merogoh isi kantong yang nilainya sedemikian rupa hingga sangat memberatkan.
Kreativitas para pengelola sekolah yang sedemikian rupa menjadikan masyarakat sebagai objek yang terus diobrak-abrik agar dapat memenuhi ambisi para pengelola sekolah itu.[17] Kini, hampir semua pengelola sekolah berambisi untuk dapat menciptakan sekolahnya sebagai seklah dengan standar Nasional atau standar Internasional. Untuk mengkondisikan hal tersebut, mereka berusaha melibatkan masyarakat, dalam hal ini adalah orangtua anak didik diharapkan, dan kesannya dipaksa, untuk ikut memikirkan cara agar sekolah dapat mencapai standar yang diharapkan tersebut. Maka orang tua harus membayar sejumlah rupiah untuk mendukung kegiatan tersebut.[18]
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi pemerintah untuk ‘cuci tangan
2.      Upaya pemecahan melalui kebijakan
Sejak kemerdekaan samapi sekarangdalam penyelenggaraan pendidikan nasional, kita mengenal tiga UU pendidikan, yaitu UU No 4 Tahun 1950 Jo UU No 12 Tahun 1954, UU No 2 Tahun 1989 tentang pendidikan Nasional dan UU No 20 Tahun 2003 di samping UU No 20 Tahun 1961 tentang peguruan Tinggi. Dalam hal kurikulum kita mengenal kurikulum : (1) Kurikulum 1950 ; (2) Kurikulum 1962 ; Kurikulum 1969 ; (4) kurikulum 1975 ; (5) Kurikulum 1984 ; (6) Kurikulum 1994 ; (7) Kurikulum 2004 dan (8) Kurikulum 2006 ; (9) Kurikulum 2013.[19] Adapaun upaya pemecahannya yaitu :
(1)   Kebijakan pendidikan
Kebijakan dalam pembaharuan pendidikan sering kali di tuding kurang kontekstual sebagai suatu kebijakan yang utuh dan terintegrasi secara empirical¸evaluative dan normative, dan memberi pedoman yang jelas bagi pengejewantahan formulasi, implementasi dan evaluasinya. Sebagai suatu produk, kebijakan pendidikan sering tidak di formulasikan berdasarkan elemen-elemen yang perlu diintegrasikan secara sinergy, bukan sebagai komponen yang terdikhotomi. Artinya apakah rumusan-rumusan kebijakan tersebut telah memenuhi kriteria kebijakan yang utuh atau masih terlepas dari ruang lingkupnya.[20] Terjadinya pergantian kebijakan adalah di karenakan pergantian mentri pada setiap tahunnya, dan juga berdampak pada perubahan kurikulum .
Dalam dewasa ini kita semua mengetahui bahwa pergantian menteri pendidikan dan kebudayanaan ini sangat lekat sekali dengan dunia perpolitikan, serta pergantiaan kebijakannya, menurut hemat penulis seharusnya keadaan seperti ini jangan di budayakan karna sangat menyusahkan sekali terhadap profesionalitas guru dan kualitas belajar peserta didik. Seperti contoh kurikulum 2013 yang baru baru ini sangat hangar sekali di kalangan sekolahan dalam kurun waktu yang hampir 5 tahun berjalan progam kurikulum ini belum sepenuhnya bisa di ikuti oleh seluruh lembaga pendidikan di sekolah, di antara karena keterbatasan buku ajar yang belum sepebuhnya selesai dan juga terbatasnya keprofesionalitas Guru dan kemampuan siswa.
Betul bahwa semangat Kurikulum 2013 terutama mengenai model pembelajaran tematik intregatif itu mengambil pelajaran dari kurikulum yang diterapkan di Negara-Negara maju, termasuk di terapkan di sekolah-sekolah internasional yang ada di Indonesia.[21]tapi perlu di catat bahwa : pertama , mereka telah memiliki tradisi baca, tulis, dan berhitung yang panjang dalam keluarga mereka masing-masing sehingga sekolah tidak perlu susah payah mengajarkan baca tylis kepada murid-muridnya, sementara kitak punya tradisi tersebut, sehingga sekolah pada tingkat awal perlu memberikan dasar-dasar membaca menulis, dan berhitung secara benar, sehingga tidak bisa langsung ke pemecahan masalah seperti yang ditawarkan dalam kurikulum 2013. Kedua, kurikulum 2013 ini penuh kontraktif, karena di satu pihak ingin melahirkan generasi yang mampu berfikir kritis dan menyelesaikan masalah, kreatif, inovatif, dan produktif.
Dalam memahami suatu proses kebijakan, terdapat aspek yang sangat penting yaitu implementasi. Tolok ukur keberhasilan kebijakan adalah pada tahap implementasi. Implementasi kebijakan dapat disebut sebagai rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah sebuah kebijakan ditetapkan, baik terdiri atas pengambilan keputusan langkah-langkah yang stratejik maupun operasional yang di tempuh guna mewujudkan suatu progam atau kebijakan menjadi kenyataan, Guna mencapai sasaran dari keb  ijakan yang telah ditetapkan tersebut.[22]
(2)   Menurunnya Profesionalitas Guru
Guru adalah profesi yang pada mulanya oleh masyarakat Indonesia di anggap sebagai pekerjaan yang mulia dan luhur karena mereka adalah orang yang berilmu, berakhlak jujur, baik hati, disegani serta menjadi teladan masyarakat dan masih bnyak lagi karakteristiknya. Di Amerika serikat posisi Guru menempati urutan pertama sebagai profesi yang diminati sebab profesi Guru merupakan penghargaan dan proposional sedangkan di Indonesia profesi Guru menjadi pilihan terakhir setelah gagal mencari pekerjaan yang “lebih baik”.[23]
Kebijakan pemerintah saat itu untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan, meiputi empat aspek ; kurikulum, tenaga pendidikan, sarana pendidikan, dan kepemimpinan satuan pendidikan. Kaitannya dengan profesionalitas Guru setidaknya harus di adakan pembinaan profesionalitas dan peningkatan kesejahteraan guru yang meliputi hal-hal berikut[24] :
a.       Menata kembali sistem jenjang karier Guru dan tenaga kependidikan lainnya.
b.      Meningkatkan kesejahteraan guru baik secara material maupun psikologis
c.       Memberikan perlindungan hukum dan rasa aman kepada guru dalam menjalankan tugasnya.
d.      Memberikan kesempatan yang luas kepada Guru untuk meningkatkan profesionalitasnya melalui berbagai pelatihan dan studi belajar.
Kita tidak boleh menutup sebelah mata bahwa keberhasilan Jepang setelah dibom pada perang Dunia II, keberhasilan Jerman, Korea, bahkan Malaysia yang pada beberapa puluh tahun lalu (15 tahun) masih berguru kepada Indonesia kini menjadi Negara yang cukup maju. Keberhasilan mereka sebagaimana laporan komisi UNESCO semata-mata karena Negara-negara tersebut amat concern terhadap dunia pendidikan. Negara tersebut tidak pernah merasa takut dan rugi mengeluarkan dana yang besar bagi kepentingan pendidikan. Bagi mereka hal tersebut merupakan investasi bagi masa mendatang (human invesment).[25]
(3)   Mahalnya Biaya Pendidikan
Kita menyadari bahwa pendidikan membutuhkan pembiayaan yang sangat besar. Maka, sungguh menggelikan jika muncul wacana pendidikan gratis. Pendidikan tetap membutuhkan biaya agar semua progam yang disusun dapat direalisasikan untuk anak-anak. Hal ini karena proses pendidikan harus dilaksanakan oleh para profesional uang menjadikan proses pendidikan sebagai lapangan pekerjaan pengabdian, begitu juga standar proses harus diterapkan oleh sekolah agar proses pendidikan dapat berjalan sebaik-baiknya.
Sekolah swasta[26] misalnya, sekolah ini memang sekolah yang diselenggarakan oleh institusi penyelenggara pendidikan dan pembelajaran yang di dalam pelaksanaan kegiatannya harus membiayainya dengan menggunakan dana yang didapatkan dari masyarakat, yaitu orang tua anak didik.  Dalam hal ini jelas bahwa dana dari masyarakat dikembalikan kepada masyarakat melalui proses pendidikan yang dijalani oleh anak didik. Oleh karena itu lah dibutuhkan kejelian dan kemampuan penggelolaan dana sebaik-baiknya sehingga setiap rupiah yang di dapatkan oleh masyarakat benar-benar efektif. [27]
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting yang dianggap sangat menentukan Prasayarat peningkatan kualitas pendidikan harus di perhatikan agar kita mempunyai gambaran jelas mengenai hal-hal yang harus dilakukan bersama. Kita tidak lagi mencari kambing hitam pada saat sebuah proses tidak mencapai hasil maksimal. Semua pihak menyadari bahwa ada tanggunngan
3.      Problematika pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan Islam adalah usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik yang mengenal memahami, menghayati, hingga mengimani, ajaran agama Islam di barengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama laindalam hubungannya dengan kerukunan umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.
Esensi pendidikan Islam adalah transfer nilai, pengetahuan dan keterampilan dari generasi tua kepada generasi muda agar generasi muda mampu hidup. Oleh karena itu ketika kita menyebut pendidikan Islam maka akan mencangkup dua hal, (a) mendidik siswa untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam ; (b) mendidik siswa siswi untuk mempelajari materi ajaran Islam – subyek berupa pengetahuan tentang ajaran Islam.[28]
Pendidikan Islam[29] di Indonesia sudah berlangsung sejak masuknya Islam di Indonesia. Tahap awal pendidikan Islam dimulai dari kontak Individu maupun kelompok antara mubaligh dengan penduduk pribumi. Setelah komunitas Muslim terbentuk di suatu daerah, maka mereka membangun masjid sebagai tempat peribadatan dan sentral pendidikan di samping rumah para mubaligh. Setelah muncul cikal bakal lembaga pendidikan lainnya seperti surau dan pesantren. Di tempat ini, umat Muslim Indonesia pertama kali mendapatkan pendidikan keislaman.[30]
Agaknya banyak sekali kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan pendidikan agama (Islam). Mengidentifikasikannya kedalam dua bagian yaitu :
Pertama : kesulitan yang datang dari sifat bidang studi pendidikan agama Islam itu sendiri, yang banyak menyentuh aspek-aspek metafisika yang bersifat abstrak atau bahkan menyangkut hal-hal yang yang bersifat supra rasional. Karena sulitnya melaksanakan pendidikan agama maka sebagian orang berpendapat pendidikan agama tidak perlu diberikan di sekolah.
Kedua, : kesulitan yang datang dari luar bidang studi PAI itu sendiri. Antara lain menyangkut dedikasi GPAI yang mulai menurun, lebih bersifat transaksional dalam bekerja, orang tua di rumah juga mulai kurang memperhatikan pendidikan agama bagi anaknya, orientasi tindakan semakin matrealis, orang semakin bersifat rasionalis, orang semakin bersifat individualis, kontrol sosial semakin melemah, dan kesulitan ini juga bersumber pada watak budaya modern yang sudah betul-betul menglobal.
Budaya modern memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut[31] :
Pertama : budaya modern adalah budaya yang menggunakan akal sebagai alat pencari dan pengukur kebenaran (rasionalisme). Penggunaan akal dalam islam bukan saja di bolehkan, tetapi diharuskan. Banyak sekali ayat dalam Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa banyak juga kebenaran lain yang tidak dapat         di peroleh dan dipahami dengan akal. Hakikat Allah, surga, neraka, malaikat, wajib puasa di bulan Ramadhan, shalat subuh dua raka’at sedang sholat dzuhur empat rakaat, segala tindakan dan di catat oleh malaikat Raqib dan Atid. Sedangkan para murid lebih sering menggunakan akalnya dalam menanggapi persoalan baik melalui Matematika, IPA, dan lain-lainnya, sehingga mereka sulit menerima ajaran-ajaran agama yang supranasional tersebut.
Kedua : dalam budaya modern manusia akan semakin materialis. Bersama dengan meningkatnya laju pembangunan fisik, seseorang juga menghadapi dilema yang sulit di selesaikan. Inti pembangunan fisik itu ialah materialisasi.
Ketiga : dalam dunia modern manusia akan semakin bersifat individualis(perasingan). Sifat ini muncul dari watak individualisme, sehingga banyak kasus pertengkaran akibat adanya persaingan, misalnya dalam perdagangan, politik, meraih jabatan dll.
Keempat :karena budaya modern itu melalui perkembangannya dengan rasionalisme, maka salah satu turunannya ialah Pragmatisme, yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang berguna dan yang berguna itu biasanya lebih bernuansa fisik-material.
Kelima : dari rasionalisme, Materialisme dan Pragmatisme itu muncul Hedonisme. Paham ini mengajarkan bahwa yang benar ialah sesuatu yang menghasilkan kenikmatan.
Sebagai umat yang relatif masih muda, maka kaum muslim indonesia hanya memiliki tradisi intelektual yang relatif muda, jika tidak dapat disebut lemah. Ini bisa dibuktikan dari isi kepustakaan kita. Sementara itu, di anak benua indo-pakistan, misalnya disebabkan oleh pengalaman mereka memiliki sejarah keislamn yang panjang dengan kekuasaan politik yang menjadi masa lampau gemilang anak benua itu-kita dapati kepustakaan mereka penuh dengan warisak karya-karya klasik oleh anak negri sendiri, yang karya-karya itu memperoleh peng-akuan dunia.[32]
Suatu tantangan terbesar bagi institusi pendidikan Islam Indonesia adalah peranannya dalam pembentukan sumber daya manusia yang memiliki komposisi intelektual dan spiritual yang seimbang. Sejalan dengan konsep “ta’dib” di atas, tentu saja konsep pendidikan masa datang adalah keterpaduan antara khazanah keilmuan modern dan khazanah Islam yang bernuansa budaya lokal.
Sementara itu, kondisi obyektif pendidikan Indonesia adalah sebuah potret dualisme pendidikan, yaitu pendidikan Islam tradisional dan pendidikan modern. Pendidikan Islam tradisional diwakili pesantren yang bersifat konservatif dan “hampir” steril dari ilmu-ilmu modern. Sedangkan pendidikan modern diwakili oleh lembaga pendidikan umum yang disebut dengan sistem pendidikan umum.[33]

4.      Upaya Kebijakan dalam menanggulangi problematika pendidikan Islam di Indonesia
Terminologi pendidikan Islam bagi penulis akan merujuk pada konteks makna institusi, proses dan subject matter (kurikulum) (Idrus, 1997). Institusi akan berkonotasi pada lembaga-lembaga pendidikan Islam formal (mulai dari MI, M.Ts., MA PT Islam) maupun non-formal (pondok pesantren, sekolah diniyah, TPA). Untuk pendidikan berbentuk perguruan tinggi Islam. Meski untuk pendidikan tinggi, Zamroni (1995) pernah mengajukan sinyalemen bahwa model pendidikan tinggi Islam pada dasarnya merupakan implementasi dari sistem pendidikan tinggi sekuler barat yang ditambah dengan mata kuliah agama Islam.
Sementara itu, proses merujuk pada situasi interaktif antara pendidik dengan peserta didik beserta lingkungan pendidikan yang menyertainya. Dengan begitu, proses yang berlangsung di dalamnya seharusnya diarahkan untuk menimbulkan pertumbuhan kepribadian manusia yang seimbang dalam pelbagai aspek, dan mampu mengantarkan manusia untuk menyerahkan diri kepada Allah SWT baik secara individual ataupun kolektif. Adapun subject matter dapat dipahami sebagai kurikulum atau dalam makna yang lebih sempit adalah mata pelajaran/mata kuliah yang diberikan kepada peserta didik.
Di lihat dari sisi manapun, pendidikan Islam memiliki peran dalam konteks pendidikan nasional. Hanya saja harus pula dimaklumi dan dipahami jika hingga hari ini secara kelembagaan pendidikan Islam kerap menempati posisi kedua dalam banyak situasi. Sebagai misal, jurusan yang menawarkan pendidikan Islam kurang banyak peminatnya, jika dibandingkan dengan jurusan lain yang dianggap memiliki orientasi masa depan yang lebih baik. Dalam hal pengembangan kelembagaan akan pula terlihat betapa program studi/sekolah yang berada di bawah pengelolaan dan pengawasan Departemen Agama tidak selalu yang terjadi di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), bahkan harus dengan tertatih untuk menyesuaikan dengan yang terjadi di sekolah-sekolah umum tersebut. Meski disadari betapa pentingnya posisi pendidikan Islam dalam konteks pendidikan nasional. Namun, harus pula diakui hingga saat ini posisi pendidikan Islam belum beranjak dari sekadar sebuah subsistem dari sistem besar pendidikan nasional. Barangkali itulah yang menjadikan Ahmadi dalam pidato pengukuhan guru besarnya menyatakan posisi pendidikan Islam hanya sekadar suplemen.[34]
Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, diharapkan dapat membawa perubahan pada sisi menagerial dan proses pendidikan Islam. PP tersebut secara eksplisit mengatur bagaimana seharusnya pendidikan keagamaan Islam (bahasa yang digunakan PP untuk menyebut pendidikan Islam), dan keagamaan lainnya diselenggarakan. Dalam pasal 9 ayat (1) disebutkan, ”Pendidikan keagamaan meliputi pendidikan keagamaan Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu”. Pasal ini merupakan pasal umum untuk menjelaskan ruang lingkup pendidikan keagamaan. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama disebutkan tentang siapa yang menjadi pengelola pendidikan keagamaan baik yang formal, non-formal dan informal tersebut, yaitu Menteri Agama.
Dari sini jelas bahwa tanggungjawab dalam proses pembinaan dan pengembangan pendidikan Islam/dan atau keagamaan Islam menjadi tanggungjawab menteri agama. Tentunya mengingat posisi menteri agama bukan hanya untuk kalangan Islam saja, maka beban menteri agama juga melebar pada penyelenggaraan pendidikan agama lain non Islam, di samping beban administratif lain terkait dengan ruang lingkup penyelenggaraan agama dan prosesi keagamaan untuk seluruh agama-agama yang diakui di Indonesia. Mencermati betapa beratnya beban yang diemban oleh menteri agama, tampaknya memang perlu dipikir ulang untuk kembali mengajukan ide penyelenggaraan pendidikan dalam satu atap di bawah departemen pendidikan saja, dan tidak terpecah sebagaimana sekarang ini.
Salah satu alasan terkuat mengapa perlu penyatuan pendidikan di bawah satu atap adalah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan yang dibuat oleh Depdiknas. Inovasi-inovasi pembelajaran lebih banyak muncul kali pertama dari Depdiknas bukan dari Depag. Dengan sendirinya, Depag kerap selalu menunggu adanya inovasi ataupun kebijakan pengelolaan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas. Dalam catatan sejarah pendidikan nasional, hampir tidak banyak inovasi yang dilakukan Depag yang benar-benar berbeda dengan yang dikembangkan oleh Depdiknas.
Kenyataan ini jelas tidak dapat dipungkiri, cermati saja bagaimana kebijakan tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) terasa betapa dominasi Depdiknas dalam pengembangan dan penerapannya begitu kentara. Sementara itu, Depag tetap setia mengikutinya. Untuk kasus yang lebih baru, Depag juga tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan mata uji apa saja yang harus ditempuh oleh peserta didik yangmengikuti pendidikan di M.Ts dan MA/MAK saat penentuan kelulusan (simak kasus ujian nasional dan ujian sekolah).Selain itu dari sisi managerial madrasah dikelola Departemen Agama yang tidak memiliki dana yang cukup untuk membiaya madrasah yang jumlahnya sangat banyak, di samping Depag tidak memiliki sumber tenaga kependidikan yang memadai untuk mengelola madrasah, jika dibandingkan dengan Diknas.[35]






























KESIMPULAN
Dari materi yang telah di paparkan di atas penulis memeiliki kesimpulan bahwa sebuah problematika pendidikan pastilah terjadi karna ada sebab-sebab sebagai berikut :
1.      Kebijakan
Permasalahan kebijakan ini timbul karna seringnya gonta ganti menteri sehingga setiap menteripun juga memiliki cara pandang sendiri-sendri dalam memajukan pendidikan Indonesia, tetapi terkadang ada yang bersifat hanya untuk kepentingan politik dan juga kurang memikirkan bagaimana suatu lembaga itu dapat mengikuti setiap perubahan yang di buat oleh menteri.
2.      Profesionalitas Guru
Dalam menyampaikan amanat dari menteri pendidikan dan kebudayaan, guru sangat berperan dalam urusan implementasinya tetapi jika profesionalitas Guru sangat minim sekali maka apa yang di pendidikan Nasional kita akan kehilangan arah.
3.      Mahalnya biaya pendidikan
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan mbs (manajemen berbasis sekolah). Mbs di indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah/dewan pendidikan yang merupakan organ mbs selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
            Upaya pemecahannya melalui kebijakan yaitu :
1.      Kebijakan
Dalam memahami suatu proses kebijakan, terdapat aspek yang sangat penting yaitu implementasi. Tolok ukur keberhasilan kebijakan adalah pada tahap implementasi. Implementasi kebijakan dapat disebut sebagai rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah sebuah kebijakan ditetapkan, baik terdiri atas pengambilan keputusan langkah-langkah yang stratejik maupun operasional yang di tempuh guna mewujudkan suatu progam atau kebijakan menjadi kenyataan, Guna mencapai sasaran dari keb  ijakan yang telah ditetapkan tersebut.
2.      Profesionalitas Guru
Kaitannya dengan profesionalitas Guru setidaknya harus di adakan pembinaan profesionalitas dan peningkatan kesejahteraan guru yang meliputi hal-hal berikut :
e.       Menata kembali sistem jenjang karier Guru dan tenaga kependidikan lainnya.
f.       Meningkatkan kesejahteraan guru baik secara material maupun psikologis
g.      Memberikan perlindungan hukum dan rasa aman kepada guru dalam menjalankan tugasnya.
h.      Memberikan kesempatan yang luas kepada Guru untuk meningkatkan profesionalitasnya melalui berbagai pelatihan dan studi belajar.

3.      Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan tetap membutuhkan biaya agar semua progam yang disusun dapat direalisasikan untuk anak-anak. Hal ini karena proses pendidikan harus dilaksanakan oleh para profesional uang menjadikan proses pendidikan sebagai lapangan pekerjaan pengabdian, begitu juga standar proses harus diterapkan oleh sekolah agar proses pendidikan dapat berjalan sebaik-baiknya.
Dalam pendidikan Islam di Indonesia juga memeiliki problem yang sama, yaitu :
Pendidikan islam di Indonesia memang sudah sangat lama sekali berdiri, sebelum Indonesia meredeka pun pendidikan Islam sudah sangat lekat sekali di kalangan masyarakat, tetapi dalam era globalisasi ini ada beberapa problem yang muncul di dunia pesantren yang menyebabkan kemunduran persantren ini sendiri.
Dan upaya pemecahan melalui kebijakan , perlu penyatuan pendidikan di bawah satu atap adalah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan yang dibuat oleh Depdiknas. Inovasi-inovasi pembelajaran lebih banyak muncul kali pertama dari Depdiknas bukan dari Depag. Dengan sendirinya, Depag kerap selalu menunggu adanya inovasi ataupun kebijakan pengelolaan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas. Dalam catatan sejarah pendidikan nasional, hampir tidak banyak inovasi yang dilakukan Depag yang benar-benar berbeda dengan yang dikembangkan oleh Depdiknas.



DAFTAR PUSTAKA
Dalam Rozihan. http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/07/opi3.htm).
Darmaningtyas, 2003, “Pendidikan yang memiskinkan”,  Yogyakarta, Intrans Publishing
Daulay, Haidar putra, 2004, “Pendidikan Islam : dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia”, Jakarta: Kencana
E Mulyasa, 2005, “ Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi”, Bandung, Remaja Rosdakarya
Fatah, Nanag , 2004, “Landasan Manajemen Pendidikan”, Bandung, PT Remaja Rosdakarya
H.A.R Tilaar, 2009, “Kekuasaan dan Pendidikan”, Jakarta, Rineka Cipta
Kompas, Selasa, 13 Maret 2018 h : 15 kol 1-2
Madjid, Nurkholis, 2008, “Tradisi Islam : Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia”, Jakarta, PARAMADINA
Muhaimin, 2013, “Rekontruksi Pendidikan Islam”,  Jakarta, Rajagrafindo persada
Nata, Abuddin, 2009, “Prespektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran”, Jakarta : Prenada Media Group
Rifa’i, Muhammad, 2011, “ Politik pendidikan Nasional”, Jogjakarta, Ar-ruzz Media
Rochaety, Eti, dkk. 2006. “Sistem Informasi Manajemen Pendidikan”, Jakarta: PT Bumi Aksara
Sam M. Chan dan Tuti T. Sam 2011, “kebijakan pendidikan era otonomi daerah” Jakarta, Rajagrafindo Persada
Saroni, Mohammad, 2017, “Pendidikan Untuk orang Miskin”, Jogjakarta, AR-Ruzz Media
Sarono, Mohammad, 2010, “orang Miskin Harus Sekolah”, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media
Soedijarto, 2008, “Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita”, Jakarta , Kompas
Susilo, Joko,  2009, “Pembodohan siswa tersistematis”, Yogyakarta, PINUS book publisher
Urianto, Yoyon Bahtiar, 2011, “ Kebijakan Pembaharuan Pendidikan : Konsep, teori, dan Model”, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada
Yasmadi, 2002, “Modernisasi PESANTREN :kritik Nur kholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional”, jakarta, ciputat press
.




[1] IPM merupakan penguran perbandingan dari harapan hidup melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. IPM di gunakan untuk mengklasifikasi apakah sebuah negara maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan nuga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup.
[2] Abuddin nata,2009, “Prespektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran”, Jakarta : Prenada Media Group, h. 16
[3] H.A.R Tilaar, 2009, “Kekuasaan dan Pendidikan”, Jakarta, Rineka Cipta, h. 6
[4] Daoed Joesoef menjabat Menteri pendidikan dan kebudayaan dalam kabinet Pembangunan III, 29 Maret 1978-19 Maret 1983. Dr. Daoed joesoef memulai gebrakannya dengan mengubah masa tahun ajaran baru dari Januari menjadi Juli dan membubarkan SMEP (sekolah menengah ekonomi pertama) , ST (sekolah Teknik) tingkat SMP dan SKKP (sekolah Kejuruan Kewanitaan Pertama) atau sekolah kejuruan tingkat SMP lainnya menjadi SMP umum . beliau juga pencetus seragam sekolah Nasional pertama kali pada tahun 1987, beliau beralasan jika seragam sekolah di sama ratakan maka tidak akan terjadi kesenjangan sosial untuk siswa kaya dan siswa miskin.

[5] Telah menjadi rahasia umum bahwa kemajuan suatu bangsa bisa dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Kita lihat saja, negara yang katanya terkuat yaitu Amerika. Mereka tidak akan bisa menjadi negara yang ditakti dunia bila pendidikan mereka setarap dengan pendidikan kita. Contoh lain, negara jepang yang terkenal dengan kehebatan sains dan teknologinya mengapa Jepang bisa menjadi Negara yang berteknologi tnggi? Sedangkan kita hanya mampu berkutat dalam penggunaan teknlogi. jepang adalah Negara yang menghargai pendidikan, mendahulukan kepentingan pendidikan dari pada kepentingan yang lain, dan tidak segan-segan mengeluarkan dana yang besar untuk pendidikan. Sedangkan, Negara kita hanya sibuk menbicarakan kedudukan hingga pendidikan tidak terfikirkan.
[6] Joko Susilo, 2009, “Pembodohan siswa tersistematis”, Yogyakarta, PINUS book publisher, h. 13-14
[7] Dalam mewujudkan kehidupan yang baik, pendidikan merupakan aspek penting dalam menentukan tingkat kemampuan seseorang dalam menghadapi kehidupan. Dengan pendidikan yang cukup, kita dapat hidup sesuai dengan kondisi yang kita harapkan. Pendidikan adalah acuan untuk mencapai kondisi terbaik. Pada hakikatnya, kehidupan terbagi atas dua kondisi dan keduanya terterpisahkan oleh sebuah jurang yang dalam dan terjal. Pada satu sisi kita berada pada situasi yang sangat tidak enak tetapi pada sisi yang lain terjanjikan kehidupan yang lebih bail. Tentu saja, semua orang berorientasi untuk dapat mencapai susu seberang yang membahagiakan. Mereka tidak ingin terus berada pada kondisi yang tidak enak sehingga pendidikan menjadi alternatif persiapan terbaik.

[8] Mohammad Saroni, 2017, “Pendidikan Untuk orang Miskin”, Jogjakarta, AR-Ruzz Media h. 62
[9] Nanag Fatah, 2004, “Landasan Manajemen Pendidikan”, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, h. 7
[10]  Eti Rochaety, dkk. 2006. “Sistem Informasi Manajemen Pendidikan”, Jakarta: PT Bumi Aksara, hal 64-65
[11] H.A.R Tilaar, 2009, “ kekuasaan dan pendidikan”, Jakarta, Rineka Cipta, h. 7
[12] Pergantian yang terlalu sering antara kurun waktu 1945 dengan 1968. Kementrian pengajaran, pendidikan, dan kebudayaan itu sendiri di bentuk pada tanggal 19 Agustus 1945 dengan menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan yang pertama, yaitu Ki Hajar Dewantara. Namun usia Kepemimpinan Ki hajar Dewantara ini hanya tiga bulan saja.
[13] Darmaningtyas, 2003, “Pendidikan yang memiskinkan”,  Yogyakarta, Intrans Publishing, h: 35
[14] Darmaningtyas, 2015, “Pendidikan yang memiskinkan”, Malang Intrans Publishing, h: 113-115
[15] Kompas, Selasa, 13 Maret 2018 h : 15 kol 1-2
[16] M.Joko Susilo, 2009, “Pembodohan Siswa Tersistematis” yogyakarta Pinus Book Publisher, h: 26-27
[17] Bahkan, pengembangan pola kehidupan menjadikan sekolah-sekolah negeri terus berlomba dan bersaing untuk dapat tampil lebih bagus dari yang lain. Akibatnya, pengelola sekolah berupaya mencetuskan berbagai kebijakan lokal, yaitu, kebijakan dalam lingkungan sekolah dengan alasan pemberdayaan masyarakat atau orang tua didik. Berbagai macam pungutan dikenakan orang tua anak didikdengan harapan saat terkumpul dapat dijadikan modal untuk melakukan perubahan terhadap sekolah. Khususnya, pada saat awal tahun pelajaran baru. Saat-saat itu merupakan saat yang paling menyiksa bagi para orang tua anak didik.
[18] Mohammad sarono, 2010, “orang Miskin Harus Sekolah”, Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, h: 36
[19] Soedijarto, 2008, “Landasan dan Arah Pendidikan Nasional Kita”, Jakarta , Kompas, h: 52
[20] Yoyon Bahtiar Irianto, 2011, “ Kebijakan Pembaharuan Pendidikan : Konsep, teori, dan Model”, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, h: 31
[21] Darmaningtyas, 2015, “Pendidikan yang Memisikinkan”,  Malang, Intrans publishing, h : 109
[22] Yoyon bahtiar Irianto, 2011, “ Kebijakan Pembaharuan Pendidikan : Konsep, Teori, dan Model”,  Jakarta, PT Grafindo Persada, h: 41
[23] M.Joko Susilo, 2009, “Pembodohan Siswa Tersistematis”, Jogjakarta, Pinus Book Publisher, h: 26
[24] Muhammad rifai, 2011, “ Politik pendidikan Nasional”, Jogjakarta, Ar-ruzz Media, h: 142
[25] Sam M. Chan dan Tuti T. Sam 2011, “kebijakan pendidikan era otonomi daerah” Jakarta, Rajagrafindo Persada, h: 63-64
[26] Sekolah swasta mencoba menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan dunia pendidikan dengan segala daya yang dimiliki oleh masyarakat, termasuk dalam hal ini kelompok orang-orang yang peduli terhadap dunia pendidikan. Termasuk, dalam hal ini adalah permasalahan pengelolaan dana pendidikan. Sekolah swasta berusaha untuk bersikap positif terhadap eksistensi pendidikan sebagai sebuah hak bagi semua orang. Sekolah swasta sebagai institusi pendidikan pengelola kediatan berdasarkan dana dari masyarakat meraa peduli untuk memberikan hal terbaik bagi masyarakat.

[27] Mohammad saroni 2010, ”Orang Miskin Harus Sekolah”,  Jogjakarta, Ar-Ruzz Media, h: 144
[28] E Mulyasa, 2005, “ Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi”, Bandung, Remaja Rosdakarya, h: 130-131
[29] Inti dari materi pendidikan Islam pada masa awal tersebut adalah ilmu-ilmu keagamaan yang berkonsentrasikan pada pengajaran kitab-kitab klasik. Kitab klasik yang juga di kenal kitab kuning ini menjadi tolok ukur tinggi rendahnya pemahaman keagamaan seseorang.

[30] Haidar putra daulay, 2004, “Pendidikan Islam : dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia”, Jakarta: Kencana, 145-146,
  [31] Muhaimin, 2013, “Rekontruksi Pendidikan Islam”,  Jakarta, Rajagrafindo persada, h : 242-245
[32] Nurkholis madjid, 2008, “Tradisi Islam : Peran dan fungsinya dalam pembangunan di Indonesia”, Jakarta, PARAMADINA, h: 44-45
[33] Yasmadi, 2002, “Modernisasi PESANTREN :kritik Nur kholis Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional”, jakarta, ciputat press, h: 3
[34] Dalam Rozihan. http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/07/opi3.htm).

No comments:

Post a Comment