Sunday, June 3, 2018

TANTANGAN DUANIA PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN


TANTANGAN DUANIA PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA



TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN



(Tugas mata kuliah Studi Kebijakan Pendidikan Islam)

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Baharuddin, M. Pd.I



































Muhammad Nur (16770016)





PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM

MALANG

MARET 2018







A. Pendahuluan

Pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Kualitas suatu bangsa tersebut dapat ditandai dan diukur dari kemajuan pendidikannya. Pengalaman beberapa negara maju di dunia, kemajuannya selalu dimulai dengan pendidikannya1. Pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang bermutu atau berkualitas. Kualitas pendidikan meliputi (1) produk pendidikan yang dihasilkan berupa persentase peserta didik yang berhasil lulus dan lulusan tersebut dapat diserap oleh lapangan kerja yang tersedia atau membuka lapangan kerja sendiri, baik dengancara meniru yang sudah ada atau menciptakan yang baru; (2) proses pendidikan, menyangkut pengelolaan kelas yang sesuai pada kondisi kelas yang relatif kecil, penggunaan metode pengajaran yang tepat serta lingkungan masyarakat yang kondusif; dan (3) adanya kontrol pada sumber-sumber pendidikan yang ada.

Memasuki pelaksanaan otonomi daerah di era reformasi, kewenangan pemerintah pusat dalam mengurus dan mengatur tugas pemerintahan telah mengalami perubahan. Pemerintah pusat tidak lagi bersifat sentralistis, dan tidak sedikit urusan yang didelegasikan kepada pemerintah daerah. Urusan pemeritahan yang didelegasikan kepada pemerintah kabupaten atau kota termasuk bidang pendidikan.2 Sebelum diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah pusat sebagai perencana dan sekaligus pelaksana semua urusan dan kegiatan di seluruh wilayah negara.3 Berbeda dengan sebelum diberlakukannya undang-undang ini, kewenangan pemerintah daerah (kota dan kabupaten) dalam bidang pendidikan sangat terbatas, kalau tidak dapat dikatakan tidak ada sama sekali.

Dengan diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, peran dan fungsi pemerintah daerah menjadi semakin besar dalam

1 A. Maksum, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern: Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004), hlm. 227

2  M. Pidarta, Desentralisasi Pendidikan di Tingkat Kabupaten, Jurnal Ilmu Pendidikan, 8 (1), 2001, hlm. 17

3   Soewartoyo, Soetarno, Safrudin, M. Harahap, & Pambudi, Persepsi Masyarakat terhadap Desentralisasi Pendidikan. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003) hlm. ix



berbagai hal termasuk pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan dalam kerangka sistem pemerintahan daerah yang baru, semakin mendapat perhatian secara serius dari berbagai pihak. Komponen-komponen yang ada di daerah, baik pengambil keputusan, para praktisi pendidikan, guru, orang tua maupun masyarakat harus mempunyai landasan falsafah, visi, konsep yang sama dan matang serta dapat dipertanggung jawabkan (akuntabilitas) dalam melaksanakan pendidikan yang integral dalam proses otonomi daerah.

Berlakunya otonomi daerah, mengakibatkan aspek-aspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan pembangunan di bidang pendidikan mengalami perubahan. Perubahan itu antara lain, berkurangnya peran pemerintah pusat. dan perubahan penyelenggaraan pendidikan dari sentralistis ke arah desentralistis.

Konsep desentralisasi pendidikan itu sendiri adalah konsep yang relatif baru untuk diterapkan di Indonesia. Salah satu tantangan yang paling penting adalah tersusunnya kebijakan untuk mendelegasikan wewenang operasional pemerintah pusat ke daerah, khususnya bidang pendidikan. Titik berat pelaksanaan desentralisasi pendidikan adalah lebih mengutamakan pada peningkatan peran dan partisipasi daerah termasuk masyarakat dalam rangka terselenggaranya pendidikan seperti apa yang diinginkan untuk dilaksanakan di daerah, sehingga desentralisasi pendidikan menghasilkan otonomi.4



























4  Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: LESFI,
2003), hlm. 88







B.  Pembahasan

1.    Tantangan Dunia Pendidikan

Dewasa ini pendidikan berada dalam era globalisasi yang ditandai oleh kuatnya tekanan ekonomi dalam detak kehidupan, tuntutan masayrakat untuk memperoleh perlakuan yang makin adil dan demokratis, serta kuatnya nilai budaya yang tergerus arus hedonistik, pragmatis, materialistik dan sekularistik.5

Munculnya berbagai kecenderungan diatas dalam era globalisasi menjadi tantangan sekaligus peluang jika mampu dihadapi dan dipecahkan dengan arif dan bijaksana yaitu dengan cara merumuskan kembali visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar dan lainnya.

Dalam mengahadapi keadaan yang sedemikian rupa itu, dunia pendidikan pada umumnya kini berada pada persimpangan jalan. Dunia pendidikan berada diantara jalan untuk mengikuti tarikan eksternal sebagai akibat pengaruh globalisasi, atau tarikan internal yang merupakan misi utama pendidikan, yaitu untuk membentuk manusia seutuhnya, yang potensinya terbina secara seimbang.

Seperti yang dikatakan oleh Muhaimin, saat ini Indonesia sedang menghadapi dua tantangan besar yaitu desentralisasi atau otonomi daerah yang saat ini sudah berlangsung serta era globalisasi total yang akan terjadi pada tahun 2020. Kedua tantangan tersebut merupakan ujian berat yang harus dilalui dan dipersiapkan oleh seluruh bangsa Indonesia. Adanya otonomi daerah memberi dampak pada perubahan sistem manajemen pendidikan dari pola terpusat (sentralisasi) ke pola desentralisasi. Sebagai implikasi selanjutnya adalah berkembangnya pendidikan yang demokratis dan non-monopolistik.6

Diantara otonomi besar yang pernah diberikan kepada sekolah atau madrasah adalah pengembangan kurikulum yang disebut KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kurikulum ini merupakan kurikulum operasional yang dibuat oleh dan dilaksanakan pada masing-masing sekolah atau madrasah.


5  Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm

1                      
6 Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Rajawali Pers, 2011), hlm. 89



Pemerintah pusat hanya memberi aturan-aturan yang perlu dijadikan rujukan dalam kurikulum tersebut seperti PP No. 19 tahun 2005, Permendiknas No. 22 tahun 2006, Permendiknas No. 23 tahun 2006, dan Permendiknas No. 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan dari kedua Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut, serta panduan dari BSNP.7

Namun sekolah atau madrasah ternyata menemui kendala saat menyusun dan melaksanakan kurikulum sesuai dengan potensi dan karakteristik mereka yaitu terbatasnya sumber daya manusia yang memeiliki kemampuan untuk mewujudkan otonomi tersebut. Dalam kenyataannya distribusi tenaga terlatih dan memiliki keahlian pengembangan kurikulum masih belum merata.

Tantangan selanjutnya adalah tantangan era globalisasi. Mudjia Rahardjo menjelaskan bahwa pada umumnya globalisasi mempunyai tiga bidang utama yaitu ekonomi, politik dan budaya.8 Dalam bidang ekonomi terjadi perubahan besar-besaran dari sistem ekonomi kapitalisme menuju sistem multinational corporation. Dalam bidang politik terlihat isu demokratisasi melanda sebagian besar negara-negara dunia. Sejak tahun 1972 jumlah negara yang mengadopsi sistem politik demokrasi meningkat menjadi dua kali lipat, dari 44 negara menjadi 107 negara. Dalam arti luas di bidang budaya, terjadi perkembangan yang luar biasa cepat terutama dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perkembangan diatas seakan mengaburkan batasan-batasan yang telah ada. Thomas Friedman bahkan menyatakan bahwa dunia kini seperti lahan bermain yang sejajar. Di dunia yang sejajar, semua pesaing (competitor) memiliki kesempatan yang sama sehingga mereka yang tidak mampu menggunakan peluang dan kesempatan yang ada akan segera tertinggal. Maka dalam konteks pendidikan, negara-negara yang tidak bisa menghasilkan lulusan-lulusan berkualitas akan segera tertinggal dalam arena pertarungan dunia. Negara-negara yang gagal mengembangkan pendidikan bermutu internasional akan terkena dampak negatif, terlihat dari tertinggalnya perkembangan ekonomi, politik dan sosial budaya.9

7 Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi ..., hlm. 90

8 Mudjia Rahardjo, UIN Malang di Tengah Perubahan Global, dalam M. Zainuddin (ed.), Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Malang: UIN Press, 2004), hlm. 131
9 Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi ..., hlm. 91



Tantangan diatas dapat dinyatakan sebagai tantangan kontemporer yang perlu pemecahan multidimensi. Meskipun demikian perlu dilihat respon pendidikan yang melibatkan persoalan; 1) respon pendidikan terhadap tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi, 2) respon pendidikan terhadap otonomi daerah dan demokratisasi dan 3) kapasitas kelembagaan pendidikan dalam peningkatan kualitas pendidikan. Berdasarkan tiga persoalan diatas dapat ditarik menjadi satu masalah pokok adalah bagaimana sistem pendidikan baik pada tingkat nasional, daerah mapun tingkat sekolah diselenggarakan, sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia yang mampu menjawab semua tantangan itu.10

2.    Upaya Pengelolaan Guru

Pemerintah melakukan beragam upaya untuk meningkatkan kualitas guru sebagai sosok penting dalam dunia pendidikan. Dari waktu ke waktu, pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tanah air. Diantara kebijakan itu adalah kebijakan-kebijakan tentang pemberantasan buta huruf, pendidikan masyarakat dan pendidikan luar sekolah, kegiatan inovasi pendidikan seperti PPSP, proyek PAMONG, pendidikan pramuka untuk transmigrasi, pusat kegiatan belajar, kuliah kerja nyata, BUTSI, SESPA, proyek pengembangan sistem informasi pendidikan, proyek percobaan radio pendidikan, proyek STM pembangunan, proyek perintis sekolah pembangunan, proyek pendidikan guru, PSPB, orang tua asuh bagi anak kurang mampu dan sebagainya.11
Arah kebijakan pemerintah pada bidang pendidikan menuju pada perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan yang bermutu; pengembangan kemampuan akademik dan profesional tenaga kependidikan, pembaharuan kurikulum, , pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan, peningkatan kualitas lembaga pendidikan, pengembangan kualitas SDM sedini mungkin, penguasaan-pengembangan dan pemanfaatan teknologi, dengan sasaran

10 Djohar, Tantangan Kontemporer Bangsa Indonesia : Respon Dunia Pendidikan, Volume 5, Nomor1, Mei 2001, hlm. 69

11 Suwandi, Studi Kebijakan Pengelolaan Guru Pasca Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan, Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 4 Nomor 2, November 2007, hlm. 68



peningkatan angka partisipasi, kesamaan memperoleh pendidikan yang bermutu, organisasi sekolah yang demokratis, transparan, efisien dan accountable.

Syarat-syarat tenaga profesional yang menduduki tempat penting, diantaranya: (a) menguasai bidang studi yang diajarkan, (b) menguasai pedagogi,

(c)     mengetahui inti bidang studi yang diajarkan, (d) mampu mengajarkan keahliannya kepada murid dengan berbagai latar pekembangannya, (e) mampu menggunakan keterampilan diagnostik untuk membantu muridnya yang mengalami masalah akademik, (f) mampu memahami perubahan yang terjadi pada muridnya, baik dalam perubahan fisik, sosial, psikologis maupun intelektual. Di samping itu guru profesional juga harus dapat mengambil keputusan pendidikan dengan keputusan yang tepat, menguasai teknik memotivasi muridnya, menguasai teori dan keterampilan manajemen kelas, seorang evaluator kemajuan anak, sekaligus evaluator program pendidikannya.12

3.    Penguatan Profesionalisme Guru

Kata profesi, professional, dan profesionalisme adalah tiga kata yang memiliki redaksi berbeda dengan penekanan yang berlainan pula, namun substansinya ketiganya sama. Ketiganya bermuara pada pemahaman akan adanya suatu pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan keahlian, sehingga pemahaman tiga kata tersebut terbilang penting khususnya dalam sebuah pekerjaan yang melibatkan orang lain secara langsung seperti manajer dan juga guru.

Banyak perhatian orang pada profesionalisme ini. Nabi Muhammad Saw bahkan pernah bersabda “idza wussida al-amru ila ghairi ahlihi fantadhir al-sa’ah (apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya)13. Hadits ini menunjukkan betapa Nabi Saw telah

memberikan perhatian yang sangat besar terhadap profesionalisme karena menjadi salah satu penentu keberhasilan suatu pekerjaan. Sekiranya profesionalisme tidak penting niscaya Nabi Saw tidak akan memberikan peringatan sekeras itu. Sebuah peringatan dengan nada seolah mengancam tersebut diiringi dengan redaksi fantadhir al-sa’ah (tunggulah kehancurannya).

12              Suwandi, Studi Kebijakan ..., hlm. 69

13  Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Muhammad ibn Sinan, Qulaih ibn Sulaiman,

Hilal ibn Ali, Atha’, Yasar, Abu Hurairah, dari Nabi Saw.



Melalui redaksi semacam ini diharapkan umat Islam memperhatikan aspek profesionalisme dalam bekerja dan beraktivitas.

Konsekuensinya berimbas kepada umat Islam bahwa segala sesuatu pekerjaan yang positif harus dilakukan atau ditangani secara profesional, termasuk pekerjaan mendidik atau mengajar peserta didik (siswa atau mahasiswa). Buchari dkk mengatakan bahwa kegiatan mengajar (teaching) merupakan kegiatan dari suatu pekerjaan profesional, sehingga dalam melakukan pekerjaan itu dibutuhkan landasan keilmuan dan latihan-latihan.14 Edi Mulyasa menyatakan, kita harus mampu menyiapkan guru profesional, karena hanya guru demikian yang akan berperan di masa mendatang.15 Kemampuan profesional guru dalam menciptakan pembelajaran yang berkualitas sangat menentukan keberhasilan

pendidikan secara keseluruhan.16 Pernyataan ini berusaha mengingatkan serta menyadarkan kembali bahwa guru mempunyai posisi strategis dalam proses

pembelajaran sehingga guru menjadi ujung tombak dalam proses pendidikan dan pembelajaran.

Oleh karena itu, profesionalisme merupakan suatu pekerjaan yang harus dipelajari melalui proses secara serius. Profesi ini tidak bisa hanya segera

diberikan  oleh  orang  lain  atau           diwariskan  dari  orangtua  kepada  anaknya.

Syafruddin Nurdin menyatakan, status profesional hanya bisa diraih melalui perjuangan yang berat dan cukup panjang.17 Selanjutnya Devaney dan Sykes mengatakan bahwa profesionalisme merupakan bentuk kebebasan yang tidak bisa diberikan, namun harus diupayakan. Guru tidak hanya diberdayakan; tugas kerjanya hanya dapat diselesaikan berdasarkan standar, norma dan kondisi profesional yang harus mulai diraihnya.18 Buchari Alma dkk menyatakan bahwa guru merupakan kunci utama keberhasilan pendidikan. Guru merupakan sales agent dari lembaga pendidikan, sehingga perilaku dan cara mengajarnya sangat

14Buchari Alma et al., Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 2

15    Edi Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 16

16              Edi Mulyasa, Menjadi Guru ..., hlm. 13

17              Syafruddin Nurdin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, M. Basyiruddin Usman (ed.), (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 20
18  Kathleen  Devaney dan Gary Sykes,  “Making  the  Case  for Pro  fe  sionalism,”  dalam Ann

Lieberman (ed.), Building a Professional Culture in Schools, (New York: Teachers College Press, 1988), hlm. 4



mempengaruhi citra lembaga pendidikan. Maka guru sebagai sumber daya pendidikan harus dikembangkan baik melalui proses pendidikan, pelatihan, maupun kegiatan lain agar tingkat profesionalnya meningkat.19

Sejatinya guru yang profesional harus memiliki pengetahuan dan kemampuan teknis; nilai-nilai bersama tentang profesi dan konsekuensi tanggungjawabnya; mengadakan pemeriksaan dan perenungan kembali sebagai kebiasaan; mengenali, menghormati dan memperhitungkan keanekaragaman pada semua anak, dan mementingkan profesi yang memudahkan tumbuh dan berkembang.20 Dengan pengertian lain, guru yang profesional itu telah memenuhi kriteria kemampuan, moralitas, pengawasan, kesadaran pluralis, dan proteksi atas pekerjaannya.

Dalam konteks pendidikan Islam, profesionalisme guru PAI menjadi sorotan penting. Profesi itu memiliki ciri-ciri khusus yang dapat diidentifikasi dan dikenali untuk membedakan dengan identitas lainnya. Sullivan mengatakan bahwa profesi itu merupakan pekerjaan yang memiliki tiga macam karakteristik; pelatihan pengetahuan secara khusus melalui pendidikan formal dan kerja magang, pengakuan publik terhadap otonomi komunitas praktisi dalam mengatur standar pelak sanaan profesi itu, dan komitmen menekankan pemberian layanan yang baik kepada publik.21

Menurut Mukhtar Lutfi, sebagaimana dikutip Nurdin, ada delapan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu pekerjaan agar dapat disebut sebagai profesi, yaitu, 1) panggilan hidup yang sepenuh waktu; 2) pengetahuan dan kecakapan atau keahlian, 3) kebakuan yang universal, 4) pengabdian, 5) kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif, 6) otonomi, 7) kode etik , dan 8) klien.22

Kriteria diatas berlaku pada semua profesi, termasuk profesi guru pendidikan agama islam (PAI). Disamping itu, guru PAI masih diikat oleh kriteria tertentu sesuai dengan tugasnya sebagai pendidik agama Islam. Materi PAI ini memiliki karakteristik tertentu. Muhaimin menyatakan,

19              Buchari Alma et al., Guru Profesional ..., hlm. 123-124

20              Kay A. Norlander-Case et al., Guru Profesional Penyiapan dan Pembimbingan Praktisi Pemikir Program Pendidikan di Negara Demokrasi, (Jakarta: PT. Indeks, 2009), hlm. 1

21 William M. Sullivan, Work and Integrity: The Crisis and Promise of Professionalism in America, (New York: Harper Collins, 1995), hlm. 2

22              Nurdin, Guru Profesional ..., hlm. 16-17





“Pendidikan agama memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Pendidikan Agama Islam (PAI) misalnya, memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) PAI berusaha untuk menjaga akidah peserta didik agar tetap kokoh dalam situasi dan kondisi apapun; (2) PAI berusaha menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits serta otentisitas keduanya sebagai sumber utama ajaran Islam;

(3)   PAI menonjolkan kesatuan iman, ilmu dan amal dalam kehidupan keseharian; (4) PAI berusaha membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan sekaligus kesalehan sosial; (5) PAI menjadi landasan moral dan etika dalam pengembangan iptek dan budaya serta aspek-aspek kehidupan lainnya; (6) substansi PAI mengandung entitas-entitas yang bersifat rasional dan supra-rasional; (7) PAI berusaha menggali, mengembangkan dan mengambil ibrah dari sejarah dan kebudayaan (peradaban) Islam, dan (8) dalam beberapa hal, PAI mengandung pemahaman dan penafsiran yang beragam, sehingga memerlukan sikap terbuka dan toleran atau semangat

ukhuwah islamiyah23


Usaha peningkatan kualitas guru yang profesional didasari satu kebenaran fundamental, yakni kunci keberhasilan mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional, memiliki komitmen dan tanggung jawab yang baru untuk merencanakan pendidikan masa depan. Pada dasarnya peningkatan kualitas diri sesorang guru harus menjadi tanggung jawab diri pribadi sang guru. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran pada diri guru untuk senantiasa dan secara terus menerus menigkatkan pengetahuan dan kemampuan yang diperlukan guna peningkatan kualitas kerja sebagai pendidik profesional. Kesadaran ini akan






23 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 102



timbul dan berkembang sejalan dengan kemungkinan pengembangan karir mereka.24
Oleh karena itu pengembangan kualitas guru harus dikaitkan dengan perkembangan karir guru sebagai pegawai, baik negeri maupun swasta. Gambaran yang ideal adalah bahwa kepangkatan, pendapatan dan karir, dalam hal ini jenjang jabatan dan kepangkatan merupakan hasil dari peningkatan kualitas seseorang selaku guru. Proses dari timbulnya kesadaran untuk meningkatkan kemampuan profesional dikalangan guru, timbulnya kesempatan dan usaha, meningkatnya kualitas profesional sampai tercapainya jenjang kepangkatan dan jabatan yang tinggi, memerlukan iklim yang memungkinkan berlangsungnya iklim kondusif, objektif dan transparan.

Abuddin Nata memberikan catatan penting untuk menyiapkan tenaga guru yang profesional adalah, pertama, seorang tenaga profesional itu adalah orang yang bersifat terpercaya, dapat menjaga amanah, dan mampu merawat sesuatu dengan baik. Pandangan mendidik sebagai suatu amanah perlu dimiliki oleh seorang profesional sehingga tidak kehilangan visi dan spirit transendentalitas. Kedua, seorang tenaga pendidik profesional adalah orang yang memiliki keahlian. Ketiga, seorang pendidik yang profesional adalah seorang yang bertindak adil, yaitu memberikan hak kepada yang memilikinya dengan cara paling efektif atau tidak berbelit-belit.25

4.   Mencetak Guru Profesional

Perhatian akan kualitas guru sudah sejak lama menjadi perhatian. Berdasarkan catatan Abuddin Nata, pembinaan guru profesional pada zaman Orde Lama dan Orde Baru misalnya, tampak lebih baik daripada masa sekarang, setidaknya lewat beberapa catatan.26

Pertama, pada masa Orde Lama dan Orde Baru, setiap orang yang ingin menjadi guru harus lulusan pendidikan keguruan. Untuk menjadi guru SD ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG), ada pula program D-II PGSD (Pendidikan Guru

24 M. Syahran Jailani, Guru Profesional dan Tantangan Dunia Pendidikan, (Jurnal At-Ta’lim,

Volume 21, Tahun 2014, Februari 2014), hlm. 4

25              Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012)hlm. 222-224

26                            Abuddin Nata, Kapita Selekta ..., hlm. 228-229



Sekolah Dasar), D-III PGSM (Pendidikan Guru Sekolah Menengah). Selanjutnya untuk menjadi guru MI ada Pendidikan Guru Agama 4 tahun (PGA 4 Tahun), untuk menjadi guru sekolah menengah ada Pendidikan Guru Agama 6 Tahun (PGA 6 Tahun). Tamatan SPG, PGSD, PGSM dapat melanjutkan ke IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Sedangkan tamatan PGA 6 Tahun dapat melanjutkan ke Fakultas Tarbiyah. Dengan demikian, mereka yang masuk Fakultas Keguruan (IKIP atau Tarbiyah) benar-benar memiliki bekal teori dan praktik ilmu keguruan yang matang. Berbagai sekolah keguruan tersebut kini sudah tidak ada lagi sehingga input yang masuk fakultas keguruan tidak memiliki bekal yang memadai.

Kedua, guna memperoleh kompetensi akademik dan pedagogik yang matang, seharusnya pola pembinaan tenaga guru dilakukan melalui pendekatan kolaboratif antara fakultas-fakultas non keguruan dengan fakultas keguruan. Untuk mendapatkan guru bidang fikih misalnya, sebaiknya tamatan S1 fakultas Syariah kemudian mengikuti pendidikan profesi keguruan di fakultas Tarbiyah.

Ketiga, bahwa tenaga pengajar pada pendidikan profesi sebaiknya kaum profesional yang selain memiliki keahlian, kemahiran dan kecakapan, juga memiliki pengalaman praktis di bidangnya.

Keempat, bahwa pendidikan calon guru profesional seharusnya dilakukan melalui sistem guru berjenjang dan berantai. Contohnya, seorang murid yang cerdas di tingkat menengah (tsanawiyah) diberi kepercayaan mengajar murid tingkat dasar (ibtidaiyah), dan seorang murid yang cerdas di tingkat atas (aliyah) diberi kesempatan mengajar di tingkat menengah (tsanawiyah). Dengan sistem ini seorang murid tidak hanya menguasai ilmunya dengan baik, tapi juga memperoleh pengakuan terhadap ilmunya.

Sistem guru berantai dan berjenjang tersebut perlu dilakukan, dengan catatan harus ada seorang ahli pendidikan yang memberikan bekal ilmu keguruan kepadanya sambil melaksanakan tugasnya mengajar (learning by doing).













C. Kesimpulan

Pembinaan tenaga guru yang profesional perlu ditingkatkan karena guru yang profesional mampu mendukung peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu pembinaan mutu guru profesional tidak dapat diabaikan atau ditunda-tunda lagi. Berbagai sekolah unggul yang ada selalu memiliki guru yang unggul pula.

Guru yang profesional dalam pandangan Islam selain harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial dan akademik juga diharuskan mempunyai visi dan spirit ajaran Islam sehingga memiliki makna ibadah kepada Allah Swt, dan terhindar dari pengaruh materialisme dan hedonisme yang menjadi sebab jatuhnya mutu pendidikan.

Selain itu, dalam rangka meningkatkan mutu guru profesional, perlu dipertimbangkan untuk menghidupkan kembali sekolah-sekolah keguruan, kolaborasi antara fakultas keguruan dan non keguruan, melibatkan kaum profesional sebagai tenaga pengajar dengan menerapkan sistem magang, konsep guru berantai dan berjenjang, sera tutor sebaya yang diawasi dann dibina oleh pendidik senior berpengalaman dan profesional.



DAFTAR PUSTAKA


Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012)

A. Maksum, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern: Mencari “Visi
Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004)

Buchari Alma et al., Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar, (Bandung:
Alfabeta, 2009)

Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: LESFI, 2003)

Djohar, Tantangan Kontemporer Bangsa Indonesia : Respon Dunia Pendidikan, Volume 5, Nomor1, Mei 2001

Edi Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013)

Kathleen Devaney dan Gary Sykes, “Making the Case for Pro fe sionalism,” dalam Ann Lieberman (ed.), Building a Professional Culture in Schools, (New York: Teachers College Press, 1988)

Kay A. Norlander-Case et al., Guru Profesional Penyiapan dan Pembimbingan Praktisi Pemikir Program Pendidikan di Negara Demokrasi, (Jakarta: PT. Indeks, 2009)

Mudjia Rahardjo, UIN Malang di Tengah Perubahan Global, dalam M. Zainuddin (ed.), Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam, (Malang: UIN Press, 2004)

Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2006)

Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Rajawali Pers, 2011)

M. Pidarta, Desentralisasi Pendidikan di Tingkat Kabupaten, Jurnal Ilmu Pendidikan, 8 (1), 2001

M. Syahran Jailani, Guru Profesional dan Tantangan Dunia Pendidikan, (Jurnal At-Ta’lim, Volume 21, Tahun 2014, Februari 2014)


Soewartoyo, Soetarno, Safrudin, M. Harahap, & Pambudi, Persepsi Masyarakat terhadap Desentralisasi Pendidikan. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003)

Suwandi, Studi Kebijakan Pengelolaan Guru Pasca Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan, Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 4 Nomor 2, November 2007

Syafruddin Nurdin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, M. Basyiruddin Usman (ed.), (Jakarta: Ciputat Press, 2002)


William M. Sullivan, Work and Integrity: The Crisis and Promise of Professionalism in America,


(New York: Harper Collins, 1995)

No comments:

Post a Comment