TANTANGAN DUANIA PENDIDIKAN DAN
IMPLIKASINYA
TERHADAP PERUBAHAN KEBIJAKAN
(Tugas mata kuliah Studi Kebijakan Pendidikan
Islam)
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Baharuddin, M. Pd.I

Muhammad
Nur (16770016)
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
MAULANA
MALIK IBRAHIM
MALANG
MARET
2018
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan sarana
strategis untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa. Kualitas suatu bangsa
tersebut dapat ditandai dan diukur dari kemajuan pendidikannya. Pengalaman
beberapa negara maju di dunia, kemajuannya selalu dimulai dengan pendidikannya1.
Pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang bermutu atau berkualitas.
Kualitas pendidikan meliputi (1) produk pendidikan yang dihasilkan berupa
persentase peserta didik yang berhasil lulus dan lulusan tersebut dapat diserap
oleh lapangan kerja yang tersedia atau membuka lapangan kerja sendiri, baik
dengancara meniru yang sudah ada atau menciptakan yang baru; (2) proses
pendidikan, menyangkut pengelolaan kelas yang sesuai pada kondisi kelas yang
relatif kecil, penggunaan metode pengajaran yang tepat serta lingkungan
masyarakat yang kondusif; dan (3) adanya kontrol pada sumber-sumber pendidikan
yang ada.
Memasuki pelaksanaan otonomi
daerah di era reformasi, kewenangan pemerintah pusat dalam mengurus dan
mengatur tugas pemerintahan telah mengalami perubahan. Pemerintah pusat tidak
lagi bersifat sentralistis, dan tidak sedikit urusan yang didelegasikan kepada
pemerintah daerah. Urusan pemeritahan yang didelegasikan kepada pemerintah
kabupaten atau kota termasuk bidang pendidikan.2 Sebelum
diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah
pusat sebagai perencana dan sekaligus pelaksana semua urusan dan kegiatan di
seluruh wilayah negara.3 Berbeda dengan sebelum diberlakukannya
undang-undang ini, kewenangan pemerintah daerah (kota dan kabupaten) dalam
bidang pendidikan sangat terbatas, kalau tidak dapat dikatakan tidak ada sama
sekali.
Dengan diberlakukannya UU No. 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, peran dan fungsi pemerintah daerah
menjadi semakin besar dalam

1 A.
Maksum, Paradigma Pendidikan Universal di
Era Modern dan Post-Modern: Mencari “Visi Baru” atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2004), hlm. 227
2 M.
Pidarta, Desentralisasi Pendidikan di
Tingkat Kabupaten, Jurnal Ilmu
Pendidikan, 8 (1), 2001, hlm. 17
3
Soewartoyo, Soetarno, Safrudin, M. Harahap, &
Pambudi, Persepsi Masyarakat terhadap
Desentralisasi Pendidikan. (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2003) hlm. ix
berbagai hal termasuk pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan dalam kerangka sistem pemerintahan daerah yang baru,
semakin mendapat perhatian secara serius dari berbagai pihak. Komponen-komponen
yang ada di daerah, baik pengambil keputusan, para praktisi pendidikan, guru,
orang tua maupun masyarakat harus mempunyai landasan falsafah, visi, konsep
yang sama dan matang serta dapat dipertanggung jawabkan (akuntabilitas) dalam
melaksanakan pendidikan yang integral dalam proses otonomi daerah.
Berlakunya otonomi daerah,
mengakibatkan aspek-aspek yang berkaitan dengan penyelenggaraan pembangunan di
bidang pendidikan mengalami perubahan. Perubahan itu antara lain, berkurangnya
peran pemerintah pusat. dan perubahan penyelenggaraan pendidikan dari
sentralistis ke arah desentralistis.
Konsep desentralisasi pendidikan
itu sendiri adalah konsep yang relatif baru untuk diterapkan di Indonesia.
Salah satu tantangan yang paling penting adalah tersusunnya kebijakan untuk
mendelegasikan wewenang operasional pemerintah pusat ke daerah, khususnya
bidang pendidikan. Titik berat pelaksanaan desentralisasi pendidikan adalah
lebih mengutamakan pada peningkatan peran dan partisipasi daerah termasuk
masyarakat dalam rangka terselenggaranya pendidikan seperti apa yang diinginkan
untuk dilaksanakan di daerah, sehingga desentralisasi pendidikan menghasilkan
otonomi.4

4
Djohar, Pendidikan Strategik
Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: LESFI,
2003), hlm. 88
B. Pembahasan
1. Tantangan Dunia Pendidikan
Dewasa ini pendidikan berada
dalam era globalisasi yang ditandai oleh kuatnya tekanan ekonomi dalam detak
kehidupan, tuntutan masayrakat untuk memperoleh perlakuan yang makin adil dan
demokratis, serta kuatnya nilai budaya yang tergerus arus hedonistik,
pragmatis, materialistik dan sekularistik.5
Munculnya berbagai kecenderungan
diatas dalam era globalisasi menjadi tantangan sekaligus peluang jika mampu
dihadapi dan dipecahkan dengan arif dan bijaksana yaitu dengan cara merumuskan
kembali visi, misi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar dan lainnya.
Dalam mengahadapi keadaan yang
sedemikian rupa itu, dunia pendidikan pada umumnya kini berada pada
persimpangan jalan. Dunia pendidikan berada diantara jalan untuk mengikuti
tarikan eksternal sebagai akibat pengaruh globalisasi, atau tarikan internal
yang merupakan misi utama pendidikan, yaitu untuk membentuk manusia seutuhnya,
yang potensinya terbina secara seimbang.
Seperti yang dikatakan oleh
Muhaimin, saat ini Indonesia sedang menghadapi dua tantangan besar yaitu
desentralisasi atau otonomi daerah yang saat ini sudah berlangsung serta era
globalisasi total yang akan terjadi pada tahun 2020. Kedua tantangan tersebut
merupakan ujian berat yang harus dilalui dan dipersiapkan oleh seluruh bangsa
Indonesia. Adanya otonomi daerah memberi dampak pada perubahan sistem manajemen
pendidikan dari pola terpusat (sentralisasi) ke pola desentralisasi. Sebagai
implikasi selanjutnya adalah berkembangnya pendidikan yang demokratis dan
non-monopolistik.6
Diantara otonomi besar yang
pernah diberikan kepada sekolah atau madrasah adalah pengembangan kurikulum
yang disebut KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kurikulum ini
merupakan kurikulum operasional yang dibuat oleh dan dilaksanakan pada
masing-masing sekolah atau madrasah.

5 Abuddin
Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), hlm
1
6 Muhaimin,
Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan
Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Rajawali Pers, 2011), hlm. 89
Pemerintah pusat hanya memberi
aturan-aturan yang perlu dijadikan rujukan dalam kurikulum tersebut seperti PP
No. 19 tahun 2005, Permendiknas No. 22 tahun 2006, Permendiknas No. 23 tahun
2006, dan Permendiknas No. 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan dari kedua
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tersebut, serta panduan dari BSNP.7
Namun sekolah atau madrasah
ternyata menemui kendala saat menyusun dan melaksanakan kurikulum sesuai dengan
potensi dan karakteristik mereka yaitu terbatasnya sumber daya manusia yang
memeiliki kemampuan untuk mewujudkan otonomi tersebut. Dalam kenyataannya
distribusi tenaga terlatih dan memiliki keahlian pengembangan kurikulum masih
belum merata.
Tantangan selanjutnya adalah
tantangan era globalisasi. Mudjia Rahardjo menjelaskan bahwa pada umumnya
globalisasi mempunyai tiga bidang utama yaitu ekonomi, politik dan budaya.8
Dalam bidang ekonomi terjadi perubahan besar-besaran dari sistem ekonomi
kapitalisme menuju sistem multinational
corporation. Dalam bidang politik
terlihat isu demokratisasi melanda sebagian
besar negara-negara dunia. Sejak tahun 1972 jumlah negara yang mengadopsi
sistem politik demokrasi meningkat menjadi dua kali lipat, dari 44 negara
menjadi 107 negara. Dalam arti luas di bidang budaya, terjadi perkembangan yang
luar biasa cepat terutama dipicu oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Perkembangan diatas seakan
mengaburkan batasan-batasan yang telah ada. Thomas Friedman bahkan menyatakan
bahwa dunia kini seperti lahan bermain yang sejajar. Di dunia yang sejajar,
semua pesaing (competitor) memiliki
kesempatan yang sama sehingga mereka yang tidak mampu menggunakan peluang dan
kesempatan yang ada akan segera tertinggal. Maka dalam konteks pendidikan,
negara-negara yang tidak bisa menghasilkan lulusan-lulusan berkualitas akan
segera tertinggal dalam arena pertarungan dunia. Negara-negara yang gagal
mengembangkan pendidikan bermutu internasional akan terkena dampak negatif,
terlihat dari tertinggalnya perkembangan ekonomi, politik dan sosial budaya.9

7 Muhaimin,
Pemikiran dan Aktualisasi ..., hlm.
90
8 Mudjia
Rahardjo, UIN Malang di Tengah Perubahan
Global, dalam M. Zainuddin (ed.), Horizon
Baru Pengembangan Pendidikan Islam,
(Malang: UIN Press, 2004), hlm. 131
9 Muhaimin,
Pemikiran dan Aktualisasi ..., hlm.
91
Tantangan diatas dapat dinyatakan
sebagai tantangan kontemporer yang perlu pemecahan multidimensi. Meskipun
demikian perlu dilihat respon pendidikan yang melibatkan persoalan; 1) respon
pendidikan terhadap tantangan globalisasi dan liberalisasi ekonomi, 2) respon
pendidikan terhadap otonomi daerah dan demokratisasi dan 3) kapasitas
kelembagaan pendidikan dalam peningkatan kualitas pendidikan. Berdasarkan tiga
persoalan diatas dapat ditarik menjadi satu masalah pokok adalah bagaimana
sistem pendidikan baik pada tingkat nasional, daerah mapun tingkat sekolah
diselenggarakan, sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia yang mampu
menjawab semua tantangan itu.10
2. Upaya Pengelolaan Guru
Pemerintah melakukan beragam
upaya untuk meningkatkan kualitas guru sebagai sosok penting dalam dunia
pendidikan. Dari waktu ke waktu, pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan
untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tanah air. Diantara kebijakan itu
adalah kebijakan-kebijakan tentang pemberantasan buta huruf, pendidikan
masyarakat dan pendidikan luar sekolah, kegiatan inovasi pendidikan seperti
PPSP, proyek PAMONG, pendidikan pramuka untuk transmigrasi, pusat kegiatan
belajar, kuliah kerja nyata, BUTSI, SESPA, proyek pengembangan sistem informasi
pendidikan, proyek percobaan radio pendidikan, proyek STM pembangunan, proyek
perintis sekolah pembangunan, proyek pendidikan guru, PSPB, orang tua asuh bagi
anak kurang mampu dan sebagainya.11
Arah kebijakan pemerintah pada
bidang pendidikan menuju pada perluasan dan pemerataan kesempatan pendidikan
yang bermutu; pengembangan kemampuan akademik dan profesional tenaga
kependidikan, pembaharuan kurikulum, , pembaharuan dan pemantapan sistem
pendidikan, peningkatan kualitas lembaga pendidikan, pengembangan kualitas SDM
sedini mungkin, penguasaan-pengembangan dan pemanfaatan teknologi, dengan
sasaran

10 Djohar, Tantangan
Kontemporer Bangsa Indonesia : Respon Dunia Pendidikan, Volume 5, Nomor1,
Mei 2001, hlm. 69
11 Suwandi, Studi Kebijakan Pengelolaan Guru Pasca
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah Dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan, Jurnal
Ekonomi & Pendidikan, Volume 4
Nomor 2, November 2007, hlm. 68
peningkatan angka partisipasi, kesamaan memperoleh
pendidikan yang bermutu, organisasi sekolah yang demokratis, transparan,
efisien dan accountable.
Syarat-syarat tenaga profesional
yang menduduki tempat penting, diantaranya: (a) menguasai bidang studi yang
diajarkan, (b) menguasai pedagogi,
(c)
mengetahui inti bidang studi yang diajarkan, (d) mampu mengajarkan
keahliannya kepada murid dengan berbagai latar pekembangannya, (e) mampu
menggunakan keterampilan diagnostik untuk membantu muridnya yang mengalami
masalah akademik, (f) mampu memahami perubahan yang terjadi pada muridnya, baik
dalam perubahan fisik, sosial, psikologis maupun intelektual. Di samping itu
guru profesional juga harus dapat mengambil keputusan pendidikan dengan
keputusan yang tepat, menguasai teknik memotivasi muridnya, menguasai teori dan
keterampilan manajemen kelas, seorang evaluator kemajuan anak, sekaligus
evaluator program pendidikannya.12
3. Penguatan Profesionalisme Guru
Kata profesi, professional, dan
profesionalisme adalah tiga kata yang memiliki redaksi berbeda dengan penekanan
yang berlainan pula, namun substansinya ketiganya sama. Ketiganya bermuara pada
pemahaman akan adanya suatu pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan keahlian,
sehingga pemahaman tiga kata tersebut terbilang penting khususnya dalam sebuah
pekerjaan yang melibatkan orang lain secara langsung seperti manajer dan juga
guru.
Banyak perhatian orang pada
profesionalisme ini. Nabi Muhammad Saw bahkan pernah bersabda “idza wussida al-amru ila ghairi ahlihi
fantadhir al-sa’ah” (apabila
suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya)13.
Hadits ini menunjukkan betapa Nabi Saw telah
memberikan perhatian yang sangat
besar terhadap profesionalisme karena menjadi salah satu penentu keberhasilan
suatu pekerjaan. Sekiranya profesionalisme tidak penting niscaya Nabi Saw tidak
akan memberikan peringatan sekeras itu. Sebuah peringatan dengan nada seolah
mengancam tersebut diiringi dengan redaksi fantadhir
al-sa’ah (tunggulah kehancurannya).

12
Suwandi, Studi Kebijakan ..., hlm. 69
13 Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
al-Bukhari dari Muhammad ibn Sinan, Qulaih ibn Sulaiman,
Hilal ibn Ali, Atha’, Yasar, Abu Hurairah, dari
Nabi Saw.
Melalui redaksi semacam ini
diharapkan umat Islam memperhatikan aspek profesionalisme dalam bekerja dan
beraktivitas.
Konsekuensinya berimbas kepada
umat Islam bahwa segala sesuatu pekerjaan yang positif harus dilakukan atau
ditangani secara profesional, termasuk pekerjaan mendidik atau mengajar peserta
didik (siswa atau mahasiswa). Buchari dkk mengatakan bahwa kegiatan mengajar (teaching) merupakan kegiatan dari suatu
pekerjaan profesional, sehingga dalam melakukan pekerjaan itu dibutuhkan
landasan keilmuan dan latihan-latihan.14 Edi Mulyasa menyatakan, kita harus mampu menyiapkan guru
profesional, karena hanya guru demikian yang akan berperan di masa mendatang.15 Kemampuan profesional guru dalam menciptakan pembelajaran yang
berkualitas sangat menentukan keberhasilan
pendidikan secara keseluruhan.16
Pernyataan ini berusaha mengingatkan serta menyadarkan kembali bahwa guru
mempunyai posisi strategis dalam proses
pembelajaran sehingga guru
menjadi ujung tombak dalam proses pendidikan dan pembelajaran.
Oleh karena itu, profesionalisme
merupakan suatu pekerjaan yang harus dipelajari melalui proses secara serius.
Profesi ini tidak bisa hanya segera
diberikan
oleh orang lain
atau diwariskan dari
orangtua kepada anaknya.
Syafruddin Nurdin menyatakan, status profesional hanya bisa diraih melalui
perjuangan yang berat dan cukup panjang.17 Selanjutnya Devaney dan Sykes mengatakan bahwa profesionalisme
merupakan bentuk kebebasan yang tidak bisa diberikan, namun harus diupayakan.
Guru tidak hanya diberdayakan; tugas kerjanya hanya dapat diselesaikan
berdasarkan standar, norma dan kondisi profesional yang harus mulai diraihnya.18
Buchari Alma dkk menyatakan bahwa guru merupakan kunci utama keberhasilan
pendidikan. Guru merupakan sales agent dari lembaga pendidikan, sehingga
perilaku dan cara mengajarnya sangat

14Buchari Alma et al., Guru Profesional
Menguasai Metode dan Terampil Mengajar, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm. 2
15
Edi Mulyasa, Menjadi
Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 16
16
Edi Mulyasa, Menjadi Guru ...,
hlm. 13
17
Syafruddin Nurdin, Guru Profesional & Implementasi Kurikulum, M. Basyiruddin Usman
(ed.), (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 20
18 Kathleen Devaney dan Gary Sykes, “Making the
Case for Pro fe
sionalism,” dalam Ann
Lieberman (ed.), Building a Professional Culture in Schools, (New York: Teachers
College Press, 1988), hlm. 4
mempengaruhi citra lembaga
pendidikan. Maka guru sebagai sumber daya pendidikan harus dikembangkan baik
melalui proses pendidikan, pelatihan, maupun kegiatan lain agar tingkat
profesionalnya meningkat.19
Sejatinya guru yang profesional
harus memiliki pengetahuan dan kemampuan teknis; nilai-nilai bersama tentang
profesi dan konsekuensi tanggungjawabnya; mengadakan pemeriksaan dan perenungan
kembali sebagai kebiasaan; mengenali, menghormati dan memperhitungkan
keanekaragaman pada semua anak, dan mementingkan profesi yang memudahkan tumbuh
dan berkembang.20 Dengan pengertian lain, guru yang profesional itu
telah memenuhi kriteria kemampuan, moralitas, pengawasan, kesadaran pluralis,
dan proteksi atas pekerjaannya.
Dalam konteks pendidikan Islam,
profesionalisme guru PAI menjadi sorotan penting. Profesi itu memiliki
ciri-ciri khusus yang dapat diidentifikasi dan dikenali untuk membedakan dengan
identitas lainnya. Sullivan mengatakan bahwa profesi itu merupakan pekerjaan
yang memiliki tiga macam karakteristik; pelatihan pengetahuan secara khusus
melalui pendidikan formal dan kerja magang, pengakuan publik terhadap otonomi
komunitas praktisi dalam mengatur standar pelak sanaan profesi itu, dan
komitmen menekankan pemberian layanan yang baik kepada publik.21
Menurut Mukhtar Lutfi,
sebagaimana dikutip Nurdin, ada delapan kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu
pekerjaan agar dapat disebut sebagai profesi, yaitu, 1) panggilan hidup yang
sepenuh waktu; 2) pengetahuan dan kecakapan atau keahlian, 3) kebakuan yang
universal, 4) pengabdian, 5) kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif, 6)
otonomi, 7) kode etik , dan 8) klien.22
Kriteria diatas berlaku pada
semua profesi, termasuk profesi guru pendidikan agama islam (PAI). Disamping
itu, guru PAI masih diikat oleh kriteria tertentu sesuai dengan tugasnya
sebagai pendidik agama Islam. Materi PAI ini memiliki karakteristik tertentu.
Muhaimin menyatakan,

19
Buchari
Alma et al., Guru Profesional ...,
hlm. 123-124
20
Kay A. Norlander-Case et al., Guru Profesional
Penyiapan dan Pembimbingan Praktisi Pemikir Program Pendidikan di Negara Demokrasi, (Jakarta: PT. Indeks,
2009), hlm. 1
21 William
M. Sullivan, Work and Integrity: The
Crisis and Promise of Professionalism in America, (New York: Harper Collins, 1995), hlm. 2
22
Nurdin, Guru Profesional ...,
hlm. 16-17
“Pendidikan agama memiliki
karakteristik tersendiri yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Pendidikan
Agama Islam (PAI) misalnya, memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) PAI
berusaha untuk menjaga akidah peserta didik agar tetap kokoh dalam situasi dan
kondisi apapun; (2) PAI berusaha menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai
yang tertuang dan terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits serta otentisitas keduanya
sebagai sumber utama ajaran Islam;
(3)
PAI menonjolkan kesatuan iman, ilmu dan amal dalam kehidupan keseharian;
(4) PAI berusaha membentuk dan mengembangkan kesalehan individu dan sekaligus
kesalehan sosial; (5) PAI menjadi landasan moral dan etika dalam pengembangan
iptek dan budaya serta aspek-aspek kehidupan lainnya; (6) substansi PAI
mengandung entitas-entitas yang bersifat rasional dan supra-rasional; (7) PAI
berusaha menggali, mengembangkan dan mengambil ibrah dari sejarah dan kebudayaan (peradaban) Islam, dan (8) dalam
beberapa hal, PAI mengandung pemahaman dan penafsiran yang beragam, sehingga
memerlukan sikap terbuka dan toleran atau semangat
ukhuwah islamiyah”23
Usaha peningkatan kualitas guru
yang profesional didasari satu kebenaran fundamental, yakni kunci keberhasilan
mempersiapkan dan menciptakan guru-guru yang profesional, memiliki komitmen dan
tanggung jawab yang baru untuk merencanakan pendidikan masa depan. Pada
dasarnya peningkatan kualitas diri sesorang guru harus menjadi tanggung jawab
diri pribadi sang guru. Untuk itu diperlukan adanya kesadaran pada diri guru
untuk senantiasa dan secara terus menerus menigkatkan pengetahuan dan kemampuan
yang diperlukan guna peningkatan kualitas kerja sebagai pendidik profesional.
Kesadaran ini akan

23 Muhaimin, Nuansa
Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 102
timbul dan berkembang sejalan
dengan kemungkinan pengembangan karir mereka.24
Oleh karena itu pengembangan kualitas
guru harus dikaitkan dengan perkembangan karir guru sebagai pegawai, baik
negeri maupun swasta. Gambaran yang ideal adalah bahwa kepangkatan, pendapatan
dan karir, dalam hal ini jenjang jabatan dan kepangkatan merupakan hasil dari
peningkatan kualitas seseorang selaku guru. Proses dari timbulnya kesadaran
untuk meningkatkan kemampuan profesional dikalangan guru, timbulnya kesempatan
dan usaha, meningkatnya kualitas profesional sampai tercapainya jenjang
kepangkatan dan jabatan yang tinggi, memerlukan iklim yang memungkinkan
berlangsungnya iklim kondusif, objektif dan transparan.
Abuddin Nata memberikan catatan
penting untuk menyiapkan tenaga guru yang profesional adalah, pertama, seorang
tenaga profesional itu adalah orang yang bersifat terpercaya, dapat menjaga
amanah, dan mampu merawat sesuatu dengan baik. Pandangan mendidik sebagai suatu
amanah perlu dimiliki oleh seorang profesional sehingga tidak kehilangan visi
dan spirit transendentalitas. Kedua, seorang tenaga pendidik profesional adalah
orang yang memiliki keahlian. Ketiga, seorang pendidik yang profesional adalah
seorang yang bertindak adil, yaitu memberikan hak kepada yang memilikinya
dengan cara paling efektif atau tidak berbelit-belit.25
4. Mencetak Guru Profesional
Perhatian akan kualitas guru
sudah sejak lama menjadi perhatian. Berdasarkan catatan Abuddin Nata, pembinaan
guru profesional pada zaman Orde Lama dan Orde Baru misalnya, tampak lebih baik
daripada masa sekarang, setidaknya lewat beberapa catatan.26
Pertama, pada masa Orde Lama dan
Orde Baru, setiap orang yang ingin menjadi guru harus lulusan pendidikan
keguruan. Untuk menjadi guru SD ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG), ada pula
program D-II PGSD (Pendidikan Guru

24 M.
Syahran Jailani, Guru Profesional dan
Tantangan Dunia Pendidikan, (Jurnal At-Ta’lim,
Volume 21, Tahun 2014, Februari 2014), hlm. 4
25
Abuddin Nata, Kapita
Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012)hlm.
222-224
26
Abuddin Nata, Kapita Selekta
..., hlm. 228-229
Sekolah Dasar), D-III PGSM (Pendidikan
Guru Sekolah Menengah). Selanjutnya untuk menjadi guru MI ada Pendidikan Guru
Agama 4 tahun (PGA 4 Tahun), untuk menjadi guru sekolah menengah ada Pendidikan
Guru Agama 6 Tahun (PGA 6 Tahun). Tamatan SPG, PGSD, PGSM dapat melanjutkan ke
IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Sedangkan tamatan PGA 6 Tahun
dapat melanjutkan ke Fakultas Tarbiyah. Dengan demikian, mereka yang masuk
Fakultas Keguruan (IKIP atau Tarbiyah) benar-benar memiliki bekal teori dan
praktik ilmu keguruan yang matang. Berbagai sekolah keguruan tersebut kini
sudah tidak ada lagi sehingga input yang masuk fakultas keguruan tidak memiliki
bekal yang memadai.
Kedua, guna memperoleh kompetensi
akademik dan pedagogik yang matang, seharusnya pola pembinaan tenaga guru
dilakukan melalui pendekatan kolaboratif antara fakultas-fakultas non keguruan
dengan fakultas keguruan. Untuk mendapatkan guru bidang fikih misalnya,
sebaiknya tamatan S1 fakultas Syariah kemudian mengikuti pendidikan profesi
keguruan di fakultas Tarbiyah.
Ketiga, bahwa tenaga pengajar
pada pendidikan profesi sebaiknya kaum profesional yang selain memiliki
keahlian, kemahiran dan kecakapan, juga memiliki pengalaman praktis di
bidangnya.
Keempat, bahwa pendidikan calon
guru profesional seharusnya dilakukan melalui sistem guru berjenjang dan
berantai. Contohnya, seorang murid yang cerdas di tingkat menengah (tsanawiyah) diberi kepercayaan mengajar
murid tingkat dasar (ibtidaiyah), dan
seorang murid yang cerdas di tingkat atas (aliyah)
diberi kesempatan mengajar di tingkat menengah (tsanawiyah). Dengan sistem ini seorang murid tidak hanya menguasai
ilmunya dengan baik, tapi juga memperoleh pengakuan terhadap ilmunya.
Sistem guru berantai dan
berjenjang tersebut perlu dilakukan, dengan catatan harus ada seorang ahli
pendidikan yang memberikan bekal ilmu keguruan kepadanya sambil melaksanakan
tugasnya mengajar (learning by doing).
C. Kesimpulan
Pembinaan tenaga guru yang
profesional perlu ditingkatkan karena guru yang profesional mampu mendukung
peningkatan mutu pendidikan. Untuk itu pembinaan mutu guru profesional tidak
dapat diabaikan atau ditunda-tunda lagi. Berbagai sekolah unggul yang ada
selalu memiliki guru yang unggul pula.
Guru yang profesional dalam
pandangan Islam selain harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial
dan akademik juga diharuskan mempunyai visi dan spirit ajaran Islam sehingga
memiliki makna ibadah kepada Allah Swt, dan terhindar dari pengaruh
materialisme dan hedonisme yang menjadi sebab jatuhnya mutu pendidikan.
Selain itu, dalam rangka
meningkatkan mutu guru profesional, perlu dipertimbangkan untuk menghidupkan
kembali sekolah-sekolah keguruan, kolaborasi antara fakultas keguruan dan non
keguruan, melibatkan kaum profesional sebagai tenaga pengajar dengan menerapkan
sistem magang, konsep guru berantai dan berjenjang, sera tutor sebaya yang
diawasi dann dibina oleh pendidik senior berpengalaman dan profesional.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012)
A. Maksum, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern: Mencari
“Visi
Baru”
atas “Realitas Baru” Pendidikan Kita, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2004)
Buchari Alma et al., Guru Profesional
Menguasai Metode dan Terampil Mengajar, (Bandung:
Alfabeta, 2009)
Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan,
(Yogyakarta: LESFI, 2003)
Djohar, Tantangan Kontemporer Bangsa Indonesia : Respon Dunia Pendidikan,
Volume 5, Nomor1, Mei 2001
Edi Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013)
Kathleen Devaney dan Gary Sykes,
“Making the Case for Pro fe sionalism,”
dalam Ann Lieberman (ed.), Building a
Professional Culture in Schools, (New York: Teachers College Press, 1988)
Kay A. Norlander-Case et al., Guru Profesional Penyiapan dan Pembimbingan Praktisi Pemikir Program Pendidikan di Negara Demokrasi,
(Jakarta: PT. Indeks, 2009)
Mudjia Rahardjo, UIN Malang di Tengah Perubahan Global,
dalam M. Zainuddin (ed.), Horizon Baru Pengembangan Pendidikan Islam,
(Malang: UIN Press, 2004)
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan,
(Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2006)
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta:
PT Rajawali Pers, 2011)
M. Pidarta, Desentralisasi Pendidikan di Tingkat Kabupaten, Jurnal Ilmu Pendidikan, 8 (1), 2001
M. Syahran Jailani, Guru Profesional dan Tantangan Dunia
Pendidikan, (Jurnal At-Ta’lim, Volume 21, Tahun 2014, Februari 2014)
Soewartoyo, Soetarno, Safrudin,
M. Harahap, & Pambudi, Persepsi
Masyarakat terhadap Desentralisasi
Pendidikan. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003)
Suwandi, Studi Kebijakan Pengelolaan Guru Pasca Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah
Dalam Rangka Peningkatan Mutu Pendidikan, Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 4 Nomor 2, November
2007
Syafruddin Nurdin, Guru Profesional & Implementasi
Kurikulum, M. Basyiruddin Usman (ed.), (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
William M. Sullivan, Work and Integrity: The Crisis and Promise
of Professionalism in America,
(New York: Harper Collins, 1995)
No comments:
Post a Comment